Sheyra memindai pandangannya dengan canggung pada ibu dan ayah mertuanya yang tampak saling lirik dan seperti sedang berbicara melalui telepati. Dia jadi berpikir bahwa penyebab keduanya bersikap seperti itu ialah karena kehadiran dirinya di meja makan pagi itu. Sebagai penghuni baru di salah satu kursi makan yang semula kosong itu, tentunya membuat Sheyra tersinggung apalagi bila mengingat hubungannya dengan mertua yang kurang baik,bahkan saat awal perjumpaannya. "Aku ke kamar dulu, Ar. Aku rasa, perutku belum lapar," ucap Sheyra berniat undur diri. "Apa mau makan di kamar aja, Shey? Kalau iya, biar Bibi yang mengantarnya naik," tawar Arya yang segera membuat kepala Sheyra menggeleng. "Nggak usah. Nanti aku turun lagi kok," jawab Sheyra tak sepenuhnya berbohong. Mungkin, entah nanti pukul berapa, atau menunggu penghuni rumah sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Sheyra baru akan turun untuk sarapan. Karena bagaimana pun, dia tidak mungkin melewatkan hal sepenting itu bagi
Sheyra menoleh ketika melihat pintu kamar terbuka dan tidak berapa lama, Arya muncul dari sela pintu yang terbuka itu dengan membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. "Arya..." Sheyra mengerjap pelan saat Arya tiba-tiba meletakkan nampan tersebut di atas meja kemudian menyodorkan padanya yang saat itu sedang duduk bersila di atas sofa. "Makan dulu. Jangan lupa habiskan susunya juga," titah Arya menatap Sheyra dengan serius. "Tapi, aku—""Jangan banyak alasan, Shey. Selain nyawamu sendiri, ada nyawa lain yang harus kamu jaga. Jadi, jangan bersikap egois," sela Arya cepat. Mendengar itu, Sheyra tersenyum haru, tidak menyangka jika Arya akan se perhatian itu. "Aku akan makan. Tapi susunya, aku nggak boleh minum susu sembarangan, Ar." Mendadak, Sheyra merasa tak enak hati karena berniat menolak susu yang diberikan oleh Arya. "Itu susu untuk ibu hamil kok. Tadi, aku minta Bibi beli di mini market sebelah," beritahu Arya menjelaskan. Baru, saat itu Sheyra berani meminum susu yang
Tak membutuhkan waktu lama bagi Sheyra untuk segera akrab dengan ibu mertuanya. Terlebih lagi, baik Pak Rivandi maupun Bu Hanum, keduanya sudah sama-sama mau menerima kehadirannya di rumah besar itu. Sungguh, kali ini Sheyra seperti merasa telah berada di tempat yang tepat, walaupun keberadaannya di sana diawali dengan sebuah kebohongan. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah berdoa agar kebohongannya akan selalu tertutupi dan tidak terbongkar di kemudian hari. Sheyra tidak bisa membayangkan seandainya suatu hari nanti, ayah dan ibu mertuanya mengetahui ayah biologis anak yang di kandungnya. Pasti, keduanya akan sangat marah dan kecewa. "Mikir apa sih, Shey? Kenapa suka melamun terus?" Pertanyaan dari Arya itu membuat Sheyra tersenyum tipis. Dia yang tidak berniat mengatakan apa yang sedang ada dalam pikiran pun memilih mencari topik pembicaraan lain. "Kamu udahan mandinya?" tanya Sheyra sambil menelisik penampilan Arya yang sudah tampak segar dengan kondisi rambutnya yang basah. "
Pagi kembali tiba untuk membangunkan orang-orang agar melakukan aktifitas monotonnya. Namun, berbeda dengan Arya yang justru masih bertahan di atas ranjang dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ya. Malam tadi Sheyra tidur seranjang dengan Arya dan hanya dibatasi dengan guling yang diletakkan di tengah-tengah ranjang. Tidak ada adegan romantis layaknya pasangan muda maupun adegan panas layaknya pengantin baru. Baik Sheyra maupun Arya sama-sama tertidur pulas dalam mimpinya. "Arya? Udah siang. Bangun," ucap Sheyra ketika dia telah selesai mengenakan pakaian sehabis mandi. "Eung." Arya hanya membalikkan tubuhnya sambil mengerang pelan. Sepertinya enggan terbangun mengingat pagi ini hujan sedang mengguyur kota. "Arya!" Kali ini Sheyra mengatakannya dengan lebih lantang agar suaminya itu bisa mendengarnya dengan baik. "Apa sih, Shey?" gumam Arya terdengar tak jelas. Decakan kesal pun keluar dari mulut Sheyra. Dia gemas karena usahanya untuk membangunkan Arya seakan ha
"Apa ini?" tanya Utari kepada Raditya sambil menunjukkan sebuah foto di dalam layar ponselnya yang menyala. Melihat itu, mata Radit pun sontak membola. Dia terkejut bukan main saat kegiatannya di hari Minggu kemarin telah tercium oleh sang Mama. "Mama dapat darimana?" tanya Radit agak kesal karena sang Mama seperti tak pernah muda saja. Di dalam layar ponsel mamanya itu, terdapat sebuah foto dirinya bersama 'calon kekasih'—masih calon karena Radit sedang dalam masa pendekatan, yang sedang bergandengan tangan memasuki sebuah bioskop. Tidak ada yang salah menurut Radit. Tingkahnya masih wajar dengan lawan jenis. "Nggak penting Mama dapet dari mana karena penjelasan kamulah yang lebih penting." Sang Mama tampak menyilangkan duduknya sambil kedua lengannya dilipat di depan dada. Radit yang posisinya saat ini sedang berdiri menghadap sang Mama, mendadak butuh pegangan karena kakinya terasa bergetar bila mamanya itu mulai ikut campur dan mengulik urusan pribadinya. Akhirnya, dia putusk
"Masih banyak kerjaan ya, Bi?" tanya Sheyra saat baru tiba di dapur. Dia bisa melihat bagaimana tangan Bu Arum begitu cekatan mengolah makanan untuk sarapan sekeluarga. "Nggak, Non. Tinggal kasih santen di buburnya sama goreng kacang kedelainya kok," jawab Bi Arum tersenyum ramah. Ya. Menu sarapan yang dibuat Bibi pagi itu ialah bubur ayam. Dari baunya, Sheyra seperti sudah bisa menebak jika rasanya sangatlah enak. Belum lagi kuah kuning sebagai bumbu untuk bubur itu, membuat Sheyra sampai menelan ludah saking ingin memakannya. Namun, dia harus menahan sampai beberapa menit ke depan, setidaknya sampai Bi Arum menyajikannya di atas meja dan menunggu ayah serta ibu mertuanya tiba. "Belum buat teh ya, Bi?" tanya Sheyra ketika melihat nampan yang biasa digunakan untuk menaruh cangkir teh di atas meja makan masih tampak bersih dan tersimpan rapi pada rak di samping kitchen sink. Beberapa hari tinggal di rumah itu membuat Sheyra sedikit tahu jika setiap kali sarapan, pasti harus ada teh
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan setelah Arya menutup teleponnya. Suaminya itu mengatakan bahwa malam ini akan pulang sedikit terlambat karena masih ada urusan bersama Pak Rivandi. Dan sialnya, ketika Sheyra hanya sendirian di dalam kamar, pikirannya itu selalu jauh mengembara, pun ketika dia telah berdiri di balkon kemudian melihat landscape langit yang tampak ditaburi bintang, seakan menambah beban pikiran dalam otaknya untuk semakin banyak. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Sheyra segera disadarkan oleh ponselnya yang kembali berdering. Dia mengernyit ketika melihat layar ponselnya yang menampilkan nama Kafka di sana. Sedetik kemudian, kelopak matanya membelalak lalu mengerjap cepat ketika dering itu berakhir dengan status tak terjawab. Sheyra menghembuskan napas kasar. Jantungnya mulai berdegup tak beraturan, dan debaran itu masih terus berlanjut saat ponselnya kembali berdering menampilkan nama yang sama. Tiba-tiba, Sheyra bimbang mengenai, apakah dia harus men
Kafka menatap nanar pada ponselnya yang layar datarnya sudah berubah gelap karena beberapa menit yang lalu panggilan dari Sheyra telah terputus. Dilemparkannya tatapan Kafka ke depan, melihat pemandangan kota Melbourne dari balkon kamarnya yang terlihat berwarna oranye karena musim gugur sedang melanda. Jalanan setapak maupun jalan raya, keduanya sama-sama dipenuhi oleh dedaunan yang jatuh dari pohon yang tumbuh di pematang jalan, menambah kesan sendu di hati Kafka. "Bagaimana pun, aku nggak akan anggap hubungan ini telah usai. Mungkin, Sheyra hanya marah padaku karena sudah lama tak memberi kabar. Iya. Mungkin hanya begitu. Setelah itu, aku dan Sheyra akan berbaikan lagi seiring dengan berjalannya waktu." Setelah berkata demikian, dalam pikiran Kafka seketika terbesit untuk menelepon Arya. Jika dia tidak bisa mengetahui kabar Sheyra lewat perempuan itu sendiri, maka dia bisa mengetahuinya melalui Arya. Bagai mendapatkan ide brilian, Kafka pun tak ingin menyia-nyiakan. Ini adalah