Di Melbourne."Papa ke mana, Ma?" tanya Kafka ketika dia baru bergabung dengan sang Mama di meja makan. Saat dia tidak menemukan keberadaan papanya untuk yang kesekian kali saat makan malam, saat itu juga dia merasa heran. "Biasa ... Lembur," jawab sang Mama sambil bergerak mengambil nasi, kemudian mengisinya ke atas piring kosong di depan Kafka. "Lembur lagi?" tanya Kafka setengah tak percaya. Bu Diana hanya mengangguk sebagai jawaban sebab fokusnya sedang tertuju pada menu makanan di depan beliau. "Makan, Ka." Sambil mengetuk piring Kafka pelan. Jika mamanya sudah seperti itu, maka Kafka sudah tidak diizinkan lagi untuk bertanya. Yang bisa dia lakukan hanyalah menurut dan segera mengabiskan makanan yang telah makannya ambilkan. Ya. Kafka memang sudah pulang lagi ke apartemen orang tuanya. Selain karena tak punya uang yang cukup untuk menyewa apartemen sendiri, dia juga tidak mungkin merepotkan Richelle setiap hari. Akhirnya, atas bujukan dari Bu Diana, Kafka pun setuju untuk pu
Beberapa bulan kemudian.. Oek.. oek.. Suara tangis bayi itu terdengar menggema di ruangan bersalin—yang berada di rumah sakit ibu dan anak— yang telah keluarga Arya pilihkan untuk Sheyra. Suara bayi mungil itu berhasil menggetarkan perasaan orang-orang yang kini berada di dalam ruangan, termasuk para tenaga medis yang menangani proses melahirkan tersebut. "Selamat, Pak, Bu, anaknya lahir dengan sehat dengan jenis kelamin laki-laki," ucap Dokter Alin, yang menangani proses melahirkan Sheyra. Sheyra mengangguk saja sebab kini perhatiannya sedang tertuju pada Arya. Pria itu tengah mengambil alih bayinya dari sang Perawat untuk kemudian dipindahkan pada lengannya. Dari jarak pandangnya saat ini, Sheyra bisa melihat bagaimana kedua mata tegas itu menitikkan air mata, tetapi dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik ke atas dengan saling berlawanan arah. "Namanya Aksara Airlangga," ujar Arya yang membuat Sheyra pun tak kuasa menahan laju air matanya. Mendadak Sheyra menangis
Entah mengapa, akhir-akhir ini perasaan Sheyra menjadi sangat sensitif dan gampang menangis. Bahkan, dia sampai menangisi Arya sebab merasa terharu setiap kali melihat suaminya itu yang rela ikut begadang saat Aksa terbangun tengah malam. Tak jarang, Arya lah yang kembali menidurkan Aksan setelah Sheyra selesai menyusui. Bagai anak dan ayah yang terikat darah, Aksa tampak begitu nyaman dalam gendongan Arya dan tak perlu menunggu lama, mata bulat dan kecilnya itu kembali terpejam dan terlelap. Seperti sekarang ini. Sheyra masih begitu betah memandangi punggung Arya yang kini sedang membelakanginya. Punggung itu tampak bergerak pelan karena kedua lengan Arya sedang menimang-nimang Aksa. Menyaksikan hal itu, Sheyra pun tersenyum dengan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca. Dia bahagia melihat hal itu, tetapi di sisi lain dia juga merasa khawatir pada masa yang akan datang. Khawatir bahwa apa yang saat ini sedang dimiliki dan dinikmatinya itu hanyalah sementara sebab badai bernama Kaf
Kafka berjalan cepat menuju lift dan saat dua bilah pintunya terbuka, Kafka segera masuk ke dalam ruang sempit itu sampai benda kotak itu membawanya ke lantai paling dasar. Kedai kopi di seberang jalan adalah tujuan utamanya saat ini. Mungkin dengan menikmati secangkir Espresso dan asap nikotin, bisa membuat riuh dan penuh di kepalanya sedikit berkurang. Sehingga, dia memiliki sela untuk berpikir mengenai bagaimana caranya dia memberitahu sang Mama tentang kelakuan Papa. Ketika sudah masuk ke dalam kedai yang hanya di buka malam hari itu pun, Kafka langsung mengatakan pesanannya. Setelah barista yang berjaga mencatat, Kafka pun langsung berlalu untuk mencari tempat duduk, dan meja di sudut ruangan merupakan incarannya. Sayangnya, ketika dia baru mendudukkan diri di kursi tersebut, justru hal yang pertama kali Kafka ingat ialah sosok Sheyra. Harusnya tidak boleh seperti itu karena Sheyra bisa dia urus lain waktu. Akhirnya, dia mencoba kembali fokus pada permasalahan kedua orang tua
Di hari Minggu siang itu, suasana rumah cukup sibuk sebab orang-orang sedang turut mempersiapkan acara aqiqah untuk Aksa. Ada Disa dan suaminya, bahkan Pak Anjasmara dan Radit pun ikut membantu persiapan acara untuk nanti malam tersebut. Ya. Semenjak hari di mana Sheyra bertemu tidak sengaja dengan papanya, semenjak itu juga hubungannya dengan sang Papa membaik. Tak jarang, saat beliau mengajak Sheyra bertemu, Raditya jug ikut sehingga hubungan yang telah ada itu pun kembali terjalin dengan sangat baik. "Udah, kamu duduk aja. Baru lahiran tuh nggak boleh sampai kecapekan," suruh Disa ketika melihat Sheyra yang terlihat mondar-mandir membawa piring dan gelas yang akan digunakan nanti malam. "Cuma piring sama gelas doang kok, Kak. Nggak bikin capek juga," jawab Sheyra tidak merasa keberatan. "Ya tapi tetep aja, Shey. Kamu masih nggak boleh angkat yang berat-berat dulu," keluh Disa tampak menunjukkan raut kesalnya. "Kenapa sih, ribut-ribut." Arya yang entah datang dari mana itu pun
Sebenarnya, Sheyra tidak berniat menguping pembicaraan sang Papa dengan ibu tirinya. Dia hanya ingin menghampiri beliau untuk meminta papanya bergabung dalam kegiatan makan bersama siang itu. Ketika dia tiba di meja makan dan tidak menemukan keberadaan papanya di sana, dengan segera Sheyra pun mencari beliau, lalu menemukannya di teras samping rumah. "Papa?" panggil Sheyra melirih saat melihat sang Papa tampak sedang berbincang dengan seseorang di dalam ponselnya. Mungkin, panggilannya itu tidak didengar karena papanya itu tak menoleh. Namun, biarkan saja. Sheyra ingin memberikan waktu pada papanya untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana yang bisa Sheyra duga jika itu merupakan ibu tirinya—terbukti dari panggilan 'Mama dan Papa' yang tersemat dalam percakapan tersebut. Karena posisi Sheyra yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat papanya saat ini, dia pun samar-samar mendengar topik pembicaraan yang ada. Dan ketika papanya itu berkata bahwa beliau sedang bermain golf be
Beberapa hari yang lalu saat Kafka mengatakan bahwa suaminya bersama Aster telah bermain kuda-kudaan, saat itu juga Bu Diana tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Walaupun, setelah itu Kafka menjelaskannya bahwa 'kuda-kudaan' yang putranya itu maksud ialah bermain catur di dalam ponsel milik suaminya. Namun tetap saja, sebagai seseorang yang sudah memiliki pengalaman hidup selama hampir lima puluh tahun, tentunya tidak akan mudah dibodohi dan langsung menelan ucapan Kafka mentah-mentah. Jujur saja, Bu Diana merasa memang ada yang tidak beres di antara suaminya itu dengan Aster karena keduanya sempat berada di dalam apartemen hanya berdua, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Kecurigaan beliau pun semakin bertambah kala Bu Diana melihat wajah suaminya itu yang terlihat membiru, seperti baru mendapatkan pukulan di tulang pipinya. Saat Bu Diana bertanya mengenai penyebab wajah suaminya itu tampak membiru, Pak Hardy pun memberikan alasan bahwa itu terjadi karena beliau tidak sengaja t
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A