Oma Tini tampak sangat bersemangat. Langkah rentanya ringan menggandeng Aruna menuju ke butik langganan keluarga Pranandaru di pusat perbelanjaan mewah.Di belakang mereka, Rafael berjalan santai dengan ekspresi datar sambil sesekali mendengus sebal. Sebab, belum apa-apa tangannya sudah sibuk membawa dua buah tas berwarna coklat dan hitam. Milik neneknya dan Aruna.“Rafael, tangan kamu menganggur kan? Bawakan tas oma.” Oma Tini berkata sambil menyerahkan tas tangannya kepada Rafael. “Nih, sekalian punya istrimu juga.” Mengingat itu, Rafael menghela napas. “Untung sayang.”“Oma suka warna apa? Pastel atau mungkin warna-warna netral?” Aruna bertanya sambil memegang sebuah blouse berwarna biru langit.Oma Tini merengut. “Kenapa jadi pilih punya Oma duluan? Kan kita mau mencari kado ulang tahun kamu.”“Gak harus punyaku duluan kok, Oma. Ini aku ketemu blus yang cocok untuk Oma duluan.” Aruna membalas. “Gimana, Oma?”“Yasudah.” Jawab Oma Tini.Wanita tua itu lalu berpikir sejenak, sebelu
“Dasar tidak tahu diri!! Sudah dewasa masih saja numpang di rumah orang!!”Aruna baru saja tiba di rumah ketika kakak iparnya lagi-lagi mengungkit tentang dirinya yang menjadi beban. Gadis berparas cantik itu hanya bisa menghela napas dan mengernyitkan dahi.Aruna tak tahu apa yang harus ia lakukan selain berhenti melangkah dan menatap sekilas punggung Livia yang tengah duduk sambil mengganti channel TV. Sedetik kemudian Livia menoleh karena tak ada jawaban apa pun dari bibir Aruna. “Dengar, nggak?” ulangnya. Wanita itu menatap tajam Aruna yang masih mematung.“Maaf, Kak. Tapi─”“Tapi apa? Takut abangmu marah dan nyariin kamu? Kamu itu sudah besar, Aruna! Nggak pantas tinggal di rumah saudara yang sudah berkeluarga! Punya otak kan buat mikir? Bisa jelasin ke abangmu sendiri kan?”Aruna kemudian mendengar racauan lain dari bibir sang kakak ipar yang menyakitkan bagi hatinya. Sebenarnya bukannya ia tak mau pergi, tapi abangnya, Nathan, sama sekali tak memperbolehkannya untuk hidup send
Mulut Aruna ternganga usai mendengar permintaan aneh yang baru saja diucapkan oleh Rafael. Bahkan matanya sampai harus mengerjap cepat beberapa kali. Ia tak mungkin salah tangkap, kan? Tak ada hujan, tak ada angin, kenapa bosnya yang terkenal cuek dan workaholic itu tiba-tiba mengajaknya menikah?Lalu, jika mereka menikah, bukankah itu berarti mereka harus merahasiakan hubungan ini di hadapan para karyawan?Tatapan keduanya saling bertubrukan. Pandangan Aruna meneliti secara hati-hati, seakan pria di hadapannya tengah membuat kesalahan yang mencurigakan. Tak hanya itu, Aruna pun sedang menimbang-nimbang adanya kemungkinan Rafael mabuk atau salah minum obat. Namun, itu tidak mungkin karena Aruna tahu betul dengan watak bosnya itu. Pak Rafael pasti tak akan ceroboh melakukan apa pun yang berpotensi merugikan diri sendiri ataupun perusahaan.Melihat tatapan Aruna yang bertanya-tanya, telunjuk Rafael langsung teracung ke arah semua barang bawaan gadis itu, sehingga pandangan Aruna pun
Tubuh Aruna mematung, tetapi otaknya berputar cepat demi mencerna suatu fakta bahaya yang baru saja ia terima. ‘Tak hanya menikah, dia juga akan tidur satu kasur dan berbagi selimut dengan Pak Rafael?’Aruna rasanya ingin pingsan dan mulai menyesali keputusan impulsifnya.Pertama, Rafael adalah bosnya sendiri. Walau beberapa menit yang lalu pria itu sudah tercatat resmi menjadi suaminya, tapi tetap saja pria itu adalah bosnya di kantor! Hubungan mereka bahkan tidak sedekat itu!Kedua, Rafael itu pria dan Aruna adalah wanita. Dua orang berbeda jenis kelamin dan tidur bersama dalam satu tempat tidur tentu sangat membahayakan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan?! Dan parahnya, Rafael masih bertanya “kenapa”?Aruna tersentak oleh pikirannya sendiri dan buru-buru menggeleng. “Oh, nggak apa-apa, Pak,” sahutnya dengan air muka pucat pasi. Meski tidak setuju, dia tak punya keberanian untuk membantah.Melihat itu, Rafael mengangkat bahu dan memilih untuk tak peduli. Setel
Mata Aruna membelalak setelah mendengar titah abangnya. Sebelum menyahut, ia sempat berpaling ke belakang dan bertemu pandang dengan mata dingin milik Rafael.“Bang, sepertinya nggak bisa,” tukas Aruna dengan jantung yang kian berdegup kencang.“Kenapa begitu? Abang ingin tahu bagaimana suami yang kamu pilih itu. Jadi, nggak ada tapi-tapian!! Pokoknya abang tunggu!”Tut.“Tapi, Bang!─halo?!”Sambungan telepon yang sudah diputus sepihak oleh Nathan membuat bahu Aruna langsung berangsur turun. Tanpa bisa dilihat Rafael, Aruna memejamkan mata rapat sambil menekuk wajah. Amat frustasi dengan hal mengejutkan yang ia hadapi pagi-pagi begini.“Siapa?” Sebuah suara berat dari belakang membangunkan kesadaran Aruna dan membuatnya terlonjak.Gadis itu lantas cepat-cepat menoleh dan mendapati Rafael yang tengah menatapnya intens. “Barusan abang saya menelpon, Pak.”Bukannya lega, Aruna justru bertambah panik karena setelah melayangkan jawaban tersebut, dua alis tebal Rafael menyatu sempurna. “A
Perkataan Nathan membuat Aruna mendadak kesal. Menguap sudah rasa haru dan bersalahnya barusan.Bagaimana bisa abangnya membongkar kejadian memalukan itu di depan Rafael? Di pertemuan pertama mereka pula?!Rasaya dia ingin mengubur diri saja! Dengan malu Aruna mengangkat kakinya dan menginjak kaki Nathan di bawah meja. “Bang!!” seru Aruna lagi. Kini wajahnya sudah memerah sempurna.Namun, pria itu malah tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk muka Aruna yang sekarang sudah memerah bagai tomat. Namun, bukannya berhenti, Nathan malah semakin kencang menggoda Aruna.“Lihat, Rafael. Lihat wajah anak itu! Salah sendiri kamu ngeyel tidak mau ke kamar mandi. Setelah ketahuan ngompol, malah lari. Padahal lelaki yang kamu sukai itu melihat kejadian itu lho!”Ingin rasanya Aruna pergi dan menyumpal mulut Nathan dengan serbet dapur. Namun, tak mungkin ia melakukan itu di depan Rafael yang notabene adalah bosnya kan?!Perilaku Nathan dan cerita-ceritanya membuat Aruna tak lagi memiliki muka untu
“Jangan lupa, panggil saya ‘sayang’ agar mereka tak mencurigai pernikahan kita ini.”Rafael berbisik di telinga Aruna dan menggandeng tangan gadis itu erat saat mereka baru saja tiba di kediaman Pranandaru.Perkataan itu membuat Aruna terkejut, tapi dia langsung tersenyum dan balas menggandeng tangan Arjuna hingga membuat pria itu turut tersentak. Begitu mereka tiba di ruang makan, Ibu Rafael, Rianty langsung menghampiri mereka dan hendak memeluk Rafael seperti biasa. Namun, mata wanita paruh baya itu membelalak bingung kala menyaksikan Aruna, sekretaris Rafael yang kini tengah berdiri di samping putranya. Tangan mereka bahkan saling bergenggaman!“Kenapa Aruna bisa ikut ke sini?” Rianty bertanya tanpa basa-basi.“Sebelumnya aku bilang kalau akan menikah dengan perempuan pilihanku sendiri, kan?” Rafael berkata sambil melirik singkat ke arah Aruna. “Aruna ini adalah istriku sekarang.”“Kamu jangan bercanda, Rafael?!” Rianty memekik kaget.“Lebih baik kami duduk dulu.” Rafael melepas
Perkataan Rianty membuat gerakan tangan Aruna yang tengah mencuci piring terhenti. Perlahan ia menoleh dan mendapati wanita itu tengah menyunggingkan senyum puas.“Asal kamu tahu saja, aku sudah mempersiapkan istri yang lebih baik untuk Rafael.” Rianty mengucapkannya dengan membusungkan dada.Kalau sudah begini, Aruna tak boleh lengah. Rianty saja sudah menyatakan ultimatum untuk mengajaknya berperang, itu berarti ia harus melakukan aktingnya secara rapi juga.Bagaimanapun ia tak mau mengecewakan Rafael.Aruna lalu meletakkan sebuah piring yang baru saja ia cuci bersih dan berhadapan langsung dengan Rianty.“Tapi, Ma. Saya sudah menjadi istri sah Rafael. Pernikahan kami pun sudah tercatat resmi di kantor catatan sipil,” tegas Aruna.Mata Rianty melebar. Ia tampak membeku di tempat dengan sorot tatapan tak percaya.“Apa katamu? Jangan panggil aku ‘mama’ karena aku belum menyetujui kamu jadi istri Rafael!”Aruna menghela napas. “Ma, tidak apa-apa kok kalau Mama belum menganggap saya menj
Oma Tini tampak sangat bersemangat. Langkah rentanya ringan menggandeng Aruna menuju ke butik langganan keluarga Pranandaru di pusat perbelanjaan mewah.Di belakang mereka, Rafael berjalan santai dengan ekspresi datar sambil sesekali mendengus sebal. Sebab, belum apa-apa tangannya sudah sibuk membawa dua buah tas berwarna coklat dan hitam. Milik neneknya dan Aruna.“Rafael, tangan kamu menganggur kan? Bawakan tas oma.” Oma Tini berkata sambil menyerahkan tas tangannya kepada Rafael. “Nih, sekalian punya istrimu juga.” Mengingat itu, Rafael menghela napas. “Untung sayang.”“Oma suka warna apa? Pastel atau mungkin warna-warna netral?” Aruna bertanya sambil memegang sebuah blouse berwarna biru langit.Oma Tini merengut. “Kenapa jadi pilih punya Oma duluan? Kan kita mau mencari kado ulang tahun kamu.”“Gak harus punyaku duluan kok, Oma. Ini aku ketemu blus yang cocok untuk Oma duluan.” Aruna membalas. “Gimana, Oma?”“Yasudah.” Jawab Oma Tini.Wanita tua itu lalu berpikir sejenak, sebelu
“Terima kasih sudah melakukannya dengan baik.”Aruna yang baru saja membuka minuman kaleng dari vending machine tertegun sebelum kemudian menelan sisa minuman di mulutnya. “Apanya, Pak?”“Presentasi tadi.”“Oh.” Aruna tersenyum. “Kalau begitu terima kasihh juga kepada Pak Rafael.”“Kenapa saya?” Rafael mengangkat alisnya dan memasukkan tangannya ke saku celana.“Bapak gak ingat berapa kali Bapak memarahi saya saat saya baru pertama kali jadi asisten Bapak?” Aruna berkata dengan mata yang menerawang jauh. Masih sambil minum, dia berkata lagi. “Dulu Bapak galak dan sama sekali nggak pernah tersenyum.”“Presentasi itu harus tegap lurus, tapi jangan membelakangi audiens, Aruna!”“Gestur! Gunakan gestur!! Lebih bagus lagi kalau ada alat peraga!”Aruna berkata sambil menirukan wajah Rafael yang menurutnya datar. “Hahaha. Lucu sekali, tapi terima kasih banyak, Pak. Berkat Pak Rafael, saya bisa menjadi Aruna yang seperti ini.”“Begitu. Berarti saya sekarang sudah gak galak dan sudah sering se
Hari ini adalah hari untuk melakukan presentasi penting mengenai pemenangan proyek resort, dan Aruna sudah berada di ruang rapat satu jam sebelumnya.Di ruangan itu, Aruna dengan teliti meletakkan materi berkas berisi rencana proyek dan meletakkannya di setiap meja, agar peserta rapat dapat langsung melihat ke arah materi sembari mendengarkan penjelasannya.Proyek ini merupaka proyek besar yang memungkinkan perusahaan mendapat untung ratusan miliar, sehingga sudah sejak dua minggu lalu Aruna menyiapkan semua data dan menyusun materi dengan hati-hati.Dia harus memastikan semuanya berjalan sempurna agar para pemegang saham dan ivestor mau menggelontorkan uangnya ke dalam pendanaan.Setelah selesai, Aruna melihat ke arah jam tangannya dan merasa masih ada waktu untuknya pergi memperbaiki penampilan. Jadi, dia buru-buru pergi ke toilet tanpa sadar bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam ruang rapat setelah ia pergi dari sana.Setengah jam kemudian, setelah semua anggota rapat, termasuk k
“Pergi malam-malam begini? Ke mana?” Aruna menatap Rafael dengan bingung.Rafael mengangguk pelan, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Aruna tak berani bertanya lebih lanjut.“Baiklah, tolong tunggu sebentar ya” sahut Aruna akhirnya. “Aku akan berganti pakaian dulu.”Tanpa banyak bicara lagi, Aruna masuk ke kamar untuk bersiap. Ia memilih dress satin sederhana berwarna krem yang jarang ia kenakan dan memoles wajahnya agar tak terlihat pucat.Aruna lalu keluar kamar dan menatap Rafael yang sudah berdiri di depan pintu. “Kita mau ke mana?” tanyanya lagi sambil meraih tas.“Kamu akan tahu nanti,” balas Rafael singkat.Setelah turun ke lobi apartemen, sebuah mobil sudah menunggu dan Rafael membukakan pintu untuk Aruna. Dengan sedikit bingung, Aruna masuk dan duduk diam di kursi penumpang, sementara Rafael mengarahkan mobil keluar dari area apartemen menuju jalanan kota yang mulai lengang.Aruna diam, mencoba menebak-nebak ke mana Rafael akan membawanya.Setelah sekitar 30 men
Malam itu, setelah turun dari taksi, seorang perempuan berdiri di depan gedung apartemen sembari menatap gedung tinggi itu dengan rasa iri. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya saat dia menggumam pelan. "Seharusnya aku yang tinggal di sini.”Pikirannya berkecamuk. Bayangan Aruna yang tinggal bersama Rafael di apartemen mewah ini membuat darahnya mendidih."Aruna tidak pantas mendapatkan semua ini!" ujar Melania sebelum melangkah masuk ke lobi dengan mata yang menatap tajam.Melania lalu menaiki lift menuju lantai apartemen Rafael dan berjalan menyusuri lorong. Hingga saat dia sampai di depan sebuah pintu, Melania berhenti sejenak.Menurutnya, apartemen di depannya ini benar milik Rafael. Setidaknya begitulah yang disampaikan informannya kepadanya.Kali ini adalah kesempatannya untuk memperingatkan Aruna sekali lagi. Mumpung Rafael tak ada karena masih menemui rekan kerjanya di luar jam kantor.Namun, sebelum sempat menekan bel, suara langkah kaki terdengar dari ujung koridor. Seor
Pagi itu cahaya matahari menerobos celah tirai kamar. Suara alarm dari ponsel Aruna membuyarkan tidur nyenyaknya. Ia menggeliat pelan, lalu meraih ponsel di meja samping tempat tidur.[Selamat Ulang Tahun, Aruna!]Tulisan itu menyala di layar ponsel, dari Nathan.Melihat itu, Aruna terdiam sebelum kemudian menghela napas panjang. “27 tahun ya. Waktu benar-benar cepat berlalu.”Sesaat kemudian, Aruna bangkit, melipat selimut dengan rapi dan melangkah menuju kamar mandi. Dalam hatinya, ia berdoa semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih baik dari sebelumnya.Di kantor, suasana berbeda dari biasanya, karena beberapa karyawan di lantainya menghampiri Aruna ketika perempuan itu tengah melewati koridor.“Selamat ulang tahun, Bu Aruna!” salah seorang karyawan berkata sambil tersenyum lebar sembari menjabat tangannya.“Bu Aruna, happy birthday ya~” seru yang lain sambil menyerahkan sekotak kecil brownies.Terdapat dua lilin yang menyembul di atas kue tersebut sehingga nyala api di sana menari-
“Kalau kamu datang hanya untuk bertengkar dengan cucu menantuku, maka sebaiknya kamu pulang saja. Paham, Melania?!” kali ini Oma Tini tak lagi menahan diri dan benar-benar menatap Melania dengan kesal.Namun, alih-alih mengakui kesalahannya, Melania malah berusaha untuk membela diri. “Tapi, Oma juga lihat sendiri kan kalau dia–”“Melania!” Oma Tini memperingatkan lagi yang langsung membuat Melania terdiam dan dengan kesal membantu mengayak tepung.Melihat itu, Aruna segera menenangkan Oma Tini setelah menggeser keranjang telur itu ke tempat semula. “Aku nggak kenapa-napa, Oma. Telurnya juga baik-baik saja. Aku yang akan memecahkan telur kan?”Melihat perkataan Aruna, Oma Tini kembali tersenyum dan mengangguk sehingga proses pembuatan kue itu pun bisa benar-benar dimulai.“Bagus sekali, Aruna. Kamu memang teliti,” puji Oma Tini saat membimbing keduanya untuk mengaduk adonan. Akhirnya, Oma Tini memutuskan untuk mengubah rencananya. Dari membimbing Aruna membuat butterscotch, menjadi me
“Yakin tidak mau kutemani?” Suara Rafael menghentikan Aruna yang bersiap membuka pintu mobil. Wajah pria itu datar, tapi Aruna bisa merasakan kekhawatiran dari nada bicara dan sorot matanya.Oleh karena itu, Aruna segera menggeleng sambil menyunggingkan senyum. “Tidak perlu, Pak. Bukankah Anda memiliki urusan? Pergilah. Saya bisa mengatasi ini. Toh ada Oma Tini.” Mendengar itu, Rafael mengangguk dan berkata tegas. “Segera beritahu saya apabila ada yang terjadi.”Aruna kembali mengangguk, tapi kali ini sambil memperlihatkan jempol sebagai tanda persetujuan.Setelah mobil Rafael melaju pergi, Aruna baru melangkah masuk ke area mansion Pranandaru dan menekan bel.Tak berapa lama, seorang pelayan membukakan pintu dan mempersilakannya masuk untuk pergi ke ruang utama.Tujuan Aruna datang hari ini adalah untuk memenuhi undangan dari Oma Tini yang hendak mengajarinya membuat kue. Oleh karena itu, dia berekspektasi bahwa akan langsung menemui Oma Tini di tujuan. Namun, ekspekspektasinya it
Rafael mengerutkan kening sewaktu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Rianty.Saat panggilan itu akhirnya dijawab, hanya satu kata yang disebut oleh Rianty. Itu pun dengan nada yang putus-putus dan terlihat sesak. Mendengar itu, Rafael langsung menduga kalau penyakit ibunya kumat lagi. Sebab, Rianty memang memiliki penyakit asma yang mudah untuk kambuh. Terlebih setelah kelelahan atau ada alergen sebagai pemicunya.Tanpa menunggu lebih lama, Rafael segera mengenakan jasnya dan buru-buru melangkahkan kaki keluar dari kantor.“Saya pulang dulu. Segera hubungi saya jika ada apa-apa dan kirim berkas yang saya minta melalui email.” tukasnya kepada Aruna yang masih tenggelam dalam pekerjaannya.Tindakan Rafael itu membuat Aruna menatap dengan heran, tapi tanpa menjawab lebih jauh, dia mengangguk tegas. “Baik, Pak. Hati-hati.”Bayangan Rianty yang terbaring di kasur membuat Rafael mengebut, hingga hanya dalam waktu setengah jam, dia sudah mencapai pinggiran kota dan tiba di mansio