Pagi itu cahaya matahari menerobos celah tirai kamar. Suara alarm dari ponsel Aruna membuyarkan tidur nyenyaknya. Ia menggeliat pelan, lalu meraih ponsel di meja samping tempat tidur.[Selamat Ulang Tahun, Aruna!]Tulisan itu menyala di layar ponsel, dari Nathan.Melihat itu, Aruna terdiam sebelum kemudian menghela napas panjang. “27 tahun ya. Waktu benar-benar cepat berlalu.”Sesaat kemudian, Aruna bangkit, melipat selimut dengan rapi dan melangkah menuju kamar mandi. Dalam hatinya, ia berdoa semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih baik dari sebelumnya.Di kantor, suasana berbeda dari biasanya, karena beberapa karyawan di lantainya menghampiri Aruna ketika perempuan itu tengah melewati koridor.“Selamat ulang tahun, Bu Aruna!” salah seorang karyawan berkata sambil tersenyum lebar sembari menjabat tangannya.“Bu Aruna, happy birthday ya~” seru yang lain sambil menyerahkan sekotak kecil brownies.Terdapat dua lilin yang menyembul di atas kue tersebut sehingga nyala api di sana menari-
Malam itu, setelah turun dari taksi, seorang perempuan berdiri di depan gedung apartemen sembari menatap gedung tinggi itu dengan rasa iri. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya saat dia menggumam pelan. "Seharusnya aku yang tinggal di sini.”Pikirannya berkecamuk. Bayangan Aruna yang tinggal bersama Rafael di apartemen mewah ini membuat darahnya mendidih."Aruna tidak pantas mendapatkan semua ini!" ujar Melania sebelum melangkah masuk ke lobi dengan mata yang menatap tajam.Melania lalu menaiki lift menuju lantai apartemen Rafael dan berjalan menyusuri lorong. Hingga saat dia sampai di depan sebuah pintu, Melania berhenti sejenak.Menurutnya, apartemen di depannya ini benar milik Rafael. Setidaknya begitulah yang disampaikan informannya kepadanya.Kali ini adalah kesempatannya untuk memperingatkan Aruna sekali lagi. Mumpung Rafael tak ada karena masih menemui rekan kerjanya di luar jam kantor.Namun, sebelum sempat menekan bel, suara langkah kaki terdengar dari ujung koridor. Seor
“Pergi malam-malam begini? Ke mana?” Aruna menatap Rafael dengan bingung.Rafael mengangguk pelan, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Aruna tak berani bertanya lebih lanjut.“Baiklah, tolong tunggu sebentar ya” sahut Aruna akhirnya. “Aku akan berganti pakaian dulu.”Tanpa banyak bicara lagi, Aruna masuk ke kamar untuk bersiap. Ia memilih dress satin sederhana berwarna krem yang jarang ia kenakan dan memoles wajahnya agar tak terlihat pucat.Aruna lalu keluar kamar dan menatap Rafael yang sudah berdiri di depan pintu. “Kita mau ke mana?” tanyanya lagi sambil meraih tas.“Kamu akan tahu nanti,” balas Rafael singkat.Setelah turun ke lobi apartemen, sebuah mobil sudah menunggu dan Rafael membukakan pintu untuk Aruna. Dengan sedikit bingung, Aruna masuk dan duduk diam di kursi penumpang, sementara Rafael mengarahkan mobil keluar dari area apartemen menuju jalanan kota yang mulai lengang.Aruna diam, mencoba menebak-nebak ke mana Rafael akan membawanya.Setelah sekitar 30 men
Hari ini adalah hari untuk melakukan presentasi penting mengenai pemenangan proyek resort, dan Aruna sudah berada di ruang rapat satu jam sebelumnya.Di ruangan itu, Aruna dengan teliti meletakkan materi berkas berisi rencana proyek dan meletakkannya di setiap meja, agar peserta rapat dapat langsung melihat ke arah materi sembari mendengarkan penjelasannya.Proyek ini merupaka proyek besar yang memungkinkan perusahaan mendapat untung ratusan miliar, sehingga sudah sejak dua minggu lalu Aruna menyiapkan semua data dan menyusun materi dengan hati-hati.Dia harus memastikan semuanya berjalan sempurna agar para pemegang saham dan ivestor mau menggelontorkan uangnya ke dalam pendanaan.Setelah selesai, Aruna melihat ke arah jam tangannya dan merasa masih ada waktu untuknya pergi memperbaiki penampilan. Jadi, dia buru-buru pergi ke toilet tanpa sadar bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam ruang rapat setelah ia pergi dari sana.Setengah jam kemudian, setelah semua anggota rapat, termasuk k
“Terima kasih sudah melakukannya dengan baik.”Aruna yang baru saja membuka minuman kaleng dari vending machine tertegun sebelum kemudian menelan sisa minuman di mulutnya. “Apanya, Pak?”“Presentasi tadi.”“Oh.” Aruna tersenyum. “Kalau begitu terima kasihh juga kepada Pak Rafael.”“Kenapa saya?” Rafael mengangkat alisnya dan memasukkan tangannya ke saku celana.“Bapak gak ingat berapa kali Bapak memarahi saya saat saya baru pertama kali jadi asisten Bapak?” Aruna berkata dengan mata yang menerawang jauh. Masih sambil minum, dia berkata lagi. “Dulu Bapak galak dan sama sekali nggak pernah tersenyum.”“Presentasi itu harus tegap lurus, tapi jangan membelakangi audiens, Aruna!”“Gestur! Gunakan gestur!! Lebih bagus lagi kalau ada alat peraga!”Aruna berkata sambil menirukan wajah Rafael yang menurutnya datar. “Hahaha. Lucu sekali, tapi terima kasih banyak, Pak. Berkat Pak Rafael, saya bisa menjadi Aruna yang seperti ini.”“Begitu. Berarti saya sekarang sudah gak galak dan sudah sering se
Oma Tini tampak sangat bersemangat. Langkah rentanya ringan menggandeng Aruna menuju ke butik langganan keluarga Pranandaru di pusat perbelanjaan mewah.Di belakang mereka, Rafael berjalan santai dengan ekspresi datar sambil sesekali mendengus sebal. Sebab, belum apa-apa tangannya sudah sibuk membawa dua buah tas berwarna coklat dan hitam. Milik neneknya dan Aruna.“Rafael, tangan kamu menganggur kan? Bawakan tas oma.” Oma Tini berkata sambil menyerahkan tas tangannya kepada Rafael. “Nih, sekalian punya istrimu juga.” Mengingat itu, Rafael menghela napas. “Untung sayang.”“Oma suka warna apa? Pastel atau mungkin warna-warna netral?” Aruna bertanya sambil memegang sebuah blouse berwarna biru langit.Oma Tini merengut. “Kenapa jadi pilih punya Oma duluan? Kan kita mau mencari kado ulang tahun kamu.”“Gak harus punyaku duluan kok, Oma. Ini aku ketemu blus yang cocok untuk Oma duluan.” Aruna membalas. “Gimana, Oma?”“Yasudah.” Jawab Oma Tini.Wanita tua itu lalu berpikir sejenak, sebelu
“Dasar tidak tahu diri!! Sudah dewasa masih saja numpang di rumah orang!!”Aruna baru saja tiba di rumah ketika kakak iparnya lagi-lagi mengungkit tentang dirinya yang menjadi beban. Gadis berparas cantik itu hanya bisa menghela napas dan mengernyitkan dahi.Aruna tak tahu apa yang harus ia lakukan selain berhenti melangkah dan menatap sekilas punggung Livia yang tengah duduk sambil mengganti channel TV. Sedetik kemudian Livia menoleh karena tak ada jawaban apa pun dari bibir Aruna. “Dengar, nggak?” ulangnya. Wanita itu menatap tajam Aruna yang masih mematung.“Maaf, Kak. Tapi─”“Tapi apa? Takut abangmu marah dan nyariin kamu? Kamu itu sudah besar, Aruna! Nggak pantas tinggal di rumah saudara yang sudah berkeluarga! Punya otak kan buat mikir? Bisa jelasin ke abangmu sendiri kan?”Aruna kemudian mendengar racauan lain dari bibir sang kakak ipar yang menyakitkan bagi hatinya. Sebenarnya bukannya ia tak mau pergi, tapi abangnya, Nathan, sama sekali tak memperbolehkannya untuk hidup send
Mulut Aruna ternganga usai mendengar permintaan aneh yang baru saja diucapkan oleh Rafael. Bahkan matanya sampai harus mengerjap cepat beberapa kali. Ia tak mungkin salah tangkap, kan? Tak ada hujan, tak ada angin, kenapa bosnya yang terkenal cuek dan workaholic itu tiba-tiba mengajaknya menikah?Lalu, jika mereka menikah, bukankah itu berarti mereka harus merahasiakan hubungan ini di hadapan para karyawan?Tatapan keduanya saling bertubrukan. Pandangan Aruna meneliti secara hati-hati, seakan pria di hadapannya tengah membuat kesalahan yang mencurigakan. Tak hanya itu, Aruna pun sedang menimbang-nimbang adanya kemungkinan Rafael mabuk atau salah minum obat. Namun, itu tidak mungkin karena Aruna tahu betul dengan watak bosnya itu. Pak Rafael pasti tak akan ceroboh melakukan apa pun yang berpotensi merugikan diri sendiri ataupun perusahaan.Melihat tatapan Aruna yang bertanya-tanya, telunjuk Rafael langsung teracung ke arah semua barang bawaan gadis itu, sehingga pandangan Aruna pun
Oma Tini tampak sangat bersemangat. Langkah rentanya ringan menggandeng Aruna menuju ke butik langganan keluarga Pranandaru di pusat perbelanjaan mewah.Di belakang mereka, Rafael berjalan santai dengan ekspresi datar sambil sesekali mendengus sebal. Sebab, belum apa-apa tangannya sudah sibuk membawa dua buah tas berwarna coklat dan hitam. Milik neneknya dan Aruna.“Rafael, tangan kamu menganggur kan? Bawakan tas oma.” Oma Tini berkata sambil menyerahkan tas tangannya kepada Rafael. “Nih, sekalian punya istrimu juga.” Mengingat itu, Rafael menghela napas. “Untung sayang.”“Oma suka warna apa? Pastel atau mungkin warna-warna netral?” Aruna bertanya sambil memegang sebuah blouse berwarna biru langit.Oma Tini merengut. “Kenapa jadi pilih punya Oma duluan? Kan kita mau mencari kado ulang tahun kamu.”“Gak harus punyaku duluan kok, Oma. Ini aku ketemu blus yang cocok untuk Oma duluan.” Aruna membalas. “Gimana, Oma?”“Yasudah.” Jawab Oma Tini.Wanita tua itu lalu berpikir sejenak, sebelu
“Terima kasih sudah melakukannya dengan baik.”Aruna yang baru saja membuka minuman kaleng dari vending machine tertegun sebelum kemudian menelan sisa minuman di mulutnya. “Apanya, Pak?”“Presentasi tadi.”“Oh.” Aruna tersenyum. “Kalau begitu terima kasihh juga kepada Pak Rafael.”“Kenapa saya?” Rafael mengangkat alisnya dan memasukkan tangannya ke saku celana.“Bapak gak ingat berapa kali Bapak memarahi saya saat saya baru pertama kali jadi asisten Bapak?” Aruna berkata dengan mata yang menerawang jauh. Masih sambil minum, dia berkata lagi. “Dulu Bapak galak dan sama sekali nggak pernah tersenyum.”“Presentasi itu harus tegap lurus, tapi jangan membelakangi audiens, Aruna!”“Gestur! Gunakan gestur!! Lebih bagus lagi kalau ada alat peraga!”Aruna berkata sambil menirukan wajah Rafael yang menurutnya datar. “Hahaha. Lucu sekali, tapi terima kasih banyak, Pak. Berkat Pak Rafael, saya bisa menjadi Aruna yang seperti ini.”“Begitu. Berarti saya sekarang sudah gak galak dan sudah sering se
Hari ini adalah hari untuk melakukan presentasi penting mengenai pemenangan proyek resort, dan Aruna sudah berada di ruang rapat satu jam sebelumnya.Di ruangan itu, Aruna dengan teliti meletakkan materi berkas berisi rencana proyek dan meletakkannya di setiap meja, agar peserta rapat dapat langsung melihat ke arah materi sembari mendengarkan penjelasannya.Proyek ini merupaka proyek besar yang memungkinkan perusahaan mendapat untung ratusan miliar, sehingga sudah sejak dua minggu lalu Aruna menyiapkan semua data dan menyusun materi dengan hati-hati.Dia harus memastikan semuanya berjalan sempurna agar para pemegang saham dan ivestor mau menggelontorkan uangnya ke dalam pendanaan.Setelah selesai, Aruna melihat ke arah jam tangannya dan merasa masih ada waktu untuknya pergi memperbaiki penampilan. Jadi, dia buru-buru pergi ke toilet tanpa sadar bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam ruang rapat setelah ia pergi dari sana.Setengah jam kemudian, setelah semua anggota rapat, termasuk k
“Pergi malam-malam begini? Ke mana?” Aruna menatap Rafael dengan bingung.Rafael mengangguk pelan, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Aruna tak berani bertanya lebih lanjut.“Baiklah, tolong tunggu sebentar ya” sahut Aruna akhirnya. “Aku akan berganti pakaian dulu.”Tanpa banyak bicara lagi, Aruna masuk ke kamar untuk bersiap. Ia memilih dress satin sederhana berwarna krem yang jarang ia kenakan dan memoles wajahnya agar tak terlihat pucat.Aruna lalu keluar kamar dan menatap Rafael yang sudah berdiri di depan pintu. “Kita mau ke mana?” tanyanya lagi sambil meraih tas.“Kamu akan tahu nanti,” balas Rafael singkat.Setelah turun ke lobi apartemen, sebuah mobil sudah menunggu dan Rafael membukakan pintu untuk Aruna. Dengan sedikit bingung, Aruna masuk dan duduk diam di kursi penumpang, sementara Rafael mengarahkan mobil keluar dari area apartemen menuju jalanan kota yang mulai lengang.Aruna diam, mencoba menebak-nebak ke mana Rafael akan membawanya.Setelah sekitar 30 men
Malam itu, setelah turun dari taksi, seorang perempuan berdiri di depan gedung apartemen sembari menatap gedung tinggi itu dengan rasa iri. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya saat dia menggumam pelan. "Seharusnya aku yang tinggal di sini.”Pikirannya berkecamuk. Bayangan Aruna yang tinggal bersama Rafael di apartemen mewah ini membuat darahnya mendidih."Aruna tidak pantas mendapatkan semua ini!" ujar Melania sebelum melangkah masuk ke lobi dengan mata yang menatap tajam.Melania lalu menaiki lift menuju lantai apartemen Rafael dan berjalan menyusuri lorong. Hingga saat dia sampai di depan sebuah pintu, Melania berhenti sejenak.Menurutnya, apartemen di depannya ini benar milik Rafael. Setidaknya begitulah yang disampaikan informannya kepadanya.Kali ini adalah kesempatannya untuk memperingatkan Aruna sekali lagi. Mumpung Rafael tak ada karena masih menemui rekan kerjanya di luar jam kantor.Namun, sebelum sempat menekan bel, suara langkah kaki terdengar dari ujung koridor. Seor
Pagi itu cahaya matahari menerobos celah tirai kamar. Suara alarm dari ponsel Aruna membuyarkan tidur nyenyaknya. Ia menggeliat pelan, lalu meraih ponsel di meja samping tempat tidur.[Selamat Ulang Tahun, Aruna!]Tulisan itu menyala di layar ponsel, dari Nathan.Melihat itu, Aruna terdiam sebelum kemudian menghela napas panjang. “27 tahun ya. Waktu benar-benar cepat berlalu.”Sesaat kemudian, Aruna bangkit, melipat selimut dengan rapi dan melangkah menuju kamar mandi. Dalam hatinya, ia berdoa semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih baik dari sebelumnya.Di kantor, suasana berbeda dari biasanya, karena beberapa karyawan di lantainya menghampiri Aruna ketika perempuan itu tengah melewati koridor.“Selamat ulang tahun, Bu Aruna!” salah seorang karyawan berkata sambil tersenyum lebar sembari menjabat tangannya.“Bu Aruna, happy birthday ya~” seru yang lain sambil menyerahkan sekotak kecil brownies.Terdapat dua lilin yang menyembul di atas kue tersebut sehingga nyala api di sana menari-
“Kalau kamu datang hanya untuk bertengkar dengan cucu menantuku, maka sebaiknya kamu pulang saja. Paham, Melania?!” kali ini Oma Tini tak lagi menahan diri dan benar-benar menatap Melania dengan kesal.Namun, alih-alih mengakui kesalahannya, Melania malah berusaha untuk membela diri. “Tapi, Oma juga lihat sendiri kan kalau dia–”“Melania!” Oma Tini memperingatkan lagi yang langsung membuat Melania terdiam dan dengan kesal membantu mengayak tepung.Melihat itu, Aruna segera menenangkan Oma Tini setelah menggeser keranjang telur itu ke tempat semula. “Aku nggak kenapa-napa, Oma. Telurnya juga baik-baik saja. Aku yang akan memecahkan telur kan?”Melihat perkataan Aruna, Oma Tini kembali tersenyum dan mengangguk sehingga proses pembuatan kue itu pun bisa benar-benar dimulai.“Bagus sekali, Aruna. Kamu memang teliti,” puji Oma Tini saat membimbing keduanya untuk mengaduk adonan. Akhirnya, Oma Tini memutuskan untuk mengubah rencananya. Dari membimbing Aruna membuat butterscotch, menjadi me
“Yakin tidak mau kutemani?” Suara Rafael menghentikan Aruna yang bersiap membuka pintu mobil. Wajah pria itu datar, tapi Aruna bisa merasakan kekhawatiran dari nada bicara dan sorot matanya.Oleh karena itu, Aruna segera menggeleng sambil menyunggingkan senyum. “Tidak perlu, Pak. Bukankah Anda memiliki urusan? Pergilah. Saya bisa mengatasi ini. Toh ada Oma Tini.” Mendengar itu, Rafael mengangguk dan berkata tegas. “Segera beritahu saya apabila ada yang terjadi.”Aruna kembali mengangguk, tapi kali ini sambil memperlihatkan jempol sebagai tanda persetujuan.Setelah mobil Rafael melaju pergi, Aruna baru melangkah masuk ke area mansion Pranandaru dan menekan bel.Tak berapa lama, seorang pelayan membukakan pintu dan mempersilakannya masuk untuk pergi ke ruang utama.Tujuan Aruna datang hari ini adalah untuk memenuhi undangan dari Oma Tini yang hendak mengajarinya membuat kue. Oleh karena itu, dia berekspektasi bahwa akan langsung menemui Oma Tini di tujuan. Namun, ekspekspektasinya it
Rafael mengerutkan kening sewaktu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Rianty.Saat panggilan itu akhirnya dijawab, hanya satu kata yang disebut oleh Rianty. Itu pun dengan nada yang putus-putus dan terlihat sesak. Mendengar itu, Rafael langsung menduga kalau penyakit ibunya kumat lagi. Sebab, Rianty memang memiliki penyakit asma yang mudah untuk kambuh. Terlebih setelah kelelahan atau ada alergen sebagai pemicunya.Tanpa menunggu lebih lama, Rafael segera mengenakan jasnya dan buru-buru melangkahkan kaki keluar dari kantor.“Saya pulang dulu. Segera hubungi saya jika ada apa-apa dan kirim berkas yang saya minta melalui email.” tukasnya kepada Aruna yang masih tenggelam dalam pekerjaannya.Tindakan Rafael itu membuat Aruna menatap dengan heran, tapi tanpa menjawab lebih jauh, dia mengangguk tegas. “Baik, Pak. Hati-hati.”Bayangan Rianty yang terbaring di kasur membuat Rafael mengebut, hingga hanya dalam waktu setengah jam, dia sudah mencapai pinggiran kota dan tiba di mansio