Sheyra masih setia menatap gerbang kampus di mana calon wisuda dan wisudawan masih terus berdatangan, tentunya bersama orang tua mereka. Dan di antara lalu-lalang orang-orang itu, Sheyra masih berharap jika sosok papanya akan muncul dan memanggil namanya saat mengetahui Sheyra telah menunggu tidak jauh dari sana.
Dia masih terus berdoa, berharap papanya mau meluangkan waktunya walaupun itu hanya sebentar dan berharap jika papanya itu mau menebus ketidakhadiran beliau di saat-saat hari terpenting dalam hidup Sheyra.Namun hingga menit demi menit yang berlalu, sosok papa yang selama ini sangat Sheyra rindukan kehadirannya itu tak kunjung menampakkan diri. Hal itu seketika membuat Sheyra teringat pada hari kelulusannya di mana di setiap acara tersebut, sang Papa tidak pernah hadir untuk memberikan apresiasi untuknya. Selalu seperti itu dan Sheyra harus kembali menelan kekecewaan yang begitu dalam.Merasa tidak ada lagi yang bisa Sheyra harapkan, dia pun segera berbalik untuk kemudian berjalan menuju acara kelulusannya diadakan. Namun, saat kakinya baru beberapa kali melangkah, suara seseorang dari arah belakang seketika menghentikannya."Kak Sheyra!"Dan Sheyra tak mampu lagi untuk menahan laju air matanya yang sudah sejak tadi berusaha dia tahan mati-matian. Segera, dia berbalik dan mendapati sosok Radit sudah berada di hadapannya dalam kondisi terengah-engah. Mungkin karena adiknya itu berlari saat memasuki gedung kampusnya."Aku datang. Aku sudah menepati janjiku," ucap Radit sambil membungkukkan badan, mungkin untuk mengatur napasnya yang sedang terengah-engah.Sheyra mengangguk dengan telapak tangan yang sibuk menghalau laju air matanya. "Makasih ya," ucapnya dengan suara gemetar.Mendengar nada suara kakaknya yang berbeda, Radit pun mendongak dan dia mendapati kakaknya itu tengah mengusap kedua pipinya yang tampak basah. "Loh. Kakak kok nangis sih?" seru Radit panik yang membuat Sheyra segera menghentikan tangisannya."Iya nangis bahagia ini," jawab Sheyra tersenyum sendu.Radit tampak mengangguk-angguk. "Jangan nangis lagi, Kak. Bahagia tuh nggak harus nangis. Nih, aku bawain hadiah buat Kakak biar nggak nangis lagi," ucap Radit sambil mengulurkan sebuah buket coklat yang sejak tadi disembunyikannya di balik badan.Sheyra menerima buket berisi coklat dari produk terkenal itu dengan sorot mata yang berbinar cerah. Dia pun menjawabnya. "Wah. Ini coklat kesukaanku. Makasih ya, Dit," seru Sheyra sumringah.Radit tersenyum dan menjawabnya. "Sama-sama. Eh. Btw, happy graduation ya, Kak."Namun, bukannya mengucapkan terimakasih atas ucapan selamat yang di lontarkan adiknya itu, Sheyra justru teringat sesuatu, sehingga memilih untuk menanyakannya lebih dulu. "Eh, Kamu nggak sekolah?" tanya Sheyra heran.Radit tampak menepuk bahu disertai sebuah senyuman jumawa. "Tenang. Aku udah izin guru." Dan Sheyra seketika tertawa melihat bagaimana adiknya itu bertingkah bak pahlawan perjuangan. Ya walaupun, Radit memanglah pahlawan untuknya karena selalu ada di setiap masa-masa gentingnya."Makasih ya, Dit. Kamu udah mau luangin waktu untuk Kakak." Sheyra begitu terenyuh dengan sikap Radit kali ini. Walaupun dirinya dan Radit lahir dari ibu yang berbeda, tetapi Radit tidak pernah menjadikan hal itu sebagai sebuah pembatas antar hubungan persaudaraan yang terjalin. Katanya. 'Kita itu saudara dan Kak Sheyra adalah kakak terbaik sepanjang masa.'"Tapi, Kak—" ucap Radit seperti sengaja menggantung kalimatnya."Kenapa?""Ini nggak gratis ya." Dan Sheyra seketika memutar bola matanya jengah, merasa sudah bisa membaca apa yang diinginkan oleh adiknya itu. Walau demikian, Sheyra tidak merasa keberatan dan memilih menjawabnya dengan. "Iya, nanti aku belikan tiketnya."****Acara perayaan kelulusan itu akhirnya berjalan lancar dan Sheyra telah meraih toga itu. Memang, toga yang dia dapat bukanlah penghargaan tertinggi dalam hidupnya. Namun, toga itulah yang bisa membuktikan bahwa dia sanggup dan mampu menyelesaikan pendidikan sarjananya. Karena toga itulah, dia akan membuktikan pada sang Papa bahwa dia bisa mendapatkan nilai IPK yang tinggi, seperti keinginan papanya dulu.Bisa diakui, Sheyra masuk dalam jajaran lulusan terbaik, walaupun nilai IPK nya masih berada di bawah dari nilai yang di dapat Kafka. Laki-laki itu memiliki nilai yang hampir sempurna. Oleh karena itu, wajar-wajar saja bila Kafka sampai bisa mendapat beasiswa di Australia.Kekasihnya itu memang mampu dan sangat pantas mendapatkan penghargaan beasiswa tersebut. Walaupun, tanpa beasiswa itu pun kedua orang tuanya masih sangat mampu untuk membiayai semua modal pendidikan putranya, tetapi Kafka memiliki prinsip lain dan tidak ingin membebankan seluruh biaya kepada orang tuanya.Oh ya. Mengenai laki-laki itu, karena saat acara sedang berlangsung Sheyra tidak bisa memberikan ucapan selamat secara langsung, maka yang dilakukannya sekarang adalah menunggu Kafka di halaman depan kampus dan membiarkan Radit untuk pulang lebih dulu. Lagipula, tempat tinggal Sheyra dan Radit juga sudah berbeda. Jadi, Sheyra rasa papanya tidak akan bertanya ini dan itu mengenai keterlambatannya pulang. Toh, selama ini papanya tidak pernah peduli entah Sheyra pulang atau tidak ke kostnya."Sheyra!"Sheyra tersentak dari lamunannya. Dia menoleh ke arah sumber suara dan segera dia mendapati sosok Arya tengah berlari kecil ke arahnya disertai senyuman lebar yang terukir di bibir pria tampan itu. "Selamat, Shey. Kamu hebat," ucap Arya ketika telah tiba di hadapan Sheyra.Laki-laki itu mengulurkan tangannya yang segera Sheyra balas dengan jabatan. "Makasih ya, Ar," jawab Sheyra sambil tersenyum hangat.Tidak lama setelah Arya datang, orang tua dari Arya itu pun ikut mendekati Sheyra dan menyapanya dengan ramah."Hai, Sheyra. Selamat atas gelar barunya ya," ucap Tante Hanum, ibu dari Arya yang memang sudah mengenal Sheyra setelah Kafka sering sekali mengajaknya untuk ikut ke rumah Arya."Makasih, Tante," jawab Sheyra tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan.Setelah itu, bergantian papa dari Arya yang mengucapkan selamat atas kelulusan Sheyra. Lalu, mereka berbincang sebentar sebelum kedua orang tua Arya itu pada akhirnya berpamitan lebih dulu. Katanya, ada kepentingan mendadak.Kini, hanya Arya dan Sheyra yang tertinggal di halaman depan kampus itu, sehingga hal itu menciptakan suasana canggung di antara keduanya."Hem!" Sheyra berdehem untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering."Lo ... Nggak bareng Kafka ya, Ar?" tanya Sheyra untuk memecahkan kecanggungan dan pertanyaannya itu justru membuat Arya menatapnya lama dengan pandangan yang sulit terbaca."Nggak," jawab Arya singkat setelah cukup lama terdiam.Sheyra pun menghembuskan napasnya kasar hingga menimbulkan sebuah tanya di benak Arya. "Kenapa? Lo lagi berantem sama dia?" tanya Arya yang seketika mendapatkan gelengan kepala dari Sheyra."Nggak juga sih," jawab Sheyra sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Entah mengapa, hanya berdua bersama Arya membuat perasaannya menjadi gugup. Bukan gugup karena suka, melainkan karena takut akan ada orang lain yang salah paham dan melaporkannya pada Kafka. Sehingga, hal itu bisa menimbulkan pertengkaran di tengah-tengah hubungannya dengan Kafka.Tidak berapa lama, terdengar gumaman panjang dari Arya yang membuat Sheyra sibuk menerka apakah ada yang ingin Arya sampaikan padanya. "Gue ada hadiah buat lo. Maksud gue, buat lo sama Kafka," ucap Arya setelah beberapa lama hanya bergumam."Hadiah apa?" tanya Sheyra antusias, dan hal itu membuat Arya tersenyum cerah untuk kemudian menjawabnya. "Bentar. Gue ambil dulu di mobil."Lalu, Arya pun berjalan menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan. Dia tampak menggapai-gapai barang di dalam mobilnya dan tidak berapa lama, dua box berukuran sedang dia bawa ke hadapan Sheyra."Ini, buat lo," ucapnya sambil mengulurkan satu kotak hadiah berwarna abu tua yang terdapat sebuah pita berwarna biru.Sheyra menerima kotak hadiah tersebut sambil menggumamkan terimakasih pada Arya. Namun, dia justru merasa tidak enak hati karena tak pernah terpikir di benaknya untuk memberikan hadiah pada Arya atas kelulusan laki-laki tersebut. Akhirnya, dia mengeluarkan buket coklat pemberian Radit dari dalam paper bag dan menunjukkannya di hadapan Arya."Lo, suka coklat nggak?" tanyanya terlebih dahulu."Suka. Suka banget malah." Dan jawaban Arya itu membuat Sheyra mengambil beberapa batang coklat dan merusak susunan yang dibuat rapi itu untuk kemudian diberikan pada Arya."Ini, kita tukeran hadiah ya. Tapi, gue cuma bisa kasih ini," ucap Sheyra sambil menyerahkan coklat untuk Arya yang segera diterima oleh laki-laki tampan di hadapannya."Wah. Ini sih coklat kesukaan gue. Makasih ya, Shey. Gue terima hadiahnya nih."Tanpa disadari, interaksi Sheyra dan Arya itu pun tengah diamati oleh sepasang mata yang tengah menatap keduanya dengan penuh curiga. Merasa tidak tahan melihat bagaimana kedekatan keduanya terjalin, sosok itu pun berjalan mendekat dan setelah tiba di hadapan Sheyra, sosok itu langsung melingkarkan lengannya pada pinggang ramping Sheyra dan berkata. "Hadiah buat gue mana, Ar? Masa cuma Sheyra yang dikasih?"Sontak, Sheyra menoleh ke samping dan mendapati wajah Kafka yang begitu dekat dengan wajahnya, hingga hidung Sheyra sampai menyentuh pipi milik Kafka."Kamu habis dari mana sih, Ka?" tanya Sheyra yang ditanggapi Kafka dengan senyuman manis. Setelah itu, Kafka pun mendekat dan mencuri kecup di pelipis Sheyra."Habis dari toilet tadi. Makanya telat nemuin kamunya."Dan Arya yang menyaksikan kemesraan dua insan yang sedang jatuh cinta itu hanya mampu tersenyum nanar karena lagi-lagi harus merasakan bagaimana dadanya itu bergemuruh panas.Bersambung...."Karena mungkin hari ini adalah hari terakhir gue liat lo di Indonesia, jadi gue mau kasih hadiah juga buat lo," ucap Arya tengil dan hal itu tentunya membuat Kafka tertawa. "Seneng banget lo ya, kalau gue mau ke luar negeri?" jawab Kafka, tak urung menerima kotak hadiah yang Arya angsurkan padanya. Kemudian, Kafka pun kembali berkata. "Makasih ya, Ar. Hadiah buat lo, nanti gue kirim via ekspedisi. Semoga sih, nggak transit dulu di DC Cakung ya." Arya pun tertawa begitu juga Sheyra. "Emang, lo mau kasih gue hadiah apa?" tanya Arya penasaran. "Rencananya, gue mau paketin bule Australia buat lo. Biar lo nggak jomblo lagi," ledek Kafka yang membuat Arya seketika mendengkus secara terang-terangan. "Ogah. Gue nggak doyan bule. Gue lebih suka produk lokal karena biasanya lebih unggul," sahut Arya sambil menatap Sheyra, tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena ternyata, Sheyra juga sedang menatapnya sambil tersenyum. Segera, Arya memalingkan muka agar tak terlalu kentara jika produk
~Takdir sengaja dibuat rahasia di luar batas mampu manusia, agar yang berjuang tidak kehilangan semangatnya, dan yang berhasil tidak kehilangan rendah hatinya~Sheyra sudah duduk di kursi panjang berjajar yang disediakan di area terminal keberangkatan internasional untuk menunggu Kafka yang saat ini tengah melakukan check-in. Pesawatnya akan take off tiga jam lagi, tetapi kekasihnya itu harus sudah berada di bandara untuk melakukan berbagai prosedur penerbangan. Sejak tadi, Sheyra tak henti-hentinya menatap ke arah di mana tubuh Kafka menghilang. Dia merasa resah dan gelisah, karena laki-laki itu sudah pergi hampir setengah jam lamanya dan belum juga kembali. Dia hela napasnya kasar untuk kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. Gerak kakinya juga masih mengetuk-ngetuk lantai disertai giginya yang menggigit ujung-ujung kuku guna menghilangkan kegelisahan yang sedang menderanya. Sekitar lima belas menit kemudian, sosok Kafka akhirnya muncul dan hal itu mampu membuat Sheyra bisa
Kafka pergi, bukan berarti Sheyra harus terpuruk setiap hari. Seperti Kafka yang berniat mengejar cita-citanya, maka Sheyra pun akan melakukan hal yang sama. Dia akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang pernah dia pelajari selama empat tahun ini, agar waktu belajarnya selama itu tidak berakhir dengan sia-sia. Setelah dua minggu kepergian Kafka, Sheyra pun mulai mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan yang bisa menjadi naungannya mencari uang. Dan untuk mengisi kekosongan waktunya yang saat ini masih menjadi pengangguran—karena surat lamaran kerjanya belum ada yang di terima, Sheyra akhirnya memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan hal-hal yang positif. Dia berusaha menyibukkan diri dengan melakukan olahraga pagi, membantu ibu kost menyiram bunga, membantu ibu kost membereskan kebun, dan Sheyra pun kembali melakukan hobinya di dunia pemotretan. Ya walaupun dirinya masih belum tergolong sebagai fotografer handal, tetapi di setiap jepretan yang dilakuk
Di Melbourne, Australia. Kafka menatap kesal pada sepupunya karena sudah mengganggu waktunya yang sedang menelepon Sheyra. "Kenapa sih? Mau ngomong hal penting apa sampai kamu masuk ke kamarku tanpa ketuk pintu dulu?" ketus Kafka sambil membanting ponselnya di atas kasur dengan kasar, tentunya setelah panggilan video itu terputus. "Gitu aja kok marah. Lagian, aku gini juga disuruh sama Tante Diana. Katanya, Tante mau ngomong penting sama kamu," jawab Laura, sepupu dari adik sang Papa.Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kafka pun keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan Laura begitu saja. Hal tersebut tentunya membuat gadis yang saat ini sedang menjalani pendidikan kuliah semester empat itu pun mendengkus kencang melihat tingkahnya. "Kenapa, Ma?" tanya Kafka langsung pada intinya, sesaat setelah kakinya tiba di dapur di mana sang Mama berada. Mamanya itu tampak melirik Kafka sekilas sebelum akhirnya memintanya untuk duduk. "Duduk!" titah beliau yang tampak menunjukkan raut ser
Semenjak Kafka berpamitan untuk menutup segala bentuk sosial media guna berkomunikasi jarak jauh, di hari-hari berikutnya itulah, Sheyra harus menjalani hidup sendiri dengan perasaan hampa dan sunyi. Dia benar-benar merasa sendiri tanpa adanya seseorang yang menemani. Bahkan, semenjak acara kelulusannya itu, ayahnya pun tak lagi menghubungi apalagi menemui keberadaan Sheyra saat ini. Sungguh, Sheyra sudah selayaknya anak yang terbuang dan tak diinginkan kehadirannya, pun merasa bila semua orang yang berada di sekitarnya, satu per satu menghilang dari jalan takdir kehidupannya. Hari ini, tepat dua bulan kepergian Kafka dan dalam kurun waktu tersebut, Sheyra merasakan waktu berjalan dengan sangat lama. Mungkin juga karena gairah hidupnya yang tak lagi menggebu-gebu seperti sediakala. Dia telah kehilangan semangat dalam hidupnya. Siang itu, sang Bentala di guyur hujan lebat disertai angin yang tak terlalu kencang, tetapi kekuatannya itu mampu menerbangkan titik-titik hujan hingga seti
Mungkin, ini merupakan akhir bagi Sheyra untuk bertahan hidup karena dia sudah tidak tahu lagi harus bertindak seperti apa kedepannya. Karena hamil tanpa suami dan tanpa sebuah ikatan pernikahan yang sah, merupakan pukulan telak baginya. Pernah terbesit dalam pikirannya, haruskah dia menggugurkan kandungannya? Atau justru, lebih baik mengakhiri hidupnya sendiri? Namun, saat keinginan itu sudah benar-benar bulat, seketika hati kecilnya berkata bahwa hal itu akan semakin membawanya ke dalam neraka. Sudah membuat calon bayinya tiada, belum lagi dirinya yang berniat mengakhiri hidup, yang tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan dari Tuhan. Akhirnya yang bisa dia lakukan sekarang ini hanyalah mengurung diri di dalam kamar kost dan akan keluar saat bahan makanan untuk bertahan hidup telah habis. Sudah terhitung hampir satu bulan Sheyra melakukan hal tersebut dan perbuatannya itu tentu akan menguras isi tabungannya secara perlahan-lahan. Terbukti, uang tabungannya itu
Bukan tanpa sebab Arya mengucapkan hal demikian, walaupun ucapannya itu terkesan terlalu spontan. Tujuan Arya yang semula ingin memeriksa keadaan Sheyra karena sudah beberapa bulan tak ada kabar itu pun seketika berubah saat melihat beberapa alat test kehamilan yang berceceran di atas kasur juga lantai. Mungkin karena Arya adalah salah satu orang yang diam-diam menyukai perempuan itu, pun sampai terkejut sampai merasakan jika dunianya saat itu benar-benar runtuh. Dia tidak menyangka bahwa kekhawatirannya selama ini benar-benar menjadi nyata. Kini, saat sosok Sheyra telah berada di depan mata dalam kondisi yang begitu memprihatinkan, seketika Arya seperti ikut merasakan sakit yang Sheyra rasakan juga. Mendengar ajakannya untuk menikah itu, Sheyra seketika menjauhkan wajah dan melepas pelukan yang Arya berikan hingga membuatnya kehilangan hangat yang sempat menjalar di seluruh sel otaknya. "Gila lo," umpat Sheyra yang kini memilih bangkit dan bergerak memunguti beberapa pakaiannya
Jawaban dari Arya itu belum membuat Sheyra merasa puas. Dia masih ingin menggali akan tujuan Arya mau menikahinya padahal sudah jelas-jelas jika dirinya sudah tak suci lagi. "Bagaimana jika Kafka kembali dan gue tetap nggak mau balik ke dia? Itu berarti, gue bakal jadi beban buat lo seumur hidup. Bahkan, anak yang lahir dari rahim gue juga bakal jadi beban lo," tanya Sheyra yang segera ditanggapi Arya dengan senyuman simpul. "Nggak papa." Gue justru bahagia kalau akhirnya lo bakal milih gue. Lanjut Arya yang sayangnya hanya diucapkan dalam hati. Namun jika memang suatu hari nanti Sheyra berniat kembali kepada Kafka, maka Arya akan melepasnya, walaupun dia tahu mungkin hal itu akan sangat berat dan menyakitkan. "Lo serius?" tanya Sheyra sangsi. "Gue nggak main-main, Shey."Sheyra segera menelisik wajah Arya untuk melihat bagaimana raut wajah pria di depannya itu yang ternyata tampak menunjukkan keseriusan. "Lo ... Nggak punya maksud lain kan, Ar? Kaya aneh aja gitu, lo tiba-tiba m
"Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik
Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka
Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden
Setelah memungut buket bunga dan kotak beludru yang sudah terlanjur jatuh ke lantai, Arya pun langsung berjalan cepat meninggalkan kamar Aksa—untuk kemudian pergi dari rumah dan memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah menyempatkan waktu di saat pekerjaannya sedang menumpuk hanya demi memberikan kejutan pada Sheyra. Namun yang dia dapat setelahnya justru hanya perasaan kecewa. "Harusnya, aku nggak perlu sekecewa ini 'kan? Bukankah aku sudah tahu sejak awal lalu Sheyra memang nggak pernah cinta aku?" monolog Arya yang kemudian memukul stir mobilnya kencang sebagai bentuk pelampiasan. Berbeda halnya dengan Sheyra, perempatan itu justru malah mematung sambil memandangi ambang pintu kamar yang masih dalam kondisi terbuka. "Apa itu tadi? Apakah Arya berniat memberiku buket bunga dan..." Ucapannya tak selesai karena terlalu terkejut akan kehadiran Arya yang datang tiba-tiba, lalu pergi dengan tindakan yang sama. "Kenapa aku lihat ada kotak beludru yang jatuh?" gumamnya lagi yang k
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A
Beberapa hari yang lalu saat Kafka mengatakan bahwa suaminya bersama Aster telah bermain kuda-kudaan, saat itu juga Bu Diana tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Walaupun, setelah itu Kafka menjelaskannya bahwa 'kuda-kudaan' yang putranya itu maksud ialah bermain catur di dalam ponsel milik suaminya. Namun tetap saja, sebagai seseorang yang sudah memiliki pengalaman hidup selama hampir lima puluh tahun, tentunya tidak akan mudah dibodohi dan langsung menelan ucapan Kafka mentah-mentah. Jujur saja, Bu Diana merasa memang ada yang tidak beres di antara suaminya itu dengan Aster karena keduanya sempat berada di dalam apartemen hanya berdua, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Kecurigaan beliau pun semakin bertambah kala Bu Diana melihat wajah suaminya itu yang terlihat membiru, seperti baru mendapatkan pukulan di tulang pipinya. Saat Bu Diana bertanya mengenai penyebab wajah suaminya itu tampak membiru, Pak Hardy pun memberikan alasan bahwa itu terjadi karena beliau tidak sengaja t
Sebenarnya, Sheyra tidak berniat menguping pembicaraan sang Papa dengan ibu tirinya. Dia hanya ingin menghampiri beliau untuk meminta papanya bergabung dalam kegiatan makan bersama siang itu. Ketika dia tiba di meja makan dan tidak menemukan keberadaan papanya di sana, dengan segera Sheyra pun mencari beliau, lalu menemukannya di teras samping rumah. "Papa?" panggil Sheyra melirih saat melihat sang Papa tampak sedang berbincang dengan seseorang di dalam ponselnya. Mungkin, panggilannya itu tidak didengar karena papanya itu tak menoleh. Namun, biarkan saja. Sheyra ingin memberikan waktu pada papanya untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana yang bisa Sheyra duga jika itu merupakan ibu tirinya—terbukti dari panggilan 'Mama dan Papa' yang tersemat dalam percakapan tersebut. Karena posisi Sheyra yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat papanya saat ini, dia pun samar-samar mendengar topik pembicaraan yang ada. Dan ketika papanya itu berkata bahwa beliau sedang bermain golf be
Di hari Minggu siang itu, suasana rumah cukup sibuk sebab orang-orang sedang turut mempersiapkan acara aqiqah untuk Aksa. Ada Disa dan suaminya, bahkan Pak Anjasmara dan Radit pun ikut membantu persiapan acara untuk nanti malam tersebut. Ya. Semenjak hari di mana Sheyra bertemu tidak sengaja dengan papanya, semenjak itu juga hubungannya dengan sang Papa membaik. Tak jarang, saat beliau mengajak Sheyra bertemu, Raditya jug ikut sehingga hubungan yang telah ada itu pun kembali terjalin dengan sangat baik. "Udah, kamu duduk aja. Baru lahiran tuh nggak boleh sampai kecapekan," suruh Disa ketika melihat Sheyra yang terlihat mondar-mandir membawa piring dan gelas yang akan digunakan nanti malam. "Cuma piring sama gelas doang kok, Kak. Nggak bikin capek juga," jawab Sheyra tidak merasa keberatan. "Ya tapi tetep aja, Shey. Kamu masih nggak boleh angkat yang berat-berat dulu," keluh Disa tampak menunjukkan raut kesalnya. "Kenapa sih, ribut-ribut." Arya yang entah datang dari mana itu pun