Bab 2 - Sah Jadi Istri Presdir

Mulut Aruna ternganga usai mendengar kalimat lugas yang baru saja diucapkan oleh Rafael. Matanya mengerjap cepat beberapa kali. 

Ia tak mungkin salah tangkap, kan? Tak ada hujan, tak ada angin, kenapa bosnya yang terkenal cuek dan workaholic itu tiba-tiba mengajaknya menikah?

Tatapan keduanya saling bertubrukan. Pandangan Aruna meneliti secara hati-hati, seakan pria di depannya tengah membuat kesalahan yang mencurigakan. 

Tak hanya itu, Aruna pun sedang menimbang-nimbang adanya kemungkinan Rafael mabuk atau salah minum obat. Sebab, Aruna kenal betul bahwa bosnya tak akan ceroboh melakukan apa pun yang akan merugikannya.

Melihat tatapan Aruna yang bertanya-tanya, telunjuk Rafael langsung teracung ke arah semua barang bawaan Aruna sehingga pandangan perempuan tersebut secara refleks mengikuti.

“Kamu butuh tempat tinggal, kan?”

Aruna terkesiap dan kembali menatap Rafael, ‘Cepat sekali bosnya itu membaca situasi’.

Sebelum Aruna berhasil menyahut, Rafael melanjutkan ucapannya. “Kalau menikah dengan saya, kamu tidak perlu jadi gelandangan.”

Aruna sedikit tersinggung. Bagaimana bisa bosnya begitu cepat memberinya cap “gelandangan”?

“Maksudnya … saya menikah dengan─Anda?” 

Setelah menuding dirinya sendiri, Aruna menunjuk Rafael dengan ragu. Tatapannya masih menggambarkan bahwa ada sesuatu yang salah di sini.

Rafael mengangguk satu kali. “Iya. Menikah pura-pura. Anggap saja ini pernikahan kontrak. Saling menguntungkan, bukan? Kamu akhirnya punya tempat tinggal dan saya perlu kamu sebagai istri palsu.”

“Tenang, ini bakal tersusun rapi. Akan saya jamin kerahasiaan dan keamananmu juga,” tambahnya.

Kini ada pencerahan yang Aruna dapatkan. 

Rafael memang mengajaknya menikah demi keuntungan yang pria itu dapatkan, tapi… bukankah dia sendiri juga sedang membutuhkan status menikah agar tidak dikejar-kejar oleh abangnya lagi? 

Dengan begini, dia juga akan punya tempat tinggal, aman sampai bulan depan!

‘Ya, apa boleh buat. Tapi … kenapa bisa kebetulan begini, ya?’ Aruna sedikit girang dalam hati.

“Gimana? Kamu setuju, kan?” Sepasang netra kelam milik Rafael menatap perempuan yang tengah bergeming di depannya itu lekat-lekat.

Mau tak mau Aruna mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Rafael dengan penuh minat. 

Kemudian ia mengangguk. “Baik, Pak. Saya setuju. Jadi, kira-kira mulai kapan saya akan menjadi istri kontrak Anda?”

“Sekarang. Cepat siap-siap, kita harus pergi ke kantor catatan sipil. Urusan surat kontrak bisa belakangan,” tukas Rafael tanpa Aruna duga.

Aruna terhenyak dan hanya mematung memandangi punggung Rafael yang mulai menjauh. Menyadari suatu hal, Aruna lantas berusaha mengejar langkah Rafael yang hendak membuka pintu mobilnya.

“Tunggu, Pak!” pekiknya mencegah pergerakan pria tersebut. Salah satu alis Rafael terangkat skeptis menunggu Aruna melanjutkan bicara.

“Bukannya jam segini kantor catatan sipil sudah tutup?” Napas Aruna masih tersengal-sengal.

Sejenak Rafael memeriksa arloji di tangannya. Tanpa memedulikan ekspresi keheranan yang Aruna tunjukkan, ia kemudian bergerak cepat menghubungi seseorang di seberang.

“Halo? Ya. Kamu masih bekerja di kantor catatan sipil, kan? Bagus. Aku ada perlu sebentar. Cepat kembali ke kantor karena lima menit lagi saya sampai di sana.”

Rafael menutup sambungan teleponnya, lalu membuka pintu mobil sambil berucap, “Naik. Ada seseorang yang bisa mengurus pernikahan kita.”

Walau sedang memendam perasaan yang campur aduk, Aruna cepat-cepat menuruti titah Rafael. Ia tentu hafal betul tabiat bosnya yang tak suka mengulur waktu dan lebih menyukai kinerja karyawan yang serba tangkas.

Selama di perjalanan keheningan melingkupi keduanya. Sesekali Aruna melirik Rafael yang tengah menyetir dengan tampang serius. 

Seketika sekujur badannya merinding. 

Ini sungguh terasa seperti mimpi.

‘Bagaimana bisa dia menikah dengan bos sendiri yang super dingin seperti kulkas dua pintu ini?’ 

Ingin sekali Aruna menampar pipinya berkali-kali, karena berharap bahwa semua yang dilaluinya adalah mimpi.

Mobil yang mereka tumpangi akhirnya menepi di sebuah gedung berhalaman luas. Mata Aruna menyipit tatkala menyaksikan sebuah mobil lain yang terparkir asal-asalan di sana. 

Saat mereka turun, pintu gedung langsung dibuka oleh seseorang. Setelah Rafael melangkah lebih dulu, Aruna mengikuti tanpa protes.

“Ck, Rafael! Kebiasaanmu dari dulu nggak pernah berubah, ya. Selalu menyuruh-nyuruh orang lain seenaknya,” ungkap pria  yang menyambut kedatangan Rafael dan Aruna itu dengan menggerutu. 

Pria tersebut sempat melirik Aruna, tapi hanya sebentar karena kemudian dia kembali masuk untuk membuka pintu lainnya.

“Jangan banyak protes, Dimas. Cepat proses saja agar kamu juga bisa cepat pulang,” desah Rafael sambil mendorong tubuh pria yang merupakan teman SMA-nya itu. 

“Padahal sebelum kamu suruh, aku sudah hampir tidur di kasurku yang nyaman!” 

Sampai menuju meja pelayanan pun, pria yang dipanggil Dimas itu masih menggerutu.

“Tenang, akan kuberi berapapun yang kamu minta,” balas Rafael sembari menarik kursi di depan meja.

Aruna hanya menelan ludah di tempat. Duduk di sisi Rafael dengan tubuh yang membeku. 

Pria asing di hadapannya lekas menyalakan komputer dan menyembul dari samping dengan tatapan meneliti berpindah dari Rafael, lalu ke Aruna.

“Serius mau menikah?” tanyanya memastikan. Pupil matanya menyipit curiga. “Kamu gak menghamili dia dan menyembunyikan dia karena tidak di direstui orang tuamu kan?”

Sambil berdecak kesal Rafael menyahut, “Cukup input datanya segera, Dimas. Kamu tidak kubayar untuk sekedar bertanya-tanya!”

Mendengar jawaban sedingin itu, Aruna hanya bisa menghela napas panjang. Sedangkan pria yang duduk di depannya langsung bungkam dan dengan cekatan memproses data walau bibirnya jadi mengerucut.

Keluar dari kantor catatan sipil, kini Rafael dan Aruna resmi menjadi pasangan suami istri. Pernikahan mereka sudah tercatat secara sah oleh negara. 

Kemudian Rafael membawa Aruna ke sebuah gedung apartemen mewah yang berada di pusat kota.

Sesampainya di sana, Rafael mengulurkan secarik kertas kepada Aruna hingga membuat Aruna kebingungan. 

“Ini apa, Pak?” Aruna mengalihkan pandangannya dari kombinasi angka, huruf, sekaligus simbol pada permukaan kertas tersebut.

“Passcode apartemen,” tukas Rafael singkat sembari memencet kode yang sama di pintu. “Nanti jangan lupa hafalkan dan bakar kertas itu. Sekarang, kamu taruh barang-barangmu di dalam.”

Mendengar itu, Aruna mengangguk dan masuk dengan canggung, diikuti oleh Rafael di belakangnya. Sedetik kemudian, perempuan itu sempat mengedarkan pandang dan berdecak kagum. 

Apartemen milik Rafael benar-benar bersih juga rapi. Sepertinya bosnya itu memang tipikal pria perfeksionis.

“Kamarnya ada di sana kalau itu yang kamu cari.”

Demi menyembunyikan wajahnya yang memerah malu, Aruna buru-buru melenggang ke arah kamar yang ditunjuk Rafael. 

Namun, saat ia masuk ke kamar, ruangan itu ternyata penuh dengan barang-barang milik Rafael. Termasuk handuk pria itu yang digantung di belakang pintu.

Aruna terpegun selama sekian detik. Apalagi sewaktu Rafael ikut masuk dan mulai menguak lemari pakaian besar di sana.

“Pak? Kita akan tidur bersama?!” 

“Ya. Kenapa? Bukannya kita sudah menjadi suami istri?”