Perkataan Rianty membuat gerakan tangan Aruna yang tengah mencuci piring terhenti. Perlahan ia menoleh dan mendapati wanita itu tengah menyunggingkan senyum puas.
“Asal kamu tahu saja, aku sudah mempersiapkan istri yang lebih baik untuk Rafael.” Rianty mengucapkannya dengan membusungkan dada.
Kalau sudah begini, Aruna tak boleh lengah. Rianty saja sudah menyatakan ultimatum untuk mengajaknya berperang, itu berarti ia harus melakukan aktingnya secara rapi juga.
Bagaimanapun ia tak mau mengecewakan Rafael.
Aruna lalu meletakkan sebuah piring yang baru saja ia cuci bersih dan berhadapan langsung dengan Rianty.
“Tapi, Ma. Saya sudah menjadi istri sah Rafael. Pernikahan kami pun sudah tercatat resmi di kantor catatan sipil,” tegas Aruna.
Mata Rianty melebar. Ia tampak membeku di tempat dengan sorot tatapan tak percaya.
“Apa katamu? Jangan panggil aku ‘mama’ karena aku belum menyetujui kamu jadi istri Rafael!”
Aruna menghela napas. “Ma, tidak apa-apa kok kalau Mama belum menganggap saya menjadi menantu atau anggota dari keluarga ini. Namun, saya janji kalau saya akan terus berusaha keras sampai Mama menerima saya.”
Setelah mengucapkan itu, Aruna mohon untuk undur diri. Sebab, pekerjaan untuk membantu Rianty juga sudah selesai.
Setelah itu, mereka berkumpul dan saling berbincang bersama sembari menikmati tontonan di ruang keluarga.
Sesekali Oma Tini terbahak-bahak kencang dengan telunjuk yang menuding ke arah layar televisi secara heboh.
“Bayi itu mirip denganmu Rafael sewaktu kecil!” serunya.
Rafael menanggapinya dengan senyum simpul. Tetapi, gerakan neneknya itu semakin heboh. Bahkan kini wanita tua tersebut mengajak Dipta untuk ikut memihaknya.
“Astaga, aku rindu sekali kumpul-kumpul ramai begini,” ungkap Oma Tini sambil mengenyahkan air mata di sela-sela tawanya. “Rafael, kamu harus berjanji sama Oma untuk sering-sering membawa istrimu ke sini.”
“Iya, Oma,” sahut Rafael.
Namun, sementara anggota lain tertawa lepas, Rianty justru berdiam diri. Dari tadi rahangnya tampak kaku dan tak tersentuh sedikitpun oleh lelucon yang terlontar di sekitarnya.
Beberapa kali Rianty lebih memilih memeriksa ponselnya dengan tampang tak acuh, atau menatap lurus ke arah layar televisi dengan ekspresi tegang.
Karena ancaman Rianty terus-menerus terngiang di kepala, maka Aruna pun berusaha untuk selalu bersikap romantis di depan keluarga itu.
Mula-mula Aruna menyentuh bahu Rafael dan mengusapnya lembut. “Pakaianmu kotor. Kamu barusan dari mana saja?” celetuknya.
Refleks Rafael menoleh. Mendapati Aruna bersikap begitu perhatian demi menjaga image pasangan mereka, ia lalu meresponsnya.
“Terima kasih, Sayang.”
Rafael turut membelai wajah Aruna. Senyumnya terkembang begitu lembut. Mereka saling menatap seakan penuh cinta.
Hal itu tak pelak membuat Rianty semakin kebakaran jenggot. Ia jadi tambah tertantang untuk menemukan celah yang akan membuktikan kebohongan mereka.
***
Keesokan harinya, Rafael dan Aruna baru saja selesai rapat dengan para eksekutif.
Segera setelah rapat selesai, Rafael segera bangkit dan mengitari meja sebelum kemudian melenggang cepat keluar dari ruangan.
Sedari tadi, ponsel pria itu memang terus menyala dan menampilkan nama seorang pengusaha. Sepertinya, pria itu hendak menelepon balik untuk memastikan ada apa.
Sedangkan Aruna, dia masih berada di sana bersama para peserta lain yang belum pergi sambil membereskan berkas dan mematikan proyektor.
Setelah Rafael sudah dipastikan keluar dari ruangan, seseorang yang menjadi peserta rapat langsung mendekati Aruna.
Dengan wajah menggoda, wanita paruh baya itu lalu bertanya, “Mbak Aruna pacaran ya sama Pak Rafael?”
“Hah?” Aruna melongo, lalu buru-buru melambaikan tangan. “Oh, bukan─nggak kok, Bu.”
“Ah masa sih.” Seorang wanita yang merupakan eksekutif dari perusahaan lain turut menyenggol tubuh Aruna.
“Soalnya saya lihat Pak Rafael itu selalu nurut sekali sama Mbak Aruna lho. Dengan sekretaris-sekretarisnya dulu tidak begitu tuh. Ayo dong, Mbak Aruna cepat menikah kalau begitu. Biar terhindar dari fitnah,” goda rekan kerjanya yang lain sembari terkikik.
“Iya loh, Mbak. Mbak Aruna ini begitu cantik dan piawai, tapi masih sendiri. Kalau kamu mencari suami, bilang sama Bapak. Biar Bapak kenalkan dengan keponakan Bapak yang jomblo,” celetuk salah seorang eksekutif.
Perkataan mereka membuat Aruna bingung hendak menanggapi seperti apa. Jadi, dia berusaha untuk berdehem pelan dengan senyum yang dipaksakan terlihat natural.
“Kami hanya sekretaris dan atasan kok, semuanya. Kalau nanti saya menikah, saya akan mengundang Bapak dan Ibu sekalian. Jadi mohon kedatangannya ya.”
Jawaban Aruna membuat semua orang yang ada di sana terkikik kecil.
“Beneran ya, Bu Aruna. Jangan sampai lho saya lihat ternyata mempelai prianya ternyata Pak Rafael. Hahaha.”
Setelah saling berpamitan dan membereskan berkas di meja, mereka meninggalkan Aruna yang masih harus memastikan ruangan telah ditinggal dalam kondisi rapi.
Bersamaan dengan itu Rafael kembali ke ruangan dan mendatangi Aruna yang baru saja hendak menutup pintu.
“Sudah selesai?”
Aruna menatap Rafael sekilas sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya. “Sedikit lagi, Pak.”
Mendengar itu, Rafael mengangguk dan memainkan ponselnya sambil menunggu Aruna. “Setelah ini, apa ada tempat yang ingin kamu datangi?”
Aruna meletakkan jari telunjuknya di dagu dan berpikir. “Saya berencana untuk pergi ke supermarket, Pak. Beberapa barang yang kita perlukan sudah habis.”
“Ok. Saya antar.” Jawab Rafael sambil melenggang pergi.
Aruna terkejut dan buru-buru menahan lengan pria itu. “Saya pikir tidak perlu, Pak. Akan aneh jika ada orang lain yang melihat..”
Kening Rafael berkerut. “Memangnya kenapa? Bukannya hanya pergi belanja?”
Perkataan pria itu membuat Aruna ingin menepuk jidat. Pria itu benar-benar tidak mengerti apa itu effort bagi wanita.
Tentu saja orang-orang akan menanyakan hubungan mereka kalau Rafael kedapatan menemaninya belanja!
Sebelum Aruna sempat menjawab, pria itu sudah lebih dulu menepuk pundak gadis itu dan pergi dari sana. “Akan tetap saya antar. Tidak ada penolakan.”
Paksaan Rafael membuat Aruna menghela napas dan mengikuti langkah pria itu hingga hanya berjarak sedikit di belakangnya. “Kalau begitu, saya akan menunggu Bapak di dekat halte.”
“Baiklah.” jawab Rafael.
Namun, baru saja mereka keluar dari lift, suara lembut seorang wanita membuat langkah keduanya berhenti.
“Kak Rafael!!”
Dalam satu detik yang cepat, seorang perempuan menerjang Rafael dengan pelukan erat hingga membuat semua orang tercengang.
Bahkan, perempuan itu turut meraba-raba punggung Rafael dan menenggelamkan dadanya di pria itu.
“Kamu?!
“Siapa perempuan itu? Beraninya dia memeluk bos kita!!”"Seumur-umur mimpiku adalah untuk berjabat tangan dengan Pak Rafael, tapi kenapa tiba-tiba ada perempuan asing yang meraba-raba tubuhnya begitu saja?!""Tapi Pak Rafael diam saja tuh!! Apa mereka saling kenal ya?!"Setelah menyadari perhatian semua orang tertuju ke arah mereka, Rafael segera melepas pelukan wanita itu dengan setengah mendorongnya.“Apa yang kamu lakukan, Melania?” Rafael berkata tertahan saat melihat sosok wanita itu ada di sana.“Memangnya kenapa? Bukannya Kak Rafael juga sering kupeluk?” ujar sosok wanita manis bertubuh ramping itu kini merengut karena perlakuan Rafael. Melania lagi-lagi ingin menyambar Rafael dengan pelukannya, tapi pria itu sudah lebih dulu melepaskan tangan wanita itu dari pinggangnya dan membawanya pergi dari sana.Sepeninggal Rafael, suara di sekitar mereka kembali berkasak-kusuk dan tubuh Aruna masih menegak kaku.Entah kenapa, perasaan Aruna mendadak terasa tidak nyaman dan ada rasa nyer
Saat Rafael melangkah masuk ke dalam apartemen, dia melihat Aruna yang tengah sibuk di dapur. Melihat itu, Rafael semakin merasa bersalah, karena setelah semua yang dilakukannya: meninggalkan Aruna berjam-jam dan melupakan janjinya, istrinya itu masih mau menyiapkan makan malam untuk mereka. Rafael kemudian berdehem pelan sambil menghampiri Aruna yang sedang menata masakannya di atas meja.“Kapan kamu sampai rumah?” tanya Rafael memulai obrolan. Lelaki itu menatap Aruna yang terlihat santai. Apakah gadis itu tidak marah? “Sekitar setengah jam yang lalu, Pak.” jawab Aruna. Mendengar itu, perasaan bersalah semakin menggelayuti hati Rafael. Sebab, itu berarti Aruna telah menunggunya selama lebih dari dua jam tanpa kepastian apa pun.Bahkan gadis itu tidak menghubunginya!“Maafkan saya.” Rafael berkata pelan.“Kenapa, Pak?” Aruna bertanya.“Saya lupa menjemputmu dan membuat kamu menunggu hingga lebih dari dua jam..”“Oh, tidak apa-apa, Pak. Saya bisa pulang sendiri, kok. Bapak juga
“Apartemen besar juga ya, Adik Ipar!”Dari depan pintu, baik Nathan maupun Livia sama-sama melongokkan kepala untuk menyaksikan ruang apartemen milik Rafael dari luar. Bibir mereka menganga lebar penuh kekaguman.“Ini serius kami boleh masuk?” tanya Nathan menyipitkan mata. “Nanti jangan-jangan kamu mengusir kami.”Rafael tergelak sambil sesekali menyeka keringat di dahi. Napasnya masih memburu karena baru saja ia melakukan kerja kelompok memindahkan barang Aruna lagi ke kamarnya.“Masuk saja, Mas. Silakan.” Rafael semakin menyibakkan pintunya, mempersilakan kedua orang itu masuk.Nathan dan Livia melewati Rafael dengan masih terpana melihat ruang apartemen yang tengah mereka masuki. Netra mereka terlempar ke sana-kemari penuh takjub.Mereka kemudian bertemu Aruna di ruang tengah. Aruna kala itu tepergok sedang mengipasi wajahnya karena kegerahan.“Abang kok bilangnya mendadak kalau mau ke sini?” protes Aruna.Nathan yang masih repot membantu Livia mengatur dan menaruh tas belanja mere
Apa yang dibahas oleh abangnya kemarin benar-benar membuat Aruna tidak bisa berpikir lebih jernih.Apalagi kalimat ‘verifikasi’ tambahan dari Rafael semakin berhasil membuat kedua orang itu salah paham.Gadis itu lalu menggeleng cepat untuk mencoba menepis rasa malu yang menyergap sebelum kemudian berdehem pelan.“Aruna, bisa buatkan saya kopi?”Suara berat Rafael membuyarkan lamunan Aruna dan membuatnya menatap ke arah pria itu. Di meja kerjanya, Rafael memijat kepala dan terlihat tertekan.“Baik, Pak,” jawab Aruna cepat.Ia bergegas menuju pantry, mencoba mengalihkan fokus dengan memilih kemasan kopi favorit Rafael. Namun, saat tangannya sibuk menakar, isi pikirannya kembali melayang ke perkataan Rafael kemarin.‘Pro di ranjang.’Wajah Aruna kembali memerah dan kini dia benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mungkin Rafael bisa bersikap santai setelah mengatakan hal itu?Ia sendiri bahkan masih sulit bernapas normal hanya dengan mengingatnya!Setelah kopi Rafael selesai dibuat, Aruna
Hujan deras mengguyur kota siang itu. Langit ditudungi awan pekat.Aruna berdiri di bawah emperan Butik kecil di pinggir jalan, menggigil sambil merapatkan tangannya. Di sampingnya, Rafael berdiri dan terus mengetuk-ngetukkan jarinya ke layar ponsel.“Ck, kenapa lama sekali?!” celetuk Rafael mulai tak sabar. Sesekali ia melirik ke arah Aruna.“Nggak apa-apa kok, Pak. Hujan begini biasanya arus di jalan juga meningkat,” sahut Aruna mencoba menenangkan. Suaranya gemetar karena dingin.Rafael berdecak sekali lagi. “Katanya sudah di jalan, tapi nggak bisa dihubungi sekarang,” Rafael menjawab dengan nada jengkel, lalu mematikan layar ponselnya.“Kamu tidak membawa jaket atau sesuatu untuk menghangatkan badanmu?”Aruna menggeleng pelan. “Saya nggak kepikiran bakal hujan sederas ini, Pak,” akunya pelan.Rafael menghela napas panjang. Ia mendekat, lantas menyodorkan jasnya. “Pakai ini. Saya tidak mau kamu tambah kedinginan dan alergimu semakin parah.”Aruna terkesima, tapi buru-buru menggeleng
Rafael mendengus sebal. Ia mencengkeram ponselnya dan mengatur napas sebelum menjawab lagi.“Sampaikan pada Melania. Kalau dia masih saja menerorku dengan pesan dan telepon, aku gak akan segan untuk memblokir dia selamanya!”Klik! Telepon dimatikan tanpa menunggu balasan dari sang ibu.Ia menatap layar ponsel yang kini gelap, perasaan dongkol masih tersisa.Melania. Sejak dulu, teman masa kecilnya itu memang selalu menjadi topik yang dibesar-besarkan ibunya. Padahal, Rafael sudah berusaha menjaga jarak. Tapi perempuan itu terus saja menyusahkan dan mengikuti ke mana pun ia pergi. Tidak tahu juga kenapa Mamanya bisa begitu menyayangi Melania.Padahal, sikap wanita itu yang cengeng dan luar biasa manja benar-benar membuat Rafael kerepotan.‘Suka memeluk apanya?’ Rafael menggeleng pelan setelah mengingat apa yang diucapkan oleh Melania waktu itu.Dia mengusap wajahnya dan rasa lelah mulai merayap. Daripada terus terjebak dalam drama yang tidak penting, ia memutuskan untuk kembali ke kant
Keesokan harinya, Aruna terbangun dan menyadari bahwa dirinya telah berpindah ke atas tempat tidur. Aruna mengernyitkan dahi dan buru-buru bangun. Bukankah semalam dia baru selesai merawat Rafael? Lalu, kenapa dia yang berada di sini? Ke mana pria itu pergi?Keluar dari kamar, Aruna berjalan ke arah ruang kerja Rafael dan melihat pria itu tengah mengetik sesuatu di laptopnya dengan serius.Melihat itu, Aruna menghela napas. Benar-benar workaholic. Bisa-bisanya pria itu masih berpikir untuk bekerja, padahal plester demam saja masih menempel di kepalanya!Bahkan beberapa kali Aruna melihat Rafael bersin dan mengeratkan selimut yang menggantung di pundak pria itu.Alih-laih menegur, Aruna memilih untuk kembali menutup pintu secara perlahan dan berniat untuk pergi membeli vitamin dan beberapa bahan makanan. Semoga dengan begitu, daya tahan tubuh Rafael bisa menjadi lebih baik.Sepulangnya dari supermarket, Aruna yang baru sampai di rumah langsung disambut dengan Rafael yang berdiri di ru
Sesampainya di kantor, Aruna buru-buru turun dan membawa barang-barang Rafael, sementara pria itu menyerahkan kunci mobil kepada satpam.“Mengingat kondisi Anda, hari ini Anda fokus mengerjakan dokumen saja ya, Pak. Rapat dan komunikasi dengan pihak lain sudah saya undur hingga besok.” Ujar Aruna sambil melihat daftar kegiatan yang sudah ia rancangkan untuk Rafael.“Kalau begitu kamu hubungi supplier dan bicarakan tentang permintaan peningkatan kualitas bahan baku.”“Baik.” Saat berbelok menuju koridor lain, Rafael kembali melanjutkan. “Jangan lupa juga, proposal bahan baku kamu serahkan pada saya sebelum makan siang. Nanti akan membawa saat menghadiri acara wedding anniversary klien.”Aruna mengangguk patuh, “Baik, Pak. Akan saya persiapkan segera.”Saat mereka sedang berjalan beriringan, Aruna mendengar kasak-kusuk dari para karyawan yang sedang membahas sesuatu dengan serius.“Sumpah?! Sepertinya bukan rumor, ya?” “Bukannya dari dulu mereka sudah pacaran?”“Ssstt, jangan keras-ker
Oma Tini tampak sangat bersemangat. Langkah rentanya ringan menggandeng Aruna menuju ke butik langganan keluarga Pranandaru di pusat perbelanjaan mewah.Di belakang mereka, Rafael berjalan santai dengan ekspresi datar sambil sesekali mendengus sebal. Sebab, belum apa-apa tangannya sudah sibuk membawa dua buah tas berwarna coklat dan hitam. Milik neneknya dan Aruna.“Rafael, tangan kamu menganggur kan? Bawakan tas oma.” Oma Tini berkata sambil menyerahkan tas tangannya kepada Rafael. “Nih, sekalian punya istrimu juga.” Mengingat itu, Rafael menghela napas. “Untung sayang.”“Oma suka warna apa? Pastel atau mungkin warna-warna netral?” Aruna bertanya sambil memegang sebuah blouse berwarna biru langit.Oma Tini merengut. “Kenapa jadi pilih punya Oma duluan? Kan kita mau mencari kado ulang tahun kamu.”“Gak harus punyaku duluan kok, Oma. Ini aku ketemu blus yang cocok untuk Oma duluan.” Aruna membalas. “Gimana, Oma?”“Yasudah.” Jawab Oma Tini.Wanita tua itu lalu berpikir sejenak, sebelu
“Terima kasih sudah melakukannya dengan baik.”Aruna yang baru saja membuka minuman kaleng dari vending machine tertegun sebelum kemudian menelan sisa minuman di mulutnya. “Apanya, Pak?”“Presentasi tadi.”“Oh.” Aruna tersenyum. “Kalau begitu terima kasihh juga kepada Pak Rafael.”“Kenapa saya?” Rafael mengangkat alisnya dan memasukkan tangannya ke saku celana.“Bapak gak ingat berapa kali Bapak memarahi saya saat saya baru pertama kali jadi asisten Bapak?” Aruna berkata dengan mata yang menerawang jauh. Masih sambil minum, dia berkata lagi. “Dulu Bapak galak dan sama sekali nggak pernah tersenyum.”“Presentasi itu harus tegap lurus, tapi jangan membelakangi audiens, Aruna!”“Gestur! Gunakan gestur!! Lebih bagus lagi kalau ada alat peraga!”Aruna berkata sambil menirukan wajah Rafael yang menurutnya datar. “Hahaha. Lucu sekali, tapi terima kasih banyak, Pak. Berkat Pak Rafael, saya bisa menjadi Aruna yang seperti ini.”“Begitu. Berarti saya sekarang sudah gak galak dan sudah sering se
Hari ini adalah hari untuk melakukan presentasi penting mengenai pemenangan proyek resort, dan Aruna sudah berada di ruang rapat satu jam sebelumnya.Di ruangan itu, Aruna dengan teliti meletakkan materi berkas berisi rencana proyek dan meletakkannya di setiap meja, agar peserta rapat dapat langsung melihat ke arah materi sembari mendengarkan penjelasannya.Proyek ini merupaka proyek besar yang memungkinkan perusahaan mendapat untung ratusan miliar, sehingga sudah sejak dua minggu lalu Aruna menyiapkan semua data dan menyusun materi dengan hati-hati.Dia harus memastikan semuanya berjalan sempurna agar para pemegang saham dan ivestor mau menggelontorkan uangnya ke dalam pendanaan.Setelah selesai, Aruna melihat ke arah jam tangannya dan merasa masih ada waktu untuknya pergi memperbaiki penampilan. Jadi, dia buru-buru pergi ke toilet tanpa sadar bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam ruang rapat setelah ia pergi dari sana.Setengah jam kemudian, setelah semua anggota rapat, termasuk k
“Pergi malam-malam begini? Ke mana?” Aruna menatap Rafael dengan bingung.Rafael mengangguk pelan, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Aruna tak berani bertanya lebih lanjut.“Baiklah, tolong tunggu sebentar ya” sahut Aruna akhirnya. “Aku akan berganti pakaian dulu.”Tanpa banyak bicara lagi, Aruna masuk ke kamar untuk bersiap. Ia memilih dress satin sederhana berwarna krem yang jarang ia kenakan dan memoles wajahnya agar tak terlihat pucat.Aruna lalu keluar kamar dan menatap Rafael yang sudah berdiri di depan pintu. “Kita mau ke mana?” tanyanya lagi sambil meraih tas.“Kamu akan tahu nanti,” balas Rafael singkat.Setelah turun ke lobi apartemen, sebuah mobil sudah menunggu dan Rafael membukakan pintu untuk Aruna. Dengan sedikit bingung, Aruna masuk dan duduk diam di kursi penumpang, sementara Rafael mengarahkan mobil keluar dari area apartemen menuju jalanan kota yang mulai lengang.Aruna diam, mencoba menebak-nebak ke mana Rafael akan membawanya.Setelah sekitar 30 men
Malam itu, setelah turun dari taksi, seorang perempuan berdiri di depan gedung apartemen sembari menatap gedung tinggi itu dengan rasa iri. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya saat dia menggumam pelan. "Seharusnya aku yang tinggal di sini.”Pikirannya berkecamuk. Bayangan Aruna yang tinggal bersama Rafael di apartemen mewah ini membuat darahnya mendidih."Aruna tidak pantas mendapatkan semua ini!" ujar Melania sebelum melangkah masuk ke lobi dengan mata yang menatap tajam.Melania lalu menaiki lift menuju lantai apartemen Rafael dan berjalan menyusuri lorong. Hingga saat dia sampai di depan sebuah pintu, Melania berhenti sejenak.Menurutnya, apartemen di depannya ini benar milik Rafael. Setidaknya begitulah yang disampaikan informannya kepadanya.Kali ini adalah kesempatannya untuk memperingatkan Aruna sekali lagi. Mumpung Rafael tak ada karena masih menemui rekan kerjanya di luar jam kantor.Namun, sebelum sempat menekan bel, suara langkah kaki terdengar dari ujung koridor. Seor
Pagi itu cahaya matahari menerobos celah tirai kamar. Suara alarm dari ponsel Aruna membuyarkan tidur nyenyaknya. Ia menggeliat pelan, lalu meraih ponsel di meja samping tempat tidur.[Selamat Ulang Tahun, Aruna!]Tulisan itu menyala di layar ponsel, dari Nathan.Melihat itu, Aruna terdiam sebelum kemudian menghela napas panjang. “27 tahun ya. Waktu benar-benar cepat berlalu.”Sesaat kemudian, Aruna bangkit, melipat selimut dengan rapi dan melangkah menuju kamar mandi. Dalam hatinya, ia berdoa semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih baik dari sebelumnya.Di kantor, suasana berbeda dari biasanya, karena beberapa karyawan di lantainya menghampiri Aruna ketika perempuan itu tengah melewati koridor.“Selamat ulang tahun, Bu Aruna!” salah seorang karyawan berkata sambil tersenyum lebar sembari menjabat tangannya.“Bu Aruna, happy birthday ya~” seru yang lain sambil menyerahkan sekotak kecil brownies.Terdapat dua lilin yang menyembul di atas kue tersebut sehingga nyala api di sana menari-
“Kalau kamu datang hanya untuk bertengkar dengan cucu menantuku, maka sebaiknya kamu pulang saja. Paham, Melania?!” kali ini Oma Tini tak lagi menahan diri dan benar-benar menatap Melania dengan kesal.Namun, alih-alih mengakui kesalahannya, Melania malah berusaha untuk membela diri. “Tapi, Oma juga lihat sendiri kan kalau dia–”“Melania!” Oma Tini memperingatkan lagi yang langsung membuat Melania terdiam dan dengan kesal membantu mengayak tepung.Melihat itu, Aruna segera menenangkan Oma Tini setelah menggeser keranjang telur itu ke tempat semula. “Aku nggak kenapa-napa, Oma. Telurnya juga baik-baik saja. Aku yang akan memecahkan telur kan?”Melihat perkataan Aruna, Oma Tini kembali tersenyum dan mengangguk sehingga proses pembuatan kue itu pun bisa benar-benar dimulai.“Bagus sekali, Aruna. Kamu memang teliti,” puji Oma Tini saat membimbing keduanya untuk mengaduk adonan. Akhirnya, Oma Tini memutuskan untuk mengubah rencananya. Dari membimbing Aruna membuat butterscotch, menjadi me
“Yakin tidak mau kutemani?” Suara Rafael menghentikan Aruna yang bersiap membuka pintu mobil. Wajah pria itu datar, tapi Aruna bisa merasakan kekhawatiran dari nada bicara dan sorot matanya.Oleh karena itu, Aruna segera menggeleng sambil menyunggingkan senyum. “Tidak perlu, Pak. Bukankah Anda memiliki urusan? Pergilah. Saya bisa mengatasi ini. Toh ada Oma Tini.” Mendengar itu, Rafael mengangguk dan berkata tegas. “Segera beritahu saya apabila ada yang terjadi.”Aruna kembali mengangguk, tapi kali ini sambil memperlihatkan jempol sebagai tanda persetujuan.Setelah mobil Rafael melaju pergi, Aruna baru melangkah masuk ke area mansion Pranandaru dan menekan bel.Tak berapa lama, seorang pelayan membukakan pintu dan mempersilakannya masuk untuk pergi ke ruang utama.Tujuan Aruna datang hari ini adalah untuk memenuhi undangan dari Oma Tini yang hendak mengajarinya membuat kue. Oleh karena itu, dia berekspektasi bahwa akan langsung menemui Oma Tini di tujuan. Namun, ekspekspektasinya it
Rafael mengerutkan kening sewaktu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Rianty.Saat panggilan itu akhirnya dijawab, hanya satu kata yang disebut oleh Rianty. Itu pun dengan nada yang putus-putus dan terlihat sesak. Mendengar itu, Rafael langsung menduga kalau penyakit ibunya kumat lagi. Sebab, Rianty memang memiliki penyakit asma yang mudah untuk kambuh. Terlebih setelah kelelahan atau ada alergen sebagai pemicunya.Tanpa menunggu lebih lama, Rafael segera mengenakan jasnya dan buru-buru melangkahkan kaki keluar dari kantor.“Saya pulang dulu. Segera hubungi saya jika ada apa-apa dan kirim berkas yang saya minta melalui email.” tukasnya kepada Aruna yang masih tenggelam dalam pekerjaannya.Tindakan Rafael itu membuat Aruna menatap dengan heran, tapi tanpa menjawab lebih jauh, dia mengangguk tegas. “Baik, Pak. Hati-hati.”Bayangan Rianty yang terbaring di kasur membuat Rafael mengebut, hingga hanya dalam waktu setengah jam, dia sudah mencapai pinggiran kota dan tiba di mansio