"Karena mungkin hari ini adalah hari terakhir gue liat lo di Indonesia, jadi gue mau kasih hadiah juga buat lo," ucap Arya tengil dan hal itu tentunya membuat Kafka tertawa.
"Seneng banget lo ya, kalau gue mau ke luar negeri?" jawab Kafka, tak urung menerima kotak hadiah yang Arya angsurkan padanya. Kemudian, Kafka pun kembali berkata. "Makasih ya, Ar. Hadiah buat lo, nanti gue kirim via ekspedisi. Semoga sih, nggak transit dulu di DC Cakung ya."Arya pun tertawa begitu juga Sheyra. "Emang, lo mau kasih gue hadiah apa?" tanya Arya penasaran."Rencananya, gue mau paketin bule Australia buat lo. Biar lo nggak jomblo lagi," ledek Kafka yang membuat Arya seketika mendengkus secara terang-terangan."Ogah. Gue nggak doyan bule. Gue lebih suka produk lokal karena biasanya lebih unggul," sahut Arya sambil menatap Sheyra, tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena ternyata, Sheyra juga sedang menatapnya sambil tersenyum. Segera, Arya memalingkan muka agar tak terlalu kentara jika produk lokal yang dirinya maksud ialah gadis tersebut.Tawa Kafka mengudara yang membuat Sheyra diam-diam mencubit perut laki-laki itu karena telah mengundang beberapa pasang mata untuk menatap ke arah mereka. "Kecilin suaranya, Ka. Lagi di depan umum loh," ucap Sheyra memperingatkan.Menurut. Kafka pun berdehem untuk kembali dalam mode cool nya. "Gue pergi dulu buat nyari ilmu ya. Lo jangan kangen," ucap Kafka dengan tampang seriusnya.Mendengar itu, Arya berusaha untuk menahan diri agar tidak memutar bola matanya dengan malas. "Lo nggak salah bilang gitu ke gue? Gue mah gampang kalau pengen ketemu lo tinggal nyusul, sedangkan Sheyra?"Merasa namanya disebut-sebut dalam pembicaraan, Sheyra pun melemparkan tatapan kesalnya pada Arya. Namun, bukannya takut dengan tatapan itu, Arya justru kembali melanjutkan kalimatnya. "Habisin waktu lo sama dia sebelum lo berangkat. Karena menahan rindu itu berat," ucap Arya sambil menepuk bahu Kafka pelan.Kafka melirik Sheyra sebentar kemudian kembali menatap Kafka dan bertanya. "Kata siapa?""Kata Dilan lah!"Dan karena saran dari Arya itulah, Kafka memutuskan untuk mengantar Sheyra ke kostnya, bukan untuk pulang, melainkan hanya untuk mengganti kebaya yang dikenakan Sheyra karena pakaian itu tidak memungkinkan untuk dipakainya sepanjang hari.Setelah menggantinya dengan pakaian yang lebih santai berupa midi dress bercorak floral, Kafka pun mengajak Sheyra untuk menghabiskan waktunya di sebuah taman yang biasa mereka kunjungi. Di sana, mereka pun mengobrol, membeli jajanan kesukaan, dan menikmati indahnya matahari tenggelam. Keduanya baru kembali saat malam mulai menjelang dan suasana sekitar sudah tampak gelap.Karena malam itu mungkin akan menjadi malam terakhir atas pertemuan Sheyra dan Kafka, laki-laki itu pun mengajaknya ke apartemen untuk menginap di sana demi bisa menghabiskan waktu yang masih tersisa.Tepat pukul tujuh lewat tiga puluh menit, keduanya tiba di apartemen milik Kafka. Sheyra yang merasakan jika tubuhnya begitu lelah pun segera berjalan menuju sofa dan berniat merebah di sana."Hadiah dari Arya aku taruh di sini ya, Ka," ucap Sheyra saat keduanya baru tiba. Dia menaruh hadiah tersebut di atas meja ruang tamu bersamaan dengan tubuhnya yang sengaja dihempaskan ke atas sofa. Sheyra menghembuskan napas kasar dengan posisi tubuh telentang, guna menikmati rasa lelah yang saat ini sedang mendera tubuhnya.Dia sempat memejamkan matanya untuk terlelap sejenak, tetapi ketika mendengar suara pintu yang dikunci dari dalam itu pun membuat Sheyra kembali membuka kelopak matanya. Sheyra melirik keberadaan Kafka yang semula menghadap pintu dan kini sudah berbalik kemudian berjalan ke arahnya sambil kedua tangannya yang sibuk membuka kancing kemeja.Sheyra melongo saat Kafka melepas kemejanya kemudian melemparnya dengan asal, sehingga membuat otot-otot pada bagian perutnya itu pun terlihat jelas. "Ka?" ucap Sheyra merasakan lidahnya yang kelu dan susah payah untuk menelan ludahnya sendiri karena Kafka sudah merangkak naik di atas tubuhnya.Laki-laki itu mengungkungnya menggunakan kedua lengan yang diletakkan di masing-masing sisi tubuh Sheyra, sehingga dia tidak bisa lagi untuk pergi kemana-mana.Sheyra mendongak dengan raut penuh tanya, tetapi sorot mata Kafka sudah mampu menjelaskan semuanya. "Shey?" panggil Kafka lembut yang hanya ditanggapi dengan sebuah gumaman oleh Sheyra."Boleh?" Dan saat itu juga, bulu di seluruh tubuh Sheyra dibuat merinding setelah mendengar suara serak Kafka, ditambah dengan tatapan mata yang mendamba.Sheyra menelan saliva untuk kemudian berkata. "Ada pengaman nggak?""Aku akan keluarin di luar," jawab Kafka sambil membelai pipi Sheyra dan hal itu seketika membuatnya memejamkan mata, merasa terbuai akan sentuhan lembut itu.Dan malam itu, keduanya kembali melakukan sebuah dosa yang mengatasnamakan cinta, tanpa pernah berpikir mengenai bagaimana akibatnya di hari esok.*****Sheyra terbangun dari tidurnya saat mendengar suara gusrak-gusruk yang asalnya entah dari mana. Dengan memaksa matanya untuk terbuka, samar-samar dia melihat bagaimana Kafka yang pagi itu tampak sibuk mondar-mandir membawa barang-barang dan tampak memasukkannya ke dalam sebuah koper berukuran besar.Menyaksikan itu, Sheyra pun benar-benar membuka matanya lebar, kemudian menyibak selimut yang telah membelenggunya dan membuat matanya seperti ditempeli lem yang sangat merekat kuat.Diliriknya jam dinding yang ternyata masih menunjukkan pukul lima pagi, tetapi Kafka sudah begitu sibuk dengan barang bawaannya. "Ka? Jam berapa ini? Kok udah packing?" tanya Sheyra yang membuat Kafka menoleh sejenak, untuk kemudian kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasukkan barang-barang.Kafka pun berkata. "Udah bangun? Aku ganggu tidur kamu ya?" Disertai sebuah senyuman lebar. Kemudian, dia pun melanjutkan kalimatnya dengan, "Semalam waktu kamu udah tidur Mama aku telepon. Katanya, penerbangan sore ditunda karena pesawat mengalami masalah. Jadi, Mama belikan aku tiket pesawat lain yang masih dalam penerbangan hari ini. Terus, dapatnya malah penerbangan pagi," jelas Kafka yang seketika mampu membuat Sheyra tercenung beberapa saat lamanya. Dalam benaknya pun berkata, jika Kafka berangkat pagi, maka waktu kebersamaan antara dirinya dan Kafka akan berkurang."Shey?" Panggilan itu membuat Sheyra tersentak dari lamunan, dan saat mendapati Kafka telah berada di hadapannya bagai tanpa jarak, Sheyra pun begitu terkejut sampai refleks memundurkan wajahnya hingga kepala bagian belakangnya membentur kepala ranjang."Aw!" aduh Sheyra."Hati-hati, Sayang," ucap Kafka yang raut wajahnya sudah tampak panik dan khawatir.Untuk menenangkan kekasihnya itu, Sheyra pun akhirnya berkata. "Aku nggak papa kok. Nggak sakit. Cuma terlalu kaget."Setelahnya, hening menyergap di antara Sheyra dan Kafka. Keduanya berakhir diam dengan tatapan mata yang saling berbicara, seperti sedang mengungkapkan keresahan yang selalu menghantui pada hubungan mereka."Shey—" panggil Kafka lirih.Seakan tahu mengenai apa yang akan diucapkan oleh Kafka, Sheyra pun segera menyelanya dengan kepalanya yang menggeleng untuk kemudian berkata. "Aku nggak papa. Kamu pergi jauh untuk mengejar mimpi kamu." Dan dengan sekuat tenaga, Sheyra berusaha tersenyum walau saat ini dadanya begitu sesak karena perpisahan itu sudah berada di depan mata.Mengingat waktunya bersama Kafka sudah tidak lama lagi, Sheyra pun pandangi wajah Kafka dengan seksama, memindai setiap sudut wajah laki-laki tampan di hadapannya mulai dari hidung, rahang, mata, dan berakhir di bibir tebal nan sintal itu.Tangannya pun mulai gatal hingga kedua telapak tangannya bergerak untuk membingkai wajah tampan kekasihnya itu. Dia kembali tersenyum. "Kamu ... Jangan naksir bule Australia ya," peringat Sheyra yang akhirnya membuat keduanya pun tertawa.Namun, tawa itu tak selepas biasanya dan justru lebih terdengar getir karena sepintar apapun keduanya menutupi perasaan resah dan gelisah nya, tetap saja akan terlihat kentara walaupun hal itu sudah ditutup-tutupi dengan sedemikian rupa.Hanya keduanya yang benar-benar bisa memahami tentang bagaimana resah itu melanda. Sheyra dengan keraguannya, sedangkan Kafka dengan keyakinan penuhnya. Di antara kedua perasaan itu, entahlah perasaan mana yang lebih kuat."Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa nama Sheyra tidak akan pernah tergantikan oleh nama manapun. Lagi pula, kita tidak akan berpisah sampai dua tahun karena di liburan semester, mungkin aku akan pulang. Dan orang yang akan aku temui lebih dulu adalah kamu," ucap Kafka seperti sedang berusaha menenangkan Sheyra.Namun, entah se rapi dan seindah apapun seseorang mempersiapkan perpisahan, tetap saja rasanya akan sangat menyakitkan.Bersambung...~Takdir sengaja dibuat rahasia di luar batas mampu manusia, agar yang berjuang tidak kehilangan semangatnya, dan yang berhasil tidak kehilangan rendah hatinya~Sheyra sudah duduk di kursi panjang berjajar yang disediakan di area terminal keberangkatan internasional untuk menunggu Kafka yang saat ini tengah melakukan check-in. Pesawatnya akan take off tiga jam lagi, tetapi kekasihnya itu harus sudah berada di bandara untuk melakukan berbagai prosedur penerbangan. Sejak tadi, Sheyra tak henti-hentinya menatap ke arah di mana tubuh Kafka menghilang. Dia merasa resah dan gelisah, karena laki-laki itu sudah pergi hampir setengah jam lamanya dan belum juga kembali. Dia hela napasnya kasar untuk kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. Gerak kakinya juga masih mengetuk-ngetuk lantai disertai giginya yang menggigit ujung-ujung kuku guna menghilangkan kegelisahan yang sedang menderanya. Sekitar lima belas menit kemudian, sosok Kafka akhirnya muncul dan hal itu mampu membuat Sheyra bisa
Kafka pergi, bukan berarti Sheyra harus terpuruk setiap hari. Seperti Kafka yang berniat mengejar cita-citanya, maka Sheyra pun akan melakukan hal yang sama. Dia akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang pernah dia pelajari selama empat tahun ini, agar waktu belajarnya selama itu tidak berakhir dengan sia-sia. Setelah dua minggu kepergian Kafka, Sheyra pun mulai mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan yang bisa menjadi naungannya mencari uang. Dan untuk mengisi kekosongan waktunya yang saat ini masih menjadi pengangguran—karena surat lamaran kerjanya belum ada yang di terima, Sheyra akhirnya memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan hal-hal yang positif. Dia berusaha menyibukkan diri dengan melakukan olahraga pagi, membantu ibu kost menyiram bunga, membantu ibu kost membereskan kebun, dan Sheyra pun kembali melakukan hobinya di dunia pemotretan. Ya walaupun dirinya masih belum tergolong sebagai fotografer handal, tetapi di setiap jepretan yang dilakuk
Di Melbourne, Australia. Kafka menatap kesal pada sepupunya karena sudah mengganggu waktunya yang sedang menelepon Sheyra. "Kenapa sih? Mau ngomong hal penting apa sampai kamu masuk ke kamarku tanpa ketuk pintu dulu?" ketus Kafka sambil membanting ponselnya di atas kasur dengan kasar, tentunya setelah panggilan video itu terputus. "Gitu aja kok marah. Lagian, aku gini juga disuruh sama Tante Diana. Katanya, Tante mau ngomong penting sama kamu," jawab Laura, sepupu dari adik sang Papa.Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kafka pun keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan Laura begitu saja. Hal tersebut tentunya membuat gadis yang saat ini sedang menjalani pendidikan kuliah semester empat itu pun mendengkus kencang melihat tingkahnya. "Kenapa, Ma?" tanya Kafka langsung pada intinya, sesaat setelah kakinya tiba di dapur di mana sang Mama berada. Mamanya itu tampak melirik Kafka sekilas sebelum akhirnya memintanya untuk duduk. "Duduk!" titah beliau yang tampak menunjukkan raut ser
Semenjak Kafka berpamitan untuk menutup segala bentuk sosial media guna berkomunikasi jarak jauh, di hari-hari berikutnya itulah, Sheyra harus menjalani hidup sendiri dengan perasaan hampa dan sunyi. Dia benar-benar merasa sendiri tanpa adanya seseorang yang menemani. Bahkan, semenjak acara kelulusannya itu, ayahnya pun tak lagi menghubungi apalagi menemui keberadaan Sheyra saat ini. Sungguh, Sheyra sudah selayaknya anak yang terbuang dan tak diinginkan kehadirannya, pun merasa bila semua orang yang berada di sekitarnya, satu per satu menghilang dari jalan takdir kehidupannya. Hari ini, tepat dua bulan kepergian Kafka dan dalam kurun waktu tersebut, Sheyra merasakan waktu berjalan dengan sangat lama. Mungkin juga karena gairah hidupnya yang tak lagi menggebu-gebu seperti sediakala. Dia telah kehilangan semangat dalam hidupnya. Siang itu, sang Bentala di guyur hujan lebat disertai angin yang tak terlalu kencang, tetapi kekuatannya itu mampu menerbangkan titik-titik hujan hingga seti
Mungkin, ini merupakan akhir bagi Sheyra untuk bertahan hidup karena dia sudah tidak tahu lagi harus bertindak seperti apa kedepannya. Karena hamil tanpa suami dan tanpa sebuah ikatan pernikahan yang sah, merupakan pukulan telak baginya. Pernah terbesit dalam pikirannya, haruskah dia menggugurkan kandungannya? Atau justru, lebih baik mengakhiri hidupnya sendiri? Namun, saat keinginan itu sudah benar-benar bulat, seketika hati kecilnya berkata bahwa hal itu akan semakin membawanya ke dalam neraka. Sudah membuat calon bayinya tiada, belum lagi dirinya yang berniat mengakhiri hidup, yang tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan dari Tuhan. Akhirnya yang bisa dia lakukan sekarang ini hanyalah mengurung diri di dalam kamar kost dan akan keluar saat bahan makanan untuk bertahan hidup telah habis. Sudah terhitung hampir satu bulan Sheyra melakukan hal tersebut dan perbuatannya itu tentu akan menguras isi tabungannya secara perlahan-lahan. Terbukti, uang tabungannya itu
Bukan tanpa sebab Arya mengucapkan hal demikian, walaupun ucapannya itu terkesan terlalu spontan. Tujuan Arya yang semula ingin memeriksa keadaan Sheyra karena sudah beberapa bulan tak ada kabar itu pun seketika berubah saat melihat beberapa alat test kehamilan yang berceceran di atas kasur juga lantai. Mungkin karena Arya adalah salah satu orang yang diam-diam menyukai perempuan itu, pun sampai terkejut sampai merasakan jika dunianya saat itu benar-benar runtuh. Dia tidak menyangka bahwa kekhawatirannya selama ini benar-benar menjadi nyata. Kini, saat sosok Sheyra telah berada di depan mata dalam kondisi yang begitu memprihatinkan, seketika Arya seperti ikut merasakan sakit yang Sheyra rasakan juga. Mendengar ajakannya untuk menikah itu, Sheyra seketika menjauhkan wajah dan melepas pelukan yang Arya berikan hingga membuatnya kehilangan hangat yang sempat menjalar di seluruh sel otaknya. "Gila lo," umpat Sheyra yang kini memilih bangkit dan bergerak memunguti beberapa pakaiannya
Jawaban dari Arya itu belum membuat Sheyra merasa puas. Dia masih ingin menggali akan tujuan Arya mau menikahinya padahal sudah jelas-jelas jika dirinya sudah tak suci lagi. "Bagaimana jika Kafka kembali dan gue tetap nggak mau balik ke dia? Itu berarti, gue bakal jadi beban buat lo seumur hidup. Bahkan, anak yang lahir dari rahim gue juga bakal jadi beban lo," tanya Sheyra yang segera ditanggapi Arya dengan senyuman simpul. "Nggak papa." Gue justru bahagia kalau akhirnya lo bakal milih gue. Lanjut Arya yang sayangnya hanya diucapkan dalam hati. Namun jika memang suatu hari nanti Sheyra berniat kembali kepada Kafka, maka Arya akan melepasnya, walaupun dia tahu mungkin hal itu akan sangat berat dan menyakitkan. "Lo serius?" tanya Sheyra sangsi. "Gue nggak main-main, Shey."Sheyra segera menelisik wajah Arya untuk melihat bagaimana raut wajah pria di depannya itu yang ternyata tampak menunjukkan keseriusan. "Lo ... Nggak punya maksud lain kan, Ar? Kaya aneh aja gitu, lo tiba-tiba m
Seperti ada tangan yang tak kasat mata yang kini sedang meremas jantung Sheyra. Ucapan Pak Rivandi tak hanya membuat Sheyra tersentil, tetapi juga tergores dengan cukup dalam sampai hatinya ikut hancur dan membentuk kepingan-kepingan kecil. 'Murahan'.Satu kata yang telah menghempaskan Sheyra untuk masuk ke dalam jurang yang paling curam. Walau demikian, dalam hatinya pun membenarkan. Dirinya memang seorang wanita yang murahan karena tergoda akan kata-kata receh tetapi memabukkan yang bernama cinta. Setelah pertemuannya dengan orang tua Arya, mereka belum memberikan kepastian apakah mereka setuju untuk menikahkan Sheyra pada putranya, atau justru sebaliknya. Tadi, saat Arya mengantarnya pulang ke kosan, laki-laki itu sempat berpesan bahwa Sheyra tak perlu khawatir akan dirinya. Luka yang kini menghuni wajahnya, tak seberapa sakitnya daripada luka hati yang sedang dirasakan Sheyra. "Jangan terlalu dipikir. Gue gini juga nggak papa. Sakit dikit doang. Anggap aja buat bantu ngurangin