"Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
"Sakit, Ka," keluh Sheyra saat inti tubuhnya yang berada di bawah sana sedang berusaha ditembus oleh kekasihnya, Kafka. Mendengar itu, Kafka seketika menghentikan gerakan mendorongnya dan menatap wajah Sheyra yang kini tampak meringis, menahan sakit. "Maaf ya. Aku janji akan pelan-pelan," bujuk Kafka dengan suara yang begitu lembut, yang telah membuat Sheyra terhipnotis sampai kepalanya pun mengangguk polos. Sejenak, Sheyra bisa menarik napasnya dengan lega saat dorongan itu tak lagi dirasakannya. Dia pun mendongak untuk memindai wajah Kafka yang kini berada di atasnya. Peluh dan keringat pun telah menghias wajah tampannya, yang membuat jemari Sheyra gatal dan bergerak menyeka keringat itu. "Kita .. harus banget lakuin ini ya, Ka?" tanya Sheyra yang segera membuat Kafka mengangguk sambil menyimpan jemari kekasihnya yang tengah menyentuh hidung mancungnya. Dia kecup punggung tangannya beberapa kali sebelum menyimpan kedua lengan Sheyra di masing-masing sisi tubuh kekasihnya. "Aku n
Bohong bila Sheyra berkata tidak masalah mengenai kepergian Kafka ke benua seberang untuk meraih impiannya. Kenyataannya, hal itu hanya terucap di bibirnya saja dan tidak dengan hatinya. Jika boleh meminta, Sheyra ingin Kafka melanjutkan studinya masih dalam tanah air saja, tidak sampai harus ke luar negeri yang jaraknya begitu jauh dari jangkauan. Namun, ketika mendengar Kafka menceritakan segala mimpi-mimpinya yang telah laki-laki itu susun dengan sedemikian rupa, rasanya Sheyra tidak berhak untuk melarang dan mencegahnya. Seperti Kafka yang mempunyai mimpi, begitu juga dengan Sheyra. Dia selalu bermimpi setelah lulus kuliah nanti, Sheyra ingin bekerja dan mengumpulkan uang untuk modal menikah dan bisa hidup bersama Kafka setiap harinya. Menghabiskan waktu bersama, membicarakan tentang semuanya di bawah satu atap yang sama, dan masih banyak impian-impian lainnya yang ingin Sheyra lakukan bersama Kafka. Mungkin karena hanya Kafka, satu-satunya manusia yang bisa Sheyra jadikan sebu
'Pada akhirnya, kita semua butuh pulang pada satu tubuh yang mampu melerai segala jenuh, telinga yang mendengarkan segala keluh kesah yang tertahan, dan membutuhkan pelukan hangat sebagai pengisi tenaga untuk menjalani kehidupan esok dengan baik-baik saja.'"Udah kenyang belum?" tanya Kafka saat Sheyra sudah menghabiskan semangkuk bakso, seblak, cilok, dan yang sedang dimakan Sheyra saat ini adalah telur gulung. Sheyra mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya kemudian mengelus perutnya yang sudah penuh terisi oleh aneka jajanan di pinggir jalan. "Kenyang banget," jawabnya setelah berhasil mengunyah satu tusuk telur gulungnya yang terakhir. "Bisa gendut kalau terus-terusan begini," keluh Sheyra sambil menyeruput minuman manis rasa coklat favoritnya. Kafka yang gemas pun sontak mengacak rambut Sheyra pelan. "Nggak papa. Biar kamu gendut, aku tetep cinta." Mendengar ucapan dari kekasihnya itu pun membuat Sheyra mengulas senyum, merasa bersyukur karena Tuhan telah mengirim seseoran
Sheyra masih setia menatap gerbang kampus di mana calon wisuda dan wisudawan masih terus berdatangan, tentunya bersama orang tua mereka. Dan di antara lalu-lalang orang-orang itu, Sheyra masih berharap jika sosok papanya akan muncul dan memanggil namanya saat mengetahui Sheyra telah menunggu tidak jauh dari sana. Dia masih terus berdoa, berharap papanya mau meluangkan waktunya walaupun itu hanya sebentar dan berharap jika papanya itu mau menebus ketidakhadiran beliau di saat-saat hari terpenting dalam hidup Sheyra. Namun hingga menit demi menit yang berlalu, sosok papa yang selama ini sangat Sheyra rindukan kehadirannya itu tak kunjung menampakkan diri. Hal itu seketika membuat Sheyra teringat pada hari kelulusannya di mana di setiap acara tersebut, sang Papa tidak pernah hadir untuk memberikan apresiasi untuknya. Selalu seperti itu dan Sheyra harus kembali menelan kekecewaan yang begitu dalam. Merasa tidak ada lagi yang bisa Sheyra harapkan, dia pun segera berbalik untuk kemudian
"Karena mungkin hari ini adalah hari terakhir gue liat lo di Indonesia, jadi gue mau kasih hadiah juga buat lo," ucap Arya tengil dan hal itu tentunya membuat Kafka tertawa. "Seneng banget lo ya, kalau gue mau ke luar negeri?" jawab Kafka, tak urung menerima kotak hadiah yang Arya angsurkan padanya. Kemudian, Kafka pun kembali berkata. "Makasih ya, Ar. Hadiah buat lo, nanti gue kirim via ekspedisi. Semoga sih, nggak transit dulu di DC Cakung ya." Arya pun tertawa begitu juga Sheyra. "Emang, lo mau kasih gue hadiah apa?" tanya Arya penasaran. "Rencananya, gue mau paketin bule Australia buat lo. Biar lo nggak jomblo lagi," ledek Kafka yang membuat Arya seketika mendengkus secara terang-terangan. "Ogah. Gue nggak doyan bule. Gue lebih suka produk lokal karena biasanya lebih unggul," sahut Arya sambil menatap Sheyra, tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena ternyata, Sheyra juga sedang menatapnya sambil tersenyum. Segera, Arya memalingkan muka agar tak terlalu kentara jika produk
~Takdir sengaja dibuat rahasia di luar batas mampu manusia, agar yang berjuang tidak kehilangan semangatnya, dan yang berhasil tidak kehilangan rendah hatinya~Sheyra sudah duduk di kursi panjang berjajar yang disediakan di area terminal keberangkatan internasional untuk menunggu Kafka yang saat ini tengah melakukan check-in. Pesawatnya akan take off tiga jam lagi, tetapi kekasihnya itu harus sudah berada di bandara untuk melakukan berbagai prosedur penerbangan. Sejak tadi, Sheyra tak henti-hentinya menatap ke arah di mana tubuh Kafka menghilang. Dia merasa resah dan gelisah, karena laki-laki itu sudah pergi hampir setengah jam lamanya dan belum juga kembali. Dia hela napasnya kasar untuk kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. Gerak kakinya juga masih mengetuk-ngetuk lantai disertai giginya yang menggigit ujung-ujung kuku guna menghilangkan kegelisahan yang sedang menderanya. Sekitar lima belas menit kemudian, sosok Kafka akhirnya muncul dan hal itu mampu membuat Sheyra bisa
Kafka pergi, bukan berarti Sheyra harus terpuruk setiap hari. Seperti Kafka yang berniat mengejar cita-citanya, maka Sheyra pun akan melakukan hal yang sama. Dia akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang pernah dia pelajari selama empat tahun ini, agar waktu belajarnya selama itu tidak berakhir dengan sia-sia. Setelah dua minggu kepergian Kafka, Sheyra pun mulai mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan yang bisa menjadi naungannya mencari uang. Dan untuk mengisi kekosongan waktunya yang saat ini masih menjadi pengangguran—karena surat lamaran kerjanya belum ada yang di terima, Sheyra akhirnya memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan hal-hal yang positif. Dia berusaha menyibukkan diri dengan melakukan olahraga pagi, membantu ibu kost menyiram bunga, membantu ibu kost membereskan kebun, dan Sheyra pun kembali melakukan hobinya di dunia pemotretan. Ya walaupun dirinya masih belum tergolong sebagai fotografer handal, tetapi di setiap jepretan yang dilakuk