'Pada akhirnya, kita semua butuh pulang pada satu tubuh yang mampu melerai segala jenuh, telinga yang mendengarkan segala keluh kesah yang tertahan, dan membutuhkan pelukan hangat sebagai pengisi tenaga untuk menjalani kehidupan esok dengan baik-baik saja.'
"Udah kenyang belum?" tanya Kafka saat Sheyra sudah menghabiskan semangkuk bakso, seblak, cilok, dan yang sedang dimakan Sheyra saat ini adalah telur gulung.Sheyra mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya kemudian mengelus perutnya yang sudah penuh terisi oleh aneka jajanan di pinggir jalan. "Kenyang banget," jawabnya setelah berhasil mengunyah satu tusuk telur gulungnya yang terakhir."Bisa gendut kalau terus-terusan begini," keluh Sheyra sambil menyeruput minuman manis rasa coklat favoritnya.Kafka yang gemas pun sontak mengacak rambut Sheyra pelan. "Nggak papa. Biar kamu gendut, aku tetep cinta."Mendengar ucapan dari kekasihnya itu pun membuat Sheyra mengulas senyum, merasa bersyukur karena Tuhan telah mengirim seseorang seperti Kafka ke dalam hidupnya. Seseorang yang telah mewarnai hari-harinya dan telah Sheyra jadikan rumah yang sebenar-benarnya.Kemana pun dan dimana pun kaki Sheyra berpijak, maka akan selalu ada Kafka di sana, begitu juga sebaliknya. Sehingga Sheyra merasa jika dirinya dan Kafka telah dijadikan satu-padu oleh semesta yang tidak akan terpisahkan ruang maupun waktu. Sheyra dan Kafka akan selalu bersama. Itu yang Sheyra yakini sampai detik ini."Mau pulang sekarang apa nanti?" tanya Kafka yang membuat Sheyra tersadar dari perasaan takjubnya."Pulang sekarang aja. Udah malam banget ini." Setelah berucap demikian, Sheyra bangkit lebih dulu dari bangku panjang yang didudukinya bersama Kafka, yang letaknya berada di area taman pusat kota.Kafka ikut bangkit seraya menyambar tas selempang milik Sheyra yang dibiarkan tergeletak begitu saja. "Tidur di apart ku aja ya?" tawar Kafka yang membuat Sheyra membalikkan badan kemudian memicing dan menatap Kafka penuh curiga."Jangan ngeres dulu," tegas Kafka sambil menyentil kening Sheyra pelan.Tawa Sheyra seketika mengudara, merasa lucu karena Kafka tahu akan isi kepalanya. "Terus ngapain dong?" tanyanya dengan tampang polosnya.Gumaman panjang pun terdengar dari Kafka yang membuat Sheyra mendongak lebih menengadah lagi guna menuntut alasan atas ajakan dari laki-laki di hadapannya."Ya .. aku cuma mau menghabiskan waktu lebih banyak lagi bersama kamu karena setelah wisuda, besoknya aku harus berangkat ke Melbourne." Dan ucapan Kafka itu membuat senyum di bibir Sheyra seketika luntur, berganti dengan raut datar dengan tatapan mata yang tampak murung."Secepat itu?" tanya Sheyra yang masih tidak percaya jika hari perpisahannya dengan Kafka sudah semakin dekat saja.Pertanyaannya itu pun mendapatkan sebuah anggukan lemah dari Kafka yang tiba-tiba membuat Sheyra merasa hampa."Papa minta aku untuk berangkat lebih awal karena ada banyak hal yang harus diurus. Itu pun aku udah minta kelonggaran satu hari karena harusnya, setelah wisuda selesai, malamnya aku udah harus berangkat. Akhirnya setelah aku diskusi sama Mama dan Papa, mereka kasih izinnya dan mereka akan berangkat lebih dulu daripada aku."Sheyra tak lagi mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Kafka karena perasaannya sudah mulai campur aduk dan sulit sekali untuk didefinisikan. "Shey?" Baru, setelah mendengar panggilan serta sentuhan lembut di lengannya itu, Sheyra tersadar dari jalan pikirannya sendiri."Hem?" jawab Sheyra cengo."Tidur di apartemen ku ya?" pinta Kafka dan Sheyra menjawabnya dengan gelengan kepala."Nggak malam ini ya, Ka." Dan tanpa menanyakan alasan ini dan itu, Kafka pun menghormati keputusan Sheyra walaupun raut wajahnya tampak begitu kecewa."Kalau gitu, biar aku antar pulang ya?"Sheyra terkekeh geli untuk mencairkan suasana canggung yang baru saja terjadi. "Ya iyalah. Kamu harus tanggungjawab dan mengembalikan aku ke tempat semula karena udah bawa aku ke sini," katanya, yang membuat Kafka ikut tertawa.Bergerak, Sheyra memeluk lengan Kafka untuk kemudian berjalan beriringan menuju sisi taman di mana motor sport milik Kafka terparkir. Setelah Kafka memakaikan helm pada kepala Sheyra dan laki-laki itu sudah memakainya juga demi keselamatan dalam berkendara, motor pun melaju pelan. Bergabung bersama kendaraan lainnya yang ikut berjejalan melewati ruas jalan.Sekitar lima belas menit perjalanan, Sheyra akhirnya tiba di depan pagar kostnya. Dia turun kemudian melepas helm dan menyerahkannya pada Kafka. "Makasih untuk hari ini ya, Ka," ucap Sheyra tulus.Kafka mengangguk sebagai jawaban kemudian tangannya bergerak untuk mengacak puncak kepala Sheyra. "Kasih imbalan dong," pintanya yang membuat Sheyra seketika mengerucutkan bibirnya kesal."Imbalan apa dulu nih."Kafka tersenyum penuh arti. Dia pun bergerak menarik tengkuk Sheyra pelan kemudian segera melabuhkan kecupan pada bibir yang malam itu tampak natural. "Ini," ucapnya setelah mencuri dua kecup di setiap sudut bibir Sheyra.Sejenak, Sheyra terpaku dengan kedua pipinya yang memanas. Sudah bisa dipastikan jika kondisi kedua pipinya itu pasti sudah merah merona. Padahal, tindakan intim yang dilakukan Kafka itu bukanlah yang pertama kalinya. Namun entah mengapa, setiap kali mendapatkan sentuhan cinta dari kekasihnya, pasti Sheyra akan tersipu seperti itu."Dah. Sana masuk." Bagai kerbau yang dicocol hidungnya, Sheyra pun menurut dan melangkah lebih dalam lagi memasuki gedung kost tempatnya tinggal. Ketika tiba di kamarnya, dia keluar menuju balkon untuk memastikan apakah Kafka masih berada di tempatnya, dan ternyata benar. Laki-laki itu melambai ke arahnya dengan kedua sudut bibirnya yang saling tertarik atas secara berlawanan arah.Refleks, Sheyra membalas lambaian tangan itu. "Aku pulang," ucap Kafka tanpa suara.Setelah Sheyra mengacungkan ibu jarinya, Kafka pun mulai menghidupkan mesin motornya, untuk kemudian berlalu dari sana.****Dua minggu kemudian..Hari perayaan kelulusan itu akhirnya tiba. Sheyra yang awalnya tak berniat menghadiri acara tersebut pun seketika berubah pikiran setelah Kafka dan Arya memberikan wejangannya.Kata Kafka, "Kalau Papa sama Mama kamu nggak datang, kan ada aku sama Arya. Kita akan rayakan hari itu sama-sama."Bagai telah bersekongkol, Arya pun menimpali. "Lagian, lo nggak sayang ya kalau nggak datang di acara yang hampir semua orang harapkan? Wisudamu adalah impian para pejuang skripsi, Shey," ucap Arya dramatis yang membuat Sheyra pada akhirnya mantap untuk datang.Acara perayaan kelulusan itu digelar mulai pukul sembilan pagi hingga selesai, dengan bertempat di aula kampus yang letaknya berada di lantai tiga dari gedung Universitas— tempat Sheyra menimba ilmu selama empat tahun terakhir ini.Saat Sheyra tiba di lokasi, hampir seluruh calon wisuda maupun wisudawan itu datang bersama keluarga mereka. Mungkin, hanya Sheyra yang datang sendirian tanpa adanya keluarga maupun orang-orang terdekatnya.Menyaksikan hal itu pun seketika membuat Sheyra berkecil hati. Dia mendadak tak percaya diri saat harus berdiri di tengah keramaian tanpa adanya seseorang yang menemani."Sheyra!"Namun, perasaan hampa yang dirasakannya itu tak berlangsung lama saat suara seseorang memanggil namanya. Tidak sulit untuk mengenali pemilik suara itu karena hanya mendengarnya saja, Sheyra sudah bisa menebaknya.Ketika menoleh, Sheyra mendapati Kafka dengan setelan jas hitamnya yang membuat ketampanan laki-laki itu meningkat menjadi seratus persen.Sheyra tersenyum saat Kafka tiba di hadapannya dengan melayangkan tatapan takjubnya. "Kamu cantik," ucapnya disertai senyum dan binar cinta di matanya.Sheyra pun berniat ingin membalas pujian tersebut. Namun belum sempat niatnya itu terealisasi, kedatangan sepasang suami istri yang berdiri di belakang Kafka membuat Sheyra mengangguk ramah untuk menyapa. Dia tahu jika sepasang suami istri itu merupakan orang tua Kafka. Ya walaupun Kafka belum pernah mengenalkannya kepada mereka secara resmi."Om, Tante," sapa Sheyra yang sudah bergeser untuk menyalami keduanya. Dia mengulurkan tangannya di hadapan orang tua Kafka yang sayangnya tak mendapatkan respon baik karena keduanya justru membuang muka hingga membuat telapak tangan Sheyra mengambang di udara. Akhirnya, Sheyra kembali menarik tangannya untuk kemudian menyimpannya di samping tubuh."Ayo, Ka. Masuk. Acaranya udah mau mulai," ajak Mama dari Kafka, yang membuat Sheyra merasa bila wanita paruh baya itu tak menyukai keberadaannya."Tunggu, Ma. Aku mau kenalin Sheyra ke Mama dan Papa. Dia pacar aku, Ma," ucap Kafka begitu antusias.Sayangnya, reaksi dari orang tuanya tak sesuai harapan. Mama Kafka justru menatap Sheyra dari ujung kaki hingga ujung kepala, seakan-akan sedang menelanjanginya. "Hem," balas Mama Kafka acuh."Ayo, Ka. Masuk." Kini, giliran Papa Kafka yang bersuara.Bukannya menanggapi ajakan kedua orang tuanya, Kafka justru menggenggam tangan Sheyra sambil berkata. "Ayo, masuk." Yang membuat mama dan papanya itu sontak menatap Sheyra dengan pandangan tak suka.Dengan pelan, Sheyra pun melepas genggaman tangan Kafka. Selain merasa tak enak hati, dia juga cukup sadar diri mengenai keberadaanya yang tidak di harapkan ada di tengah-tengah keluarga bahagia tersebut. "Kamu duluan aja. Aku ... Ada seseorang yang sedang aku tunggu," ujar Sheyra yang terpaksa harus berbohong.Bersambung...Sheyra masih setia menatap gerbang kampus di mana calon wisuda dan wisudawan masih terus berdatangan, tentunya bersama orang tua mereka. Dan di antara lalu-lalang orang-orang itu, Sheyra masih berharap jika sosok papanya akan muncul dan memanggil namanya saat mengetahui Sheyra telah menunggu tidak jauh dari sana. Dia masih terus berdoa, berharap papanya mau meluangkan waktunya walaupun itu hanya sebentar dan berharap jika papanya itu mau menebus ketidakhadiran beliau di saat-saat hari terpenting dalam hidup Sheyra. Namun hingga menit demi menit yang berlalu, sosok papa yang selama ini sangat Sheyra rindukan kehadirannya itu tak kunjung menampakkan diri. Hal itu seketika membuat Sheyra teringat pada hari kelulusannya di mana di setiap acara tersebut, sang Papa tidak pernah hadir untuk memberikan apresiasi untuknya. Selalu seperti itu dan Sheyra harus kembali menelan kekecewaan yang begitu dalam. Merasa tidak ada lagi yang bisa Sheyra harapkan, dia pun segera berbalik untuk kemudian
"Karena mungkin hari ini adalah hari terakhir gue liat lo di Indonesia, jadi gue mau kasih hadiah juga buat lo," ucap Arya tengil dan hal itu tentunya membuat Kafka tertawa. "Seneng banget lo ya, kalau gue mau ke luar negeri?" jawab Kafka, tak urung menerima kotak hadiah yang Arya angsurkan padanya. Kemudian, Kafka pun kembali berkata. "Makasih ya, Ar. Hadiah buat lo, nanti gue kirim via ekspedisi. Semoga sih, nggak transit dulu di DC Cakung ya." Arya pun tertawa begitu juga Sheyra. "Emang, lo mau kasih gue hadiah apa?" tanya Arya penasaran. "Rencananya, gue mau paketin bule Australia buat lo. Biar lo nggak jomblo lagi," ledek Kafka yang membuat Arya seketika mendengkus secara terang-terangan. "Ogah. Gue nggak doyan bule. Gue lebih suka produk lokal karena biasanya lebih unggul," sahut Arya sambil menatap Sheyra, tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena ternyata, Sheyra juga sedang menatapnya sambil tersenyum. Segera, Arya memalingkan muka agar tak terlalu kentara jika produk
~Takdir sengaja dibuat rahasia di luar batas mampu manusia, agar yang berjuang tidak kehilangan semangatnya, dan yang berhasil tidak kehilangan rendah hatinya~Sheyra sudah duduk di kursi panjang berjajar yang disediakan di area terminal keberangkatan internasional untuk menunggu Kafka yang saat ini tengah melakukan check-in. Pesawatnya akan take off tiga jam lagi, tetapi kekasihnya itu harus sudah berada di bandara untuk melakukan berbagai prosedur penerbangan. Sejak tadi, Sheyra tak henti-hentinya menatap ke arah di mana tubuh Kafka menghilang. Dia merasa resah dan gelisah, karena laki-laki itu sudah pergi hampir setengah jam lamanya dan belum juga kembali. Dia hela napasnya kasar untuk kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. Gerak kakinya juga masih mengetuk-ngetuk lantai disertai giginya yang menggigit ujung-ujung kuku guna menghilangkan kegelisahan yang sedang menderanya. Sekitar lima belas menit kemudian, sosok Kafka akhirnya muncul dan hal itu mampu membuat Sheyra bisa
Kafka pergi, bukan berarti Sheyra harus terpuruk setiap hari. Seperti Kafka yang berniat mengejar cita-citanya, maka Sheyra pun akan melakukan hal yang sama. Dia akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang pernah dia pelajari selama empat tahun ini, agar waktu belajarnya selama itu tidak berakhir dengan sia-sia. Setelah dua minggu kepergian Kafka, Sheyra pun mulai mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan yang bisa menjadi naungannya mencari uang. Dan untuk mengisi kekosongan waktunya yang saat ini masih menjadi pengangguran—karena surat lamaran kerjanya belum ada yang di terima, Sheyra akhirnya memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan hal-hal yang positif. Dia berusaha menyibukkan diri dengan melakukan olahraga pagi, membantu ibu kost menyiram bunga, membantu ibu kost membereskan kebun, dan Sheyra pun kembali melakukan hobinya di dunia pemotretan. Ya walaupun dirinya masih belum tergolong sebagai fotografer handal, tetapi di setiap jepretan yang dilakuk
Di Melbourne, Australia. Kafka menatap kesal pada sepupunya karena sudah mengganggu waktunya yang sedang menelepon Sheyra. "Kenapa sih? Mau ngomong hal penting apa sampai kamu masuk ke kamarku tanpa ketuk pintu dulu?" ketus Kafka sambil membanting ponselnya di atas kasur dengan kasar, tentunya setelah panggilan video itu terputus. "Gitu aja kok marah. Lagian, aku gini juga disuruh sama Tante Diana. Katanya, Tante mau ngomong penting sama kamu," jawab Laura, sepupu dari adik sang Papa.Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kafka pun keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan Laura begitu saja. Hal tersebut tentunya membuat gadis yang saat ini sedang menjalani pendidikan kuliah semester empat itu pun mendengkus kencang melihat tingkahnya. "Kenapa, Ma?" tanya Kafka langsung pada intinya, sesaat setelah kakinya tiba di dapur di mana sang Mama berada. Mamanya itu tampak melirik Kafka sekilas sebelum akhirnya memintanya untuk duduk. "Duduk!" titah beliau yang tampak menunjukkan raut ser
Semenjak Kafka berpamitan untuk menutup segala bentuk sosial media guna berkomunikasi jarak jauh, di hari-hari berikutnya itulah, Sheyra harus menjalani hidup sendiri dengan perasaan hampa dan sunyi. Dia benar-benar merasa sendiri tanpa adanya seseorang yang menemani. Bahkan, semenjak acara kelulusannya itu, ayahnya pun tak lagi menghubungi apalagi menemui keberadaan Sheyra saat ini. Sungguh, Sheyra sudah selayaknya anak yang terbuang dan tak diinginkan kehadirannya, pun merasa bila semua orang yang berada di sekitarnya, satu per satu menghilang dari jalan takdir kehidupannya. Hari ini, tepat dua bulan kepergian Kafka dan dalam kurun waktu tersebut, Sheyra merasakan waktu berjalan dengan sangat lama. Mungkin juga karena gairah hidupnya yang tak lagi menggebu-gebu seperti sediakala. Dia telah kehilangan semangat dalam hidupnya. Siang itu, sang Bentala di guyur hujan lebat disertai angin yang tak terlalu kencang, tetapi kekuatannya itu mampu menerbangkan titik-titik hujan hingga seti
Mungkin, ini merupakan akhir bagi Sheyra untuk bertahan hidup karena dia sudah tidak tahu lagi harus bertindak seperti apa kedepannya. Karena hamil tanpa suami dan tanpa sebuah ikatan pernikahan yang sah, merupakan pukulan telak baginya. Pernah terbesit dalam pikirannya, haruskah dia menggugurkan kandungannya? Atau justru, lebih baik mengakhiri hidupnya sendiri? Namun, saat keinginan itu sudah benar-benar bulat, seketika hati kecilnya berkata bahwa hal itu akan semakin membawanya ke dalam neraka. Sudah membuat calon bayinya tiada, belum lagi dirinya yang berniat mengakhiri hidup, yang tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan dari Tuhan. Akhirnya yang bisa dia lakukan sekarang ini hanyalah mengurung diri di dalam kamar kost dan akan keluar saat bahan makanan untuk bertahan hidup telah habis. Sudah terhitung hampir satu bulan Sheyra melakukan hal tersebut dan perbuatannya itu tentu akan menguras isi tabungannya secara perlahan-lahan. Terbukti, uang tabungannya itu
Bukan tanpa sebab Arya mengucapkan hal demikian, walaupun ucapannya itu terkesan terlalu spontan. Tujuan Arya yang semula ingin memeriksa keadaan Sheyra karena sudah beberapa bulan tak ada kabar itu pun seketika berubah saat melihat beberapa alat test kehamilan yang berceceran di atas kasur juga lantai. Mungkin karena Arya adalah salah satu orang yang diam-diam menyukai perempuan itu, pun sampai terkejut sampai merasakan jika dunianya saat itu benar-benar runtuh. Dia tidak menyangka bahwa kekhawatirannya selama ini benar-benar menjadi nyata. Kini, saat sosok Sheyra telah berada di depan mata dalam kondisi yang begitu memprihatinkan, seketika Arya seperti ikut merasakan sakit yang Sheyra rasakan juga. Mendengar ajakannya untuk menikah itu, Sheyra seketika menjauhkan wajah dan melepas pelukan yang Arya berikan hingga membuatnya kehilangan hangat yang sempat menjalar di seluruh sel otaknya. "Gila lo," umpat Sheyra yang kini memilih bangkit dan bergerak memunguti beberapa pakaiannya
"Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik
Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka
Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden
Setelah memungut buket bunga dan kotak beludru yang sudah terlanjur jatuh ke lantai, Arya pun langsung berjalan cepat meninggalkan kamar Aksa—untuk kemudian pergi dari rumah dan memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah menyempatkan waktu di saat pekerjaannya sedang menumpuk hanya demi memberikan kejutan pada Sheyra. Namun yang dia dapat setelahnya justru hanya perasaan kecewa. "Harusnya, aku nggak perlu sekecewa ini 'kan? Bukankah aku sudah tahu sejak awal lalu Sheyra memang nggak pernah cinta aku?" monolog Arya yang kemudian memukul stir mobilnya kencang sebagai bentuk pelampiasan. Berbeda halnya dengan Sheyra, perempatan itu justru malah mematung sambil memandangi ambang pintu kamar yang masih dalam kondisi terbuka. "Apa itu tadi? Apakah Arya berniat memberiku buket bunga dan..." Ucapannya tak selesai karena terlalu terkejut akan kehadiran Arya yang datang tiba-tiba, lalu pergi dengan tindakan yang sama. "Kenapa aku lihat ada kotak beludru yang jatuh?" gumamnya lagi yang k
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A
Beberapa hari yang lalu saat Kafka mengatakan bahwa suaminya bersama Aster telah bermain kuda-kudaan, saat itu juga Bu Diana tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Walaupun, setelah itu Kafka menjelaskannya bahwa 'kuda-kudaan' yang putranya itu maksud ialah bermain catur di dalam ponsel milik suaminya. Namun tetap saja, sebagai seseorang yang sudah memiliki pengalaman hidup selama hampir lima puluh tahun, tentunya tidak akan mudah dibodohi dan langsung menelan ucapan Kafka mentah-mentah. Jujur saja, Bu Diana merasa memang ada yang tidak beres di antara suaminya itu dengan Aster karena keduanya sempat berada di dalam apartemen hanya berdua, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Kecurigaan beliau pun semakin bertambah kala Bu Diana melihat wajah suaminya itu yang terlihat membiru, seperti baru mendapatkan pukulan di tulang pipinya. Saat Bu Diana bertanya mengenai penyebab wajah suaminya itu tampak membiru, Pak Hardy pun memberikan alasan bahwa itu terjadi karena beliau tidak sengaja t
Sebenarnya, Sheyra tidak berniat menguping pembicaraan sang Papa dengan ibu tirinya. Dia hanya ingin menghampiri beliau untuk meminta papanya bergabung dalam kegiatan makan bersama siang itu. Ketika dia tiba di meja makan dan tidak menemukan keberadaan papanya di sana, dengan segera Sheyra pun mencari beliau, lalu menemukannya di teras samping rumah. "Papa?" panggil Sheyra melirih saat melihat sang Papa tampak sedang berbincang dengan seseorang di dalam ponselnya. Mungkin, panggilannya itu tidak didengar karena papanya itu tak menoleh. Namun, biarkan saja. Sheyra ingin memberikan waktu pada papanya untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana yang bisa Sheyra duga jika itu merupakan ibu tirinya—terbukti dari panggilan 'Mama dan Papa' yang tersemat dalam percakapan tersebut. Karena posisi Sheyra yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat papanya saat ini, dia pun samar-samar mendengar topik pembicaraan yang ada. Dan ketika papanya itu berkata bahwa beliau sedang bermain golf be
Di hari Minggu siang itu, suasana rumah cukup sibuk sebab orang-orang sedang turut mempersiapkan acara aqiqah untuk Aksa. Ada Disa dan suaminya, bahkan Pak Anjasmara dan Radit pun ikut membantu persiapan acara untuk nanti malam tersebut. Ya. Semenjak hari di mana Sheyra bertemu tidak sengaja dengan papanya, semenjak itu juga hubungannya dengan sang Papa membaik. Tak jarang, saat beliau mengajak Sheyra bertemu, Raditya jug ikut sehingga hubungan yang telah ada itu pun kembali terjalin dengan sangat baik. "Udah, kamu duduk aja. Baru lahiran tuh nggak boleh sampai kecapekan," suruh Disa ketika melihat Sheyra yang terlihat mondar-mandir membawa piring dan gelas yang akan digunakan nanti malam. "Cuma piring sama gelas doang kok, Kak. Nggak bikin capek juga," jawab Sheyra tidak merasa keberatan. "Ya tapi tetep aja, Shey. Kamu masih nggak boleh angkat yang berat-berat dulu," keluh Disa tampak menunjukkan raut kesalnya. "Kenapa sih, ribut-ribut." Arya yang entah datang dari mana itu pun