Ivy melangkah cepat, derap sepatunya memantul keras di lantai koridor. Wajahnya memerah, matanya berkilat-kilat penuh amarah. Ia baru saja menerima kabar bahwa lamaran kerjanya ditolak lagi—untuk kesekian puluh kalinya. Semua penolakan itu berujung pada satu nama: Finn Joshua Noman Tyaga.
Pintu kantor Joshua terbuka lebar. Tanpa mengetuk, Ivy menerobos masuk, membuat beberapa karyawan yang berada di sekitar ruang kerja itu terperangah. Joshua yang sedang duduk di meja kerjanya, tampak tenang, nyaris tidak terkejut melihat Ivy datang dengan amarah yang meluap. "Joshua!" Ivy berseru keras, suaranya menggema di ruangan yang luas. "Setelah kamu selingkuhin aku dan punya anak dari orang lain kamu tutup semua akses aku buat gak bisa kerja di manapun?" Joshua menatap Ivy dengan tatapan meremehkan. Dia tersenyum. Senyum yang dulu Ivy elu-elu kan, sekarang ia bahkan tidak sudi hanya untuk melihatnya. "Bukannya aku udah peringatin kamu? Kamu gak bisa lepas dari aku sayang." Ia berdiri dari duduknya, melangkah mendekati Ivy. "Gak waras!" Ivy membalas cepat. "Belum puas kamu hancurin karir aku, hah? Kamu itu egois, Jo. Kamu cuma mikirin hidup kamu aja tanpa memikirkan kesulitan orang lain." "Untuk apa?" Joshua melipat kedua tangannya di dada. "Seharusnya kamu juga gitu, gak usah sok peduli sama cewek murahan yang mau ngerebut aku dari kamu. Kita bisa sama-sama lagi dan posisi kamu akan balik sebagai manager keuangan di sini. Atau kalau kamu mau, aku akan naikin posisi kamu." Ivy memijat pelipisnya, menghela napas. "Jo, kamu beneran gak merasa bersalah sama sekali?" Pria itu tidak ragu menggeleng dan hal tersebut membuat Ivy tidak habis pikir. "Aku tahu semua manusia berpotensi merubah dirinya jadi lebih baik. Tapi kalau kamu aja gak merasa kamu salah dengan apa yang kamu udah lakuin gimana aku bisa nerima kamu lagi?" "Gak ada yang perlu aku rubah dan gak ada kesalahan yang perlu aku akui. Yang perlu dirubah itu pikiran runyam kamu. Apa susahnya kamu maafin aku dan kamu bisa kerja lagi di sini. Dengan begitu kamu gak akan kebingungan lagi soal uang. Aku tau sebentar lagi adik kamu wisuda dan papa kamu masih harus cuci darah tiap bulan dan itu membutuhkan uang banyak kan? Fakta itu yang perlu kamu akui, Vy. " "Kamu tau kesulitan aku tapi kenapa kamu malah menambahkannya?" tanya Ivy dengan suara tercekat. Joshua meraih pergelangan tangan Ivy. "Maka dari itu, kamu kembali sama aku. Kita mulai dari awal." "Anak kamu yang ada di kandungan Virana gimana?" Suara Ivy merendah. Keputus-asaan nampak di wajah lelahnya. "Itu hal yang gampang. Aku akan singkirkan dia." Mendegar jawaban Joshua, Ivy buru-buru menepis tangannya. "Bener-bener udah gila. Kamu udah gila, Jo!" "Aku gila karena kamu." Suara Joshua meninggi. "Ini penawaran terakhir aku, kalau kamu masih egois mau ninggalin aku, berarti kamu udah siap melihat mimpi adik kamu sirna dan melihat ayah kamu menderita dengan penyakitnya sepajang hidupnya. Karena aku jamin kamu gak akan mendapatkan kan pekerjaan di manapun." Ivy terdiam sejenak, napasnya tersengal. Dia tidak mau semua yang dikatakan Joshua menjadi nyata. Namun apakah ia harus menyiksa dirinya sendiri dengan menerima kembali Joshua? Dalam keheningan ruangan itu tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Muncul sosok pria yang yang berhasil mengusik pikiran Ivy seharian ini, Nevan merangsek masuk membawa beberapa dokumen di tanganya. Keduanya sempat berkontak mata dan Ivy orang yang pertama kali mengakhiri nya. "Ada dua investor yang membatalkan kerja samanya untuk pembangunan hotel di Bali. Mereka mendengar dari berita yang beredar jika izin untuk pembangunan belum di urus dan disepakati. Mereka berpikir jika hal tersebut akan memengaruhi reputasi perusahaan," jelas Nevan sembari diam-diam ia mengamati Ivy melalui ekor matanya. Joshua berdecak. Memeriksa lebih dulu dokumen yang Nevan bawa. "Bukannya udah di urus sama Rio?" "Dia masih bernegoisasi dengan menteri. Terakhir dia bilang masih menunggu kabar dan persetujuan dari masyarakat setempat." "Nanti saya bicara sama Rio. Pukul 10 temani saya menemui Pak Ferdi untuk mengurus ini." Nevan mengangguk. Kemudian undur diri. Ia sempat melirik Ivy namun perempuan itu seperti nya sengaja berusaha tidak peduli. Setelah Nevan pergi, atensi Joshua kembali pada sosok perempuan yang ia cintai itu. "Bagaimana kamu sudah memutuskan?" tanya Joshua. "Dari awal aku udah memutuskan, Jo. Kalau kamu pikir aku akan mengemis belas kasihan sama kamu, kamu salah. Biarpun jika takdir tidak mengizinkan adik aku mengejar mimpinya lagi, atau aku kesulitan buat membiayai papa berobat, tapi aku yakin, mereka juga akan sedih kalau aku hidup dengan orang yang tidak pernah menghargai ketulusan aku. " Perlahan-lahan amarah Ivy berubah menjadi tekad. "Kamu terlalu naif, Vy." Pria itu tersenyum sarkas. "Kamu butuh uang buat keluarga beban kamu itu." Mengangguk pelan, seolah puas dengan keputusan dirinya sendiri Ivy membalas, "Kalau kamu mikir aku kaya gitu aku terima. Aku cuma mau bilang, hiduplah dengan baik, Jo. Hargain orang-orang yang udah mencintai kamu dengan tulus. Aku pamit." Ivy berbalik tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan ruangan Joshua dengan kepala tegak. Di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang mengukungnya diam-diam. Ia tahu setelah ini hidupnya pasti tidak akan mudah. Tapi ia tidak boleh mengalah sebelum berperang. Bukankah Tuhan maha adil? Ia menekan tombol di samping lift, tidak butuh waktu lama pintu lift terbuka menampakan sosok pria yang ia hindari tadi. Ia hendak menutup lift itu kembali namun tangan Nevan lebih cepat menarik tangannya, menyeret dirinya masuk. "Urusan kita belum selesai, Ivy," kata Nevan datar. "Kita gak ada urusan lagi!" balas Ivy galak. "Saya kan sudah meminta maaf tadi pagi. Pak Nevan mau apalagi?" "Meminta maaf saja tidak cukup. Kamu benar-benar lupa semalam kamu apain saya?" Ivy melotot, harga diri terasa dilucuti. "Sembarangan Bapak ini kalau ngomong!" Image berwibawa yang selalu Nevan perlihatkan selama ini padanya sebagai sekretaris Joshua merosot dalam hitungan detik. Pria ini tidak jauh berbeda dengan Joshua. Bisanya hanya menyalahkan dan menyudutkan. "Saya tidak bicara sembarangan, saya berbicara apa adanya," ucap Nevan masih menjaga ketenangannya. "Minggu depan saya akan meminta izin untuk menikahi kamu kepada papa kamu," imbuh Nevan. "Pak Nevan gila?! Kita bahkan belum pernah berinteraksi secara intens." Maksud Ivy, mengobrol saja mereka hampir tidak pernah. Dan apakah Nevan tidak takut jika Joshua mengetahui ini? "Mau seintens apa lagi? Saya sudah mengetahui luar dalam tentang kamu." Nevan melirik dada Ivy yang praktis membuat perempuan itu tutupi dengan kedua tangannya. "Kayaknya pak Nevan udah bener-bener gila." Ivy mencemooh. Mengumpati Nevan dengan suara berbisik. "Iya, gila karena kamu." Hening, tidak ada yang berbicara setelahnya. Ivy yang terlalu canggung dan entah mengapa kini detak jantungnya lebih bekerja lebih cepat. Juga Nevan yang tiba-tiba tidak tahu harus berbicara apa. "Saya—" Keduanya bersuara berbarengan. Lagi, pandangan mereka saling bersikobok untuk kemudian saling melemparkannya. "Kamu dulu," kata Nevan. "Saya... Saya," ucap Ivy gagu. "Memang benar saya melakukan itu, Pak? Maksud saya, saya yang ngapa-ngapain Bapak?" Melihat raut wajah Ivy yang takut-takut, Nevan dibuat gemas melihatnya. Mengapa ia baru menyadari jika perempuan di sampingnya ini begitu menggemaskan? Diam-diam pria itu menyunggingkan kedua sudut bibirnya. "Memang tampang saya seperti pria-pria hidung belang?" Ivy meringis. "Enggak si, tapi masa saya? Bapak punya bukti gak kalau saya yang ngapa-ngapain Bapak duluan?" Secara tiba-tiba Nevan menarik pinggang ramping Ivy, mendaratkan bibir pinknya ke bibir Ivy, Perempuan itu tentu saja terkejut, namun melihat wajah Nevan dengan jarak sedekat ini membuatnya melupakan cara bagaimana dia melarikan diri dari kehanyutan yang memabukkan ini. Ivy ingin sekali mendorong tubuh pria kurang ajar yang dengan berani mendekapnya sekarang lalu menyumpah serapinya dengan berbagai nama binatang. Sayang, ia malah menerima sentuhan lembut bibir Nevan. "Seperti ini, seperti ini kamu merayu saya," bisik Nevan. Ciumannya semakin mendalam. Satu tangan Nevan yang terbebas menekan tombol lantai 20 mana kala lift itu terbuka di lantai dasar. Pria itu tidak mau momen ini berakhir dengan singkat. Beberapa menit kemudian, momen indah itu harus terhentikan karena terbukanya pintu lift untuk ke dua kalinya. Namun kali ini, momen panas itu benar-benar terhenti, Joshua sudah berdiri dengan rahang mengeras. Matanya tertuju pada Ivy dan Nevan yang belum melepaskan ciumannya. Buru-buru Ivy melepaskan diri dari Nevan. Terkejut dengan keberadaan Joshua. Dengan emosi yang melonjak, tanpa pikir panjang Joshua menyeret tubuh Nevan keluar dari lift. Mendorong nya hingga punggung Nevan terbentur tembok. "Joshua stop!" teriak Ivy saat Nevan merelakan wajahnya berkali-kali mendapatkan bogeman dari Joshua."Joshua stop!" Ivy berteriak berusaha merelai. Namun ia berakhir tersungkur terkena pukulan Joshua. Nevan yang melihat sempat ingin menolong, tapi tubuhnya tidak sanggup untuk bangkit. Semua tulangnya terasa patah. Pukulan Joshua benar-benar tidak main-main. Lorong lantai 20 benar-benar sepi. Ivy sudah bercucuran air mata, kalut melihat wajah Nevan yang sudah berdarah-darah. Ia menelepon resepsionis dan meminta agar resepsionis itu mengirim beberapa satpam setelah memberitahu jika Joshua sedang berkelahi dengan Nevan. "Jo! Stop. Joshua cukup!" Ivy kembali berteriak. Pria itu benar-benar seperti kesetanan. Sementara Nevan, entah mengapa dia tidak melawan sama sekali. Beberapa saat kemudian, tiga satpam dan orang kepercayaan keluarga Joshua datang terpogoh-pohoh. Nevan dan Joshua akhirnya bisa dipisahkan. "Kenapa kalian bertengkar, hah?!" Orang kepercayaan Joshua bertanya tegas. Joshua terengah-engah, mata tajamnya masih menatap bengis Nevan yang terkulai di lantai. Amarahnya semak
Tadi, setibanya Nevan di ruang rawat papanya Ivy dengan wajah babak belur, papanya Ivy segera memanggil seorang suster dan meminta agar luka Nevan segera diobati, namun pria itu segera menolak dengan halus. Ia hanya meminta kontak obat itu ditinggalkan dan lukanya akan dirinya obati sendiri. Dan alasan itu ia buat agar Ivy lah yang mengobati luka wajahnya. Perempuan yang beberapa menit lalu menyeretnya keluar dan membawanya ke tengah taman dengan sebuah kejengkelan yang terbelenggu di tengah kerongkongan. "Pak Nevan gila apa?! Papa saya sakit jantung loh, Bapak gak takut kalau tiba-tiba papa saya masuk ICU gara-gara cerita Bapak?!" Ivy berkacak pinggang, menghalangi sinar matahari yang menyembur wajah babak belur Nevan. Nevan sudah terduduk di atas kursi besi panjang, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang terasa patah-patah. "Buktinya enggak kan?" Santai Nevan sedikit menengadah. "Ya emang enggak, tapi kalau nanti papa saya kepikiran gimana? Bapak mau tanggung jawab?"
Ivy menatap semua tamu undangannya yang sama sekali tidak ia kenal. Dalam balutan gaun pengantin yang megah namun sederhana, ia berdiri di sudut ruangan, mencoba menghilangkan kegelisahan yang merasuk di hatinya. Pernikahannya baru selesai dilaksanakan satu jam lalu, namun perasaan ragu masih terus menghantui pikirannya.Para tamu bersorak gembira, berbincang-bincang dan tertawa dalam suasana pesta yang meriah. Namun, Ivy merasa terasing di tengah keramaian itu. Pandangannya tertuju pada Nevan, suaminya yang kini sedang berbincang dengan teman-teman dan kerabatnya. Nevan tampak begitu bahagia, seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Tapi Ivy, di sisi lain, merasa jiwanya terombang-ambing di antara kebahagiaan dan keraguan.Tidak hanya Nevan yang nampak bahagia, papa dan adiknya juga tidak henti memamerkan senyum hangat. Bayangan pernikahan yang sempurna telah lama Ivy impikan, namun kini ia berdiri di sini, merasa asing di hari yang seharusnya menjadi momen paling berharga dalam hidup
Sudah satu Minggu Nevan ditinggalkan Ivy setelah istrinya itu mengetahui tujuan Nevan menikahinya. Karena singkatnya perkenalan mereka, Nevan juga jadi tidak tahu harus mencari Ivy kemana, ia juga tidak mengenal satu pun teman Ivy yang bisa ia tanyai. Beberapa hari ini Nevan hanya datang ke rumah sakit menjenguk mertuanya berharap Ivy ada di sana. Namun sepertinya Ivy tahu hal itu, maka Nevan tidak pernah bertemu dalam ketidakbetulan itu. Nevan juga tidak bisa cerita ke papanya Ivy soal rumah tangganya khawatir akan memperburuk kondisi beliau. Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi Nevan hanya bisa melamun. Mengingat bayang-bayang wajah Ivy dalam otaknya. Ia tahu ini mungkin terdengar keterlaluan setelah semuanya terjadi, tapi ia benar-benar tidak ingin Ivy pergi dari hidupnya. "Woy!!! Ada berita bagus! Bukan bagus lagi ini si tapi berita luar biasa!" Jantung Nevan hampir merosot ke lambungnya mendengar suara pemuda bergaya selenge yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Wajah nya na
"Gimana di kantor, Ka?" Sambungan telepon Ivy akhirnya tersambung. Ivy menghubungi Taraka sekretaris baru Joshua yang dulunya adalah sekretaris dirinya. Sebab itu ia akrab dan tidak ragu untuk menghubungi Taraka. "Wah kacau, Mba. Setelah Mba resign, Pak Joshua jadi gegabah. Grasak-grusuk, bahkan terakhir dia adu mulut sama papinya di kantor sampai kantor heboh karena Pak Joshua dengan gegabahnya memulai pembangunan hotel di Bali tanpa sepengetahuan papinya," kata Taraka. Ivy melihat ke sekeliling kafe yang tengah ia kunjungi itu. Takut-takut jika akan ada orang lain yang akan mendengar pembicaraannya dengan Taraka. Suaranya sedikit ia kecilkan. "Kenapa, Ka? Kenapa papinya marah? Bukannya itu kemauan beliau?" "Tempat itu belum dapet izin. Tapi Pak Joshua kekeh. Dia juga sempet suruh saya datengin Mentri buat cepetin proses izinnya tapi Mentri menolak sebab memang tempat itu sangat di jaga. Dan sekarang pembangunannya dihentikan karena masyarakat di sana demo." "Terus?" "Par
Ivy tidak pernah membayangkan akan kembali ke rumah minimalis bergaya modern yang ia pilih sendiri bersama Nevan setelah mereka memutuskan untuk pindah dari apartemen lelaki itu. Kejadiannya terlalu cepat dan mengejutkan. Perempuan itu menatap rumah Nevan untuk beberapa saat. Lalu ia masuk dengan kunci yang ia miliki. Kedua bola matanya menyusuri setiap sudut rumah itu. Masih rapi dan bersih. Nevan sepertinya memang tipe orang yang memperhatikan kebersihan. Kaki Ivy ia seret menuju dapur, membuka kulkas. Di sana hanya terdapat beberapa butir telur dan seikat bayam yang sebagian sudah kering mungkin karena Nevan tidak sempat memasak.Ivy melongok jam di tangannya. Pukul enam sore. Sebentar lagi Nevan pulang. Ia menggulung lengan kemejanya, mengambil seikat bayam dan tiga butir telur dari kulkas. Tangan nya lihai memotong bayam ddilanjutkan dengan mengaduk telur yang sudah ia pecahkan. Aroma bawang goreng pun menguar ke semua ruangan. Tanpa Ivy sadari, seseorang membuka pintu, masuk de
Hampir tengah malam, itu berarti Ivy dan Nevan sudah menghabiskan lima jam mereka terbuang sia-sia hanya untuk berenang diantara rasa-rasa yang perlahan tenggelam dalam kesalahpahaman. Duduk berjarak satu meter di atas sofa menatap layar televisi tanpa sebuah obrolan. Tidak ada yang bersuara atau sekadar membahas soal film yang keduanya tengah tonton. Atau rasa dingin yang membuat hati mereka beku. Ivy sebenarnya tidak terganggu dengan situasi ini, sebab asing sudah lama akrab dengannya. Dan bukankah seharusnya seperti ini?Di sisi lain Nevan tengah bergelut dengan isi kepalanya yang mendadak penuh, namun mendadak membatu. Pun dengan perasaannya yang sedikit merasa kecewa setelah mengetahui alasan Ivy kembali ke rumah nya. Alasan bukan dirinya adalah penyebab Nevan terdiam sedari tadi."Saya udah ngantuk, saya tidur duluan." Ivy berdiri tanpa menoleh ke arah Nevan kemudian pergi begitu saja. Nevan menengok hanya untuk melihat Ivy masuk ke kamar tamu."Ivy beneran sakit hati sama say
"Hi, pa," sapa Ivy sesampainya di kamar rawat sang papa. Tersenyum merekah saat melihat kondisi ayahnya yang semakin hari semakin terlihat sehat. Ia meletakan satu paper bag yang ia bawa di nakas lantas duduk di kursi di samping bad. "Ke sini sama siapa?" Galih melongok pintu yang sudah tertutup seperti mencari seseorang. "Sendirian. Kenapa emang, Pa?" "Kenapa gak bareng sama Nevan tadi?" "Hah?" Kedua alis Ivy bertaut, keheranan. "Nevan ke sini?" "Iya. Dia ngurusin administrasi terus ngobrol sebentar. Papa pikir dia buru-buru karena mau jemput kamu," jelas Galih. "Engga, Pa. Aku ke sini sendirian. Eh gak sengaja tadi ketemu Qaiz di parkiran. Kita bareng ke sininya." Galih menegakkan tubuhnya. Kening sempitnya berkerut. "Qaiz kenapa memang?" "Akhir-akhir ini katanya dia suka nyeri-nyeri sendi. Gak tau kenapa." Ivy menaikan kedua pundaknya, acuh. Mungkin memang Qaiz sudah cukup tua. "Oh... Coba nanti kamu tanyain ke Qaiz. Kasih tau papa, ya?" Galih sudah menganggap Qai
Hari ini matahari terasa dua kali lipat panasnya. Kulit wajah Ivy sampai memerah. Padahal ini sudah hampir jam lima sore. Perempuan itu mengambil waktu sejenak untuk mencari makan di luar selepas menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Ivy tidak memiliki jabatan khusus di kantor Nevan atau menjadi salah satu karyawan suaminya itu. Ia hanya bekerja di rumah sesuai arahan Nevan. Perempuan itu lantas masuk ke salah satu coffee shop yang sesekali ia datangi ketika pikirannya tengah penuh. Ia memesan kopi kesukaannya kemudian duduk di meja pojok dekat jendela. Tangannya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Jemarinya berselancar bebas membuka salah satu aplikasi sosial media. Seketika wajahnya berubah sendu setelah melihat postingan Joshua. Tentu saja Ivy masih mengikuti sosial media lelaki itu untuk mencari kabar dia. Di postingan itu tubuh tegapnya membelangi kamera menghadap laut. "Dia masih suka ke pantai?" lirih Ivy.Dulu Ivy lah yang sering mengajak Joshua untuk pergi ke pantai.
Hanya ada suara sendok yang bertabrakan dengan piring yang menemani makan malam Ivy dan Nevan. Ivy fokus dengan makanannya agar segera menyelesaikan makan malamnya. Sementara Nevan, sesekali mencuri pandang kepada Ivy."Saya—" Ivy.Saya—" Nevan.Keduanya saling pandang untuk kemudian berdehem canggung dan melemparkan tatapan mereka ke sembarang arah. "Pak Nevan duluan," ucap Ivy mempersilahkan Nevan untuk bicara lebih dulu.Nevan melepaskan genggaman sendoknya. Memberi perhatian sepenuhnya kepada Ivy. "Saya... Hanya mau menjelaskan kalau tadi saya memang sudah ada rencana menjenguk papa. Saya tidak bermaksud mengintili kamu atau mungkin seperti apa yang ada di dalam pikiran kamu. Saya hanya—""Bayar tagihan rumah sakit?" Potong Ivy. Nevan terdiam. Pandangannya terjatuh pada sisa nasi di piringnya. "Terima kasih. Dan tenang saja, Pak Nevan tidak perlu khawatir saya tidak berpikir seperti apa yang Pak Nevan ucapkan barusan. Tidak mungkin Pak Nevan membuang waktu Bapak hanya untuk memb
"Hi, pa," sapa Ivy sesampainya di kamar rawat sang papa. Tersenyum merekah saat melihat kondisi ayahnya yang semakin hari semakin terlihat sehat. Ia meletakan satu paper bag yang ia bawa di nakas lantas duduk di kursi di samping bad. "Ke sini sama siapa?" Galih melongok pintu yang sudah tertutup seperti mencari seseorang. "Sendirian. Kenapa emang, Pa?" "Kenapa gak bareng sama Nevan tadi?" "Hah?" Kedua alis Ivy bertaut, keheranan. "Nevan ke sini?" "Iya. Dia ngurusin administrasi terus ngobrol sebentar. Papa pikir dia buru-buru karena mau jemput kamu," jelas Galih. "Engga, Pa. Aku ke sini sendirian. Eh gak sengaja tadi ketemu Qaiz di parkiran. Kita bareng ke sininya." Galih menegakkan tubuhnya. Kening sempitnya berkerut. "Qaiz kenapa memang?" "Akhir-akhir ini katanya dia suka nyeri-nyeri sendi. Gak tau kenapa." Ivy menaikan kedua pundaknya, acuh. Mungkin memang Qaiz sudah cukup tua. "Oh... Coba nanti kamu tanyain ke Qaiz. Kasih tau papa, ya?" Galih sudah menganggap Qai
Hampir tengah malam, itu berarti Ivy dan Nevan sudah menghabiskan lima jam mereka terbuang sia-sia hanya untuk berenang diantara rasa-rasa yang perlahan tenggelam dalam kesalahpahaman. Duduk berjarak satu meter di atas sofa menatap layar televisi tanpa sebuah obrolan. Tidak ada yang bersuara atau sekadar membahas soal film yang keduanya tengah tonton. Atau rasa dingin yang membuat hati mereka beku. Ivy sebenarnya tidak terganggu dengan situasi ini, sebab asing sudah lama akrab dengannya. Dan bukankah seharusnya seperti ini?Di sisi lain Nevan tengah bergelut dengan isi kepalanya yang mendadak penuh, namun mendadak membatu. Pun dengan perasaannya yang sedikit merasa kecewa setelah mengetahui alasan Ivy kembali ke rumah nya. Alasan bukan dirinya adalah penyebab Nevan terdiam sedari tadi."Saya udah ngantuk, saya tidur duluan." Ivy berdiri tanpa menoleh ke arah Nevan kemudian pergi begitu saja. Nevan menengok hanya untuk melihat Ivy masuk ke kamar tamu."Ivy beneran sakit hati sama say
Ivy tidak pernah membayangkan akan kembali ke rumah minimalis bergaya modern yang ia pilih sendiri bersama Nevan setelah mereka memutuskan untuk pindah dari apartemen lelaki itu. Kejadiannya terlalu cepat dan mengejutkan. Perempuan itu menatap rumah Nevan untuk beberapa saat. Lalu ia masuk dengan kunci yang ia miliki. Kedua bola matanya menyusuri setiap sudut rumah itu. Masih rapi dan bersih. Nevan sepertinya memang tipe orang yang memperhatikan kebersihan. Kaki Ivy ia seret menuju dapur, membuka kulkas. Di sana hanya terdapat beberapa butir telur dan seikat bayam yang sebagian sudah kering mungkin karena Nevan tidak sempat memasak.Ivy melongok jam di tangannya. Pukul enam sore. Sebentar lagi Nevan pulang. Ia menggulung lengan kemejanya, mengambil seikat bayam dan tiga butir telur dari kulkas. Tangan nya lihai memotong bayam ddilanjutkan dengan mengaduk telur yang sudah ia pecahkan. Aroma bawang goreng pun menguar ke semua ruangan. Tanpa Ivy sadari, seseorang membuka pintu, masuk de
"Gimana di kantor, Ka?" Sambungan telepon Ivy akhirnya tersambung. Ivy menghubungi Taraka sekretaris baru Joshua yang dulunya adalah sekretaris dirinya. Sebab itu ia akrab dan tidak ragu untuk menghubungi Taraka. "Wah kacau, Mba. Setelah Mba resign, Pak Joshua jadi gegabah. Grasak-grusuk, bahkan terakhir dia adu mulut sama papinya di kantor sampai kantor heboh karena Pak Joshua dengan gegabahnya memulai pembangunan hotel di Bali tanpa sepengetahuan papinya," kata Taraka. Ivy melihat ke sekeliling kafe yang tengah ia kunjungi itu. Takut-takut jika akan ada orang lain yang akan mendengar pembicaraannya dengan Taraka. Suaranya sedikit ia kecilkan. "Kenapa, Ka? Kenapa papinya marah? Bukannya itu kemauan beliau?" "Tempat itu belum dapet izin. Tapi Pak Joshua kekeh. Dia juga sempet suruh saya datengin Mentri buat cepetin proses izinnya tapi Mentri menolak sebab memang tempat itu sangat di jaga. Dan sekarang pembangunannya dihentikan karena masyarakat di sana demo." "Terus?" "Par
Sudah satu Minggu Nevan ditinggalkan Ivy setelah istrinya itu mengetahui tujuan Nevan menikahinya. Karena singkatnya perkenalan mereka, Nevan juga jadi tidak tahu harus mencari Ivy kemana, ia juga tidak mengenal satu pun teman Ivy yang bisa ia tanyai. Beberapa hari ini Nevan hanya datang ke rumah sakit menjenguk mertuanya berharap Ivy ada di sana. Namun sepertinya Ivy tahu hal itu, maka Nevan tidak pernah bertemu dalam ketidakbetulan itu. Nevan juga tidak bisa cerita ke papanya Ivy soal rumah tangganya khawatir akan memperburuk kondisi beliau. Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi Nevan hanya bisa melamun. Mengingat bayang-bayang wajah Ivy dalam otaknya. Ia tahu ini mungkin terdengar keterlaluan setelah semuanya terjadi, tapi ia benar-benar tidak ingin Ivy pergi dari hidupnya. "Woy!!! Ada berita bagus! Bukan bagus lagi ini si tapi berita luar biasa!" Jantung Nevan hampir merosot ke lambungnya mendengar suara pemuda bergaya selenge yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Wajah nya na
Ivy menatap semua tamu undangannya yang sama sekali tidak ia kenal. Dalam balutan gaun pengantin yang megah namun sederhana, ia berdiri di sudut ruangan, mencoba menghilangkan kegelisahan yang merasuk di hatinya. Pernikahannya baru selesai dilaksanakan satu jam lalu, namun perasaan ragu masih terus menghantui pikirannya.Para tamu bersorak gembira, berbincang-bincang dan tertawa dalam suasana pesta yang meriah. Namun, Ivy merasa terasing di tengah keramaian itu. Pandangannya tertuju pada Nevan, suaminya yang kini sedang berbincang dengan teman-teman dan kerabatnya. Nevan tampak begitu bahagia, seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Tapi Ivy, di sisi lain, merasa jiwanya terombang-ambing di antara kebahagiaan dan keraguan.Tidak hanya Nevan yang nampak bahagia, papa dan adiknya juga tidak henti memamerkan senyum hangat. Bayangan pernikahan yang sempurna telah lama Ivy impikan, namun kini ia berdiri di sini, merasa asing di hari yang seharusnya menjadi momen paling berharga dalam hidup
Tadi, setibanya Nevan di ruang rawat papanya Ivy dengan wajah babak belur, papanya Ivy segera memanggil seorang suster dan meminta agar luka Nevan segera diobati, namun pria itu segera menolak dengan halus. Ia hanya meminta kontak obat itu ditinggalkan dan lukanya akan dirinya obati sendiri. Dan alasan itu ia buat agar Ivy lah yang mengobati luka wajahnya. Perempuan yang beberapa menit lalu menyeretnya keluar dan membawanya ke tengah taman dengan sebuah kejengkelan yang terbelenggu di tengah kerongkongan. "Pak Nevan gila apa?! Papa saya sakit jantung loh, Bapak gak takut kalau tiba-tiba papa saya masuk ICU gara-gara cerita Bapak?!" Ivy berkacak pinggang, menghalangi sinar matahari yang menyembur wajah babak belur Nevan. Nevan sudah terduduk di atas kursi besi panjang, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang terasa patah-patah. "Buktinya enggak kan?" Santai Nevan sedikit menengadah. "Ya emang enggak, tapi kalau nanti papa saya kepikiran gimana? Bapak mau tanggung jawab?"