Memangnya, apa yang Sheyra harapkan dari pertemuannya dengan sang Papa? Berharap jika papanya itu bersedia menjadi wali nikahnya? Tentu saja hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Malahan, Sheyra justru menemui kenyataan yang lebih pahit dari perkiraannya selama ini. Sang Papa dengan terang-terangan mengatakan bahwa beliau tak lagi menganggap dirinya sebagai seorang anak. Ingin meratapi nasib hidupnya, tetapi Sheyra sudah tak punya tenaga. Akhirnya, yang bisa dia lakukan saat ini adalah mengikuti alur kehidupan yang telah Tuhan buat untuknya. Seperti pagi di keesokan harinya, Sheyra hanya sanggup pasrah jika hari itu dia akan resmi menikah dengan Arya, seseorang yang tidak pernah dirinya inginkan dan harapkan akan menjadi pendamping dalam perjalanan hidupnya. Tidak ada pesta mewah dan meriah seperti pesta pernikahan yang selama ini Sheyra idam-idamkan. Semua berjalan dengan datar dan hatinya yang tak merasa bergetar saat kalimat ijab qobul itu menggema dari mulut Arya. Sheyra han
Sepertinya, semesta sedang berpihak pada Arya karena dalam waktu sekejap, seseorang yang dicintainya telah menjadi bagian dalam perjalanan hidupnya. Dia Asheyra Saraswati. Seorang gadis yang telah berhasil menggetarkan hatinya bahkan saat di awal perjumpaan. Arya sempat berpikir bila perasaan yang tumbuh di hatinya itu salah mengingat bahwa Sheyra merupakan kekasih Kafka yang laki-laki itu kenalkan beberapa tahun silam. Pun demikian, tak ada keinginan Arya untuk merebut Sheyra dari Kafka walau keinginan itu mencuat dengan begitu besarnya. Namun ketika melihat bahwa perempuan yang dicintainya sedang tidak berdaya, Arya tentu tidak bisa terima. Apalagi bila penyebab ketidakberdayaannya itu dikarenakan oleh Kafka, seseorang yang bertahun-tahun selalu Arya anggap sebagai saingan walaupun kenyataannya, Arya memang sudah kalah lebih dulu sebelum berjuang. Kini, saat Arya sudah mempunyai kesempatan, bukankah lebih baik dimanfaatkan?Anggap saja dia hadir di tengah hubungan Kafka dan Sheyr
Sheyra memindai pandangannya dengan canggung pada ibu dan ayah mertuanya yang tampak saling lirik dan seperti sedang berbicara melalui telepati. Dia jadi berpikir bahwa penyebab keduanya bersikap seperti itu ialah karena kehadiran dirinya di meja makan pagi itu. Sebagai penghuni baru di salah satu kursi makan yang semula kosong itu, tentunya membuat Sheyra tersinggung apalagi bila mengingat hubungannya dengan mertua yang kurang baik,bahkan saat awal perjumpaannya. "Aku ke kamar dulu, Ar. Aku rasa, perutku belum lapar," ucap Sheyra berniat undur diri. "Apa mau makan di kamar aja, Shey? Kalau iya, biar Bibi yang mengantarnya naik," tawar Arya yang segera membuat kepala Sheyra menggeleng. "Nggak usah. Nanti aku turun lagi kok," jawab Sheyra tak sepenuhnya berbohong. Mungkin, entah nanti pukul berapa, atau menunggu penghuni rumah sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Sheyra baru akan turun untuk sarapan. Karena bagaimana pun, dia tidak mungkin melewatkan hal sepenting itu bagi
Sheyra menoleh ketika melihat pintu kamar terbuka dan tidak berapa lama, Arya muncul dari sela pintu yang terbuka itu dengan membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. "Arya..." Sheyra mengerjap pelan saat Arya tiba-tiba meletakkan nampan tersebut di atas meja kemudian menyodorkan padanya yang saat itu sedang duduk bersila di atas sofa. "Makan dulu. Jangan lupa habiskan susunya juga," titah Arya menatap Sheyra dengan serius. "Tapi, aku—""Jangan banyak alasan, Shey. Selain nyawamu sendiri, ada nyawa lain yang harus kamu jaga. Jadi, jangan bersikap egois," sela Arya cepat. Mendengar itu, Sheyra tersenyum haru, tidak menyangka jika Arya akan se perhatian itu. "Aku akan makan. Tapi susunya, aku nggak boleh minum susu sembarangan, Ar." Mendadak, Sheyra merasa tak enak hati karena berniat menolak susu yang diberikan oleh Arya. "Itu susu untuk ibu hamil kok. Tadi, aku minta Bibi beli di mini market sebelah," beritahu Arya menjelaskan. Baru, saat itu Sheyra berani meminum susu yang
Tak membutuhkan waktu lama bagi Sheyra untuk segera akrab dengan ibu mertuanya. Terlebih lagi, baik Pak Rivandi maupun Bu Hanum, keduanya sudah sama-sama mau menerima kehadirannya di rumah besar itu. Sungguh, kali ini Sheyra seperti merasa telah berada di tempat yang tepat, walaupun keberadaannya di sana diawali dengan sebuah kebohongan. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah berdoa agar kebohongannya akan selalu tertutupi dan tidak terbongkar di kemudian hari. Sheyra tidak bisa membayangkan seandainya suatu hari nanti, ayah dan ibu mertuanya mengetahui ayah biologis anak yang di kandungnya. Pasti, keduanya akan sangat marah dan kecewa. "Mikir apa sih, Shey? Kenapa suka melamun terus?" Pertanyaan dari Arya itu membuat Sheyra tersenyum tipis. Dia yang tidak berniat mengatakan apa yang sedang ada dalam pikiran pun memilih mencari topik pembicaraan lain. "Kamu udahan mandinya?" tanya Sheyra sambil menelisik penampilan Arya yang sudah tampak segar dengan kondisi rambutnya yang basah. "
Pagi kembali tiba untuk membangunkan orang-orang agar melakukan aktifitas monotonnya. Namun, berbeda dengan Arya yang justru masih bertahan di atas ranjang dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ya. Malam tadi Sheyra tidur seranjang dengan Arya dan hanya dibatasi dengan guling yang diletakkan di tengah-tengah ranjang. Tidak ada adegan romantis layaknya pasangan muda maupun adegan panas layaknya pengantin baru. Baik Sheyra maupun Arya sama-sama tertidur pulas dalam mimpinya. "Arya? Udah siang. Bangun," ucap Sheyra ketika dia telah selesai mengenakan pakaian sehabis mandi. "Eung." Arya hanya membalikkan tubuhnya sambil mengerang pelan. Sepertinya enggan terbangun mengingat pagi ini hujan sedang mengguyur kota. "Arya!" Kali ini Sheyra mengatakannya dengan lebih lantang agar suaminya itu bisa mendengarnya dengan baik. "Apa sih, Shey?" gumam Arya terdengar tak jelas. Decakan kesal pun keluar dari mulut Sheyra. Dia gemas karena usahanya untuk membangunkan Arya seakan ha
"Apa ini?" tanya Utari kepada Raditya sambil menunjukkan sebuah foto di dalam layar ponselnya yang menyala. Melihat itu, mata Radit pun sontak membola. Dia terkejut bukan main saat kegiatannya di hari Minggu kemarin telah tercium oleh sang Mama. "Mama dapat darimana?" tanya Radit agak kesal karena sang Mama seperti tak pernah muda saja. Di dalam layar ponsel mamanya itu, terdapat sebuah foto dirinya bersama 'calon kekasih'—masih calon karena Radit sedang dalam masa pendekatan, yang sedang bergandengan tangan memasuki sebuah bioskop. Tidak ada yang salah menurut Radit. Tingkahnya masih wajar dengan lawan jenis. "Nggak penting Mama dapet dari mana karena penjelasan kamulah yang lebih penting." Sang Mama tampak menyilangkan duduknya sambil kedua lengannya dilipat di depan dada. Radit yang posisinya saat ini sedang berdiri menghadap sang Mama, mendadak butuh pegangan karena kakinya terasa bergetar bila mamanya itu mulai ikut campur dan mengulik urusan pribadinya. Akhirnya, dia putusk
"Masih banyak kerjaan ya, Bi?" tanya Sheyra saat baru tiba di dapur. Dia bisa melihat bagaimana tangan Bu Arum begitu cekatan mengolah makanan untuk sarapan sekeluarga. "Nggak, Non. Tinggal kasih santen di buburnya sama goreng kacang kedelainya kok," jawab Bi Arum tersenyum ramah. Ya. Menu sarapan yang dibuat Bibi pagi itu ialah bubur ayam. Dari baunya, Sheyra seperti sudah bisa menebak jika rasanya sangatlah enak. Belum lagi kuah kuning sebagai bumbu untuk bubur itu, membuat Sheyra sampai menelan ludah saking ingin memakannya. Namun, dia harus menahan sampai beberapa menit ke depan, setidaknya sampai Bi Arum menyajikannya di atas meja dan menunggu ayah serta ibu mertuanya tiba. "Belum buat teh ya, Bi?" tanya Sheyra ketika melihat nampan yang biasa digunakan untuk menaruh cangkir teh di atas meja makan masih tampak bersih dan tersimpan rapi pada rak di samping kitchen sink. Beberapa hari tinggal di rumah itu membuat Sheyra sedikit tahu jika setiap kali sarapan, pasti harus ada teh
"Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik
Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka
Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden
Setelah memungut buket bunga dan kotak beludru yang sudah terlanjur jatuh ke lantai, Arya pun langsung berjalan cepat meninggalkan kamar Aksa—untuk kemudian pergi dari rumah dan memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah menyempatkan waktu di saat pekerjaannya sedang menumpuk hanya demi memberikan kejutan pada Sheyra. Namun yang dia dapat setelahnya justru hanya perasaan kecewa. "Harusnya, aku nggak perlu sekecewa ini 'kan? Bukankah aku sudah tahu sejak awal lalu Sheyra memang nggak pernah cinta aku?" monolog Arya yang kemudian memukul stir mobilnya kencang sebagai bentuk pelampiasan. Berbeda halnya dengan Sheyra, perempatan itu justru malah mematung sambil memandangi ambang pintu kamar yang masih dalam kondisi terbuka. "Apa itu tadi? Apakah Arya berniat memberiku buket bunga dan..." Ucapannya tak selesai karena terlalu terkejut akan kehadiran Arya yang datang tiba-tiba, lalu pergi dengan tindakan yang sama. "Kenapa aku lihat ada kotak beludru yang jatuh?" gumamnya lagi yang k
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A
Beberapa hari yang lalu saat Kafka mengatakan bahwa suaminya bersama Aster telah bermain kuda-kudaan, saat itu juga Bu Diana tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Walaupun, setelah itu Kafka menjelaskannya bahwa 'kuda-kudaan' yang putranya itu maksud ialah bermain catur di dalam ponsel milik suaminya. Namun tetap saja, sebagai seseorang yang sudah memiliki pengalaman hidup selama hampir lima puluh tahun, tentunya tidak akan mudah dibodohi dan langsung menelan ucapan Kafka mentah-mentah. Jujur saja, Bu Diana merasa memang ada yang tidak beres di antara suaminya itu dengan Aster karena keduanya sempat berada di dalam apartemen hanya berdua, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Kecurigaan beliau pun semakin bertambah kala Bu Diana melihat wajah suaminya itu yang terlihat membiru, seperti baru mendapatkan pukulan di tulang pipinya. Saat Bu Diana bertanya mengenai penyebab wajah suaminya itu tampak membiru, Pak Hardy pun memberikan alasan bahwa itu terjadi karena beliau tidak sengaja t
Sebenarnya, Sheyra tidak berniat menguping pembicaraan sang Papa dengan ibu tirinya. Dia hanya ingin menghampiri beliau untuk meminta papanya bergabung dalam kegiatan makan bersama siang itu. Ketika dia tiba di meja makan dan tidak menemukan keberadaan papanya di sana, dengan segera Sheyra pun mencari beliau, lalu menemukannya di teras samping rumah. "Papa?" panggil Sheyra melirih saat melihat sang Papa tampak sedang berbincang dengan seseorang di dalam ponselnya. Mungkin, panggilannya itu tidak didengar karena papanya itu tak menoleh. Namun, biarkan saja. Sheyra ingin memberikan waktu pada papanya untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana yang bisa Sheyra duga jika itu merupakan ibu tirinya—terbukti dari panggilan 'Mama dan Papa' yang tersemat dalam percakapan tersebut. Karena posisi Sheyra yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat papanya saat ini, dia pun samar-samar mendengar topik pembicaraan yang ada. Dan ketika papanya itu berkata bahwa beliau sedang bermain golf be
Di hari Minggu siang itu, suasana rumah cukup sibuk sebab orang-orang sedang turut mempersiapkan acara aqiqah untuk Aksa. Ada Disa dan suaminya, bahkan Pak Anjasmara dan Radit pun ikut membantu persiapan acara untuk nanti malam tersebut. Ya. Semenjak hari di mana Sheyra bertemu tidak sengaja dengan papanya, semenjak itu juga hubungannya dengan sang Papa membaik. Tak jarang, saat beliau mengajak Sheyra bertemu, Raditya jug ikut sehingga hubungan yang telah ada itu pun kembali terjalin dengan sangat baik. "Udah, kamu duduk aja. Baru lahiran tuh nggak boleh sampai kecapekan," suruh Disa ketika melihat Sheyra yang terlihat mondar-mandir membawa piring dan gelas yang akan digunakan nanti malam. "Cuma piring sama gelas doang kok, Kak. Nggak bikin capek juga," jawab Sheyra tidak merasa keberatan. "Ya tapi tetep aja, Shey. Kamu masih nggak boleh angkat yang berat-berat dulu," keluh Disa tampak menunjukkan raut kesalnya. "Kenapa sih, ribut-ribut." Arya yang entah datang dari mana itu pun