“Selamat datang kami ucapkan kepada Bu Melania Adistira sebagai manajer baru yang akan bergabung di tim produksi.”Seorang pria yang nyaris botak kepalanya tengah berdiri di hadapan seluruh karyawan dari divisi produksi dan mempersilakan Melania untuk maju ke depan.“Nah, ini dia. Kalau rekan-rekan semua belum mengenal wajah cantik beliau. Beliaulah yang akan memimpin tim kita ini ke depannya. Silakan, Bu, sepatah dua katanya.” Pria itu menyerahkan mikrofon kepada Melania yang telah berdiri di sisinya.Sebelum berbicara, Melania menyibakkan rambut panjangnya. Senyumnya yang lebar terukir bangga di bibir.“Selamat pagi semua … wah, terima kasih karena kalian sudah repot-repot mengadakan pesta demi menyambut saya. Apalagi sampai menyediakan kue-kue cantik dan makanan lezat seperti yang ada di depan saya sekarang,” ucap Melania sambil merentangkan sebelah tangan menunjuk berbagai makanan dan kudapan yang berjajar rapi di meja besar.“Harapan saya ke depannya, kita bisa bekerja sama dengan
Aruna tercekat. Kini semua orang memandangnya aneh.“Aruna, aku tahu aku salah. Tapi … kenapa sulit banget kamu buat maafin aku,” erang Melania yang masih mencekal kedua kakinya, tak mempedulikan respon Aruna tadi.Netra Aruna beralih lagi kepada Melania.‘Tidak. Ada yang salah di sini. Semua jadi salah paham karena sikap perempuan ini begitu berlebihan.’Padahal Aruna sudah mengatakan tidak apa-apa tadi. Ia tak keberatan jika pakaiannya basah walau setelah ini harus ikut Rafael menemui klien di luar kantor.Salah satu pegawai dari tim produksi lalu bergerak gemas dan menarik tubuh Melania hingga berdiri. Perempuan itu kemudian mencoba meredakan tangis manajer barunya tersebut.“Bu … sudah. Bu Melania kan sudah minta maaf,” ucapnya lembut. Lalu, ia ganti menatap tajam ke arah Aruna yang membeku di tempat.“Memaafkan orang lain yang tidak sengaja menumpahkan minuman apa salahnya sih, Bu? Bu Melania sudah minta maaf berkali-kali. Jujur, saya tidak menyangka kalau Bu Aruna aslinya sekeja
“Apartemenmu besar juga ya, Adik Ipar!”Dari depan pintu, baik Nathan maupun Livia sama-sama melongokkan kepala untuk menyaksikan ruang apartemen milik Rafael dari luar. Bibir mereka menganga lebar penuh kekaguman.“Ini serius kami boleh masuk?” tanya Nathan menyipitkan mata. “Nanti jangan-jangan kamu mengusir kami.”Rafael tergelak sambil sesekali menyeka keringat di dahi. Napasnya masih memburu karena baru saja ia melakukan kerja kelompok memindahkan barang Aruna lagi ke kamarnya.“Masuk saja, Mas. Silakan.” Rafael semakin menyibakkan pintunya, mempersilakan kedua orang itu masuk.Nathan dan Livia melewati Rafael dengan masih terpana melihat ruang apartemen yang tengah mereka masuki. Netra mereka terlempar ke sana-kemari penuh takjub.Mereka kemudian bertemu Aruna di ruang tengah. Aruna kala itu tepergok sedang mengipasi wajahnya karena kegerahan.“Abang kok bilangnya mendadak kalau mau ke sini?” protes Aruna.Nathan yang masih repot membantu Livia mengatur dan menaruh tas belanja m
“Dasar tidak tahu diri!! Sudah dewasa masih saja numpang di rumah orang!!”Aruna baru saja tiba di rumah ketika kakak iparnya lagi-lagi mengungkit tentang dirinya yang menjadi beban. Gadis berparas cantik dan pemilik rambut bergelombang itu hanya bisa menghela napas walau dadanya berdenyut nyeri.Aruna tak tahu apa yang harus ia lakukan selain berhenti melangkah dan menatap sekilas punggung Ayu yang tengah duduk sambil mengganti channel TV.Sedetik kemudian Ayu menoleh karena tak ada jawaban apa pun dari bibir Aruna. “Dengar, nggak?” ulangnya. Wanita itu menatap tajam Aruna yang masih mematung.“Maaf, Kak. Tapi─”“Tapi apa? Takut abangmu marah dan nyariin kamu? Kamu itu sudah besar, Aruna! Nggak pantas tinggal di rumah saudara yang sudah berkeluarga! Punya otak kan buat mikir? Bisa kan jelasin ke abangmu sendiri?”Aruna kemudian mendengar racauan lain dari bibir sang kakak ipar yang menyakitkan bagi hatinya. Sebenarnya bukannya ia tak mau pergi, tapi abangnya, Raka, sama sekali tak
Mulut Aruna ternganga usai mendengar kalimat lugas yang baru saja diucapkan oleh Rafael. Matanya mengerjap cepat beberapa kali. Ia tak mungkin salah tangkap, kan? Tak ada hujan, tak ada angin, kenapa bosnya yang terkenal cuek dan workaholic itu tiba-tiba mengajaknya menikah?Tatapan keduanya saling bertubrukan. Pandangan Aruna meneliti secara hati-hati, seakan pria di depannya tengah membuat kesalahan yang mencurigakan. Tak hanya itu, Aruna pun sedang menimbang-nimbang adanya kemungkinan Rafael mabuk atau salah minum obat. Sebab, Aruna kenal betul bahwa bosnya tak akan ceroboh melakukan apa pun yang akan merugikannya.Melihat tatapan Aruna yang bertanya-tanya, telunjuk Rafael langsung teracung ke arah semua barang bawaan Aruna sehingga pandangan perempuan tersebut secara refleks mengikuti.“Kamu butuh tempat tinggal, kan?”Aruna terkesiap dan kembali menatap Rafael, ‘Cepat sekali bosnya itu membaca situasi’.Sebelum Aruna berhasil menyahut, Rafael melanjutkan ucapannya. “Kalau menika
Tubuh Aruna mematung, tetapi otaknya berputar cepat demi mencerna suatu fakta bahaya yang baru saja ia terima. ‘Jadi, dia akan tidur satu ranjang dengan… Pak Rafael?’Aruna rasanya ingin pingsan.Pertama, Rafael adalah bosnya sendiri. Walau beberapa menit yang lalu pria itu sudah tercatat resmi menjadi suaminya, tapi tetap saja pria itu adalah bosnya di kantor! Hubungan mereka bahkan tidak sedekat itu!Kedua, Rafael itu pria dan Aruna adalah wanita. Dua orang berbeda jenis kelamin dan tidur bersama dalam satu tempat tidur tentu sangat membahayakan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan?!Dan parahnya, Rafael masih bertanya “kenapa”?Aruna tersentak oleh pikirannya sendiri dan buru-buru menggeleng. “Oh, nggak apa-apa, Pak,” sahutnya dengan air muka pucat pasi.Melihat itu, Rafael mengangkat bahu dan memilih untuk tak peduli. Setelah mengambil handuk, dia beranjak ke arah kamar mandi. Sepeninggal Rafael, sekujur tubuh Aruna langsung melemas. Dengan lunglai ia melempar
Mata Aruna membelalak setelah mendengar titah abangnya. Sebelum menyahut, ia sempat berpaling ke belakang dan bertemu pandang dengan mata dingin milik Rafael.“Bang, sepertinya nggak bisa,” tukas Aruna dengan jantung yang kian berdegup kencang.“Kenapa begitu? Abang ingin tahu bagaimana suami yang kamu pilih itu. Jadi, nggak ada tapi-tapian!! Pokoknya abang tunggu!”Tut.“Tapi, Bang!─halo?!”Sambungan telepon yang sudah diputus sepihak oleh Nathan membuat bahu Aruna langsung berangsur turun. Tanpa bisa dilihat Rafael, Aruna memejamkan mata rapat sambil menekuk wajah. Amat frustasi dengan hal mengejutkan yang ia hadapi pagi-pagi begini.“Siapa?” Sebuah suara berat dari belakang membangunkan kesadaran Aruna dan membuatnya terlonjak.Gadis itu lantas cepat-cepat menoleh dan mendapati Rafael yang tengah menatapnya intens. “Barusan abang saya menelpon, Pak.”Bukannya lega, Aruna justru bertambah panik karena setelah melayangkan jawaban tersebut, dua alis tebal Rafael menyatu sempurna. “A
Perkataan Nathan membuat Aruna syok. Bagaimana bisa abangnya membongkar kejadian memalukan itu di depan Rafael? Di pertemuan pertama mereka pula?!Rasaya dia ingin mengubur diri saja! Dengan kesal Aruna lalu mengangkat kakinya dan menginjak kaki Nathan di bawah meja. Namun, pria itu malah tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk muka Aruna yang sekarang sudah memerah bagai tomat.“Bang!!” seru Aruna lagi. Kini wajahnya sudah memerah sempurna.Namun, bukannya berhenti, Nathan malah semakin kencang menggoda Aruna.“Lihat! Lihat wajahnya! Salah sendiri waktu itu ngeyel tidak mau ke kamar mandi. Setelah ketahuan ngompol, kamu malah lari. Padahal lelaki yang kamu sukai itu melihat kejadian itu lho!”Ingin rasanya Aruna pergi dan menyumpal mulut Nathan dengan serbet dapur. Namun, tak mungkin ia melakukan itu di depan Rafael yang notabene adalah bosnya!Perilaku Nathan dan cerita-ceritanya membuat Aruna tak lagi memiliki muka untuk diperlihatkan. Jadi, dia hanya bisa menutup wajahnya dengan t
“Apartemenmu besar juga ya, Adik Ipar!”Dari depan pintu, baik Nathan maupun Livia sama-sama melongokkan kepala untuk menyaksikan ruang apartemen milik Rafael dari luar. Bibir mereka menganga lebar penuh kekaguman.“Ini serius kami boleh masuk?” tanya Nathan menyipitkan mata. “Nanti jangan-jangan kamu mengusir kami.”Rafael tergelak sambil sesekali menyeka keringat di dahi. Napasnya masih memburu karena baru saja ia melakukan kerja kelompok memindahkan barang Aruna lagi ke kamarnya.“Masuk saja, Mas. Silakan.” Rafael semakin menyibakkan pintunya, mempersilakan kedua orang itu masuk.Nathan dan Livia melewati Rafael dengan masih terpana melihat ruang apartemen yang tengah mereka masuki. Netra mereka terlempar ke sana-kemari penuh takjub.Mereka kemudian bertemu Aruna di ruang tengah. Aruna kala itu tepergok sedang mengipasi wajahnya karena kegerahan.“Abang kok bilangnya mendadak kalau mau ke sini?” protes Aruna.Nathan yang masih repot membantu Livia mengatur dan menaruh tas belanja m
Aruna tercekat. Kini semua orang memandangnya aneh.“Aruna, aku tahu aku salah. Tapi … kenapa sulit banget kamu buat maafin aku,” erang Melania yang masih mencekal kedua kakinya, tak mempedulikan respon Aruna tadi.Netra Aruna beralih lagi kepada Melania.‘Tidak. Ada yang salah di sini. Semua jadi salah paham karena sikap perempuan ini begitu berlebihan.’Padahal Aruna sudah mengatakan tidak apa-apa tadi. Ia tak keberatan jika pakaiannya basah walau setelah ini harus ikut Rafael menemui klien di luar kantor.Salah satu pegawai dari tim produksi lalu bergerak gemas dan menarik tubuh Melania hingga berdiri. Perempuan itu kemudian mencoba meredakan tangis manajer barunya tersebut.“Bu … sudah. Bu Melania kan sudah minta maaf,” ucapnya lembut. Lalu, ia ganti menatap tajam ke arah Aruna yang membeku di tempat.“Memaafkan orang lain yang tidak sengaja menumpahkan minuman apa salahnya sih, Bu? Bu Melania sudah minta maaf berkali-kali. Jujur, saya tidak menyangka kalau Bu Aruna aslinya sekeja
“Selamat datang kami ucapkan kepada Bu Melania Adistira sebagai manajer baru yang akan bergabung di tim produksi.”Seorang pria yang nyaris botak kepalanya tengah berdiri di hadapan seluruh karyawan dari divisi produksi dan mempersilakan Melania untuk maju ke depan.“Nah, ini dia. Kalau rekan-rekan semua belum mengenal wajah cantik beliau. Beliaulah yang akan memimpin tim kita ini ke depannya. Silakan, Bu, sepatah dua katanya.” Pria itu menyerahkan mikrofon kepada Melania yang telah berdiri di sisinya.Sebelum berbicara, Melania menyibakkan rambut panjangnya. Senyumnya yang lebar terukir bangga di bibir.“Selamat pagi semua … wah, terima kasih karena kalian sudah repot-repot mengadakan pesta demi menyambut saya. Apalagi sampai menyediakan kue-kue cantik dan makanan lezat seperti yang ada di depan saya sekarang,” ucap Melania sambil merentangkan sebelah tangan menunjuk berbagai makanan dan kudapan yang berjajar rapi di meja besar.“Harapan saya ke depannya, kita bisa bekerja sama dengan
Ka-kapan kamu menikah, Kak Rafael?”Tepat saat itu seseorang yang berada di belakangnya secara refleks menjatuhkan barang. Ketika Rafael menoleh, Melania sudah membuka mulutnya lebar.“Sudah dulu, Ma. Kita bicarakan lagi nanti.”Rafael segera memutus teleponnya, lantas berderap ke arah Melania yang tengah mematung di depan pintu.“Kamu tadi menguping pembicaraanku?” tanya Rafael memastikan.Awalnya Melania hanya menekuk bibir. Tetapi, perlahan sepasang matanya berkaca-kaca.“Apa benar kamu sudah menikah, Kak Rafael? Dengan siapa?” kejar Melania tak memedulikan pertanyaan dari pria di hadapannya.Rafael mengembuskan napas kasar. Urusannya semakin runyam sekarang.Siapa suruh menguping pembicaraan orang lain?“Ya, aku sudah menikah. Maka dari itu, aku tidak bisa menerima pertunangan denganmu apa pun alasannya.”Tangis Melania langsung pecah. Apalagi kini Rafael memilih pergi dan tak mengacuhkannya.Sejumlah karyawan yang tidak sengaja lewat jadi salah fokus menyaksikan Melania sesekali
“Siapa perempuan itu? Beraninya dia memeluk bos kita!!”"Seumur-umur mimpiku adalah untuk berjabat tangan dengan Pak Rafael, tapi bisa-bisanya dia sudah dipeluk perempuan asing!""Tapi Pak Rafael diam saja. Apa mereka saling kenal?!"Suara di sekitar Rafael dan perempuan asing itu mulai berkasak-kusuk di belakang.Menyadari perhatian semua orang tersita padanya, Rafael berusaha keras melepas pelukan wanita tersebut. Bahkan sampai setengah mendorong karena rengkuhan tangan perempuan itu begitu kuat.“Kak Rafael kenapa? Bukannya kayak dulu sering kupeluk?” ujar sosok wanita manis bertubuh ramping itu kini merengut karena perlakuan Rafael.“Melania?!” Mata Rafael yang awalnya terkejut kini menatap datar ke arah sosok perempuan itu.Kenapa dia ada di sini?!Namun, belum sempat Rafael mencerna situasi yang sedang ia hadapi, Melania sudah bergerak memeluknya lagi. Kali ini bahkan lebih erat hingga Rafael merasa risih.“Aku sangat merindukanmu, lho Kak Rafael! Biarkan aku peluk kakak lebih l
Gerakan kedua tangan Aruna yang tengah mencuci piring terhenti.Mata Aruna mengerjap cepat. Perlahan ia menoleh dan mendapati Rianty menarik badannya sambil menyunggingkan senyum puas.“Lagi pula, aku juga sudah mempersiapkan istri yang lebih baik untuk Rafael.” Rianty mengucapkannya dengan membusungkan dada.Kalau sudah begini, Aruna tak boleh lengah. Rianty saja sudah menyatakan ultimatum untuk mengawasinya, berarti ia harus melakukan aktingnya secara rapi juga.Bagaimanapun ia tak mau mengecewakan Rafael.Aruna lalu meletakkan sebuah piring yang baru saja ia cuci bersih, lantas berhadapan langsung dengan Rianty.“Tapi, Ma. Saya memang sudah menjadi istri sah Rafael. Bahkan pernikahan kami sudah tercatat resmi di kantor catatan sipil dan diakui negara,” tegas Aruna berusaha meyakinkan Rianty.Mata Rianty melebar. Ia tampak membeku di tempat dengan sorot tatapan tak percaya.“Apa katamu? Jangan panggil aku mama karena aku belum menyetujui kamu jadi istri Rafael!”Aruna menghela napas.
“Nanti panggil saya ‘sayang’ agar tak mencurigai pernikahan kita ini.”Rafael berbisik di telinga Aruna dan menggandeng tangannya saat mereka baru saja tiba.Aruna terkejut, tapi dia langsung tersenyum dan balas menggandeng tangan Arjuna hingga membuat pria itu turut tersentak. Begitu mereka tiba di ruang makan, ibu Rafael, Rianty langsung menghampiri. Mata wanita paruh baya itu membelalak bingung kala menyaksikan Aruna, sekretaris yang bekerja di perusahaan Rafael tengah berdiri di samping putranya dengan tangan yang saling bergenggaman.“Kenapa Aruna bisa ikut ke sini?” Rianty bertanya tanpa basa-basi.“Sebelumnya aku sudah bilang kalau akan menikah dengan perempuan pilihanku sendiri, kan?” Rafael berkata sambil melirik singkat ke arah Aruna. “Aruna ini adalah istriku sekarang.”“Apa?!” Rianty memekik kaget. “Kamu jangan bercanda, Rafael?!”“Lebih baik kami duduk dulu.” Rafael melepaskan genggaman tangannya pada Aruna, dan beralih menelusupkan tangannya ke pinggang gadis itu. Meli
Perkataan Nathan membuat Aruna syok. Bagaimana bisa abangnya membongkar kejadian memalukan itu di depan Rafael? Di pertemuan pertama mereka pula?!Rasaya dia ingin mengubur diri saja! Dengan kesal Aruna lalu mengangkat kakinya dan menginjak kaki Nathan di bawah meja. Namun, pria itu malah tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk muka Aruna yang sekarang sudah memerah bagai tomat.“Bang!!” seru Aruna lagi. Kini wajahnya sudah memerah sempurna.Namun, bukannya berhenti, Nathan malah semakin kencang menggoda Aruna.“Lihat! Lihat wajahnya! Salah sendiri waktu itu ngeyel tidak mau ke kamar mandi. Setelah ketahuan ngompol, kamu malah lari. Padahal lelaki yang kamu sukai itu melihat kejadian itu lho!”Ingin rasanya Aruna pergi dan menyumpal mulut Nathan dengan serbet dapur. Namun, tak mungkin ia melakukan itu di depan Rafael yang notabene adalah bosnya!Perilaku Nathan dan cerita-ceritanya membuat Aruna tak lagi memiliki muka untuk diperlihatkan. Jadi, dia hanya bisa menutup wajahnya dengan t
Mata Aruna membelalak setelah mendengar titah abangnya. Sebelum menyahut, ia sempat berpaling ke belakang dan bertemu pandang dengan mata dingin milik Rafael.“Bang, sepertinya nggak bisa,” tukas Aruna dengan jantung yang kian berdegup kencang.“Kenapa begitu? Abang ingin tahu bagaimana suami yang kamu pilih itu. Jadi, nggak ada tapi-tapian!! Pokoknya abang tunggu!”Tut.“Tapi, Bang!─halo?!”Sambungan telepon yang sudah diputus sepihak oleh Nathan membuat bahu Aruna langsung berangsur turun. Tanpa bisa dilihat Rafael, Aruna memejamkan mata rapat sambil menekuk wajah. Amat frustasi dengan hal mengejutkan yang ia hadapi pagi-pagi begini.“Siapa?” Sebuah suara berat dari belakang membangunkan kesadaran Aruna dan membuatnya terlonjak.Gadis itu lantas cepat-cepat menoleh dan mendapati Rafael yang tengah menatapnya intens. “Barusan abang saya menelpon, Pak.”Bukannya lega, Aruna justru bertambah panik karena setelah melayangkan jawaban tersebut, dua alis tebal Rafael menyatu sempurna. “A