Kafka menatap nanar pada ponselnya yang layar datarnya sudah berubah gelap karena beberapa menit yang lalu panggilan dari Sheyra telah terputus. Dilemparkannya tatapan Kafka ke depan, melihat pemandangan kota Melbourne dari balkon kamarnya yang terlihat berwarna oranye karena musim gugur sedang melanda. Jalanan setapak maupun jalan raya, keduanya sama-sama dipenuhi oleh dedaunan yang jatuh dari pohon yang tumbuh di pematang jalan, menambah kesan sendu di hati Kafka. "Bagaimana pun, aku nggak akan anggap hubungan ini telah usai. Mungkin, Sheyra hanya marah padaku karena sudah lama tak memberi kabar. Iya. Mungkin hanya begitu. Setelah itu, aku dan Sheyra akan berbaikan lagi seiring dengan berjalannya waktu." Setelah berkata demikian, dalam pikiran Kafka seketika terbesit untuk menelepon Arya. Jika dia tidak bisa mengetahui kabar Sheyra lewat perempuan itu sendiri, maka dia bisa mengetahuinya melalui Arya. Bagai mendapatkan ide brilian, Kafka pun tak ingin menyia-nyiakan. Ini adalah
"Ma? Jumat sore aku punya rencana balik ke Indonesia," celetuk Kafka saat makan malam keluarga sedang berlangsung. Hal itu tentu saja membuat mamanya tersedak sampai terbatuk-batuk karena ucapan Kafka itu terdengar tidak masuk di akal. Merasa bersalah, Kafka pun bergerak memberikan air kemudian menepuk-nepuk pundak sang Mama pelan. "Maaf udah buat Mama tersedak," sesal Kafka setelah melihat bahwa kondisi mamanya sudah lebih baik. "Tadi, kamu bilang kamu mau pulang ke Indonesia? Buat apa, Ka?" cecar beliau setelah keadaannya lebih tenang. "Siapa yang mau balik ke Indo?" Pertanyaan dari arah kamar itu membuat Kafka baik mamanya sama-sama menoleh, dan Kafka seketika tak punya nyali ketika melihat sang Papa sedang berjalan menuju meja makan untuk melakukan makan malam. Berbeda dengan Kafka, Bu Diana justru tersenyum jumawa, merasa jika perdebatan kali ini akan dimenangkan oleh beliau karena suaminya itu pasti akan membela. "Kafka mau pulang ke Indo. Nggak tau buat apa. Jangan bilang,
"Astaga!" Sheyra berseru kaget ketika mendapati Arya sudah berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menunjukkan senyum lebarnya. "Udah selesai mandinya?" tanya Arya tanpa dosa. "Udah. Kamu ngapain di depan pintu? Aku 'kan kaget, Ar." Sheyra bersungut kesal. Beruntung, dia sudah mengenakan piyama di dalam kamar mandi, sehingga Arya tak melihatnya dalam keadaan mengenakan handuk saja. "Nungguin kamu mandi. Lama. Aku udah gerah banget," sahut Arya sambil mencubit kerah kemejanya risih kemudian mengendus bau badannya sendiri. Mendengar itu, Sheyra terkekeh sambil menggelengkan kepalanya pelan. Kemudian, dia beri jalan untuk Arya lewat sambil menengadahkan tangan, mempersilahkan. "Silahkan masuk, Tuan. Saya sudah selesai," candanya yang langsung membuat tangan Arya terulur lalu mengacak handuk kecil yang bertengger di kepalanya. "Aku mandi dulu." Sheyra mengangguk saja. Setelah pintu itu tertutup, dia berjalan ke walk in closet guna menyiapkan pakaian tidur untuk Arya. Berbeda kond
"Mau sampai kapan marah sama Om dan Tante sih, Ka?" tanya Richelle yang membuat Kafka mengartikan bawah Richelle sudah tak sudi menampungnya lagi. Sudah terhitung dua hari dia pergi dari apartemen orang tuanya untuk melarikan diri. Dia berani bertindak seperti itu tentunya bukan tanpa sebab, melainkan karena hal itu merupakan sebuah bentuk dari kekecewaannya pada sang Papa yang tega bermain tangan. "Kamu ... Lagi nggak ngusir aku buat pergi dari apartemen kamu 'kan?" jawab Kafka yang justru balik bertanya. Richelle yang sedang berdiri di ambang pintu pembatas antara kamar dan balkon itu pun menghembuskan napas kasar. "Nggak gitu, Ka. Aku cuma nggak mau Tante Diana dan Om Hardy khawatir.""Mereka nggak akan khawatir, Chel." Kafka berucap yakin. Hal itu tentunya mengundang sebuah tanya bagi Richelle hingga membuat gadis pemilik rambut berponi itu pun mendekat dan turut duduk pada bean bag yang kosong—di balkon. "Kenapa bisa gitu? Emang, masalah sebenarnya apa, Ka? Kamu belum cerita
Sheyra mengerjapkan matanya dengan lembut saat indera pendengarannya menangkap suara kicau burung yang begitu merdu. Bunyi derum mobil yang mesinnya sedang dipanaskan itu pun ikut menjadi backsound dalam suasana pagi yang nampaknya akan cerah. Sheyra belum bisa memastikan apakah hari ini cuaca akan cerah, mendung, atau justru hujan sebab matahari pun masih malu-malu menampakkan keindahannya. Walau demikian, sinar yang dimilikinya itu sudah mampu menembus celah gorden di dalam kamarnya. Saat Sheyra hendak bangkit, dia merasakan sebuah tangan besar yang memeluk perutnya, dan karena hal itulah yang membuatnya mengurungkan niat untuk beranjak. Ketika menoleh, dia mendapati wajah damai Arya yang berada dalam jarak sangat dekat dengan wajahnya. Dipandanginya wajah tampan itu dengan seksama. Matanya lekas memindai mulai dari kening, rahang, alis, kelopak mata yang tertutup, hidung, dan berakhirlah di bibir natural yang memiliki tekstur tebal serta lembut itu. 'Pikiran macam apa ini?'
Sheyra tidak tahu apa yang harus dia lakukan ketika takdir kembali mempertemukannya dengan sang Papa di restoran tempat dia dan Arya akan makan siang. Dia tidak tahu harus mengatakan apa saat perjumpaan itu akhirnya kembali terjadi setelah tragedi pengusiran dan tidak dianggapnya Sheyra sebagai anak. Sheyra yang jadi bingung sendiri, apakah dia harus mengiyakan permintaan Papa yang ingin berbicara kepadanya atau lebih baik menolaknya demi menjaga kewarasan jiwa dan raga. Sebenarnya, dia hanya takut akan mendapatkan umpatan atau kata-kata kasar lagi dari pria yang telah membuat Sheyra ada di dunia ini. "Boleh Papa bicara sama kamu?" tanya sang Papa yang kembali mengulang pertanyaannya, setelah pertanyaan pertamanya tak mendapatkan jawaban. "Iya," jawab Sheyra mengangguk ragu. Setelah mendapatkan persetujuan dari Sheyra, sang Papa pun mengambil posisi duduk pada kursi yang tadinya Arya tempati sambil kedua tangan beliau diletakkan di atas meja—dengan posisi saling menggenggam. "Rad
Setelah pamit untuk pergi ke toilet, tidak berapa lama Arya telah kembali. Namun, ketika melihat ada orang lain di tempat duduk yang dia pesan bersama Sheyra, seketika itu juga Arya mengurungkan niatnya untuk mendekati Sheyra. Diamatinya dengan seksama siapa pemilik wajah yang sudah tidak asing lagi di ingatannya itu. Ketika sadar bahwa sosok itu merupakan ayah Sheyra, Arya pun menegang dan sudah bersiap untuk mendekat. Namun ketika menyaksikan Sheyra yang tersenyum, seperti terlihat baik-baik saja, seketika itu juga Arya memilih untuk menunggu Sheyra selesai berbicara dengan papanya. Dia memutuskan duduk di salah satu kursi yang tak berpenghuni. Bahkan, saat seorang pramusaji berniat mengantarkan makanan ke mejanya, saat itu juga Arya mencegah. "Mas? Mau antar pesanan ke meja nomor lima ya?" tanya Arya memastikan. Ketika sang Pramusaji itu mengangguk, Arya pun kembali berkata. "Kalau antarnya ditunda dulu boleh nggak? Soalnya, lagi ada pembicaraan penting. Takutnya ganggu. Kebetul
Matahari di Minggu pagi itu begitu terasa hangat menyentuh kulit Sheyra yang saat ini sedang berjemur di balkon kamarnya. Hal itu pun membuat Sheyra memejamkan mata, merasakan fenomena alam yang telah Tuhan suguhkan untuknya. Kelopak matanya baru terbuka saat mendengar obrolan di bawah sana, tepatnya di jalanan kompleks perumahan tempatnya tinggal. Ada beberapa ibu-ibu yang sedang berjalan ke arah yang sama, mungkin untuk berbelanja di warung sayur langganannya. Sheyra bisa menebak demikian sebab dia selalu mengamati hal tersebut. Dan sudah bisa Sheyra pastikan, tidak berapa lama ibu-ibu kompleks itu akan kembali dengan membawa barang belanjaan. Tidak hanya itu, ibu-ibu itu pun pasti akan mengobrol lagi di pinggir jalan sekembalinya dari berbelanja. Mengingat hal itu pun, Sheyra seketika tersenyum sambil menggelengkan kepala. Saat Sheyra berniat mengamati lagi pemandangan di bawah sana, tiba-tiba saja dua lengan besar melewati pinggangnya, kemudian berlabuh di depan perutnya, mende