Bab 5 - Cincin Pernikahan

Perkataan Nathan membuat Aruna syok. Bagaimana bisa abangnya membongkar kejadian memalukan itu di depan Rafael? Di  pertemuan pertama mereka pula?!

Rasaya dia ingin mengubur diri saja! 

Dengan kesal Aruna lalu mengangkat kakinya dan menginjak kaki Nathan di bawah meja. Namun, pria itu malah tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk muka Aruna yang sekarang sudah memerah bagai tomat.

“Bang!!” seru Aruna lagi. Kini wajahnya sudah memerah sempurna.

Namun, bukannya berhenti, Nathan malah semakin kencang menggoda Aruna.

“Lihat! Lihat wajahnya! Salah sendiri waktu itu ngeyel tidak mau ke kamar mandi. Setelah ketahuan ngompol, kamu malah lari. Padahal lelaki yang kamu sukai itu melihat kejadian itu lho!”

Ingin rasanya Aruna pergi dan menyumpal mulut Nathan dengan serbet dapur. Namun, tak mungkin ia melakukan itu di depan Rafael yang notabene adalah bosnya!

Perilaku Nathan dan cerita-ceritanya membuat Aruna tak lagi memiliki muka untuk diperlihatkan. Jadi, dia hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan.

Rafael sendiri sempat memandang Aruna dengan ekspresi geli, tapi Aruna tak berani melihat lebih jauh. Dia tak kuat dan terlalu malu!

Setelah satu jam berbincang, Aruna dan Rafael akhirnya berpamitan pulang. 

Dari jauh, Nathan melambaikan tangan ke arah mereka sembari berkata, “Sering-sering mampir ke sini ya!”

Ingin sekali Aruna menyembunyikan wajahnya yang masih terasa panas ini di bagasi mobil. Pertemuan pertama antara Rafael dan keluarganya benar-benar membuatnya malu!!

Sepanjang perjalanan keduanya kembali terdiam. Beberapa kali Aruna sempat melirik Rafael yang tengah duduk dengan tenang, tapi saat pria itu melihat ke arahnya,  Aruna buru-buru mengalihkan muka.

“Ada apa?” tanya Rafael.

“Tolong lupakan apa pun yang pernah dikatakan abang saya, Pak. Saya malu,” aku Aruna dengan jujur sambil menunduk.

Namun, karena bosnya tersebut tak menyahut lagi, Aruna memberanikan diri untuk melempar pandang ke arah Rafael. Tepat saat itulah, ia dapat menyaksikan pria itu terkekeh kecil.

“Tidak perlu malu. Abang kamu orang yang asyik kok.”

Sontak Aruna meringis. Ingin sekali ia menutup dirinya di dalam tempayan lalu melarung diri ke laut. 

Tapi sudah terlambat karena berkat Nathan, semua harga dirinya di depan Rafael sudah dibabat habis.

Tiba di kantor, sejumlah orang membungkukkan badan menyambut kedatangan Rafael. Sementara pria itu berjalan cepat, Aruna mengikuti di belakangnya dengan ekspresi yang jauh berbeda.

Tidak ada lagi Aruna yang malu-malu, karena yang ada adalah Aruna yang percaya diri dan profesional.

“Atur ulang semua jadwalku hari ini. Termasuk rapat yang sempat tertunda dan pertemuanku dengan Pak Subroto besok,” titah Rafael begitu ia duduk di tempatnya.

Aruna mengangguk singkat sebelum dengan tangkas membuka laptop, menyesuaikan jam, dan mengurangi beberapa acara yang bisa ditunda keesokan hari. 

Setelah selesai, ia mengirim file itu kembali kepada Rafael melalui email.

“Pak, sudah saya kirim revisi jadwal hari ini. Apa masih ada yang perlu ditambah dan dikurangi?”

Rafael bergerak membuka emailnya dan memeriksa secara sekilas. “Waktu untuk rapat antar direksi kamu pangkas, Aruna?” Dahinya terlipat saat memastikan.

Aruna mengangguk satu kali. “Benar, Pak. Karena agenda rapat antar direksi kali ini hanya membahas tentang evaluasi kinerja perusahaan dan perkembangan tiap departemen. Jadi, saya rasa waktunya bisa dipersingkat.”

“Ya, bagus. Acc.” putus Rafael yang langsung melegakan kerongkongan Aruna.

Aruna kemudian bergerak tangkas menghubungi satu per satu pihak internal dan eksternal perusahaan untuk memberi informasi mengenai kapan rapat akan diadakan. Selain itu, ia juga harus mengkonfirmasi jadwal ulang pertemuan Rafael dengan mereka.

Berikutnya tanpa diperintah lagi, Aruna bangkit dan berderap menuju pantry. Dicarinya merk teh tertentu yang tertata rapi di lemari penyimpanan, kemudian menyeduh teh chamomile hangat untuk Rafael.

Sambil membawa nampan dengan cangkir yang telah terisi teh hangat di atasnya, kaki Aruna secara hati-hati melangkah menuju meja Rafael. 

Aruna sempat terpukau kala menangkap pemandangan dramatis di mana Rafael memunggungi cahaya dari jendela besar di belakang. 

Di indra penglihatannya, pria itu sungguh rupawan seperti sosok yang tak nyata. Apalagi dengan tampang serius seperti sekarang.

Jantungnya kembali berdegup kencang. Apalagi mengingat paras tampan bosnya pernah ia saksikan terlelap di sisinya. 

Saat menyadari apa yang dia pikirkan, Aruna buru-buru menggeleng sebelum meletakkan cangkir pada permukaan meja dengan hati-hati. 

Namun, di saat yang bersamaan, tangan Rafael menyambar bolpoin yang tengah menggelinding ke arah Aruna sehingga tangan mereka tak sengaja bersinggungan.

Keduanya terperanjat, lalu dalam situasi yang canggung saling beradu pandang. Aruna tergagap dan buru-buru menunduk, “Maaf, Pak.” tuturnya cepat.

Baru saja ia memutar badan dan hendak pergi dari sana, tiba-tiba salah satu tangannya digenggam oleh Rafael.  Hangat.

“Tunggu, Aruna,” pinta Rafael.

Aruna tersentak dan menoleh. 

Diam-diam, Aruna merasa kehilangan saat Rafael melepas genggaman tangan mereka untuk mengambil sebuah dokumen dalam map. 

Aruna menerima dokumen itu dan membukanya. “Surat pernikahan?” tanyanya memastikan.

“Iya. Kamu bawa pulang dan simpan ya. Buat salinanya jika dirasa perlu.”

Aruna mengalihkan tatapannya dari Rafael, kemudian terpaku pada dokumen yang mencetak namanya dan nama Rafael dengan tinta hitam. 

Aruna Maharani dan Rafael Pranandaru.

Suami istri.

Surat ini menarik Aruna semakin dalam kalau ternyata mereka memang sudah menjadi suami istri. Tak hanya itu, Aruna sempat teringat pula dengan aroma maskulin Rafael dan pelukan hangatnya tadi pagi..

Seakan tersadar, Aruna menggeleng kencang.

“Kamu kenapa?”

“T-tidak, Pak. Hanya teringat sesuatu.”

Rafael mengangguk sebelum mengeluarkan sekotak cincin kepada aruna. “Ini adalah tanda kalau pernikahan ini nyata. Kita akan memakainya seperlunya.” ujar Rafael. 

“Selain di kantor, selalu pakai cincin itu.”

Aruna mengangguk pelan dan memandangi cincin emas bertahtakan berlian itu dengan mata bersinar.

Sederhana, tapi sangat cantik!

“Oh iya, satu lagi.” Ucapan Rafael berikutnya membuat Aruna mendongak.

“Nanti sore kamu siap-siap. Kita akan pergi ke rumah keluarga saya untuk menghadiri undangan makan malam.”