Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden
Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka
Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik
"Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
"Sakit, Ka," keluh Sheyra saat inti tubuhnya yang berada di bawah sana sedang berusaha ditembus oleh kekasihnya, Kafka. Mendengar itu, Kafka seketika menghentikan gerakan mendorongnya dan menatap wajah Sheyra yang kini tampak meringis, menahan sakit. "Maaf ya. Aku janji akan pelan-pelan," bujuk Kafka dengan suara yang begitu lembut, yang telah membuat Sheyra terhipnotis sampai kepalanya pun mengangguk polos. Sejenak, Sheyra bisa menarik napasnya dengan lega saat dorongan itu tak lagi dirasakannya. Dia pun mendongak untuk memindai wajah Kafka yang kini berada di atasnya. Peluh dan keringat pun telah menghias wajah tampannya, yang membuat jemari Sheyra gatal dan bergerak menyeka keringat itu. "Kita .. harus banget lakuin ini ya, Ka?" tanya Sheyra yang segera membuat Kafka mengangguk sambil menyimpan jemari kekasihnya yang tengah menyentuh hidung mancungnya. Dia kecup punggung tangannya beberapa kali sebelum menyimpan kedua lengan Sheyra di masing-masing sisi tubuh kekasihnya. "Aku n
Bohong bila Sheyra berkata tidak masalah mengenai kepergian Kafka ke benua seberang untuk meraih impiannya. Kenyataannya, hal itu hanya terucap di bibirnya saja dan tidak dengan hatinya. Jika boleh meminta, Sheyra ingin Kafka melanjutkan studinya masih dalam tanah air saja, tidak sampai harus ke luar negeri yang jaraknya begitu jauh dari jangkauan. Namun, ketika mendengar Kafka menceritakan segala mimpi-mimpinya yang telah laki-laki itu susun dengan sedemikian rupa, rasanya Sheyra tidak berhak untuk melarang dan mencegahnya. Seperti Kafka yang mempunyai mimpi, begitu juga dengan Sheyra. Dia selalu bermimpi setelah lulus kuliah nanti, Sheyra ingin bekerja dan mengumpulkan uang untuk modal menikah dan bisa hidup bersama Kafka setiap harinya. Menghabiskan waktu bersama, membicarakan tentang semuanya di bawah satu atap yang sama, dan masih banyak impian-impian lainnya yang ingin Sheyra lakukan bersama Kafka. Mungkin karena hanya Kafka, satu-satunya manusia yang bisa Sheyra jadikan sebu
'Pada akhirnya, kita semua butuh pulang pada satu tubuh yang mampu melerai segala jenuh, telinga yang mendengarkan segala keluh kesah yang tertahan, dan membutuhkan pelukan hangat sebagai pengisi tenaga untuk menjalani kehidupan esok dengan baik-baik saja.'"Udah kenyang belum?" tanya Kafka saat Sheyra sudah menghabiskan semangkuk bakso, seblak, cilok, dan yang sedang dimakan Sheyra saat ini adalah telur gulung. Sheyra mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya kemudian mengelus perutnya yang sudah penuh terisi oleh aneka jajanan di pinggir jalan. "Kenyang banget," jawabnya setelah berhasil mengunyah satu tusuk telur gulungnya yang terakhir. "Bisa gendut kalau terus-terusan begini," keluh Sheyra sambil menyeruput minuman manis rasa coklat favoritnya. Kafka yang gemas pun sontak mengacak rambut Sheyra pelan. "Nggak papa. Biar kamu gendut, aku tetep cinta." Mendengar ucapan dari kekasihnya itu pun membuat Sheyra mengulas senyum, merasa bersyukur karena Tuhan telah mengirim seseoran
Sheyra masih setia menatap gerbang kampus di mana calon wisuda dan wisudawan masih terus berdatangan, tentunya bersama orang tua mereka. Dan di antara lalu-lalang orang-orang itu, Sheyra masih berharap jika sosok papanya akan muncul dan memanggil namanya saat mengetahui Sheyra telah menunggu tidak jauh dari sana. Dia masih terus berdoa, berharap papanya mau meluangkan waktunya walaupun itu hanya sebentar dan berharap jika papanya itu mau menebus ketidakhadiran beliau di saat-saat hari terpenting dalam hidup Sheyra. Namun hingga menit demi menit yang berlalu, sosok papa yang selama ini sangat Sheyra rindukan kehadirannya itu tak kunjung menampakkan diri. Hal itu seketika membuat Sheyra teringat pada hari kelulusannya di mana di setiap acara tersebut, sang Papa tidak pernah hadir untuk memberikan apresiasi untuknya. Selalu seperti itu dan Sheyra harus kembali menelan kekecewaan yang begitu dalam. Merasa tidak ada lagi yang bisa Sheyra harapkan, dia pun segera berbalik untuk kemudian