Di Melbourne, Australia.
Kafka menatap kesal pada sepupunya karena sudah mengganggu waktunya yang sedang menelepon Sheyra."Kenapa sih? Mau ngomong hal penting apa sampai kamu masuk ke kamarku tanpa ketuk pintu dulu?" ketus Kafka sambil membanting ponselnya di atas kasur dengan kasar, tentunya setelah panggilan video itu terputus."Gitu aja kok marah. Lagian, aku gini juga disuruh sama Tante Diana. Katanya, Tante mau ngomong penting sama kamu," jawab Laura, sepupu dari adik sang Papa.Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kafka pun keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan Laura begitu saja. Hal tersebut tentunya membuat gadis yang saat ini sedang menjalani pendidikan kuliah semester empat itu pun mendengkus kencang melihat tingkahnya."Kenapa, Ma?" tanya Kafka langsung pada intinya, sesaat setelah kakinya tiba di dapur di mana sang Mama berada.Mamanya itu tampak melirik Kafka sekilas sebelum akhirnya memintanya untuk duduk. "Duduk!" titah beliau yang tampak menunjukkan raut serius.Kafka hela napasnya pelan, sebelum akhirnya menurut pada titah mamanya. "Kenapa sih, Ma?" tanyanya sedikit kesal."Setelah ada di sini, Mama amati, ternyata kamu lebih suka menghabiskan waktu kamu di dalam kamar. Bahkan, setelah kamu pulang kuliah dan entah dari mana, yang selalu kamu tuju itu kamar. Memangnya, di kamar ada apa sampai kamu dibuat betah seperti itu?" Bu Diana tampak tak suka dengan sikap yang ditunjukkan Kafka akhir-akhir ini selama beberapa Minggu tinggal di Melbourne."Mama dan Papa jauh-jauh dari Indonesia bahkan sampai beli apartemen dan mobil di sini, kalau bukan untuk kamu, untuk siapa lagi? Tapi, kamu yang kami perjuangkan justru seperti tak peduli dan lebih suka menghabiskan waktumu di dalam kamar, daripada bercengkerama dengan Mama dan Papa—""Bukan begitu maksud Kafka, Ma," sela Kafka yang membuat mamanya itu mengangkat tangan, pertanda jika Kafka tak boleh menyela ucapan beliau.Mamanya itu tampak terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak Kafka ketahui. Sampai beliau pun akhirnya kembali membuka suara dan membuat Kafka gelagapan sendiri. "Kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?" tanya sang Mama terdengar mengintimidasi.Menunduk, Kafka pun mengangguk membenarkan tuduhan sang Mama padanya. Sontak saja, beliau terkekeh sinis sebelum akhirnya kembali bersuara. "Tinggalkan perempuan seperti dia. Fokuslah dengan pendidikan kamu, Ka.""Ma? Aku nggak bisa. Dia—""Baru pacar 'kan?" sela Bu Diana, seakan tahu kalimat apa yang akan putranya berikan sebagai alasan."Aku nggak bisa, Ma. Aku udah dewasa dan udah tahu apa yang aku butuhkan. Dan Sheyra, dia adalah seseorang yang aku butuhkan juga. Dia yang membuatku bersemangat setiap harinya," jawab Kafka tanpa menghilangkan sedikit pun rasa hormatnya pada wanita yang telah melahirkannya itu.Bu Diana tertawa kencang mendengar penuturan Kafka. Tawa yang terdengar bagaikan sebuah ejekan, seakan ucapan Kafka hanyalah sebuah candaan semata. "Kamu bilang, perempuan itu yang buat kamu bersemangat? Dia udah kasih kamu apa aja sampai kamu bisa bilang gitu di depan Mama? Lalu, apa kabar Mama dan Papa yang rela merintis usaha di sini hanya untuk membuat kamu tak merasa sendirian tinggal di negara asing? Apa itu nggak cukup membuat kamu bersemangat?"*****Sekuat apapun Sheyra berusaha untuk berpikir positif tentang Kafka yang kini jauh di sana, tetap saja pikiran buruk berjejalan menghampiri. Kekhawatirannya meningkat saat menyadari bahwa dirinya sudah tak gadis lagi, karena kegadisannya itu telah ia serahkan pada Kafka.Sheyra takut bila Kafka akan meninggalkan dirinya dalam keadaan 'seperti itu', dan itu berarti jika tidak akan ada lagi laki-laki yang mau menikahinya setelah tahu bila Sheyra sudah tak perawan lagi. Sebab, tinggal di Indonesia itu selalu menjunjung tinggi kehormatan dan martabat seorang wanita.Kemudian, bila seorang perempuan menikah dalam keadaan masih gadis, maka hal itu merupakan pencapaian tertinggi di masyarakat yang sulit sekali di lakukan di zaman yang apa-apa sudah dianggap mitos."Tenang, Shey. Mungkin itu saudara jauh atau apalah. Kafka nggak mungkin cari yang baru," monolog Sheyra untuk menenangkan diri sendiri.Keesokan harinya, Sheyra mencoba untuk kembali menghubungi Kafka karena semalaman nomor kekasihnya itu tidak aktif. Bahkan, Kafka sampai melupakan rutinitasnya setiap hari yaitu melakukan panggilan video sebelum tidur.Di percobaan panggilan yang pertama dan kedua, nomor telepon Kafka masih belum bisa dihubungi. Namun, Sheyra tak langsung menyerah. Dia membiarkan ponselnya tergeletak untuk beberapa saat guna memberikan jeda barangkali sinyalnya buruk.Sampai beberapa detik kemudian, ponselnya pun akhirnya menyala-nyala, menampilkan nama Kafka sebagai sang Penelepon.Dengan mata yang berbinar cerah, Sheyra pun tergesa-gesa memencet ikon hijau sampai panggilan suara itu terhubung. "Halo, Ka? Kamu kenapa semalam nggak nelepon? Padahal, aku nungguin loh. Terus, kemarin itu, suara perempuan, dia siapa? Aku berhak tahu kan, Ka?" cecar Sheyra yang langsung memberondong Kafka dengan banyak pertanyaan.Terdengar kekehan renyah di seberang sana yang membuat Sheyra seketika mencebikkan bibirnya kesal. Dia tidak suka Kafka yang bersikap santai padahal dirinya sudah begitu panik dan khawatir.[Maaf karena kemarin aku banyak banget tugas. Jadi, nggak bisa sleep call.] jawab Kafka."Terus, suara perempuan itu ... Siapa?" lirih Sheyra takut dianggap terlalu posesif dan cemburuan.[Dia sepupuku yang kebetulan kuliah S1 di sini. Orang tuanya juga tinggal di sini]Sheyra tampak mengangguk-angguk walau gerakannya itu mungkin tidak akan pernah Kafka lihat. "Oh, kamu punya sepupu dan aku nggak pernah tau."Seketika, Sheyra baru menyadari jika Kafka memang tak pernah mengenalkannya kepada keluarga Kafka. Padahal, hubungan yang terjalin antara Sheyra dan Kafka sudah berjalan sejak bertahun-tahun lamanya.[Shey?]Panggilan dari seberang itu membuat Sheyra tersentak dari lamunan. "Ya? Kenapa?" tanyanya refleks.Kafka terdengar bergumam panjang, seperti bingung ingin memulai kalimatnya dari mana. Setelah menunggu beberapa saat lamanya, akhirnya Kafka pun kembali membuka suara.[Kayaknya, aku bakal off semua sosial mediaku deh. Kata Mama, aku di suruh fokus belajar biar dalam waktu satu setengah tahun itu udah lulus.]Butuh jeda bagi Sheyra untuk mencerna kalimat yang terucap dari Kafka di seberang sana. "Tapi, kamu nggak berniat untuk off komunikasi kita juga 'kan?" tanyanya setelah beberapa detik diam.Tidak ada sahutan, yang membuat Sheyra langsung menyimpulkannya jika Kafka memang berniat melakukan hal tersebut. "Jawab, Ka!" tuntut Sheyra dengan tak sabaran.[Aku bakal off segala sosial media termasuk itu.][Kamu jangan salah paham dulu. Aku melakukan ini agar kita bisa cepat bersama. Aku harap, kamu masih tetap menungguku selama apapun itu. Karena suatu hari nanti setelah aku pulang dari Melbourne, aku berjanji untuk menemui kamu lebih dulu. Kita akan hidup bersama dengan bahagia karena saat itu, aku berniat untuk menikahi kamu.]Sheyra terkekeh getir mendengar penjelasan panjang lebar Kafka yang masih belum jelas kenyataannya. Satu setengah tahun? Itu masih sangat lama, dan Sheyra harus menunggu selama itu? Tanpa melakukan komunikasi apapun?"Kamu nggak lagi ingin kabur dari hubungan kita 'kan, Ka?" tuduh Sheyra kecewa.[Nggak, Shey. Please! Kamu harus janji untuk nunggu sampai aku pulang. Aku nggak mau saat aku pulang nanti, ternyata kamu udah sama yang lain.]Walau Sheyra bisa mendengar nada resah yang diutarakan Kafka, tetap saja Sheyra tidak mau tahu dengan semuanya. Mungkin, dia masih bisa menerima bila hubungannya harus mengalami hubungan jarak jauh, tetapi jika tanpa komunikasi? Oh tidak! Sheyra rasa, dia tidak sanggup untuk melakukannya."Aku nggak janji karena kita nggak tahu ke depannya akan seperti apa," jawab Sheyra yang kemudian terdengar geraman frustasi di seberang sana.Bersambung ..Semenjak Kafka berpamitan untuk menutup segala bentuk sosial media guna berkomunikasi jarak jauh, di hari-hari berikutnya itulah, Sheyra harus menjalani hidup sendiri dengan perasaan hampa dan sunyi. Dia benar-benar merasa sendiri tanpa adanya seseorang yang menemani. Bahkan, semenjak acara kelulusannya itu, ayahnya pun tak lagi menghubungi apalagi menemui keberadaan Sheyra saat ini. Sungguh, Sheyra sudah selayaknya anak yang terbuang dan tak diinginkan kehadirannya, pun merasa bila semua orang yang berada di sekitarnya, satu per satu menghilang dari jalan takdir kehidupannya. Hari ini, tepat dua bulan kepergian Kafka dan dalam kurun waktu tersebut, Sheyra merasakan waktu berjalan dengan sangat lama. Mungkin juga karena gairah hidupnya yang tak lagi menggebu-gebu seperti sediakala. Dia telah kehilangan semangat dalam hidupnya. Siang itu, sang Bentala di guyur hujan lebat disertai angin yang tak terlalu kencang, tetapi kekuatannya itu mampu menerbangkan titik-titik hujan hingga seti
Mungkin, ini merupakan akhir bagi Sheyra untuk bertahan hidup karena dia sudah tidak tahu lagi harus bertindak seperti apa kedepannya. Karena hamil tanpa suami dan tanpa sebuah ikatan pernikahan yang sah, merupakan pukulan telak baginya. Pernah terbesit dalam pikirannya, haruskah dia menggugurkan kandungannya? Atau justru, lebih baik mengakhiri hidupnya sendiri? Namun, saat keinginan itu sudah benar-benar bulat, seketika hati kecilnya berkata bahwa hal itu akan semakin membawanya ke dalam neraka. Sudah membuat calon bayinya tiada, belum lagi dirinya yang berniat mengakhiri hidup, yang tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan dari Tuhan. Akhirnya yang bisa dia lakukan sekarang ini hanyalah mengurung diri di dalam kamar kost dan akan keluar saat bahan makanan untuk bertahan hidup telah habis. Sudah terhitung hampir satu bulan Sheyra melakukan hal tersebut dan perbuatannya itu tentu akan menguras isi tabungannya secara perlahan-lahan. Terbukti, uang tabungannya itu
Bukan tanpa sebab Arya mengucapkan hal demikian, walaupun ucapannya itu terkesan terlalu spontan. Tujuan Arya yang semula ingin memeriksa keadaan Sheyra karena sudah beberapa bulan tak ada kabar itu pun seketika berubah saat melihat beberapa alat test kehamilan yang berceceran di atas kasur juga lantai. Mungkin karena Arya adalah salah satu orang yang diam-diam menyukai perempuan itu, pun sampai terkejut sampai merasakan jika dunianya saat itu benar-benar runtuh. Dia tidak menyangka bahwa kekhawatirannya selama ini benar-benar menjadi nyata. Kini, saat sosok Sheyra telah berada di depan mata dalam kondisi yang begitu memprihatinkan, seketika Arya seperti ikut merasakan sakit yang Sheyra rasakan juga. Mendengar ajakannya untuk menikah itu, Sheyra seketika menjauhkan wajah dan melepas pelukan yang Arya berikan hingga membuatnya kehilangan hangat yang sempat menjalar di seluruh sel otaknya. "Gila lo," umpat Sheyra yang kini memilih bangkit dan bergerak memunguti beberapa pakaiannya
Jawaban dari Arya itu belum membuat Sheyra merasa puas. Dia masih ingin menggali akan tujuan Arya mau menikahinya padahal sudah jelas-jelas jika dirinya sudah tak suci lagi. "Bagaimana jika Kafka kembali dan gue tetap nggak mau balik ke dia? Itu berarti, gue bakal jadi beban buat lo seumur hidup. Bahkan, anak yang lahir dari rahim gue juga bakal jadi beban lo," tanya Sheyra yang segera ditanggapi Arya dengan senyuman simpul. "Nggak papa." Gue justru bahagia kalau akhirnya lo bakal milih gue. Lanjut Arya yang sayangnya hanya diucapkan dalam hati. Namun jika memang suatu hari nanti Sheyra berniat kembali kepada Kafka, maka Arya akan melepasnya, walaupun dia tahu mungkin hal itu akan sangat berat dan menyakitkan. "Lo serius?" tanya Sheyra sangsi. "Gue nggak main-main, Shey."Sheyra segera menelisik wajah Arya untuk melihat bagaimana raut wajah pria di depannya itu yang ternyata tampak menunjukkan keseriusan. "Lo ... Nggak punya maksud lain kan, Ar? Kaya aneh aja gitu, lo tiba-tiba m
Seperti ada tangan yang tak kasat mata yang kini sedang meremas jantung Sheyra. Ucapan Pak Rivandi tak hanya membuat Sheyra tersentil, tetapi juga tergores dengan cukup dalam sampai hatinya ikut hancur dan membentuk kepingan-kepingan kecil. 'Murahan'.Satu kata yang telah menghempaskan Sheyra untuk masuk ke dalam jurang yang paling curam. Walau demikian, dalam hatinya pun membenarkan. Dirinya memang seorang wanita yang murahan karena tergoda akan kata-kata receh tetapi memabukkan yang bernama cinta. Setelah pertemuannya dengan orang tua Arya, mereka belum memberikan kepastian apakah mereka setuju untuk menikahkan Sheyra pada putranya, atau justru sebaliknya. Tadi, saat Arya mengantarnya pulang ke kosan, laki-laki itu sempat berpesan bahwa Sheyra tak perlu khawatir akan dirinya. Luka yang kini menghuni wajahnya, tak seberapa sakitnya daripada luka hati yang sedang dirasakan Sheyra. "Jangan terlalu dipikir. Gue gini juga nggak papa. Sakit dikit doang. Anggap aja buat bantu ngurangin
"Arya!" Panggilan dari mamanya itu membuat Arya menoleh, meninggalkan kegiatannya sejenak yang sedang mengotak-atik mesin kopi demi menghasilkan satu cangkir minuman favoritnya itu. "Ya ... Ma?" jawab Arya mengerjap bingung. Pasalnya, sudah dua hari ini sang Mama dan Papa telah mengabaikannya dan malam itu merupakan malam penuh keajaiban karena mamanya mau menyapa lebih dulu. "Kamu lagi buat kopi? Malam-malam begini? Ya bener aja!" Akibat terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Arya sampai tidak menyadari jika mamanya itu ternyata sudah berdiri di sebelah posisinya berdiri saat ini. Arya kembali mengerjap pelan lagi dan hal itu membuat Bu Hanum terang-terangan mendengkus kencang. "Kamu kenapa jadi telmi gini sih?""Maaf, Ma. Arya lagi bingung aja sama sikap Mama yang udah baik lagi ke Arya," jawab Arya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Hal itu pun membuat Bu Hanum tak kuasa menahan tangannya untuk memukul lengan putranya itu. "Oh, jadi kamu mau Mama diemin terus? Gi
—__Penantian ini akhirnya tak benar-benar usai ketika kau yang jauh di sana tak pernah memberikan kepastian. Memang terdengar begitu egois karena di sana kau sedang merajut asa, tetapi keadaan ku saat ini tak memungkinkan untuk menunggumu lebih lama. Satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa keputusanku kali ini merupakan sebuah kegentingan karena tak memiliki jalan lain yang pasti. Sebab, aku harus terombang-ambing sendirian dalam kerasnya kehidupan dan aku akui, aku tak sanggup menahannya lebih lama lagi. Aku tetap kalah pada keadaan yang membuatku tak karuan sehingga mengingkari janji yang telah bertali pati. Untuk kekasih pujaan hati..Aku rasa, semuanya sudah cukup sampai di sini. Entah kau akan kembali atau tidak di suatu hari nanti, aku harap kau bisa mengerti.__—___________"Ada apa sih, sampai Kak Sheyra datang dengan membawa rombongan?" tanya Radit terheran-heran melihat Arya yang Radit ketahui merupakan teman dari pacar kakaknya. Dan yang membuat kepalanya semakin berputar
Memangnya, apa yang Sheyra harapkan dari pertemuannya dengan sang Papa? Berharap jika papanya itu bersedia menjadi wali nikahnya? Tentu saja hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Malahan, Sheyra justru menemui kenyataan yang lebih pahit dari perkiraannya selama ini. Sang Papa dengan terang-terangan mengatakan bahwa beliau tak lagi menganggap dirinya sebagai seorang anak. Ingin meratapi nasib hidupnya, tetapi Sheyra sudah tak punya tenaga. Akhirnya, yang bisa dia lakukan saat ini adalah mengikuti alur kehidupan yang telah Tuhan buat untuknya. Seperti pagi di keesokan harinya, Sheyra hanya sanggup pasrah jika hari itu dia akan resmi menikah dengan Arya, seseorang yang tidak pernah dirinya inginkan dan harapkan akan menjadi pendamping dalam perjalanan hidupnya. Tidak ada pesta mewah dan meriah seperti pesta pernikahan yang selama ini Sheyra idam-idamkan. Semua berjalan dengan datar dan hatinya yang tak merasa bergetar saat kalimat ijab qobul itu menggema dari mulut Arya. Sheyra han