“Jangan lupa, panggil saya ‘sayang’ agar mereka tak mencurigai pernikahan kita ini.”
Rafael berbisik di telinga Aruna dan menggandeng tangan gadis itu erat saat mereka baru saja tiba di kediaman Pranandaru.
Perkataan itu membuat Aruna terkejut, tapi dia langsung tersenyum dan balas menggandeng tangan Arjuna hingga membuat pria itu turut tersentak.
Begitu mereka tiba di ruang makan, Ibu Rafael, Rianty langsung menghampiri mereka dan hendak memeluk Rafael seperti biasa.
Namun, mata wanita paruh baya itu membelalak bingung kala menyaksikan Aruna, sekretaris Rafael yang kini tengah berdiri di samping putranya.
Tangan mereka bahkan saling bergenggaman!
“Kenapa Aruna bisa ikut ke sini?” Rianty bertanya tanpa basa-basi.
“Sebelumnya aku bilang kalau akan menikah dengan perempuan pilihanku sendiri, kan?” Rafael berkata sambil melirik singkat ke arah Aruna. “Aruna ini adalah istriku sekarang.”
“Kamu jangan bercanda, Rafael?!” Rianty memekik kaget.
“Lebih baik kami duduk dulu.” Rafael melepaskan genggaman tangannya pada Aruna, dan beralih menelusupkan tangannya ke pinggang gadis itu.
Melihat tingkah Rafael, Rianty memijat keningnya sambil membuang napas kasar.
Dari pintu, Ayah Rafael melangkah mendekat dan heran dengan sikap Rianty. Namun, tak lama kemudian pandangannya terkunci pada sosok pegawai yang ia kenal.
Mengabaikan kehadiran sang suami, Rianty meneruskan, “Sekarang jelaskan. Kenapa kamu menikahi sekretarismu sendiri? Kamu pikir Mama bisa kamu bohongi?”
“Lagipula, Mama yakin. Ini pasti cuma pernikahan pura-pura agar kamu tidak mama nikahkan dengan putri keluarga Adisti kan?” lanjut Rianty lagi.
Rafael membuka mulut hendak menjawab, tapi mengurungkan niat karena Aruna telah mendahuluinya.
“Sebenarnya kami sudah berhubungan cukup lama, Ma. Maaf baru memberitahu sekarang. Hubungan ini kami sembunyikan agar tidak merusak kesal profesional di mata karyawan lain.”
“Saya bertanya ke Rafael, bukan kamu!”
Aruna terdiam.
Melihat itu, tanpa diduga siapa pun, Rafael meraih tangan Aruna dan menarik gadis itu ke belakang tubuhnya. Sikap Rafael yang protektif membuat Rianty dan Dipta terkejut.
Bagaimana bisa Rafael bersikap protektif kepada perempuan, terlebih perempuan seperti Aruna?!
“Cukup, Ma.” Suara Rafael terdengar tegas dan dingin. Tatapannya menusuk langsung ke mata Rianty.
“Aruna istriku. Kalau Mama mau bicara dengannya, maka lakukan dengan hormat. Namun, kalau caranya begini, lebih baik kita sudahi saja pembicaraan ini sekarang.”
Tindakan Rafael membuat jantung Aruna tidak sehat. Sebab, selama ini, selain abangnya, tidak ada yang pernah melindunginya seperti ini!
Namun, senyum gadis itu buru-buru ditarik setelah Rafael memandangnya dan mengangguk samar. Seakan berkata bahwa semua akan dalam kendalinya.
Perilaku Rafael mau tak mau membuat Aruna kecewa. Apakah pria itu melindunginya karena tuntutan peran di depan keluarga Pranandaru?
Di sisi lain, mulut Rianty melebar dan matanya membeku tak percaya. Sementara itu, Dipta buru-buru menyambar gelas dan membuang muka.
“Oh, astaga, ya ampun. Kepalaku,” rutuk Rianty memijat kepalanya kembali.
Tiba-tiba, bunyi langkah kaki mendekat. Dari arah pintu, berjalan masuk seorang wanita yang telah memasuki usia senja.
“Apa yang terjadi di sini?”
Walau dikelilingi oleh kulit yang keriput, tapi binar sepasang netra tersebut masih memancarkan gairah mudanya.
Kedatangan Oma Tini, nenek Rafael, membuat semua orang yang ada di sana segera menarik tubuhnya masing-masing. Berdiri dengan tegang.
Saat Oma Tini sudah sampai di ujung meja, Rafael berdiri dan dengan lembut menarik kursi untuk membantu neneknya duduk.
“Tidak. Aku hanya bilang kalau nanti aku akan membuatkan nenek cucu yang lucu-lucu.” kata Rafael sebelum mencium dahi neneknya dan kembali ke tempat duduknya sendiri.
Senyum bahagia dari Oma Tini mengembang dan mengalihkan pandang ke arah Rianty dan Dipta secara bergantian.
“Habis ini kalian harus banyak senyum kalau cicitku lahir,” tukasnya memperingatkan. “Aku tidak mau cicitku melihat wajah muram kalian sepanjang waktu.
Kemudian, seperti baru saja menangkap kehadiran Aruna, Oma Tini langsung menuding ke arah perempuan itu sambil berdecak kagum.
“Ini ya, calonnya Rafael?” ucapnya.
“Halo, Oma,” sapa Aruna secepat kilat sambil melempar senyum manis.
Mula-mula Oma Tini mencondongkan tubuh agar dapat mengamati muka Aruna secara detail. Bibir tipisnya sedikit terangkat.
“Rafael sangat pintar memilih pasangan. Siapa namamu? Jangan lupa melahirkan cicit tampan atau cantik untuk keluarga ini ya.”
Kali ini situasinya lebih canggung lagi untuk Aruna. Sambil tetap mempertahankan senyumnya ia berucap, “Saya Aruna, Oma. Senang bisa bertemu dengan Oma.”
Rianty berdecak. Kentara sekali tak suka menghadapi keadaan di depannya ini. Oleh karena itu, sebagai gantinya, ia jadi mengomel.
“Rafael, jangan sekali-kali kamu mengulangi adegan tadi! Mama kan sudah mengajarimu sopan santun!”
Perkataan Rianty membuat Dipta berusaha meredakan emosi istrinya. “Sudah, Sayang. Tadi sudah berlalu. Tolong jaga sikap, karena Ibu sekarang bergabung bersama kita.”
“Ada apa ini? Oma ketinggalan apa?” Oma Tini justru kebingungan karena tak tahu apa yang sedang dimaksud anak-anaknya.
Mendengar itu, Rianty berusaha menjelaskan. “Rafael diam-diam menikah dengan sekretarisnya ini, Bu. Padahal latar belakang keluarganya jauh berbeda dari kita.”
Namun, hal tersebut justru mengganggu Oma Tini. Sebab, setelah mengangguk beberapa kali, dia langsung menghardik Rianty.
“Memangnya kenapa sama latar belakang keluarganya? Tidak ada masalah sekalipun dia hanya merupakan anak tukang becak!”
“Loh! Ibu kan dengar sendiri kalau status keluarganya tidak jelas. Orang–.”
“Aku tetap setuju kok dengan pernikahan mereka.” ujar Oma Tini lagi dengan wajah secerah mentari pagi. “Jadi, jangan kamu ganggu mereka seperti yang lain. Paham, Rianty?!”
Mendengar itu, Rianty terpaksa mengangguk dan melampiaskan kekesalannya kepada daging di hadapannya dengan memotongnya kasar.
Tindakan Rianty membuat Oma Tini menggelengkan kepala.
Setelah dikecewakan oleh mantan kekasih Rafael dulu, pria itu memang berubah jadi super cuek dalam menghadapi perempuan. Oleh karena itu, Oma Tini bersyukur pria itu membawa pulang gadis yang disukainya dan bahkan berkata sudah menikah!
Setelah makan malam berakhir, Rianty tiba-tiba bangkit dan menumpuk sejumlah piring kotor.
“Aruna, bisa ikut sebentar? Bantu aku mencuci piring-piring ini,” cetusnya menatap lurus ke arah Aruna.
Aruna menatap bingung dan buru-buru mengiyakan. Namun, saat gadis itu mulai berdiri dan hendak melangkah pergi, tangan Rafael mencegahnya.
“Ma, kenapa harus dibantu Aruna? Malam ini kan─”
“Tidak apa-apa, Nak. Biarkan saja. Siapa tahu mereka jadi cepat akrab,” sela Dipta.
Perkataan ayahnya membuat Rafael termenung dan membiarkan Aruna pergi ke dapur bersama ibunya.
Namun, ketika Aruna sedang sibuk mencuci alat makan, diam-diam Rianty mendekat dan berusaha agar gerakannya tidak tertangkap oleh keluarga lain.
“Akan kubuktikan kalau kalian berbohong mengenai pernikahan ini!”
Perkataan Rianty membuat gerakan tangan Aruna yang tengah mencuci piring terhenti. Perlahan ia menoleh dan mendapati wanita itu tengah menyunggingkan senyum puas.“Asal kamu tahu saja, aku sudah mempersiapkan istri yang lebih baik untuk Rafael.” Rianty mengucapkannya dengan membusungkan dada.Kalau sudah begini, Aruna tak boleh lengah. Rianty saja sudah menyatakan ultimatum untuk mengajaknya berperang, itu berarti ia harus melakukan aktingnya secara rapi juga.Bagaimanapun ia tak mau mengecewakan Rafael.Aruna lalu meletakkan sebuah piring yang baru saja ia cuci bersih dan berhadapan langsung dengan Rianty.“Tapi, Ma. Saya sudah menjadi istri sah Rafael. Pernikahan kami pun sudah tercatat resmi di kantor catatan sipil,” tegas Aruna.Mata Rianty melebar. Ia tampak membeku di tempat dengan sorot tatapan tak percaya.“Apa katamu? Jangan panggil aku ‘mama’ karena aku belum menyetujui kamu jadi istri Rafael!”Aruna menghela napas. “Ma, tidak apa-apa kok kalau Mama belum menganggap saya menj
“Siapa perempuan itu? Beraninya dia memeluk bos kita!!”"Seumur-umur mimpiku adalah untuk berjabat tangan dengan Pak Rafael, tapi kenapa tiba-tiba ada perempuan asing yang meraba-raba tubuhnya begitu saja?!""Tapi Pak Rafael diam saja tuh!! Apa mereka saling kenal ya?!"Setelah menyadari perhatian semua orang tertuju ke arah mereka, Rafael segera melepas pelukan wanita itu dengan setengah mendorongnya.“Apa yang kamu lakukan, Melania?” Rafael berkata tertahan saat melihat sosok wanita itu ada di sana.“Memangnya kenapa? Bukannya Kak Rafael juga sering kupeluk?” ujar sosok wanita manis bertubuh ramping itu kini merengut karena perlakuan Rafael. Melania lagi-lagi ingin menyambar Rafael dengan pelukannya, tapi pria itu sudah lebih dulu melepaskan tangan wanita itu dari pinggangnya dan membawanya pergi dari sana.Sepeninggal Rafael, suara di sekitar mereka kembali berkasak-kusuk dan tubuh Aruna masih menegak kaku.Entah kenapa, perasaan Aruna mendadak terasa tidak nyaman dan ada rasa nyer
Saat Rafael melangkah masuk ke dalam apartemen, dia melihat Aruna yang tengah sibuk di dapur. Melihat itu, Rafael semakin merasa bersalah, karena setelah semua yang dilakukannya: meninggalkan Aruna berjam-jam dan melupakan janjinya, istrinya itu masih mau menyiapkan makan malam untuk mereka. Rafael kemudian berdehem pelan sambil menghampiri Aruna yang sedang menata masakannya di atas meja.“Kapan kamu sampai rumah?” tanya Rafael memulai obrolan. Lelaki itu menatap Aruna yang terlihat santai. Apakah gadis itu tidak marah? “Sekitar setengah jam yang lalu, Pak.” jawab Aruna. Mendengar itu, perasaan bersalah semakin menggelayuti hati Rafael. Sebab, itu berarti Aruna telah menunggunya selama lebih dari dua jam tanpa kepastian apa pun.Bahkan gadis itu tidak menghubunginya!“Maafkan saya.” Rafael berkata pelan.“Kenapa, Pak?” Aruna bertanya.“Saya lupa menjemputmu dan membuat kamu menunggu hingga lebih dari dua jam..”“Oh, tidak apa-apa, Pak. Saya bisa pulang sendiri, kok. Bapak juga
“Apartemen besar juga ya, Adik Ipar!”Dari depan pintu, baik Nathan maupun Livia sama-sama melongokkan kepala untuk menyaksikan ruang apartemen milik Rafael dari luar. Bibir mereka menganga lebar penuh kekaguman.“Ini serius kami boleh masuk?” tanya Nathan menyipitkan mata. “Nanti jangan-jangan kamu mengusir kami.”Rafael tergelak sambil sesekali menyeka keringat di dahi. Napasnya masih memburu karena baru saja ia melakukan kerja kelompok memindahkan barang Aruna lagi ke kamarnya.“Masuk saja, Mas. Silakan.” Rafael semakin menyibakkan pintunya, mempersilakan kedua orang itu masuk.Nathan dan Livia melewati Rafael dengan masih terpana melihat ruang apartemen yang tengah mereka masuki. Netra mereka terlempar ke sana-kemari penuh takjub.Mereka kemudian bertemu Aruna di ruang tengah. Aruna kala itu tepergok sedang mengipasi wajahnya karena kegerahan.“Abang kok bilangnya mendadak kalau mau ke sini?” protes Aruna.Nathan yang masih repot membantu Livia mengatur dan menaruh tas belanja mere
Apa yang dibahas oleh abangnya kemarin benar-benar membuat Aruna tidak bisa berpikir lebih jernih.Apalagi kalimat ‘verifikasi’ tambahan dari Rafael semakin berhasil membuat kedua orang itu salah paham.Gadis itu lalu menggeleng cepat untuk mencoba menepis rasa malu yang menyergap sebelum kemudian berdehem pelan.“Aruna, bisa buatkan saya kopi?”Suara berat Rafael membuyarkan lamunan Aruna dan membuatnya menatap ke arah pria itu. Di meja kerjanya, Rafael memijat kepala dan terlihat tertekan.“Baik, Pak,” jawab Aruna cepat.Ia bergegas menuju pantry, mencoba mengalihkan fokus dengan memilih kemasan kopi favorit Rafael. Namun, saat tangannya sibuk menakar, isi pikirannya kembali melayang ke perkataan Rafael kemarin.‘Pro di ranjang.’Wajah Aruna kembali memerah dan kini dia benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mungkin Rafael bisa bersikap santai setelah mengatakan hal itu?Ia sendiri bahkan masih sulit bernapas normal hanya dengan mengingatnya!Setelah kopi Rafael selesai dibuat, Aruna
Hujan deras mengguyur kota siang itu. Langit ditudungi awan pekat.Aruna berdiri di bawah emperan Butik kecil di pinggir jalan, menggigil sambil merapatkan tangannya. Di sampingnya, Rafael berdiri dan terus mengetuk-ngetukkan jarinya ke layar ponsel.“Ck, kenapa lama sekali?!” celetuk Rafael mulai tak sabar. Sesekali ia melirik ke arah Aruna.“Nggak apa-apa kok, Pak. Hujan begini biasanya arus di jalan juga meningkat,” sahut Aruna mencoba menenangkan. Suaranya gemetar karena dingin.Rafael berdecak sekali lagi. “Katanya sudah di jalan, tapi nggak bisa dihubungi sekarang,” Rafael menjawab dengan nada jengkel, lalu mematikan layar ponselnya.“Kamu tidak membawa jaket atau sesuatu untuk menghangatkan badanmu?”Aruna menggeleng pelan. “Saya nggak kepikiran bakal hujan sederas ini, Pak,” akunya pelan.Rafael menghela napas panjang. Ia mendekat, lantas menyodorkan jasnya. “Pakai ini. Saya tidak mau kamu tambah kedinginan dan alergimu semakin parah.”Aruna terkesima, tapi buru-buru menggeleng
Rafael mendengus sebal. Ia mencengkeram ponselnya dan mengatur napas sebelum menjawab lagi.“Sampaikan pada Melania. Kalau dia masih saja menerorku dengan pesan dan telepon, aku gak akan segan untuk memblokir dia selamanya!”Klik! Telepon dimatikan tanpa menunggu balasan dari sang ibu.Ia menatap layar ponsel yang kini gelap, perasaan dongkol masih tersisa.Melania. Sejak dulu, teman masa kecilnya itu memang selalu menjadi topik yang dibesar-besarkan ibunya. Padahal, Rafael sudah berusaha menjaga jarak. Tapi perempuan itu terus saja menyusahkan dan mengikuti ke mana pun ia pergi. Tidak tahu juga kenapa Mamanya bisa begitu menyayangi Melania.Padahal, sikap wanita itu yang cengeng dan luar biasa manja benar-benar membuat Rafael kerepotan.‘Suka memeluk apanya?’ Rafael menggeleng pelan setelah mengingat apa yang diucapkan oleh Melania waktu itu.Dia mengusap wajahnya dan rasa lelah mulai merayap. Daripada terus terjebak dalam drama yang tidak penting, ia memutuskan untuk kembali ke kant
Keesokan harinya, Aruna terbangun dan menyadari bahwa dirinya telah berpindah ke atas tempat tidur. Aruna mengernyitkan dahi dan buru-buru bangun. Bukankah semalam dia baru selesai merawat Rafael? Lalu, kenapa dia yang berada di sini? Ke mana pria itu pergi?Keluar dari kamar, Aruna berjalan ke arah ruang kerja Rafael dan melihat pria itu tengah mengetik sesuatu di laptopnya dengan serius.Melihat itu, Aruna menghela napas. Benar-benar workaholic. Bisa-bisanya pria itu masih berpikir untuk bekerja, padahal plester demam saja masih menempel di kepalanya!Bahkan beberapa kali Aruna melihat Rafael bersin dan mengeratkan selimut yang menggantung di pundak pria itu.Alih-laih menegur, Aruna memilih untuk kembali menutup pintu secara perlahan dan berniat untuk pergi membeli vitamin dan beberapa bahan makanan. Semoga dengan begitu, daya tahan tubuh Rafael bisa menjadi lebih baik.Sepulangnya dari supermarket, Aruna yang baru sampai di rumah langsung disambut dengan Rafael yang berdiri di ru
Oma Tini tampak sangat bersemangat. Langkah rentanya ringan menggandeng Aruna menuju ke butik langganan keluarga Pranandaru di pusat perbelanjaan mewah.Di belakang mereka, Rafael berjalan santai dengan ekspresi datar sambil sesekali mendengus sebal. Sebab, belum apa-apa tangannya sudah sibuk membawa dua buah tas berwarna coklat dan hitam. Milik neneknya dan Aruna.“Rafael, tangan kamu menganggur kan? Bawakan tas oma.” Oma Tini berkata sambil menyerahkan tas tangannya kepada Rafael. “Nih, sekalian punya istrimu juga.” Mengingat itu, Rafael menghela napas. “Untung sayang.”“Oma suka warna apa? Pastel atau mungkin warna-warna netral?” Aruna bertanya sambil memegang sebuah blouse berwarna biru langit.Oma Tini merengut. “Kenapa jadi pilih punya Oma duluan? Kan kita mau mencari kado ulang tahun kamu.”“Gak harus punyaku duluan kok, Oma. Ini aku ketemu blus yang cocok untuk Oma duluan.” Aruna membalas. “Gimana, Oma?”“Yasudah.” Jawab Oma Tini.Wanita tua itu lalu berpikir sejenak, sebelu
“Terima kasih sudah melakukannya dengan baik.”Aruna yang baru saja membuka minuman kaleng dari vending machine tertegun sebelum kemudian menelan sisa minuman di mulutnya. “Apanya, Pak?”“Presentasi tadi.”“Oh.” Aruna tersenyum. “Kalau begitu terima kasihh juga kepada Pak Rafael.”“Kenapa saya?” Rafael mengangkat alisnya dan memasukkan tangannya ke saku celana.“Bapak gak ingat berapa kali Bapak memarahi saya saat saya baru pertama kali jadi asisten Bapak?” Aruna berkata dengan mata yang menerawang jauh. Masih sambil minum, dia berkata lagi. “Dulu Bapak galak dan sama sekali nggak pernah tersenyum.”“Presentasi itu harus tegap lurus, tapi jangan membelakangi audiens, Aruna!”“Gestur! Gunakan gestur!! Lebih bagus lagi kalau ada alat peraga!”Aruna berkata sambil menirukan wajah Rafael yang menurutnya datar. “Hahaha. Lucu sekali, tapi terima kasih banyak, Pak. Berkat Pak Rafael, saya bisa menjadi Aruna yang seperti ini.”“Begitu. Berarti saya sekarang sudah gak galak dan sudah sering se
Hari ini adalah hari untuk melakukan presentasi penting mengenai pemenangan proyek resort, dan Aruna sudah berada di ruang rapat satu jam sebelumnya.Di ruangan itu, Aruna dengan teliti meletakkan materi berkas berisi rencana proyek dan meletakkannya di setiap meja, agar peserta rapat dapat langsung melihat ke arah materi sembari mendengarkan penjelasannya.Proyek ini merupaka proyek besar yang memungkinkan perusahaan mendapat untung ratusan miliar, sehingga sudah sejak dua minggu lalu Aruna menyiapkan semua data dan menyusun materi dengan hati-hati.Dia harus memastikan semuanya berjalan sempurna agar para pemegang saham dan ivestor mau menggelontorkan uangnya ke dalam pendanaan.Setelah selesai, Aruna melihat ke arah jam tangannya dan merasa masih ada waktu untuknya pergi memperbaiki penampilan. Jadi, dia buru-buru pergi ke toilet tanpa sadar bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam ruang rapat setelah ia pergi dari sana.Setengah jam kemudian, setelah semua anggota rapat, termasuk k
“Pergi malam-malam begini? Ke mana?” Aruna menatap Rafael dengan bingung.Rafael mengangguk pelan, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Aruna tak berani bertanya lebih lanjut.“Baiklah, tolong tunggu sebentar ya” sahut Aruna akhirnya. “Aku akan berganti pakaian dulu.”Tanpa banyak bicara lagi, Aruna masuk ke kamar untuk bersiap. Ia memilih dress satin sederhana berwarna krem yang jarang ia kenakan dan memoles wajahnya agar tak terlihat pucat.Aruna lalu keluar kamar dan menatap Rafael yang sudah berdiri di depan pintu. “Kita mau ke mana?” tanyanya lagi sambil meraih tas.“Kamu akan tahu nanti,” balas Rafael singkat.Setelah turun ke lobi apartemen, sebuah mobil sudah menunggu dan Rafael membukakan pintu untuk Aruna. Dengan sedikit bingung, Aruna masuk dan duduk diam di kursi penumpang, sementara Rafael mengarahkan mobil keluar dari area apartemen menuju jalanan kota yang mulai lengang.Aruna diam, mencoba menebak-nebak ke mana Rafael akan membawanya.Setelah sekitar 30 men
Malam itu, setelah turun dari taksi, seorang perempuan berdiri di depan gedung apartemen sembari menatap gedung tinggi itu dengan rasa iri. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya saat dia menggumam pelan. "Seharusnya aku yang tinggal di sini.”Pikirannya berkecamuk. Bayangan Aruna yang tinggal bersama Rafael di apartemen mewah ini membuat darahnya mendidih."Aruna tidak pantas mendapatkan semua ini!" ujar Melania sebelum melangkah masuk ke lobi dengan mata yang menatap tajam.Melania lalu menaiki lift menuju lantai apartemen Rafael dan berjalan menyusuri lorong. Hingga saat dia sampai di depan sebuah pintu, Melania berhenti sejenak.Menurutnya, apartemen di depannya ini benar milik Rafael. Setidaknya begitulah yang disampaikan informannya kepadanya.Kali ini adalah kesempatannya untuk memperingatkan Aruna sekali lagi. Mumpung Rafael tak ada karena masih menemui rekan kerjanya di luar jam kantor.Namun, sebelum sempat menekan bel, suara langkah kaki terdengar dari ujung koridor. Seor
Pagi itu cahaya matahari menerobos celah tirai kamar. Suara alarm dari ponsel Aruna membuyarkan tidur nyenyaknya. Ia menggeliat pelan, lalu meraih ponsel di meja samping tempat tidur.[Selamat Ulang Tahun, Aruna!]Tulisan itu menyala di layar ponsel, dari Nathan.Melihat itu, Aruna terdiam sebelum kemudian menghela napas panjang. “27 tahun ya. Waktu benar-benar cepat berlalu.”Sesaat kemudian, Aruna bangkit, melipat selimut dengan rapi dan melangkah menuju kamar mandi. Dalam hatinya, ia berdoa semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih baik dari sebelumnya.Di kantor, suasana berbeda dari biasanya, karena beberapa karyawan di lantainya menghampiri Aruna ketika perempuan itu tengah melewati koridor.“Selamat ulang tahun, Bu Aruna!” salah seorang karyawan berkata sambil tersenyum lebar sembari menjabat tangannya.“Bu Aruna, happy birthday ya~” seru yang lain sambil menyerahkan sekotak kecil brownies.Terdapat dua lilin yang menyembul di atas kue tersebut sehingga nyala api di sana menari-
“Kalau kamu datang hanya untuk bertengkar dengan cucu menantuku, maka sebaiknya kamu pulang saja. Paham, Melania?!” kali ini Oma Tini tak lagi menahan diri dan benar-benar menatap Melania dengan kesal.Namun, alih-alih mengakui kesalahannya, Melania malah berusaha untuk membela diri. “Tapi, Oma juga lihat sendiri kan kalau dia–”“Melania!” Oma Tini memperingatkan lagi yang langsung membuat Melania terdiam dan dengan kesal membantu mengayak tepung.Melihat itu, Aruna segera menenangkan Oma Tini setelah menggeser keranjang telur itu ke tempat semula. “Aku nggak kenapa-napa, Oma. Telurnya juga baik-baik saja. Aku yang akan memecahkan telur kan?”Melihat perkataan Aruna, Oma Tini kembali tersenyum dan mengangguk sehingga proses pembuatan kue itu pun bisa benar-benar dimulai.“Bagus sekali, Aruna. Kamu memang teliti,” puji Oma Tini saat membimbing keduanya untuk mengaduk adonan. Akhirnya, Oma Tini memutuskan untuk mengubah rencananya. Dari membimbing Aruna membuat butterscotch, menjadi me
“Yakin tidak mau kutemani?” Suara Rafael menghentikan Aruna yang bersiap membuka pintu mobil. Wajah pria itu datar, tapi Aruna bisa merasakan kekhawatiran dari nada bicara dan sorot matanya.Oleh karena itu, Aruna segera menggeleng sambil menyunggingkan senyum. “Tidak perlu, Pak. Bukankah Anda memiliki urusan? Pergilah. Saya bisa mengatasi ini. Toh ada Oma Tini.” Mendengar itu, Rafael mengangguk dan berkata tegas. “Segera beritahu saya apabila ada yang terjadi.”Aruna kembali mengangguk, tapi kali ini sambil memperlihatkan jempol sebagai tanda persetujuan.Setelah mobil Rafael melaju pergi, Aruna baru melangkah masuk ke area mansion Pranandaru dan menekan bel.Tak berapa lama, seorang pelayan membukakan pintu dan mempersilakannya masuk untuk pergi ke ruang utama.Tujuan Aruna datang hari ini adalah untuk memenuhi undangan dari Oma Tini yang hendak mengajarinya membuat kue. Oleh karena itu, dia berekspektasi bahwa akan langsung menemui Oma Tini di tujuan. Namun, ekspekspektasinya it
Rafael mengerutkan kening sewaktu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Rianty.Saat panggilan itu akhirnya dijawab, hanya satu kata yang disebut oleh Rianty. Itu pun dengan nada yang putus-putus dan terlihat sesak. Mendengar itu, Rafael langsung menduga kalau penyakit ibunya kumat lagi. Sebab, Rianty memang memiliki penyakit asma yang mudah untuk kambuh. Terlebih setelah kelelahan atau ada alergen sebagai pemicunya.Tanpa menunggu lebih lama, Rafael segera mengenakan jasnya dan buru-buru melangkahkan kaki keluar dari kantor.“Saya pulang dulu. Segera hubungi saya jika ada apa-apa dan kirim berkas yang saya minta melalui email.” tukasnya kepada Aruna yang masih tenggelam dalam pekerjaannya.Tindakan Rafael itu membuat Aruna menatap dengan heran, tapi tanpa menjawab lebih jauh, dia mengangguk tegas. “Baik, Pak. Hati-hati.”Bayangan Rianty yang terbaring di kasur membuat Rafael mengebut, hingga hanya dalam waktu setengah jam, dia sudah mencapai pinggiran kota dan tiba di mansio