Ivy terbangun dengan kepala yang terasa seperti dihantam palu godam. Matanya masih setengah tertutup, mencoba menyesuaikan cahaya lampu yang menyerang penglihatan nya. Dengan tubuh yang terasa berat, ia perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur, merasakan setiap sendi dan ototnya berteriak protes.
Ia duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Mulutnya kering dan berbau tidak sedap, sisa-sisa alkohol dari semalam masih terasa. Dengan mata setengah terpejam, Ivy mengamati kamar yang ditidurinya berantakan—pakaian yang berserakan di lantai, dan—pakaian berserakan? "Shit!!" erangnya tertahan. Ivy membulatkan matanya. Namun ia dapat bernapas dengan lega setelah memeriksa pakaiannya yang masih lengkap menempel di badan kurusnya. Ia melirik kopernya yang bersandar di tembok. "Selamat..., " katanya. Ivy khawatir ia melakukan hal bodoh saat semalam mabuk berat. Sebuah pertanyaan besar muncul dibenaknya, dimanakah sekarang dirinya berada? "Kata siapa kamu selamat?" Pria bertubuh atletis muncul di balik pintu kamar mandi. Hanya mengenakan handuk yang diikat sampai pinggang memamerkan dada bidang dan perut kotak-kotaknya. Rambut basahnya menyempurnakan ketampanan pria itu pagi ini. "Hah?" Ivy sampai dibuat terpanah dengan pesonanya. Matanya bahkan tidak berkedip sampai pria itu tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya, mencolek ujung hidung Ivy dengan telunjuknya yang basah. "Kamu tidak ingat dengan kejadian semalam?" Ivy mencoba menenangkan diri, berusaha mengingat kejadian semalam dan apa maksud pertanyaan pria di hadapannya kini. Namun bukannya teringat dengan kejadian semalam, kepalanya malah semakin terasa pening. Perutnya mendadak mual, terasa diaduk-aduk seakan menuntut dikeluarkan. Dengan sigap pria itu menyodorkan segelas air putih yang sudah ia siapkan kepada Ivy. "Minum dulu," titahnya seraya membantu Ivy memegangi gelas. Ivy meneguknya dengan rakus, berharap bisa mengusir kekeringan dan rasa pahit di mulutnya. Setelah beberapa saat, dia berusaha berdiri, tapi keseimbangannya masih goyah. Ia hampir tersungkur jika pria itu tidak segera menarik pinggangnya. Pandangan mereka saling bersikobok. Sebelum ada kejadian yang tidak diinginkan, Ivy menegakkan kembali tubuhnya. Kemudian menyambar gagang koper miliknya dengan tergesa. "Mau kemana?" Belum Ivy sampai meraih gagang pintu, tangan kokoh pria itu menahannya. "Saya mau pulang, lepasin tangan saya, Pak." Ivy berusaha menepis tangan pria itu. "Kamu tidak ingin meminta maaf?" Satu alisnya naik sebelah. Urusan kepala pusing dan perut mualnya belum selesai, pria itu sudah menyuruh Ivy untuk minta maaf. Bagaimana Ivy meminta maaf jika kejadian semalam saja tidak ia ingat sedikitpun? Tapi karena Ivy tidak mau urusannya semakin runyam, ia menuruti perkataan pria itu, "Maaf ya, Pak Nevan. Makasih atas tumpangan nginepnya. Saya pulang dulu!" Ivy ngacir sebelum pria bernama Nevan itu menahannya lagi. **** Di tengah koridor rumah sakit yang mulai ramai pengunjung, Ivy berjalan perlahan sambil menyeret kopernya yang berat. Suara roda koper yang berdecit menjadi satu-satunya suara yang mengiringi langkahnya. Napasnya terdengar teratur namun berat, menandakan kelelahan yang terasa di setiap inci tubuhnya. Ivy berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan ingatan yang berserakan di kepalanya. Kepalanya terasa berat dan pusing, seolah-olah ada kabut tebal yang menghalangi pikirannya. Dia menatap lantai mengkilap, mencoba memaksa diri mengingat apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Pak Nevan semalam. "Apa gue berbuat macem-macem?" Ia menggeleng. "Ah masa gue yang macem-macem si?" elaknya kemudian. Ingatan tentang semalam samar-samar muncul, seperti potongan puzzle yang hilang. Dia ingat suara bising musik Dj yang memekakkan telinganya, lampu-lampu club yang menyakitkan mata, dan gelak tawa yang mengelilinginya. Namun, detail-detail penting tetap tersembunyi di balik kabut ingatannya. "Yang gue inget gue mabuk, terus gak sengaja ketemu Pak Nevan di jalan. Terus—" Ivy mengerang. "Terus gue ngapain lagi?!" Ivy kembali melanjutkan langkahnya. Tiba-tiba, secercah ingatan muncul—wajah Nevan yang tersenyum asimetris, kata-kata yang diucapkan dengan penuh perhatian, sebuah kecupan ganas yang mendarat bertubi-tubi tanpa ampun. Mata Ivy melotot sempurna. Ia menggelengkan kepalanya. "Gak mungkin gak mungkin. Ini pasti efek gue semalem mabuk. Gak mungkin Pak Nevan yang kalem dan berwibawa itu berbuat yang enggak-enggak sama gue." Ivy mempercepat langkah pendeknya, berharap bisa menghilangkan kilasan ingatannya barusan. Akhrinya Ivy sampai di sebuah kamar rawat inap VVIV. Ia melangkah masuk dengan perlahan, matanya langsung tertuju pada ranjang di sudut ruangan, tempat penghuni ruangan itu berbaring. "Masih tidur," katanya pelan. Ivy menahan napas, berharap tidak membangunkan penghuni ruangan itu. Langkahnya nyaris tanpa suara di lantai yang dingin dan mengkilap. Setiap derit roda koper dan desah napasnya terasa begitu keras di telinganya sendiri. Ia berjalan mendekat, dengan hati-hati menghindari kursi dan meja kecil yang mungkin bisa terantuk. Namun, saat ia semakin dekat, Ivy menyadari sesuatu yang membuatnya terhenti. Sepasang mata terbuka menatapnya dari ranjang. Penghuni ruangan itu sudah bangun. Wajahnya menunjukkan campuran antara keheranan dan ketenangan, seolah-olah sudah menunggu kedatangan Ivy. Ivy membeku sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Papa udah bangun?" tanyanya, lantas duduk di kursi samping ranjang sosok pria yang sangat berjasa akan hidupnya itu. Penghuni ruangan itu, seorang pria dengan tatapan lembut, menggangguk pelan. "Sudah, papa udah bangun dari tadi. Semalaman papa gak bisa tidur. Mungkin efek kemarin cuci darah," jawabnya, suaranya serak namun tenang. Dengan perasaan campur aduk antara resah dan takut, Ivy melepaskan pegangannya pada koper dan membiarkan beban yang ia bawa terasa sedikit lebih ringan. "Papa udah sarapan?" "Belum, Nak. Sebentar lagi paling suster anterin sarapannya," ucap Galih—papanya Ivy "Loh, Nak kenapa pagi-pagi begini bawa-bawa koper?" Ia baru sadar jika putrinya itu membawa koper. Jantung Ivy kembali berdegup kencang. Seharusnya, sebelum ia masuk ke ruangan papanya ia menitipkan kopernya lebih dulu agar papanya tidak bertanya seperti barusan. Ia tidak mungkin mengatakan jika dirinya di usir dari kontrakan sebab tidak sanggup lagi membayar sewa. Semua tabungan terkuras habis untuk membayar semesteran adik juga perawatan papanya sekarang. "Enggak, Pa. Aku lupa bilang ya sama papa kalau kita akan pindah kontrakan. Yang lama terlalu jauh sama tempat kerja aku," bohong Ivy. "Bukannya udah deket ya, Nak? Kenapa pindah lagi? Ada masalah?" Galih nampak ragu. Ivy kembali gugup. Keringat dingin membasahi dahinya. "Kurang deket itu, Pa. Kalo kontrakan yang sekarang cuma lima langkah udah sampe ke kantor hehe." Ia meremas ujung bajunya. "Ngawur kamu. Mana ada kontrakan yang cuma lima langkah dari kantormu. Wong di samping kantormu aja apartemen-apartemen tinggi. Mana ada kontrakan di sana!" "Ada loh, Pa. Itu agak nyerempet pinggirannya." Lagi, Ivy memamerkan cengirannya. Meski nampak ragu, Galih berusaha percaya dengan putri sulungnya. "Jangan-jangan kamu mau pindah ke apartemen pacarmu, ya? Papa udah lama gak ketemu Joshua. Sehat dia? Kabarnya baik?" Nama Joshua disebut, mulut Ivy mendadak kelu. Papanya memang sudah dekat dengan Joshua, yang dia kenal sebagai calon menantunya kelak. Maka tidak heran jika papanya itu bertanya bagaimana kabar Joshua. Tapi setelah apa yang terjadi, bagaimana Ivy menceritakan semuanya kepada sang papa? "Nak? Kamu baik-baik aja kan?" Suara lembut papanya berhasil menarik kesadaran Ivy dari lamunan. "Joshua.... "Ivy melangkah cepat, derap sepatunya memantul keras di lantai koridor. Wajahnya memerah, matanya berkilat-kilat penuh amarah. Ia baru saja menerima kabar bahwa lamaran kerjanya ditolak lagi—untuk kesekian puluh kalinya. Semua penolakan itu berujung pada satu nama: Finn Joshua Noman Tyaga. Pintu kantor Joshua terbuka lebar. Tanpa mengetuk, Ivy menerobos masuk, membuat beberapa karyawan yang berada di sekitar ruang kerja itu terperangah. Joshua yang sedang duduk di meja kerjanya, tampak tenang, nyaris tidak terkejut melihat Ivy datang dengan amarah yang meluap."Joshua!" Ivy berseru keras, suaranya menggema di ruangan yang luas. "Setelah kamu selingkuhin aku dan punya anak dari orang lain kamu tutup semua akses aku buat gak bisa kerja di manapun?"Joshua menatap Ivy dengan tatapan meremehkan. Dia tersenyum. Senyum yang dulu Ivy elu-elu kan, sekarang ia bahkan tidak sudi hanya untuk melihatnya. "Bukannya aku udah peringatin kamu? Kamu gak bisa lepas dari aku sayang." Ia berdiri dari dud
"Joshua stop!" Ivy berteriak berusaha merelai. Namun ia berakhir tersungkur terkena pukulan Joshua. Nevan yang melihat sempat ingin menolong, tapi tubuhnya tidak sanggup untuk bangkit. Semua tulangnya terasa patah. Pukulan Joshua benar-benar tidak main-main. Lorong lantai 20 benar-benar sepi. Ivy sudah bercucuran air mata, kalut melihat wajah Nevan yang sudah berdarah-darah. Ia menelepon resepsionis dan meminta agar resepsionis itu mengirim beberapa satpam setelah memberitahu jika Joshua sedang berkelahi dengan Nevan. "Jo! Stop. Joshua cukup!" Ivy kembali berteriak. Pria itu benar-benar seperti kesetanan. Sementara Nevan, entah mengapa dia tidak melawan sama sekali. Beberapa saat kemudian, tiga satpam dan orang kepercayaan keluarga Joshua datang terpogoh-pohoh. Nevan dan Joshua akhirnya bisa dipisahkan. "Kenapa kalian bertengkar, hah?!" Orang kepercayaan Joshua bertanya tegas. Joshua terengah-engah, mata tajamnya masih menatap bengis Nevan yang terkulai di lantai. Amarahnya semak
Tadi, setibanya Nevan di ruang rawat papanya Ivy dengan wajah babak belur, papanya Ivy segera memanggil seorang suster dan meminta agar luka Nevan segera diobati, namun pria itu segera menolak dengan halus. Ia hanya meminta kontak obat itu ditinggalkan dan lukanya akan dirinya obati sendiri. Dan alasan itu ia buat agar Ivy lah yang mengobati luka wajahnya. Perempuan yang beberapa menit lalu menyeretnya keluar dan membawanya ke tengah taman dengan sebuah kejengkelan yang terbelenggu di tengah kerongkongan. "Pak Nevan gila apa?! Papa saya sakit jantung loh, Bapak gak takut kalau tiba-tiba papa saya masuk ICU gara-gara cerita Bapak?!" Ivy berkacak pinggang, menghalangi sinar matahari yang menyembur wajah babak belur Nevan. Nevan sudah terduduk di atas kursi besi panjang, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang terasa patah-patah. "Buktinya enggak kan?" Santai Nevan sedikit menengadah. "Ya emang enggak, tapi kalau nanti papa saya kepikiran gimana? Bapak mau tanggung jawab?"
Ivy menatap semua tamu undangannya yang sama sekali tidak ia kenal. Dalam balutan gaun pengantin yang megah namun sederhana, ia berdiri di sudut ruangan, mencoba menghilangkan kegelisahan yang merasuk di hatinya. Pernikahannya baru selesai dilaksanakan satu jam lalu, namun perasaan ragu masih terus menghantui pikirannya.Para tamu bersorak gembira, berbincang-bincang dan tertawa dalam suasana pesta yang meriah. Namun, Ivy merasa terasing di tengah keramaian itu. Pandangannya tertuju pada Nevan, suaminya yang kini sedang berbincang dengan teman-teman dan kerabatnya. Nevan tampak begitu bahagia, seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Tapi Ivy, di sisi lain, merasa jiwanya terombang-ambing di antara kebahagiaan dan keraguan.Tidak hanya Nevan yang nampak bahagia, papa dan adiknya juga tidak henti memamerkan senyum hangat. Bayangan pernikahan yang sempurna telah lama Ivy impikan, namun kini ia berdiri di sini, merasa asing di hari yang seharusnya menjadi momen paling berharga dalam hidup
Sudah satu Minggu Nevan ditinggalkan Ivy setelah istrinya itu mengetahui tujuan Nevan menikahinya. Karena singkatnya perkenalan mereka, Nevan juga jadi tidak tahu harus mencari Ivy kemana, ia juga tidak mengenal satu pun teman Ivy yang bisa ia tanyai. Beberapa hari ini Nevan hanya datang ke rumah sakit menjenguk mertuanya berharap Ivy ada di sana. Namun sepertinya Ivy tahu hal itu, maka Nevan tidak pernah bertemu dalam ketidakbetulan itu. Nevan juga tidak bisa cerita ke papanya Ivy soal rumah tangganya khawatir akan memperburuk kondisi beliau. Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi Nevan hanya bisa melamun. Mengingat bayang-bayang wajah Ivy dalam otaknya. Ia tahu ini mungkin terdengar keterlaluan setelah semuanya terjadi, tapi ia benar-benar tidak ingin Ivy pergi dari hidupnya. "Woy!!! Ada berita bagus! Bukan bagus lagi ini si tapi berita luar biasa!" Jantung Nevan hampir merosot ke lambungnya mendengar suara pemuda bergaya selenge yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Wajah nya na
"Gimana di kantor, Ka?" Sambungan telepon Ivy akhirnya tersambung. Ivy menghubungi Taraka sekretaris baru Joshua yang dulunya adalah sekretaris dirinya. Sebab itu ia akrab dan tidak ragu untuk menghubungi Taraka. "Wah kacau, Mba. Setelah Mba resign, Pak Joshua jadi gegabah. Grasak-grusuk, bahkan terakhir dia adu mulut sama papinya di kantor sampai kantor heboh karena Pak Joshua dengan gegabahnya memulai pembangunan hotel di Bali tanpa sepengetahuan papinya," kata Taraka. Ivy melihat ke sekeliling kafe yang tengah ia kunjungi itu. Takut-takut jika akan ada orang lain yang akan mendengar pembicaraannya dengan Taraka. Suaranya sedikit ia kecilkan. "Kenapa, Ka? Kenapa papinya marah? Bukannya itu kemauan beliau?" "Tempat itu belum dapet izin. Tapi Pak Joshua kekeh. Dia juga sempet suruh saya datengin Mentri buat cepetin proses izinnya tapi Mentri menolak sebab memang tempat itu sangat di jaga. Dan sekarang pembangunannya dihentikan karena masyarakat di sana demo." "Terus?" "Par
Ivy tidak pernah membayangkan akan kembali ke rumah minimalis bergaya modern yang ia pilih sendiri bersama Nevan setelah mereka memutuskan untuk pindah dari apartemen lelaki itu. Kejadiannya terlalu cepat dan mengejutkan. Perempuan itu menatap rumah Nevan untuk beberapa saat. Lalu ia masuk dengan kunci yang ia miliki. Kedua bola matanya menyusuri setiap sudut rumah itu. Masih rapi dan bersih. Nevan sepertinya memang tipe orang yang memperhatikan kebersihan. Kaki Ivy ia seret menuju dapur, membuka kulkas. Di sana hanya terdapat beberapa butir telur dan seikat bayam yang sebagian sudah kering mungkin karena Nevan tidak sempat memasak.Ivy melongok jam di tangannya. Pukul enam sore. Sebentar lagi Nevan pulang. Ia menggulung lengan kemejanya, mengambil seikat bayam dan tiga butir telur dari kulkas. Tangan nya lihai memotong bayam ddilanjutkan dengan mengaduk telur yang sudah ia pecahkan. Aroma bawang goreng pun menguar ke semua ruangan. Tanpa Ivy sadari, seseorang membuka pintu, masuk de
Hampir tengah malam, itu berarti Ivy dan Nevan sudah menghabiskan lima jam mereka terbuang sia-sia hanya untuk berenang diantara rasa-rasa yang perlahan tenggelam dalam kesalahpahaman. Duduk berjarak satu meter di atas sofa menatap layar televisi tanpa sebuah obrolan. Tidak ada yang bersuara atau sekadar membahas soal film yang keduanya tengah tonton. Atau rasa dingin yang membuat hati mereka beku. Ivy sebenarnya tidak terganggu dengan situasi ini, sebab asing sudah lama akrab dengannya. Dan bukankah seharusnya seperti ini?Di sisi lain Nevan tengah bergelut dengan isi kepalanya yang mendadak penuh, namun mendadak membatu. Pun dengan perasaannya yang sedikit merasa kecewa setelah mengetahui alasan Ivy kembali ke rumah nya. Alasan bukan dirinya adalah penyebab Nevan terdiam sedari tadi."Saya udah ngantuk, saya tidur duluan." Ivy berdiri tanpa menoleh ke arah Nevan kemudian pergi begitu saja. Nevan menengok hanya untuk melihat Ivy masuk ke kamar tamu."Ivy beneran sakit hati sama say