Beranda / Pernikahan / Mendadak Dinikahi Mas Nevan / 1. Satu Malam Membingungkan

Share

Mendadak Dinikahi Mas Nevan
Mendadak Dinikahi Mas Nevan
Penulis: Laradin

1. Satu Malam Membingungkan

Ivy terbangun dengan kepala yang terasa seperti dihantam palu godam. Matanya masih setengah tertutup, mencoba menyesuaikan cahaya lampu yang menyerang penglihatan nya. Dengan tubuh yang terasa berat, ia perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur, merasakan setiap sendi dan ototnya berteriak protes.

Ia duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Mulutnya kering dan berbau tidak sedap, sisa-sisa alkohol dari semalam masih terasa. Dengan mata setengah terpejam, Ivy mengamati kamar yang ditidurinya berantakan—pakaian yang berserakan di lantai, dan—pakaian berserakan? "Shit!!" erangnya tertahan.

Ivy membulatkan matanya. Namun ia dapat bernapas dengan lega setelah memeriksa pakaiannya yang masih lengkap menempel di badan kurusnya. Ia melirik kopernya yang bersandar di tembok. "Selamat..., " katanya. Ivy khawatir ia melakukan hal bodoh saat semalam mabuk berat.

Sebuah pertanyaan besar muncul dibenaknya, dimanakah sekarang dirinya berada?

"Kata siapa kamu selamat?" Pria bertubuh atletis muncul di balik pintu kamar mandi. Hanya mengenakan handuk yang diikat sampai pinggang memamerkan dada bidang dan perut kotak-kotaknya. Rambut basahnya menyempurnakan ketampanan pria itu pagi ini.

"Hah?" Ivy sampai dibuat terpanah dengan pesonanya. Matanya bahkan tidak berkedip sampai pria itu tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya, mencolek ujung hidung Ivy dengan telunjuknya yang basah.

"Kamu tidak ingat dengan kejadian semalam?"

Ivy mencoba menenangkan diri, berusaha mengingat kejadian semalam dan apa maksud pertanyaan pria di hadapannya kini. Namun bukannya teringat dengan kejadian semalam, kepalanya malah semakin terasa pening. Perutnya mendadak mual, terasa diaduk-aduk seakan menuntut dikeluarkan.

Dengan sigap pria itu menyodorkan segelas air putih yang sudah ia siapkan kepada Ivy. "Minum dulu," titahnya seraya membantu Ivy memegangi gelas.

Ivy meneguknya dengan rakus, berharap bisa mengusir kekeringan dan rasa pahit di mulutnya. Setelah beberapa saat, dia berusaha berdiri, tapi keseimbangannya masih goyah. Ia hampir tersungkur jika pria itu tidak segera menarik pinggangnya. Pandangan mereka saling bersikobok. Sebelum ada kejadian yang tidak diinginkan, Ivy menegakkan kembali tubuhnya. Kemudian menyambar gagang koper miliknya dengan tergesa.

"Mau kemana?" Belum Ivy sampai meraih gagang pintu, tangan kokoh pria itu menahannya.

"Saya mau pulang, lepasin tangan saya, Pak." Ivy berusaha menepis tangan pria itu.

"Kamu tidak ingin meminta maaf?" Satu alisnya naik sebelah.

Urusan kepala pusing dan perut mualnya belum selesai, pria itu sudah menyuruh Ivy untuk minta maaf. Bagaimana Ivy meminta maaf jika kejadian semalam saja tidak ia ingat sedikitpun? Tapi karena Ivy tidak mau urusannya semakin runyam, ia menuruti perkataan pria itu, "Maaf ya, Pak Nevan. Makasih atas tumpangan nginepnya. Saya pulang dulu!" Ivy ngacir sebelum pria bernama Nevan itu menahannya lagi.

****

Di tengah koridor rumah sakit yang mulai ramai pengunjung, Ivy berjalan perlahan sambil menyeret kopernya yang berat. Suara roda koper yang berdecit menjadi satu-satunya suara yang mengiringi langkahnya. Napasnya terdengar teratur namun berat, menandakan kelelahan yang terasa di setiap inci tubuhnya.

Ivy berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan ingatan yang berserakan di kepalanya. Kepalanya terasa berat dan pusing, seolah-olah ada kabut tebal yang menghalangi pikirannya. Dia menatap lantai mengkilap, mencoba memaksa diri mengingat apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Pak Nevan semalam.

"Apa gue berbuat macem-macem?" Ia menggeleng. "Ah masa gue yang macem-macem si?" elaknya kemudian.

Ingatan tentang semalam samar-samar muncul, seperti potongan puzzle yang hilang. Dia ingat suara bising musik Dj yang memekakkan telinganya, lampu-lampu club yang menyakitkan mata, dan gelak tawa yang mengelilinginya. Namun, detail-detail penting tetap tersembunyi di balik kabut ingatannya. "Yang gue inget gue mabuk, terus gak sengaja ketemu Pak Nevan di jalan. Terus—" Ivy mengerang. "Terus gue ngapain lagi?!"

Ivy kembali melanjutkan langkahnya. Tiba-tiba, secercah ingatan muncul—wajah Nevan yang tersenyum asimetris, kata-kata yang diucapkan dengan penuh perhatian, sebuah kecupan ganas yang mendarat bertubi-tubi tanpa ampun. Mata Ivy melotot sempurna. Ia menggelengkan kepalanya. "Gak mungkin gak mungkin. Ini pasti efek gue semalem mabuk. Gak mungkin Pak Nevan yang kalem dan berwibawa itu berbuat yang enggak-enggak sama gue."

Ivy mempercepat langkah pendeknya, berharap bisa menghilangkan kilasan ingatannya barusan. Akhrinya Ivy sampai di sebuah kamar rawat inap VVIV. Ia melangkah masuk dengan perlahan, matanya langsung tertuju pada ranjang di sudut ruangan, tempat penghuni ruangan itu berbaring. "Masih tidur," katanya pelan.

Ivy menahan napas, berharap tidak membangunkan penghuni ruangan itu. Langkahnya nyaris tanpa suara di lantai yang dingin dan mengkilap. Setiap derit roda koper dan desah napasnya terasa begitu keras di telinganya sendiri. Ia berjalan mendekat, dengan hati-hati menghindari kursi dan meja kecil yang mungkin bisa terantuk.

Namun, saat ia semakin dekat, Ivy menyadari sesuatu yang membuatnya terhenti. Sepasang mata terbuka menatapnya dari ranjang. Penghuni ruangan itu sudah bangun. Wajahnya menunjukkan campuran antara keheranan dan ketenangan, seolah-olah sudah menunggu kedatangan Ivy.

Ivy membeku sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Papa udah bangun?" tanyanya, lantas duduk di kursi samping ranjang sosok pria yang sangat berjasa akan hidupnya itu.

Penghuni ruangan itu, seorang pria dengan tatapan lembut, menggangguk pelan. "Sudah, papa udah bangun dari tadi. Semalaman papa gak bisa tidur. Mungkin efek kemarin cuci darah," jawabnya, suaranya serak namun tenang.

Dengan perasaan campur aduk antara resah dan takut, Ivy melepaskan pegangannya pada koper dan membiarkan beban yang ia bawa terasa sedikit lebih ringan. "Papa udah sarapan?"

"Belum, Nak. Sebentar lagi paling suster anterin sarapannya," ucap Galih—papanya Ivy "Loh, Nak kenapa pagi-pagi begini bawa-bawa koper?" Ia baru sadar jika putrinya itu membawa koper.

Jantung Ivy kembali berdegup kencang. Seharusnya, sebelum ia masuk ke ruangan papanya ia menitipkan kopernya lebih dulu agar papanya tidak bertanya seperti barusan. Ia tidak mungkin mengatakan jika dirinya di usir dari kontrakan sebab tidak sanggup lagi membayar sewa. Semua tabungan terkuras habis untuk membayar semesteran adik juga perawatan papanya sekarang.

"Enggak, Pa. Aku lupa bilang ya sama papa kalau kita akan pindah kontrakan. Yang lama terlalu jauh sama tempat kerja aku," bohong Ivy.

"Bukannya udah deket ya, Nak? Kenapa pindah lagi? Ada masalah?" Galih nampak ragu.

Ivy kembali gugup. Keringat dingin membasahi dahinya. "Kurang deket itu, Pa. Kalo kontrakan yang sekarang cuma lima langkah udah sampe ke kantor hehe." Ia meremas ujung bajunya.

"Ngawur kamu. Mana ada kontrakan yang cuma lima langkah dari kantormu. Wong di samping kantormu aja apartemen-apartemen tinggi. Mana ada kontrakan di sana!"

"Ada loh, Pa. Itu agak nyerempet pinggirannya." Lagi, Ivy memamerkan cengirannya.

Meski nampak ragu, Galih berusaha percaya dengan putri sulungnya. "Jangan-jangan kamu mau pindah ke apartemen pacarmu, ya? Papa udah lama gak ketemu Joshua. Sehat dia? Kabarnya baik?"

Nama Joshua disebut, mulut Ivy mendadak kelu. Papanya memang sudah dekat dengan Joshua, yang dia kenal sebagai calon menantunya kelak. Maka tidak heran jika papanya itu bertanya bagaimana kabar Joshua. Tapi setelah apa yang terjadi, bagaimana Ivy menceritakan semuanya kepada sang papa?

"Nak? Kamu baik-baik aja kan?" Suara lembut papanya berhasil menarik kesadaran Ivy dari lamunan.

"Joshua.... "

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status