Jawaban dari Arya itu belum membuat Sheyra merasa puas. Dia masih ingin menggali akan tujuan Arya mau menikahinya padahal sudah jelas-jelas jika dirinya sudah tak suci lagi. "Bagaimana jika Kafka kembali dan gue tetap nggak mau balik ke dia? Itu berarti, gue bakal jadi beban buat lo seumur hidup. Bahkan, anak yang lahir dari rahim gue juga bakal jadi beban lo," tanya Sheyra yang segera ditanggapi Arya dengan senyuman simpul. "Nggak papa." Gue justru bahagia kalau akhirnya lo bakal milih gue. Lanjut Arya yang sayangnya hanya diucapkan dalam hati. Namun jika memang suatu hari nanti Sheyra berniat kembali kepada Kafka, maka Arya akan melepasnya, walaupun dia tahu mungkin hal itu akan sangat berat dan menyakitkan. "Lo serius?" tanya Sheyra sangsi. "Gue nggak main-main, Shey."Sheyra segera menelisik wajah Arya untuk melihat bagaimana raut wajah pria di depannya itu yang ternyata tampak menunjukkan keseriusan. "Lo ... Nggak punya maksud lain kan, Ar? Kaya aneh aja gitu, lo tiba-tiba m
Seperti ada tangan yang tak kasat mata yang kini sedang meremas jantung Sheyra. Ucapan Pak Rivandi tak hanya membuat Sheyra tersentil, tetapi juga tergores dengan cukup dalam sampai hatinya ikut hancur dan membentuk kepingan-kepingan kecil. 'Murahan'.Satu kata yang telah menghempaskan Sheyra untuk masuk ke dalam jurang yang paling curam. Walau demikian, dalam hatinya pun membenarkan. Dirinya memang seorang wanita yang murahan karena tergoda akan kata-kata receh tetapi memabukkan yang bernama cinta. Setelah pertemuannya dengan orang tua Arya, mereka belum memberikan kepastian apakah mereka setuju untuk menikahkan Sheyra pada putranya, atau justru sebaliknya. Tadi, saat Arya mengantarnya pulang ke kosan, laki-laki itu sempat berpesan bahwa Sheyra tak perlu khawatir akan dirinya. Luka yang kini menghuni wajahnya, tak seberapa sakitnya daripada luka hati yang sedang dirasakan Sheyra. "Jangan terlalu dipikir. Gue gini juga nggak papa. Sakit dikit doang. Anggap aja buat bantu ngurangin
"Arya!" Panggilan dari mamanya itu membuat Arya menoleh, meninggalkan kegiatannya sejenak yang sedang mengotak-atik mesin kopi demi menghasilkan satu cangkir minuman favoritnya itu. "Ya ... Ma?" jawab Arya mengerjap bingung. Pasalnya, sudah dua hari ini sang Mama dan Papa telah mengabaikannya dan malam itu merupakan malam penuh keajaiban karena mamanya mau menyapa lebih dulu. "Kamu lagi buat kopi? Malam-malam begini? Ya bener aja!" Akibat terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Arya sampai tidak menyadari jika mamanya itu ternyata sudah berdiri di sebelah posisinya berdiri saat ini. Arya kembali mengerjap pelan lagi dan hal itu membuat Bu Hanum terang-terangan mendengkus kencang. "Kamu kenapa jadi telmi gini sih?""Maaf, Ma. Arya lagi bingung aja sama sikap Mama yang udah baik lagi ke Arya," jawab Arya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Hal itu pun membuat Bu Hanum tak kuasa menahan tangannya untuk memukul lengan putranya itu. "Oh, jadi kamu mau Mama diemin terus? Gi
—__Penantian ini akhirnya tak benar-benar usai ketika kau yang jauh di sana tak pernah memberikan kepastian. Memang terdengar begitu egois karena di sana kau sedang merajut asa, tetapi keadaan ku saat ini tak memungkinkan untuk menunggumu lebih lama. Satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa keputusanku kali ini merupakan sebuah kegentingan karena tak memiliki jalan lain yang pasti. Sebab, aku harus terombang-ambing sendirian dalam kerasnya kehidupan dan aku akui, aku tak sanggup menahannya lebih lama lagi. Aku tetap kalah pada keadaan yang membuatku tak karuan sehingga mengingkari janji yang telah bertali pati. Untuk kekasih pujaan hati..Aku rasa, semuanya sudah cukup sampai di sini. Entah kau akan kembali atau tidak di suatu hari nanti, aku harap kau bisa mengerti.__—___________"Ada apa sih, sampai Kak Sheyra datang dengan membawa rombongan?" tanya Radit terheran-heran melihat Arya yang Radit ketahui merupakan teman dari pacar kakaknya. Dan yang membuat kepalanya semakin berputar
Memangnya, apa yang Sheyra harapkan dari pertemuannya dengan sang Papa? Berharap jika papanya itu bersedia menjadi wali nikahnya? Tentu saja hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Malahan, Sheyra justru menemui kenyataan yang lebih pahit dari perkiraannya selama ini. Sang Papa dengan terang-terangan mengatakan bahwa beliau tak lagi menganggap dirinya sebagai seorang anak. Ingin meratapi nasib hidupnya, tetapi Sheyra sudah tak punya tenaga. Akhirnya, yang bisa dia lakukan saat ini adalah mengikuti alur kehidupan yang telah Tuhan buat untuknya. Seperti pagi di keesokan harinya, Sheyra hanya sanggup pasrah jika hari itu dia akan resmi menikah dengan Arya, seseorang yang tidak pernah dirinya inginkan dan harapkan akan menjadi pendamping dalam perjalanan hidupnya. Tidak ada pesta mewah dan meriah seperti pesta pernikahan yang selama ini Sheyra idam-idamkan. Semua berjalan dengan datar dan hatinya yang tak merasa bergetar saat kalimat ijab qobul itu menggema dari mulut Arya. Sheyra han
Sepertinya, semesta sedang berpihak pada Arya karena dalam waktu sekejap, seseorang yang dicintainya telah menjadi bagian dalam perjalanan hidupnya. Dia Asheyra Saraswati. Seorang gadis yang telah berhasil menggetarkan hatinya bahkan saat di awal perjumpaan. Arya sempat berpikir bila perasaan yang tumbuh di hatinya itu salah mengingat bahwa Sheyra merupakan kekasih Kafka yang laki-laki itu kenalkan beberapa tahun silam. Pun demikian, tak ada keinginan Arya untuk merebut Sheyra dari Kafka walau keinginan itu mencuat dengan begitu besarnya. Namun ketika melihat bahwa perempuan yang dicintainya sedang tidak berdaya, Arya tentu tidak bisa terima. Apalagi bila penyebab ketidakberdayaannya itu dikarenakan oleh Kafka, seseorang yang bertahun-tahun selalu Arya anggap sebagai saingan walaupun kenyataannya, Arya memang sudah kalah lebih dulu sebelum berjuang. Kini, saat Arya sudah mempunyai kesempatan, bukankah lebih baik dimanfaatkan?Anggap saja dia hadir di tengah hubungan Kafka dan Sheyr
Sheyra memindai pandangannya dengan canggung pada ibu dan ayah mertuanya yang tampak saling lirik dan seperti sedang berbicara melalui telepati. Dia jadi berpikir bahwa penyebab keduanya bersikap seperti itu ialah karena kehadiran dirinya di meja makan pagi itu. Sebagai penghuni baru di salah satu kursi makan yang semula kosong itu, tentunya membuat Sheyra tersinggung apalagi bila mengingat hubungannya dengan mertua yang kurang baik,bahkan saat awal perjumpaannya. "Aku ke kamar dulu, Ar. Aku rasa, perutku belum lapar," ucap Sheyra berniat undur diri. "Apa mau makan di kamar aja, Shey? Kalau iya, biar Bibi yang mengantarnya naik," tawar Arya yang segera membuat kepala Sheyra menggeleng. "Nggak usah. Nanti aku turun lagi kok," jawab Sheyra tak sepenuhnya berbohong. Mungkin, entah nanti pukul berapa, atau menunggu penghuni rumah sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Sheyra baru akan turun untuk sarapan. Karena bagaimana pun, dia tidak mungkin melewatkan hal sepenting itu bagi
Sheyra menoleh ketika melihat pintu kamar terbuka dan tidak berapa lama, Arya muncul dari sela pintu yang terbuka itu dengan membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. "Arya..." Sheyra mengerjap pelan saat Arya tiba-tiba meletakkan nampan tersebut di atas meja kemudian menyodorkan padanya yang saat itu sedang duduk bersila di atas sofa. "Makan dulu. Jangan lupa habiskan susunya juga," titah Arya menatap Sheyra dengan serius. "Tapi, aku—""Jangan banyak alasan, Shey. Selain nyawamu sendiri, ada nyawa lain yang harus kamu jaga. Jadi, jangan bersikap egois," sela Arya cepat. Mendengar itu, Sheyra tersenyum haru, tidak menyangka jika Arya akan se perhatian itu. "Aku akan makan. Tapi susunya, aku nggak boleh minum susu sembarangan, Ar." Mendadak, Sheyra merasa tak enak hati karena berniat menolak susu yang diberikan oleh Arya. "Itu susu untuk ibu hamil kok. Tadi, aku minta Bibi beli di mini market sebelah," beritahu Arya menjelaskan. Baru, saat itu Sheyra berani meminum susu yang