"Masih banyak kerjaan ya, Bi?" tanya Sheyra saat baru tiba di dapur. Dia bisa melihat bagaimana tangan Bu Arum begitu cekatan mengolah makanan untuk sarapan sekeluarga. "Nggak, Non. Tinggal kasih santen di buburnya sama goreng kacang kedelainya kok," jawab Bi Arum tersenyum ramah. Ya. Menu sarapan yang dibuat Bibi pagi itu ialah bubur ayam. Dari baunya, Sheyra seperti sudah bisa menebak jika rasanya sangatlah enak. Belum lagi kuah kuning sebagai bumbu untuk bubur itu, membuat Sheyra sampai menelan ludah saking ingin memakannya. Namun, dia harus menahan sampai beberapa menit ke depan, setidaknya sampai Bi Arum menyajikannya di atas meja dan menunggu ayah serta ibu mertuanya tiba. "Belum buat teh ya, Bi?" tanya Sheyra ketika melihat nampan yang biasa digunakan untuk menaruh cangkir teh di atas meja makan masih tampak bersih dan tersimpan rapi pada rak di samping kitchen sink. Beberapa hari tinggal di rumah itu membuat Sheyra sedikit tahu jika setiap kali sarapan, pasti harus ada teh
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan setelah Arya menutup teleponnya. Suaminya itu mengatakan bahwa malam ini akan pulang sedikit terlambat karena masih ada urusan bersama Pak Rivandi. Dan sialnya, ketika Sheyra hanya sendirian di dalam kamar, pikirannya itu selalu jauh mengembara, pun ketika dia telah berdiri di balkon kemudian melihat landscape langit yang tampak ditaburi bintang, seakan menambah beban pikiran dalam otaknya untuk semakin banyak. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Sheyra segera disadarkan oleh ponselnya yang kembali berdering. Dia mengernyit ketika melihat layar ponselnya yang menampilkan nama Kafka di sana. Sedetik kemudian, kelopak matanya membelalak lalu mengerjap cepat ketika dering itu berakhir dengan status tak terjawab. Sheyra menghembuskan napas kasar. Jantungnya mulai berdegup tak beraturan, dan debaran itu masih terus berlanjut saat ponselnya kembali berdering menampilkan nama yang sama. Tiba-tiba, Sheyra bimbang mengenai, apakah dia harus men
Kafka menatap nanar pada ponselnya yang layar datarnya sudah berubah gelap karena beberapa menit yang lalu panggilan dari Sheyra telah terputus. Dilemparkannya tatapan Kafka ke depan, melihat pemandangan kota Melbourne dari balkon kamarnya yang terlihat berwarna oranye karena musim gugur sedang melanda. Jalanan setapak maupun jalan raya, keduanya sama-sama dipenuhi oleh dedaunan yang jatuh dari pohon yang tumbuh di pematang jalan, menambah kesan sendu di hati Kafka. "Bagaimana pun, aku nggak akan anggap hubungan ini telah usai. Mungkin, Sheyra hanya marah padaku karena sudah lama tak memberi kabar. Iya. Mungkin hanya begitu. Setelah itu, aku dan Sheyra akan berbaikan lagi seiring dengan berjalannya waktu." Setelah berkata demikian, dalam pikiran Kafka seketika terbesit untuk menelepon Arya. Jika dia tidak bisa mengetahui kabar Sheyra lewat perempuan itu sendiri, maka dia bisa mengetahuinya melalui Arya. Bagai mendapatkan ide brilian, Kafka pun tak ingin menyia-nyiakan. Ini adalah
"Ma? Jumat sore aku punya rencana balik ke Indonesia," celetuk Kafka saat makan malam keluarga sedang berlangsung. Hal itu tentu saja membuat mamanya tersedak sampai terbatuk-batuk karena ucapan Kafka itu terdengar tidak masuk di akal. Merasa bersalah, Kafka pun bergerak memberikan air kemudian menepuk-nepuk pundak sang Mama pelan. "Maaf udah buat Mama tersedak," sesal Kafka setelah melihat bahwa kondisi mamanya sudah lebih baik. "Tadi, kamu bilang kamu mau pulang ke Indonesia? Buat apa, Ka?" cecar beliau setelah keadaannya lebih tenang. "Siapa yang mau balik ke Indo?" Pertanyaan dari arah kamar itu membuat Kafka baik mamanya sama-sama menoleh, dan Kafka seketika tak punya nyali ketika melihat sang Papa sedang berjalan menuju meja makan untuk melakukan makan malam. Berbeda dengan Kafka, Bu Diana justru tersenyum jumawa, merasa jika perdebatan kali ini akan dimenangkan oleh beliau karena suaminya itu pasti akan membela. "Kafka mau pulang ke Indo. Nggak tau buat apa. Jangan bilang,
"Astaga!" Sheyra berseru kaget ketika mendapati Arya sudah berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menunjukkan senyum lebarnya. "Udah selesai mandinya?" tanya Arya tanpa dosa. "Udah. Kamu ngapain di depan pintu? Aku 'kan kaget, Ar." Sheyra bersungut kesal. Beruntung, dia sudah mengenakan piyama di dalam kamar mandi, sehingga Arya tak melihatnya dalam keadaan mengenakan handuk saja. "Nungguin kamu mandi. Lama. Aku udah gerah banget," sahut Arya sambil mencubit kerah kemejanya risih kemudian mengendus bau badannya sendiri. Mendengar itu, Sheyra terkekeh sambil menggelengkan kepalanya pelan. Kemudian, dia beri jalan untuk Arya lewat sambil menengadahkan tangan, mempersilahkan. "Silahkan masuk, Tuan. Saya sudah selesai," candanya yang langsung membuat tangan Arya terulur lalu mengacak handuk kecil yang bertengger di kepalanya. "Aku mandi dulu." Sheyra mengangguk saja. Setelah pintu itu tertutup, dia berjalan ke walk in closet guna menyiapkan pakaian tidur untuk Arya. Berbeda kond
"Mau sampai kapan marah sama Om dan Tante sih, Ka?" tanya Richelle yang membuat Kafka mengartikan bawah Richelle sudah tak sudi menampungnya lagi. Sudah terhitung dua hari dia pergi dari apartemen orang tuanya untuk melarikan diri. Dia berani bertindak seperti itu tentunya bukan tanpa sebab, melainkan karena hal itu merupakan sebuah bentuk dari kekecewaannya pada sang Papa yang tega bermain tangan. "Kamu ... Lagi nggak ngusir aku buat pergi dari apartemen kamu 'kan?" jawab Kafka yang justru balik bertanya. Richelle yang sedang berdiri di ambang pintu pembatas antara kamar dan balkon itu pun menghembuskan napas kasar. "Nggak gitu, Ka. Aku cuma nggak mau Tante Diana dan Om Hardy khawatir.""Mereka nggak akan khawatir, Chel." Kafka berucap yakin. Hal itu tentunya mengundang sebuah tanya bagi Richelle hingga membuat gadis pemilik rambut berponi itu pun mendekat dan turut duduk pada bean bag yang kosong—di balkon. "Kenapa bisa gitu? Emang, masalah sebenarnya apa, Ka? Kamu belum cerita
Sheyra mengerjapkan matanya dengan lembut saat indera pendengarannya menangkap suara kicau burung yang begitu merdu. Bunyi derum mobil yang mesinnya sedang dipanaskan itu pun ikut menjadi backsound dalam suasana pagi yang nampaknya akan cerah. Sheyra belum bisa memastikan apakah hari ini cuaca akan cerah, mendung, atau justru hujan sebab matahari pun masih malu-malu menampakkan keindahannya. Walau demikian, sinar yang dimilikinya itu sudah mampu menembus celah gorden di dalam kamarnya. Saat Sheyra hendak bangkit, dia merasakan sebuah tangan besar yang memeluk perutnya, dan karena hal itulah yang membuatnya mengurungkan niat untuk beranjak. Ketika menoleh, dia mendapati wajah damai Arya yang berada dalam jarak sangat dekat dengan wajahnya. Dipandanginya wajah tampan itu dengan seksama. Matanya lekas memindai mulai dari kening, rahang, alis, kelopak mata yang tertutup, hidung, dan berakhirlah di bibir natural yang memiliki tekstur tebal serta lembut itu. 'Pikiran macam apa ini?'
Sheyra tidak tahu apa yang harus dia lakukan ketika takdir kembali mempertemukannya dengan sang Papa di restoran tempat dia dan Arya akan makan siang. Dia tidak tahu harus mengatakan apa saat perjumpaan itu akhirnya kembali terjadi setelah tragedi pengusiran dan tidak dianggapnya Sheyra sebagai anak. Sheyra yang jadi bingung sendiri, apakah dia harus mengiyakan permintaan Papa yang ingin berbicara kepadanya atau lebih baik menolaknya demi menjaga kewarasan jiwa dan raga. Sebenarnya, dia hanya takut akan mendapatkan umpatan atau kata-kata kasar lagi dari pria yang telah membuat Sheyra ada di dunia ini. "Boleh Papa bicara sama kamu?" tanya sang Papa yang kembali mengulang pertanyaannya, setelah pertanyaan pertamanya tak mendapatkan jawaban. "Iya," jawab Sheyra mengangguk ragu. Setelah mendapatkan persetujuan dari Sheyra, sang Papa pun mengambil posisi duduk pada kursi yang tadinya Arya tempati sambil kedua tangan beliau diletakkan di atas meja—dengan posisi saling menggenggam. "Rad
"Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik
Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka
Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden
Setelah memungut buket bunga dan kotak beludru yang sudah terlanjur jatuh ke lantai, Arya pun langsung berjalan cepat meninggalkan kamar Aksa—untuk kemudian pergi dari rumah dan memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah menyempatkan waktu di saat pekerjaannya sedang menumpuk hanya demi memberikan kejutan pada Sheyra. Namun yang dia dapat setelahnya justru hanya perasaan kecewa. "Harusnya, aku nggak perlu sekecewa ini 'kan? Bukankah aku sudah tahu sejak awal lalu Sheyra memang nggak pernah cinta aku?" monolog Arya yang kemudian memukul stir mobilnya kencang sebagai bentuk pelampiasan. Berbeda halnya dengan Sheyra, perempatan itu justru malah mematung sambil memandangi ambang pintu kamar yang masih dalam kondisi terbuka. "Apa itu tadi? Apakah Arya berniat memberiku buket bunga dan..." Ucapannya tak selesai karena terlalu terkejut akan kehadiran Arya yang datang tiba-tiba, lalu pergi dengan tindakan yang sama. "Kenapa aku lihat ada kotak beludru yang jatuh?" gumamnya lagi yang k
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A
Beberapa hari yang lalu saat Kafka mengatakan bahwa suaminya bersama Aster telah bermain kuda-kudaan, saat itu juga Bu Diana tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Walaupun, setelah itu Kafka menjelaskannya bahwa 'kuda-kudaan' yang putranya itu maksud ialah bermain catur di dalam ponsel milik suaminya. Namun tetap saja, sebagai seseorang yang sudah memiliki pengalaman hidup selama hampir lima puluh tahun, tentunya tidak akan mudah dibodohi dan langsung menelan ucapan Kafka mentah-mentah. Jujur saja, Bu Diana merasa memang ada yang tidak beres di antara suaminya itu dengan Aster karena keduanya sempat berada di dalam apartemen hanya berdua, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Kecurigaan beliau pun semakin bertambah kala Bu Diana melihat wajah suaminya itu yang terlihat membiru, seperti baru mendapatkan pukulan di tulang pipinya. Saat Bu Diana bertanya mengenai penyebab wajah suaminya itu tampak membiru, Pak Hardy pun memberikan alasan bahwa itu terjadi karena beliau tidak sengaja t
Sebenarnya, Sheyra tidak berniat menguping pembicaraan sang Papa dengan ibu tirinya. Dia hanya ingin menghampiri beliau untuk meminta papanya bergabung dalam kegiatan makan bersama siang itu. Ketika dia tiba di meja makan dan tidak menemukan keberadaan papanya di sana, dengan segera Sheyra pun mencari beliau, lalu menemukannya di teras samping rumah. "Papa?" panggil Sheyra melirih saat melihat sang Papa tampak sedang berbincang dengan seseorang di dalam ponselnya. Mungkin, panggilannya itu tidak didengar karena papanya itu tak menoleh. Namun, biarkan saja. Sheyra ingin memberikan waktu pada papanya untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana yang bisa Sheyra duga jika itu merupakan ibu tirinya—terbukti dari panggilan 'Mama dan Papa' yang tersemat dalam percakapan tersebut. Karena posisi Sheyra yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat papanya saat ini, dia pun samar-samar mendengar topik pembicaraan yang ada. Dan ketika papanya itu berkata bahwa beliau sedang bermain golf be
Di hari Minggu siang itu, suasana rumah cukup sibuk sebab orang-orang sedang turut mempersiapkan acara aqiqah untuk Aksa. Ada Disa dan suaminya, bahkan Pak Anjasmara dan Radit pun ikut membantu persiapan acara untuk nanti malam tersebut. Ya. Semenjak hari di mana Sheyra bertemu tidak sengaja dengan papanya, semenjak itu juga hubungannya dengan sang Papa membaik. Tak jarang, saat beliau mengajak Sheyra bertemu, Raditya jug ikut sehingga hubungan yang telah ada itu pun kembali terjalin dengan sangat baik. "Udah, kamu duduk aja. Baru lahiran tuh nggak boleh sampai kecapekan," suruh Disa ketika melihat Sheyra yang terlihat mondar-mandir membawa piring dan gelas yang akan digunakan nanti malam. "Cuma piring sama gelas doang kok, Kak. Nggak bikin capek juga," jawab Sheyra tidak merasa keberatan. "Ya tapi tetep aja, Shey. Kamu masih nggak boleh angkat yang berat-berat dulu," keluh Disa tampak menunjukkan raut kesalnya. "Kenapa sih, ribut-ribut." Arya yang entah datang dari mana itu pun