Mata Aruna membelalak setelah mendengar titah abangnya. Sebelum menyahut, ia sempat berpaling ke belakang dan bertemu pandang dengan mata dingin milik Rafael.
“Bang, sepertinya nggak bisa,” tukas Aruna dengan jantung yang kian berdegup kencang.
“Kenapa begitu? Abang ingin tahu bagaimana suami yang kamu pilih itu. Jadi, nggak ada tapi-tapian!! Pokoknya abang tunggu!”
Tut.
“Tapi, Bang!─halo?!”
Sambungan telepon yang sudah diputus sepihak oleh Nathan membuat bahu Aruna langsung berangsur turun.
Tanpa bisa dilihat Rafael, Aruna memejamkan mata rapat sambil menekuk wajah. Amat frustasi dengan hal mengejutkan yang ia hadapi pagi-pagi begini.
“Siapa?” Sebuah suara berat dari belakang membangunkan kesadaran Aruna dan membuatnya terlonjak.
Gadis itu lantas cepat-cepat menoleh dan mendapati Rafael yang tengah menatapnya intens.
“Barusan abang saya menelpon, Pak.”
Bukannya lega, Aruna justru bertambah panik karena setelah melayangkan jawaban tersebut, dua alis tebal Rafael menyatu sempurna.
“Abang?” tanya Rafael lagi.
“Iya, abang kandung. Namun, abang saya sudah menikah kok, Pak. Jadi, sudah seharusnya kami tinggal berpisah.”
Aruna takut jika Rafael salah mengira kalau abangnya memperlakukannya dengan kejam dan tak peduli dengan nasib adiknya yang luntang-lantung di jalan.
Mendengar itu, Rafael mengangguk pelan dan memberikan secercah kelegaan pada diri Aruna.
Sepertinya bosnya itu akan berhenti bertanya.
“Berarti abangmu baru saja memastikan kamu tinggal di mana? Begitu?” tebak Rafael lagi.
Ternyata Aruna salah, karena Rafael belum putus asa dan masih ingin bertanya. Jadi, mau tak mau Aruna tetap meladeni rasa ingin tahu Rafael dengan mengangguk.
“Lalu, kenapa kamu pucat begitu?”
Aruna terdiam. Tentu saja karena dia ingin menutupi permintaan abangnya dan membereskan masalahnya sendiri tanpa campur tangan bosnya!
Namun, kalau pandangan Rafael sudah menuntut seperti itu, maka itu artinya pria itu akan terus mengejar jawabannya hingga ke ujung bumi.
Oleh karena itu, Aruna pun menyerah dan mengatakan hal sebenarnya.
“Sejujurnya, abang ingin saya membawa Anda ke rumahnya, Pak. Dia ingin tahu seperti apa pria yang saya nikahi.” Suara pagi harinya yang terdengar parau, membuat Aruna malu sendiri.
Tidak adanya reaksi dari Rafael membuat Aruna buru-buru melanjutkan, “Namun, Bapak hari ini memiliki jadwal yang padat. Jadi, sebaiknya tidak perlu–”
“Tidak masalah. Kapan kita ke sana?”
Aruna terperangah di tempat. Ternyata, tanpa dia duga, bosnya tersebut merespons secara positif!
“Abang saya minta sekarang, sebelum masuk jam kantor.” ungkap Aruna ragu usai menimbang-nimbang.
“Kalau begitu segera bersiap. Biar saya yang menghubungi klien terkait pembatalan jadwal hari ini.”
Aruna langsung terpegun mendapati jawaban barusan dari bibir Rafael. Tatapannya masih terpaku pada punggung pria itu yang pergi menjauh, menyambar handuk, lantas berderap memasuki kamar mandi.
Kini Aruna juga sudah membersihkan diri. Ia keluar, tapi tak sengaja menangkap perbincangan yang dilakukan oleh Rafael melalui telepon.
Sambil menghadap laptop, pria itu tampak sibuk menelepon ke sana kemari. “Saya mohon maaf karena harus membatalkan pertemuan ini. Pasalnya sejumlah rapat internal perusahaan juga harus diundur. Sekali lagi saya minta maaf.”Rafael mengakhiri sambungan telepon, lantas menguap. Secepat kilat tangan kekar itu teralihkan pada keyboard dan mengetik tangkas. Aruna jadi merasa tidak enak.
Mobil yang ditumpangi keduanya kemudian meluncur ke sebuah perumahan. Berkat petunjuk dan arahan Aruna, mereka akhirnya tiba di salah satu rumah minimalis dengan cat putih gading.
Setelah disambut dengan basa-basi, kini mereka duduk saling berhadapan di sebuah meja makan minimalis yang hanya muat diisi empat orang.
Sedari tadi, Nathan tetap menancapkan tatapannya pada Rafael yang duduk di depannya bagai sipir mengawasi tahanan. Sedangkan Rafael tengah menyesap teh hangat dengan tenang.
“Siapa nama kamu?” kata Nathan tiba-tiba.
Rafael menghentikan minum, lalu meletakkan cangkir teh dengan gerak elegan. “Rafael, Mas.”
“Berapa usiamu?”
“33 tahun.”
“Oh, kita hanya selisih setahun. Aku umur 34 tahun ini.”
Kali ini Aruna mendongak menatap abangnya dan merasa gugup, karena baru kali ini dia melihat ekspresi Nathan yang begitu serius. Sementara itu, Rafael menanggapi respons pria di hadapannya dengan senyum simpul.
“Lalu, apa pekerjaanmu? Tinggal di mana?” kejar Nathan lagi.
“Abang!” Aruna menegur.“Saya karyawan biasa di salah satu perusahaan.” Rafael tiba-tiba menoleh memandang Aruna, lalu meneruskan, “Dan tinggal di satu apartemen dengan Aruna.”
Mendengar itu Aruna tertegun dan keduanya kini saling berpandangan. Tetapi, momen itu segera dirusak oleh Nathan yang mendadak memukul meja.
“Tunggu! Bukannya kata Aruna kamu ini orang yang super sibuk sampai pergi ke luar kota? Staf apa yang begitu? Kamu bohong ya?!” tuding Nathan.
Aruna berusaha menjelaskan, tapi Rafael sudah lebih dulu mengoreksi. “Sama sekali tidak bohong, Mas. Saya bukan staf, melainkan pimpinannya Aruna.”
Mendengar itu, alih-alih merasa senang rahang Nathan justru tampak semakin kesal.
“Pimpinan apa?! Sikap kamu ini keterlaluan! Bagaimana bisa kamu menikahi adik saya tanpa izin?!” hardiknya.
Aruna menahan napas dan melirik Rafel dan abangnya dengan khawatir. Namun, sebelum dia sempat bicara, tanpa Aruna duga, Livia berusaha memadamkan amarah suaminya yang menggelegak.
Kedua tangannya mengusap lembut bahu Nathan dan berkata pelan. “Sudahlah, Sayang. Jangan marah-marah. Kamu harusnya bersyukur karena sekarang Aruna punya suami yang bertanggung jawab.”
“Dengan begitu kan artinya Aruna sudah bisa hidup mandiri dengan suaminya.” lanjut Livia lagi.
Mendengar itu, Aruna ber-oh ria. Dia lupa kalau Livia sangat ingin dirinya keluar dari rumah. Oleh karena itu, pasti kakak iparnya itu senang dan mendukung keputusannya untuk menikah.
Sementara Nathan mulai mengatur napasnya, Livia langsung sigap menuju dapur demi mengambil beberapa makanan yang sempat ia masak tadi pagi.
Aruna pun akhirnya turut membantu, meski sesekali mengawasi Nathan yang masih menatap Rafael sinis.
Ketegangan itu terus berlanjut hingga mereka makan bersama. Mata Nathan masih tajam mengawasi tiap gerakan Rafael, tapi diam-diam Livia berbisik ke telinga suaminya.
“Sepertinya dia pria yang tepat untuk Aruna, Sayang. Mapan pula. Aruna nggak akan kekurangan. Lebih baik kamu terima saja. Aruna itu beruntung.”
Livia mengangguk satu kali sembari menerbitkan senyum penuh keyakinan. Kemudian Nathan menghela napas. Mau tak mau ia juga harus memikirkan jaminan kesejahteraan ekonomi Aruna juga.
“Makan yang banyak, Rafael. Aruna selalu suka kalau kubuatkan opor ayam,” papar Livia ramah. Ia lalu menyikut pelan Nathan yang ada di sampingnya.
“Ya, kamu harus makan banyak. Biar kuat mengurusi adikku. Kalau ada apa-apa dengannya, kamu akan kuhajar,” sambar Nathan. Tangannya mengambil potongan ayam paling besar untuk Rafael.
Mendengar itu, Rafael mengangguk pelan dan mulai menyantap makanannya dengan tenang.
“Sebelum menikah, saya hanya tinggal berdua dengan Aruna, karena orangtua kami meninggal akibat kecelakaan.” Tiba-tiba Nathan bersuara lagi.
“Meskipun jarak umur kami terpaut lumayan jauh, tapi aku sangat menyayanginya, kami begitu dekat. Bahkan aku nggak pernah melewati sedetikpun tahap pertumbuhan Aruna dari kecil,” tambahnya.Mata Nathan sempat beradu dengan Rafael. “Jadi, tolong bersikap baik kepada adikku. Kalau kamu sudah tidak menyukainya lagi, silakan kembalikan dia padaku.”
Perkataan Nathan membuat atmosfer berubah. Meski tersentuh, Aruna diam-diam merasa bersalah. Bagaimana kalau abangnya tahu kalau pernikahan ini terjadi dadakan?
Namun, saat melirik Rafael, Aruna tertegun. Sebab, bosnya itu sedang tersenyum lembut sambil menatap lurus pada mata Nathan.
“Pasti, Mas. Terima kasih."
Berikutnya, ekspresi Nathan berubah drastis.
“Ah, aku ingat ada cerita lucu tentang Aruna!” Mula-mula Nathan mencondongkan tubuhnya sambil tersenyum kecil. Membuat Rafael akhirnya turut bergerak mendekat.
Perasaan Aruna mulai tak enak.
“Aruna dulu pernah naksir dengan tetangga yang umurnya lebih tua tiga tahun. Suatu hari dia rela tahan pipis saat mengawasi lelaki incarannya itu bermain basket. Namun, karena tidak kuat lagi, akhirnya dia mengompol di celana!”
“Abang!!"
Perkataan Nathan membuat Aruna syok. Bagaimana bisa abangnya membongkar kejadian memalukan itu di depan Rafael? Di pertemuan pertama mereka pula?!Rasaya dia ingin mengubur diri saja! Dengan kesal Aruna lalu mengangkat kakinya dan menginjak kaki Nathan di bawah meja. Namun, pria itu malah tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk muka Aruna yang sekarang sudah memerah bagai tomat.“Bang!!” seru Aruna lagi. Kini wajahnya sudah memerah sempurna.Namun, bukannya berhenti, Nathan malah semakin kencang menggoda Aruna.“Lihat! Lihat wajahnya! Salah sendiri waktu itu ngeyel tidak mau ke kamar mandi. Setelah ketahuan ngompol, kamu malah lari. Padahal lelaki yang kamu sukai itu melihat kejadian itu lho!”Ingin rasanya Aruna pergi dan menyumpal mulut Nathan dengan serbet dapur. Namun, tak mungkin ia melakukan itu di depan Rafael yang notabene adalah bosnya!Perilaku Nathan dan cerita-ceritanya membuat Aruna tak lagi memiliki muka untuk diperlihatkan. Jadi, dia hanya bisa menutup wajahnya dengan t
“Nanti panggil saya ‘sayang’ agar tak mencurigai pernikahan kita ini.”Rafael berbisik di telinga Aruna dan menggandeng tangannya saat mereka baru saja tiba.Aruna terkejut, tapi dia langsung tersenyum dan balas menggandeng tangan Arjuna hingga membuat pria itu turut tersentak. Begitu mereka tiba di ruang makan, ibu Rafael, Rianty langsung menghampiri. Mata wanita paruh baya itu membelalak bingung kala menyaksikan Aruna, sekretaris yang bekerja di perusahaan Rafael tengah berdiri di samping putranya dengan tangan yang saling bergenggaman.“Kenapa Aruna bisa ikut ke sini?” Rianty bertanya tanpa basa-basi.“Sebelumnya aku sudah bilang kalau akan menikah dengan perempuan pilihanku sendiri, kan?” Rafael berkata sambil melirik singkat ke arah Aruna. “Aruna ini adalah istriku sekarang.”“Apa?!” Rianty memekik kaget. “Kamu jangan bercanda, Rafael?!”“Lebih baik kami duduk dulu.” Rafael melepaskan genggaman tangannya pada Aruna, dan beralih menelusupkan tangannya ke pinggang gadis itu. Meli
Gerakan kedua tangan Aruna yang tengah mencuci piring terhenti.Mata Aruna mengerjap cepat. Perlahan ia menoleh dan mendapati Rianty menarik badannya sambil menyunggingkan senyum puas.“Lagi pula, aku juga sudah mempersiapkan istri yang lebih baik untuk Rafael.” Rianty mengucapkannya dengan membusungkan dada.Kalau sudah begini, Aruna tak boleh lengah. Rianty saja sudah menyatakan ultimatum untuk mengawasinya, berarti ia harus melakukan aktingnya secara rapi juga.Bagaimanapun ia tak mau mengecewakan Rafael.Aruna lalu meletakkan sebuah piring yang baru saja ia cuci bersih, lantas berhadapan langsung dengan Rianty.“Tapi, Ma. Saya memang sudah menjadi istri sah Rafael. Bahkan pernikahan kami sudah tercatat resmi di kantor catatan sipil dan diakui negara,” tegas Aruna berusaha meyakinkan Rianty.Mata Rianty melebar. Ia tampak membeku di tempat dengan sorot tatapan tak percaya.“Apa katamu? Jangan panggil aku mama karena aku belum menyetujui kamu jadi istri Rafael!”Aruna menghela napas.
“Siapa perempuan itu? Beraninya dia memeluk bos kita!!”"Seumur-umur mimpiku adalah untuk berjabat tangan dengan Pak Rafael, tapi bisa-bisanya dia sudah dipeluk perempuan asing!""Tapi Pak Rafael diam saja. Apa mereka saling kenal?!"Suara di sekitar Rafael dan perempuan asing itu mulai berkasak-kusuk di belakang.Menyadari perhatian semua orang tersita padanya, Rafael berusaha keras melepas pelukan wanita tersebut. Bahkan sampai setengah mendorong karena rengkuhan tangan perempuan itu begitu kuat.“Kak Rafael kenapa? Bukannya kayak dulu sering kupeluk?” ujar sosok wanita manis bertubuh ramping itu kini merengut karena perlakuan Rafael.“Melania?!” Mata Rafael yang awalnya terkejut kini menatap datar ke arah sosok perempuan itu.Kenapa dia ada di sini?!Namun, belum sempat Rafael mencerna situasi yang sedang ia hadapi, Melania sudah bergerak memeluknya lagi. Kali ini bahkan lebih erat hingga Rafael merasa risih.“Aku sangat merindukanmu, lho Kak Rafael! Biarkan aku peluk kakak lebih l
Ka-kapan kamu menikah, Kak Rafael?”Tepat saat itu seseorang yang berada di belakangnya secara refleks menjatuhkan barang. Ketika Rafael menoleh, Melania sudah membuka mulutnya lebar.“Sudah dulu, Ma. Kita bicarakan lagi nanti.”Rafael segera memutus teleponnya, lantas berderap ke arah Melania yang tengah mematung di depan pintu.“Kamu tadi menguping pembicaraanku?” tanya Rafael memastikan.Awalnya Melania hanya menekuk bibir. Tetapi, perlahan sepasang matanya berkaca-kaca.“Apa benar kamu sudah menikah, Kak Rafael? Dengan siapa?” kejar Melania tak memedulikan pertanyaan dari pria di hadapannya.Rafael mengembuskan napas kasar. Urusannya semakin runyam sekarang.Siapa suruh menguping pembicaraan orang lain?“Ya, aku sudah menikah. Maka dari itu, aku tidak bisa menerima pertunangan denganmu apa pun alasannya.”Tangis Melania langsung pecah. Apalagi kini Rafael memilih pergi dan tak mengacuhkannya.Sejumlah karyawan yang tidak sengaja lewat jadi salah fokus menyaksikan Melania sesekali
“Selamat datang kami ucapkan kepada Bu Melania Adistira sebagai manajer baru yang akan bergabung di tim produksi.”Seorang pria yang nyaris botak kepalanya tengah berdiri di hadapan seluruh karyawan dari divisi produksi dan mempersilakan Melania untuk maju ke depan.“Nah, ini dia. Kalau rekan-rekan semua belum mengenal wajah cantik beliau. Beliaulah yang akan memimpin tim kita ini ke depannya. Silakan, Bu, sepatah dua katanya.” Pria itu menyerahkan mikrofon kepada Melania yang telah berdiri di sisinya.Sebelum berbicara, Melania menyibakkan rambut panjangnya. Senyumnya yang lebar terukir bangga di bibir.“Selamat pagi semua … wah, terima kasih karena kalian sudah repot-repot mengadakan pesta demi menyambut saya. Apalagi sampai menyediakan kue-kue cantik dan makanan lezat seperti yang ada di depan saya sekarang,” ucap Melania sambil merentangkan sebelah tangan menunjuk berbagai makanan dan kudapan yang berjajar rapi di meja besar.“Harapan saya ke depannya, kita bisa bekerja sama dengan
Aruna tercekat. Kini semua orang memandangnya aneh.“Aruna, aku tahu aku salah. Tapi … kenapa sulit banget kamu buat maafin aku,” erang Melania yang masih mencekal kedua kakinya, tak mempedulikan respon Aruna tadi.Netra Aruna beralih lagi kepada Melania.‘Tidak. Ada yang salah di sini. Semua jadi salah paham karena sikap perempuan ini begitu berlebihan.’Padahal Aruna sudah mengatakan tidak apa-apa tadi. Ia tak keberatan jika pakaiannya basah walau setelah ini harus ikut Rafael menemui klien di luar kantor.Salah satu pegawai dari tim produksi lalu bergerak gemas dan menarik tubuh Melania hingga berdiri. Perempuan itu kemudian mencoba meredakan tangis manajer barunya tersebut.“Bu … sudah. Bu Melania kan sudah minta maaf,” ucapnya lembut. Lalu, ia ganti menatap tajam ke arah Aruna yang membeku di tempat.“Memaafkan orang lain yang tidak sengaja menumpahkan minuman apa salahnya sih, Bu? Bu Melania sudah minta maaf berkali-kali. Jujur, saya tidak menyangka kalau Bu Aruna aslinya sekeja
“Apartemenmu besar juga ya, Adik Ipar!”Dari depan pintu, baik Nathan maupun Livia sama-sama melongokkan kepala untuk menyaksikan ruang apartemen milik Rafael dari luar. Bibir mereka menganga lebar penuh kekaguman.“Ini serius kami boleh masuk?” tanya Nathan menyipitkan mata. “Nanti jangan-jangan kamu mengusir kami.”Rafael tergelak sambil sesekali menyeka keringat di dahi. Napasnya masih memburu karena baru saja ia melakukan kerja kelompok memindahkan barang Aruna lagi ke kamarnya.“Masuk saja, Mas. Silakan.” Rafael semakin menyibakkan pintunya, mempersilakan kedua orang itu masuk.Nathan dan Livia melewati Rafael dengan masih terpana melihat ruang apartemen yang tengah mereka masuki. Netra mereka terlempar ke sana-kemari penuh takjub.Mereka kemudian bertemu Aruna di ruang tengah. Aruna kala itu tepergok sedang mengipasi wajahnya karena kegerahan.“Abang kok bilangnya mendadak kalau mau ke sini?” protes Aruna.Nathan yang masih repot membantu Livia mengatur dan menaruh tas belanja m
“Apartemenmu besar juga ya, Adik Ipar!”Dari depan pintu, baik Nathan maupun Livia sama-sama melongokkan kepala untuk menyaksikan ruang apartemen milik Rafael dari luar. Bibir mereka menganga lebar penuh kekaguman.“Ini serius kami boleh masuk?” tanya Nathan menyipitkan mata. “Nanti jangan-jangan kamu mengusir kami.”Rafael tergelak sambil sesekali menyeka keringat di dahi. Napasnya masih memburu karena baru saja ia melakukan kerja kelompok memindahkan barang Aruna lagi ke kamarnya.“Masuk saja, Mas. Silakan.” Rafael semakin menyibakkan pintunya, mempersilakan kedua orang itu masuk.Nathan dan Livia melewati Rafael dengan masih terpana melihat ruang apartemen yang tengah mereka masuki. Netra mereka terlempar ke sana-kemari penuh takjub.Mereka kemudian bertemu Aruna di ruang tengah. Aruna kala itu tepergok sedang mengipasi wajahnya karena kegerahan.“Abang kok bilangnya mendadak kalau mau ke sini?” protes Aruna.Nathan yang masih repot membantu Livia mengatur dan menaruh tas belanja m
Aruna tercekat. Kini semua orang memandangnya aneh.“Aruna, aku tahu aku salah. Tapi … kenapa sulit banget kamu buat maafin aku,” erang Melania yang masih mencekal kedua kakinya, tak mempedulikan respon Aruna tadi.Netra Aruna beralih lagi kepada Melania.‘Tidak. Ada yang salah di sini. Semua jadi salah paham karena sikap perempuan ini begitu berlebihan.’Padahal Aruna sudah mengatakan tidak apa-apa tadi. Ia tak keberatan jika pakaiannya basah walau setelah ini harus ikut Rafael menemui klien di luar kantor.Salah satu pegawai dari tim produksi lalu bergerak gemas dan menarik tubuh Melania hingga berdiri. Perempuan itu kemudian mencoba meredakan tangis manajer barunya tersebut.“Bu … sudah. Bu Melania kan sudah minta maaf,” ucapnya lembut. Lalu, ia ganti menatap tajam ke arah Aruna yang membeku di tempat.“Memaafkan orang lain yang tidak sengaja menumpahkan minuman apa salahnya sih, Bu? Bu Melania sudah minta maaf berkali-kali. Jujur, saya tidak menyangka kalau Bu Aruna aslinya sekeja
“Selamat datang kami ucapkan kepada Bu Melania Adistira sebagai manajer baru yang akan bergabung di tim produksi.”Seorang pria yang nyaris botak kepalanya tengah berdiri di hadapan seluruh karyawan dari divisi produksi dan mempersilakan Melania untuk maju ke depan.“Nah, ini dia. Kalau rekan-rekan semua belum mengenal wajah cantik beliau. Beliaulah yang akan memimpin tim kita ini ke depannya. Silakan, Bu, sepatah dua katanya.” Pria itu menyerahkan mikrofon kepada Melania yang telah berdiri di sisinya.Sebelum berbicara, Melania menyibakkan rambut panjangnya. Senyumnya yang lebar terukir bangga di bibir.“Selamat pagi semua … wah, terima kasih karena kalian sudah repot-repot mengadakan pesta demi menyambut saya. Apalagi sampai menyediakan kue-kue cantik dan makanan lezat seperti yang ada di depan saya sekarang,” ucap Melania sambil merentangkan sebelah tangan menunjuk berbagai makanan dan kudapan yang berjajar rapi di meja besar.“Harapan saya ke depannya, kita bisa bekerja sama dengan
Ka-kapan kamu menikah, Kak Rafael?”Tepat saat itu seseorang yang berada di belakangnya secara refleks menjatuhkan barang. Ketika Rafael menoleh, Melania sudah membuka mulutnya lebar.“Sudah dulu, Ma. Kita bicarakan lagi nanti.”Rafael segera memutus teleponnya, lantas berderap ke arah Melania yang tengah mematung di depan pintu.“Kamu tadi menguping pembicaraanku?” tanya Rafael memastikan.Awalnya Melania hanya menekuk bibir. Tetapi, perlahan sepasang matanya berkaca-kaca.“Apa benar kamu sudah menikah, Kak Rafael? Dengan siapa?” kejar Melania tak memedulikan pertanyaan dari pria di hadapannya.Rafael mengembuskan napas kasar. Urusannya semakin runyam sekarang.Siapa suruh menguping pembicaraan orang lain?“Ya, aku sudah menikah. Maka dari itu, aku tidak bisa menerima pertunangan denganmu apa pun alasannya.”Tangis Melania langsung pecah. Apalagi kini Rafael memilih pergi dan tak mengacuhkannya.Sejumlah karyawan yang tidak sengaja lewat jadi salah fokus menyaksikan Melania sesekali
“Siapa perempuan itu? Beraninya dia memeluk bos kita!!”"Seumur-umur mimpiku adalah untuk berjabat tangan dengan Pak Rafael, tapi bisa-bisanya dia sudah dipeluk perempuan asing!""Tapi Pak Rafael diam saja. Apa mereka saling kenal?!"Suara di sekitar Rafael dan perempuan asing itu mulai berkasak-kusuk di belakang.Menyadari perhatian semua orang tersita padanya, Rafael berusaha keras melepas pelukan wanita tersebut. Bahkan sampai setengah mendorong karena rengkuhan tangan perempuan itu begitu kuat.“Kak Rafael kenapa? Bukannya kayak dulu sering kupeluk?” ujar sosok wanita manis bertubuh ramping itu kini merengut karena perlakuan Rafael.“Melania?!” Mata Rafael yang awalnya terkejut kini menatap datar ke arah sosok perempuan itu.Kenapa dia ada di sini?!Namun, belum sempat Rafael mencerna situasi yang sedang ia hadapi, Melania sudah bergerak memeluknya lagi. Kali ini bahkan lebih erat hingga Rafael merasa risih.“Aku sangat merindukanmu, lho Kak Rafael! Biarkan aku peluk kakak lebih l
Gerakan kedua tangan Aruna yang tengah mencuci piring terhenti.Mata Aruna mengerjap cepat. Perlahan ia menoleh dan mendapati Rianty menarik badannya sambil menyunggingkan senyum puas.“Lagi pula, aku juga sudah mempersiapkan istri yang lebih baik untuk Rafael.” Rianty mengucapkannya dengan membusungkan dada.Kalau sudah begini, Aruna tak boleh lengah. Rianty saja sudah menyatakan ultimatum untuk mengawasinya, berarti ia harus melakukan aktingnya secara rapi juga.Bagaimanapun ia tak mau mengecewakan Rafael.Aruna lalu meletakkan sebuah piring yang baru saja ia cuci bersih, lantas berhadapan langsung dengan Rianty.“Tapi, Ma. Saya memang sudah menjadi istri sah Rafael. Bahkan pernikahan kami sudah tercatat resmi di kantor catatan sipil dan diakui negara,” tegas Aruna berusaha meyakinkan Rianty.Mata Rianty melebar. Ia tampak membeku di tempat dengan sorot tatapan tak percaya.“Apa katamu? Jangan panggil aku mama karena aku belum menyetujui kamu jadi istri Rafael!”Aruna menghela napas.
“Nanti panggil saya ‘sayang’ agar tak mencurigai pernikahan kita ini.”Rafael berbisik di telinga Aruna dan menggandeng tangannya saat mereka baru saja tiba.Aruna terkejut, tapi dia langsung tersenyum dan balas menggandeng tangan Arjuna hingga membuat pria itu turut tersentak. Begitu mereka tiba di ruang makan, ibu Rafael, Rianty langsung menghampiri. Mata wanita paruh baya itu membelalak bingung kala menyaksikan Aruna, sekretaris yang bekerja di perusahaan Rafael tengah berdiri di samping putranya dengan tangan yang saling bergenggaman.“Kenapa Aruna bisa ikut ke sini?” Rianty bertanya tanpa basa-basi.“Sebelumnya aku sudah bilang kalau akan menikah dengan perempuan pilihanku sendiri, kan?” Rafael berkata sambil melirik singkat ke arah Aruna. “Aruna ini adalah istriku sekarang.”“Apa?!” Rianty memekik kaget. “Kamu jangan bercanda, Rafael?!”“Lebih baik kami duduk dulu.” Rafael melepaskan genggaman tangannya pada Aruna, dan beralih menelusupkan tangannya ke pinggang gadis itu. Meli
Perkataan Nathan membuat Aruna syok. Bagaimana bisa abangnya membongkar kejadian memalukan itu di depan Rafael? Di pertemuan pertama mereka pula?!Rasaya dia ingin mengubur diri saja! Dengan kesal Aruna lalu mengangkat kakinya dan menginjak kaki Nathan di bawah meja. Namun, pria itu malah tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk muka Aruna yang sekarang sudah memerah bagai tomat.“Bang!!” seru Aruna lagi. Kini wajahnya sudah memerah sempurna.Namun, bukannya berhenti, Nathan malah semakin kencang menggoda Aruna.“Lihat! Lihat wajahnya! Salah sendiri waktu itu ngeyel tidak mau ke kamar mandi. Setelah ketahuan ngompol, kamu malah lari. Padahal lelaki yang kamu sukai itu melihat kejadian itu lho!”Ingin rasanya Aruna pergi dan menyumpal mulut Nathan dengan serbet dapur. Namun, tak mungkin ia melakukan itu di depan Rafael yang notabene adalah bosnya!Perilaku Nathan dan cerita-ceritanya membuat Aruna tak lagi memiliki muka untuk diperlihatkan. Jadi, dia hanya bisa menutup wajahnya dengan t
Mata Aruna membelalak setelah mendengar titah abangnya. Sebelum menyahut, ia sempat berpaling ke belakang dan bertemu pandang dengan mata dingin milik Rafael.“Bang, sepertinya nggak bisa,” tukas Aruna dengan jantung yang kian berdegup kencang.“Kenapa begitu? Abang ingin tahu bagaimana suami yang kamu pilih itu. Jadi, nggak ada tapi-tapian!! Pokoknya abang tunggu!”Tut.“Tapi, Bang!─halo?!”Sambungan telepon yang sudah diputus sepihak oleh Nathan membuat bahu Aruna langsung berangsur turun. Tanpa bisa dilihat Rafael, Aruna memejamkan mata rapat sambil menekuk wajah. Amat frustasi dengan hal mengejutkan yang ia hadapi pagi-pagi begini.“Siapa?” Sebuah suara berat dari belakang membangunkan kesadaran Aruna dan membuatnya terlonjak.Gadis itu lantas cepat-cepat menoleh dan mendapati Rafael yang tengah menatapnya intens. “Barusan abang saya menelpon, Pak.”Bukannya lega, Aruna justru bertambah panik karena setelah melayangkan jawaban tersebut, dua alis tebal Rafael menyatu sempurna. “A