Sheyra tidak tahu apa yang harus dia lakukan ketika takdir kembali mempertemukannya dengan sang Papa di restoran tempat dia dan Arya akan makan siang. Dia tidak tahu harus mengatakan apa saat perjumpaan itu akhirnya kembali terjadi setelah tragedi pengusiran dan tidak dianggapnya Sheyra sebagai anak. Sheyra yang jadi bingung sendiri, apakah dia harus mengiyakan permintaan Papa yang ingin berbicara kepadanya atau lebih baik menolaknya demi menjaga kewarasan jiwa dan raga. Sebenarnya, dia hanya takut akan mendapatkan umpatan atau kata-kata kasar lagi dari pria yang telah membuat Sheyra ada di dunia ini. "Boleh Papa bicara sama kamu?" tanya sang Papa yang kembali mengulang pertanyaannya, setelah pertanyaan pertamanya tak mendapatkan jawaban. "Iya," jawab Sheyra mengangguk ragu. Setelah mendapatkan persetujuan dari Sheyra, sang Papa pun mengambil posisi duduk pada kursi yang tadinya Arya tempati sambil kedua tangan beliau diletakkan di atas meja—dengan posisi saling menggenggam. "Rad
Setelah pamit untuk pergi ke toilet, tidak berapa lama Arya telah kembali. Namun, ketika melihat ada orang lain di tempat duduk yang dia pesan bersama Sheyra, seketika itu juga Arya mengurungkan niatnya untuk mendekati Sheyra. Diamatinya dengan seksama siapa pemilik wajah yang sudah tidak asing lagi di ingatannya itu. Ketika sadar bahwa sosok itu merupakan ayah Sheyra, Arya pun menegang dan sudah bersiap untuk mendekat. Namun ketika menyaksikan Sheyra yang tersenyum, seperti terlihat baik-baik saja, seketika itu juga Arya memilih untuk menunggu Sheyra selesai berbicara dengan papanya. Dia memutuskan duduk di salah satu kursi yang tak berpenghuni. Bahkan, saat seorang pramusaji berniat mengantarkan makanan ke mejanya, saat itu juga Arya mencegah. "Mas? Mau antar pesanan ke meja nomor lima ya?" tanya Arya memastikan. Ketika sang Pramusaji itu mengangguk, Arya pun kembali berkata. "Kalau antarnya ditunda dulu boleh nggak? Soalnya, lagi ada pembicaraan penting. Takutnya ganggu. Kebetul
Matahari di Minggu pagi itu begitu terasa hangat menyentuh kulit Sheyra yang saat ini sedang berjemur di balkon kamarnya. Hal itu pun membuat Sheyra memejamkan mata, merasakan fenomena alam yang telah Tuhan suguhkan untuknya. Kelopak matanya baru terbuka saat mendengar obrolan di bawah sana, tepatnya di jalanan kompleks perumahan tempatnya tinggal. Ada beberapa ibu-ibu yang sedang berjalan ke arah yang sama, mungkin untuk berbelanja di warung sayur langganannya. Sheyra bisa menebak demikian sebab dia selalu mengamati hal tersebut. Dan sudah bisa Sheyra pastikan, tidak berapa lama ibu-ibu kompleks itu akan kembali dengan membawa barang belanjaan. Tidak hanya itu, ibu-ibu itu pun pasti akan mengobrol lagi di pinggir jalan sekembalinya dari berbelanja. Mengingat hal itu pun, Sheyra seketika tersenyum sambil menggelengkan kepala. Saat Sheyra berniat mengamati lagi pemandangan di bawah sana, tiba-tiba saja dua lengan besar melewati pinggangnya, kemudian berlabuh di depan perutnya, mende
Sekarang Sheyra mulai ingat kalau dulu, dia memang pernah bertemu kakak iparnya. Itu pun sudah terjadi sejak lama sekali sampai Sheyra sudah lupa tepatnya kapan. Namun yang membuat Sheyra tidak menyangka ialah, saat kakak ipar Arya itu mengenalinya sebagai kekasih Kafka, bukan sebagai teman Arya—pada saat itu. "Bener nggak sih? Atau aku yang salah sangka?" ucap Disa mengulang pertanyaannya karena pertanyaan yang pertama belum menemui jawaban. Sheyra ingin berbohong, tetapi untuk apa? Semua orang juga tahu kalau dulunya Sheyra adalah kekasih Kafka dan hidupnya seperti hanya seputar dari lelaki itu. "Iya. Tapi, itu dulu, Kak," jawab Sheyra setelah mengumpulkan keberaniannya yang sempat menghilang dari jangkauan. "Iya sih. Setiap orang pasti punya masa lalu begitu juga dengan Arya." Kakak iparnya itu pun mengangguk-angguk maklum, tetapi bukan itu yang menjadi sorotan bagi Sheyra, melainkan karena tentang kata 'masa lalu' yang sempat kakak iparnya itu katakan. "Masa lalu? Apa selama
Di Melbourne."Papa ke mana, Ma?" tanya Kafka ketika dia baru bergabung dengan sang Mama di meja makan. Saat dia tidak menemukan keberadaan papanya untuk yang kesekian kali saat makan malam, saat itu juga dia merasa heran. "Biasa ... Lembur," jawab sang Mama sambil bergerak mengambil nasi, kemudian mengisinya ke atas piring kosong di depan Kafka. "Lembur lagi?" tanya Kafka setengah tak percaya. Bu Diana hanya mengangguk sebagai jawaban sebab fokusnya sedang tertuju pada menu makanan di depan beliau. "Makan, Ka." Sambil mengetuk piring Kafka pelan. Jika mamanya sudah seperti itu, maka Kafka sudah tidak diizinkan lagi untuk bertanya. Yang bisa dia lakukan hanyalah menurut dan segera mengabiskan makanan yang telah makannya ambilkan. Ya. Kafka memang sudah pulang lagi ke apartemen orang tuanya. Selain karena tak punya uang yang cukup untuk menyewa apartemen sendiri, dia juga tidak mungkin merepotkan Richelle setiap hari. Akhirnya, atas bujukan dari Bu Diana, Kafka pun setuju untuk pu
Beberapa bulan kemudian.. Oek.. oek.. Suara tangis bayi itu terdengar menggema di ruangan bersalin—yang berada di rumah sakit ibu dan anak— yang telah keluarga Arya pilihkan untuk Sheyra. Suara bayi mungil itu berhasil menggetarkan perasaan orang-orang yang kini berada di dalam ruangan, termasuk para tenaga medis yang menangani proses melahirkan tersebut. "Selamat, Pak, Bu, anaknya lahir dengan sehat dengan jenis kelamin laki-laki," ucap Dokter Alin, yang menangani proses melahirkan Sheyra. Sheyra mengangguk saja sebab kini perhatiannya sedang tertuju pada Arya. Pria itu tengah mengambil alih bayinya dari sang Perawat untuk kemudian dipindahkan pada lengannya. Dari jarak pandangnya saat ini, Sheyra bisa melihat bagaimana kedua mata tegas itu menitikkan air mata, tetapi dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik ke atas dengan saling berlawanan arah. "Namanya Aksara Airlangga," ujar Arya yang membuat Sheyra pun tak kuasa menahan laju air matanya. Mendadak Sheyra menangis
Entah mengapa, akhir-akhir ini perasaan Sheyra menjadi sangat sensitif dan gampang menangis. Bahkan, dia sampai menangisi Arya sebab merasa terharu setiap kali melihat suaminya itu yang rela ikut begadang saat Aksa terbangun tengah malam. Tak jarang, Arya lah yang kembali menidurkan Aksan setelah Sheyra selesai menyusui. Bagai anak dan ayah yang terikat darah, Aksa tampak begitu nyaman dalam gendongan Arya dan tak perlu menunggu lama, mata bulat dan kecilnya itu kembali terpejam dan terlelap. Seperti sekarang ini. Sheyra masih begitu betah memandangi punggung Arya yang kini sedang membelakanginya. Punggung itu tampak bergerak pelan karena kedua lengan Arya sedang menimang-nimang Aksa. Menyaksikan hal itu, Sheyra pun tersenyum dengan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca. Dia bahagia melihat hal itu, tetapi di sisi lain dia juga merasa khawatir pada masa yang akan datang. Khawatir bahwa apa yang saat ini sedang dimiliki dan dinikmatinya itu hanyalah sementara sebab badai bernama Kaf
Kafka berjalan cepat menuju lift dan saat dua bilah pintunya terbuka, Kafka segera masuk ke dalam ruang sempit itu sampai benda kotak itu membawanya ke lantai paling dasar. Kedai kopi di seberang jalan adalah tujuan utamanya saat ini. Mungkin dengan menikmati secangkir Espresso dan asap nikotin, bisa membuat riuh dan penuh di kepalanya sedikit berkurang. Sehingga, dia memiliki sela untuk berpikir mengenai bagaimana caranya dia memberitahu sang Mama tentang kelakuan Papa. Ketika sudah masuk ke dalam kedai yang hanya di buka malam hari itu pun, Kafka langsung mengatakan pesanannya. Setelah barista yang berjaga mencatat, Kafka pun langsung berlalu untuk mencari tempat duduk, dan meja di sudut ruangan merupakan incarannya. Sayangnya, ketika dia baru mendudukkan diri di kursi tersebut, justru hal yang pertama kali Kafka ingat ialah sosok Sheyra. Harusnya tidak boleh seperti itu karena Sheyra bisa dia urus lain waktu. Akhirnya, dia mencoba kembali fokus pada permasalahan kedua orang tua