Tak membutuhkan waktu lama bagi Sheyra untuk segera akrab dengan ibu mertuanya. Terlebih lagi, baik Pak Rivandi maupun Bu Hanum, keduanya sudah sama-sama mau menerima kehadirannya di rumah besar itu. Sungguh, kali ini Sheyra seperti merasa telah berada di tempat yang tepat, walaupun keberadaannya di sana diawali dengan sebuah kebohongan. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah berdoa agar kebohongannya akan selalu tertutupi dan tidak terbongkar di kemudian hari. Sheyra tidak bisa membayangkan seandainya suatu hari nanti, ayah dan ibu mertuanya mengetahui ayah biologis anak yang di kandungnya. Pasti, keduanya akan sangat marah dan kecewa. "Mikir apa sih, Shey? Kenapa suka melamun terus?" Pertanyaan dari Arya itu membuat Sheyra tersenyum tipis. Dia yang tidak berniat mengatakan apa yang sedang ada dalam pikiran pun memilih mencari topik pembicaraan lain. "Kamu udahan mandinya?" tanya Sheyra sambil menelisik penampilan Arya yang sudah tampak segar dengan kondisi rambutnya yang basah. "
Pagi kembali tiba untuk membangunkan orang-orang agar melakukan aktifitas monotonnya. Namun, berbeda dengan Arya yang justru masih bertahan di atas ranjang dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ya. Malam tadi Sheyra tidur seranjang dengan Arya dan hanya dibatasi dengan guling yang diletakkan di tengah-tengah ranjang. Tidak ada adegan romantis layaknya pasangan muda maupun adegan panas layaknya pengantin baru. Baik Sheyra maupun Arya sama-sama tertidur pulas dalam mimpinya. "Arya? Udah siang. Bangun," ucap Sheyra ketika dia telah selesai mengenakan pakaian sehabis mandi. "Eung." Arya hanya membalikkan tubuhnya sambil mengerang pelan. Sepertinya enggan terbangun mengingat pagi ini hujan sedang mengguyur kota. "Arya!" Kali ini Sheyra mengatakannya dengan lebih lantang agar suaminya itu bisa mendengarnya dengan baik. "Apa sih, Shey?" gumam Arya terdengar tak jelas. Decakan kesal pun keluar dari mulut Sheyra. Dia gemas karena usahanya untuk membangunkan Arya seakan ha
"Apa ini?" tanya Utari kepada Raditya sambil menunjukkan sebuah foto di dalam layar ponselnya yang menyala. Melihat itu, mata Radit pun sontak membola. Dia terkejut bukan main saat kegiatannya di hari Minggu kemarin telah tercium oleh sang Mama. "Mama dapat darimana?" tanya Radit agak kesal karena sang Mama seperti tak pernah muda saja. Di dalam layar ponsel mamanya itu, terdapat sebuah foto dirinya bersama 'calon kekasih'—masih calon karena Radit sedang dalam masa pendekatan, yang sedang bergandengan tangan memasuki sebuah bioskop. Tidak ada yang salah menurut Radit. Tingkahnya masih wajar dengan lawan jenis. "Nggak penting Mama dapet dari mana karena penjelasan kamulah yang lebih penting." Sang Mama tampak menyilangkan duduknya sambil kedua lengannya dilipat di depan dada. Radit yang posisinya saat ini sedang berdiri menghadap sang Mama, mendadak butuh pegangan karena kakinya terasa bergetar bila mamanya itu mulai ikut campur dan mengulik urusan pribadinya. Akhirnya, dia putusk
"Masih banyak kerjaan ya, Bi?" tanya Sheyra saat baru tiba di dapur. Dia bisa melihat bagaimana tangan Bu Arum begitu cekatan mengolah makanan untuk sarapan sekeluarga. "Nggak, Non. Tinggal kasih santen di buburnya sama goreng kacang kedelainya kok," jawab Bi Arum tersenyum ramah. Ya. Menu sarapan yang dibuat Bibi pagi itu ialah bubur ayam. Dari baunya, Sheyra seperti sudah bisa menebak jika rasanya sangatlah enak. Belum lagi kuah kuning sebagai bumbu untuk bubur itu, membuat Sheyra sampai menelan ludah saking ingin memakannya. Namun, dia harus menahan sampai beberapa menit ke depan, setidaknya sampai Bi Arum menyajikannya di atas meja dan menunggu ayah serta ibu mertuanya tiba. "Belum buat teh ya, Bi?" tanya Sheyra ketika melihat nampan yang biasa digunakan untuk menaruh cangkir teh di atas meja makan masih tampak bersih dan tersimpan rapi pada rak di samping kitchen sink. Beberapa hari tinggal di rumah itu membuat Sheyra sedikit tahu jika setiap kali sarapan, pasti harus ada teh
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan setelah Arya menutup teleponnya. Suaminya itu mengatakan bahwa malam ini akan pulang sedikit terlambat karena masih ada urusan bersama Pak Rivandi. Dan sialnya, ketika Sheyra hanya sendirian di dalam kamar, pikirannya itu selalu jauh mengembara, pun ketika dia telah berdiri di balkon kemudian melihat landscape langit yang tampak ditaburi bintang, seakan menambah beban pikiran dalam otaknya untuk semakin banyak. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Sheyra segera disadarkan oleh ponselnya yang kembali berdering. Dia mengernyit ketika melihat layar ponselnya yang menampilkan nama Kafka di sana. Sedetik kemudian, kelopak matanya membelalak lalu mengerjap cepat ketika dering itu berakhir dengan status tak terjawab. Sheyra menghembuskan napas kasar. Jantungnya mulai berdegup tak beraturan, dan debaran itu masih terus berlanjut saat ponselnya kembali berdering menampilkan nama yang sama. Tiba-tiba, Sheyra bimbang mengenai, apakah dia harus men
Kafka menatap nanar pada ponselnya yang layar datarnya sudah berubah gelap karena beberapa menit yang lalu panggilan dari Sheyra telah terputus. Dilemparkannya tatapan Kafka ke depan, melihat pemandangan kota Melbourne dari balkon kamarnya yang terlihat berwarna oranye karena musim gugur sedang melanda. Jalanan setapak maupun jalan raya, keduanya sama-sama dipenuhi oleh dedaunan yang jatuh dari pohon yang tumbuh di pematang jalan, menambah kesan sendu di hati Kafka. "Bagaimana pun, aku nggak akan anggap hubungan ini telah usai. Mungkin, Sheyra hanya marah padaku karena sudah lama tak memberi kabar. Iya. Mungkin hanya begitu. Setelah itu, aku dan Sheyra akan berbaikan lagi seiring dengan berjalannya waktu." Setelah berkata demikian, dalam pikiran Kafka seketika terbesit untuk menelepon Arya. Jika dia tidak bisa mengetahui kabar Sheyra lewat perempuan itu sendiri, maka dia bisa mengetahuinya melalui Arya. Bagai mendapatkan ide brilian, Kafka pun tak ingin menyia-nyiakan. Ini adalah
"Ma? Jumat sore aku punya rencana balik ke Indonesia," celetuk Kafka saat makan malam keluarga sedang berlangsung. Hal itu tentu saja membuat mamanya tersedak sampai terbatuk-batuk karena ucapan Kafka itu terdengar tidak masuk di akal. Merasa bersalah, Kafka pun bergerak memberikan air kemudian menepuk-nepuk pundak sang Mama pelan. "Maaf udah buat Mama tersedak," sesal Kafka setelah melihat bahwa kondisi mamanya sudah lebih baik. "Tadi, kamu bilang kamu mau pulang ke Indonesia? Buat apa, Ka?" cecar beliau setelah keadaannya lebih tenang. "Siapa yang mau balik ke Indo?" Pertanyaan dari arah kamar itu membuat Kafka baik mamanya sama-sama menoleh, dan Kafka seketika tak punya nyali ketika melihat sang Papa sedang berjalan menuju meja makan untuk melakukan makan malam. Berbeda dengan Kafka, Bu Diana justru tersenyum jumawa, merasa jika perdebatan kali ini akan dimenangkan oleh beliau karena suaminya itu pasti akan membela. "Kafka mau pulang ke Indo. Nggak tau buat apa. Jangan bilang,
"Astaga!" Sheyra berseru kaget ketika mendapati Arya sudah berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menunjukkan senyum lebarnya. "Udah selesai mandinya?" tanya Arya tanpa dosa. "Udah. Kamu ngapain di depan pintu? Aku 'kan kaget, Ar." Sheyra bersungut kesal. Beruntung, dia sudah mengenakan piyama di dalam kamar mandi, sehingga Arya tak melihatnya dalam keadaan mengenakan handuk saja. "Nungguin kamu mandi. Lama. Aku udah gerah banget," sahut Arya sambil mencubit kerah kemejanya risih kemudian mengendus bau badannya sendiri. Mendengar itu, Sheyra terkekeh sambil menggelengkan kepalanya pelan. Kemudian, dia beri jalan untuk Arya lewat sambil menengadahkan tangan, mempersilahkan. "Silahkan masuk, Tuan. Saya sudah selesai," candanya yang langsung membuat tangan Arya terulur lalu mengacak handuk kecil yang bertengger di kepalanya. "Aku mandi dulu." Sheyra mengangguk saja. Setelah pintu itu tertutup, dia berjalan ke walk in closet guna menyiapkan pakaian tidur untuk Arya. Berbeda kond