Ivy menatap semua tamu undangannya yang sama sekali tidak ia kenal. Dalam balutan gaun pengantin yang megah namun sederhana, ia berdiri di sudut ruangan, mencoba menghilangkan kegelisahan yang merasuk di hatinya. Pernikahannya baru selesai dilaksanakan satu jam lalu, namun perasaan ragu masih terus menghantui pikirannya.
Para tamu bersorak gembira, berbincang-bincang dan tertawa dalam suasana pesta yang meriah. Namun, Ivy merasa terasing di tengah keramaian itu. Pandangannya tertuju pada Nevan, suaminya yang kini sedang berbincang dengan teman-teman dan kerabatnya. Nevan tampak begitu bahagia, seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Tapi Ivy, di sisi lain, merasa jiwanya terombang-ambing di antara kebahagiaan dan keraguan. Tidak hanya Nevan yang nampak bahagia, papa dan adiknya juga tidak henti memamerkan senyum hangat. Bayangan pernikahan yang sempurna telah lama Ivy impikan, namun kini ia berdiri di sini, merasa asing di hari yang seharusnya menjadi momen paling berharga dalam hidupnya. Ivy berusaha mengingat alasan-alasan mengapa ia setuju menikah dengan Nevan, mencoba menemukan secercah keyakinan di tengah kebimbangannya. "Hari ini adalah awal dari segalanya," pikir Ivy, mencoba meyakinkan diri. Tapi setiap kali ia melihat ke arah Nevan, hatinya kembali berbisik, mempertanyakan apakah ia telah membuat keputusan yang benar. Di sudut hatinya, Ivy berharap bahwa waktu akan membawa jawaban yang ia cari, dan bahwa cinta yang sejati akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Namun, untuk saat ini, Ivy hanya bisa berdiri di sana, tersenyum pada para tamu yang berlalu-lalang, sambil menyembunyikan keraguan yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia harus menghadapi segala tantangan yang datang, bersama dengan Nevan, pria yang kini menjadi suaminya. "Ivy kamu kecapean?" Perempuan itu tersentak di tengah lamunannya. Nevan tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya dengan raut wajahnya khawatir. "Aku gak apa-apa kok," jawab Ivy dengan senyum yang ia buat-buat. "Yaudah kita pulang, ya sekarang? Papa sama adek kamu biar teman saya yang antar." Papa Ivy harus kembali ke rumah sakit, juga adiknya yang besok tidak bisa meninggalkan uts nya harus pulang ke asrama. "Adek aku kayaknya pulang sama temannya." "Yasudah." Nevan mengangguk. Lantas mereka berdua meninggalkan gedung pernikahan mereka. **** Keesokan paginya, Ivy disibukkan dengan beberapa koper yang mengelilinya. Ia dan Nevan sudah sepakat jika akan pindah dari apartemennya Nevan. Nevan berencana menjual apartemennya untuk membeli rumah yang lebih sederhana dan sisa uangnya akan ia tabung untuk biaya sehari sebelum Nevan mendapatkan pekerjaan tetap. "Barang-barang saya tidak perlu terlalu banyak. Baju biasa dan beberapa kemeja saja. Sisanya saya akan jual," ucap Nevan muncul dari kamar mandi dengan rambut basahnya. "hmm, oke, " jawab Ivy seadanya. Melihat Ivy yang terlalu sibuk dengan barang-barang yang akan ia bawa, membuat Nevan sedikit kesal. Lantas pria itu menarik tangan sang istri dan mendudukkannya di pangkuannya. "Kenapa sibuk banget si?" "Kan saya lagi beres-beres, baju Pak Nevan banyak banget. Biar cepet selesai." Ivy hendak berdiri, melanjutkan aktifitas nya namun buru-buru Nevan tahan. "Jangan panggil saya Pak Nevan, saya kan sudah menjadi suami kamu." Ivy yang tidak nyaman dengan posisinya saat ini hanya bisa menggaruk kepalanya merasa sungkan. Ia benar-benar belum terbiasa. "Terus?" "Kamu bisa panggil nama saya, atau mas, sayang juga boleh." "Mas Nevan?" "Boleh, sekali lagi?" "Mas Nevan?" ulang Ivy. "Iya sayang." Pria itu tidak bisa lagi menahannya. Ia mengukung Ivy dalam dekapannya. Menempelkan bibirnya dengan tergesa. "Panggil saya begitu terus, ya?" bisiknya. "Mas Nevan.... " Panggilan Ivy terdengar sebuah rayuan yang memabukkan. Nevan nampak ganas dan membara dalam ciumannya. Namun kecupan itu harus terhenti saat Ivy melepaskan nya dengan paksa. "Aku mual, Mas," kata Ivy menjawab keheranan Nevan. "Mulut aku bau?" "Bukan. Gak tau tiba-tiba mual, perutku gak enak." Nevan mengerutkan keningnya. "Terkahir kamu menstruasi kapan?" Ivy berpikir keras. "Satu minggu lalu. Apa aku hamil?" **** Tadi pagi, Nevan mengatakan bahwa ia mendapatkan pekerjaan paruh waktu di restoran temannya untuk menambah penghasilan mereka. Ivy merasa bangga dan senang mendengar kabar itu. Pikirnya, Nevan adalah sosok yang selalu berusaha keras untuk memberikan yang terbaik bagi mereka. Namun, pagi ini, saat Ivy melewati pusat kota dalam perjalanan ke sebuah janji temu, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Di antara gedung-gedung tinggi dan hiruk-pikuk jalanan, ia melihat Nevan. Tapi bukan di restoran temannya seperti yang ia katakan. Nevan berdiri di depan sebuah gedung kantor besar, berbicara dengan rekan-rekan kerjanya mengenakan jas lengkap bukan seragam yang tadi pagi dia kenakan sebelum pamit bekerja. Ivy merasa dadanya sesak. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Mengapa Nevan berbohong? Apa yang sebenarnya terjadi? Ia merasa dibodohi, kepercayaannya pada Nevan seakan runtuh seketika. Dengan langkah berat, Ivy mendekati gedung tersebut. Ia menunggu tidak jauh dari tempat Nevan berdiri, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari Nevan. "Hebat juga lo, bisa rebut cewek nya Joshua dengan mudah. Gue yakin, dengan ini Joshua merasa dirinya udah kalah 1-0 dari lo. Balas dendam lo bisa selangkah lebih mudah. Bertahun-tahun lo harus nahan biar bisa balas dendam sama keluarga dia, akhirnya ada celah juga. Ya itung-itung sebagai permulaan." Langkah Ivy terhenti mendengar percakapan antara Nevan dan Unmesh—teman Nevan yang sempat dia kenalkan di pesta pernikahan kemarin sebagai pemilik restoran tempat Nevan bekerja—hati Ivy mendadak mencelos. "Joshua udah nyakitin ceweknya duluan. Jadi gue berhak ambil Ivy dari dia," jawab Nevan tanpa mengalihkan atensinya dari layar Ipad-nya. "Tapi staregi lu bagus, Joshua kan ahli waris satu-satunya keluarganya. Jadi dengan lo nikahin Ivy, Joshua akan merasa lo itu saingan dia. Tapi dalam konteks merebutkan Ivy. Dia kan cinta banget tuh sama si Ivy." "Obses bukan cinta," koreksi Nevan. "Nah!" Unmash menjentikkan jarinya. "Dengan begitu Joshua akan melakukan apapun demi bisa rebut Ivy tadi lo kan? Itu bisa lo pake buat hancurin perusahaan keluarga dia. Dan rebut hak keluarga lo," imbuhnya sembari memamerkan senyum puasnya. Mematikan Ipad-nya, Nevan mengangkat wajah. "Itu tujuan utama gue." "Gue bakal bantu lo, tenang aja." Unmash mengangkat kedua jempolnya. "Gue bilang sama Ivy kerja sama lo sebagai pelayan di resto punya lo. Seragam gue udah ditaro di mobil?" Unmesh mengangguk. "Hari ini gue balik jam empat," ucap Nevan tidak manggapi ucapan Unmesh lagi. "Udah dong, tenang penyamaran kita akan berhasil." "Hari ini gue janji bakal ajak dia jalan-jalan pake gaji pertama gue sebagai pelayan restoran." "Perlu gue siapin mobil?" tawar Unmesh. Nevan melirik temannya itu sinis. "Dari mana ada sejarahnya pelayan resto pake mobil mewah?" Unmesh cengengesan. "Lupa gue." "Gue cabut dulu kalo gitu. Salin dokumen yang ada di flashdisk yang tadi gue kasih. Itu data rahasia perusahaan Joshua." Nevan menyerahkan iPad nya kepada Unmash kemudian berbalik, berniat ingin segera pulang. Namun orang yang ingin segera ia temui tahu-tahu sudah berdiri tengah menatapnya gamang. Jantung Nevan mendadak terasa berhenti bekerja. Ivy berdiri dengan sorot mata kecewa. Pipinya sudah basah entah sudah berapa lama istrinya itu menangis. Dan yang lebih Nevan khawatir kan, sejak kapan Ivy berada di belakangnya nya? Tapi melihat ia melangkah maju mendekatinya dengan air mata yang terus berderai, Nevan menebak jika Ivy mendengar semuanya. "Sejak awal, saat kamu mau nikahin aku dengan asalan sebuah pertanggung jawaban seharusnya aku nolak." Ivy tertawa miris. "Harusnya aku curiga, kalo bukan karena ada sesuatu hal yang kamu inginkan dari aku, kamu gak akan nikahin aku kan?" "Enggak gitu, Ivy. Kamu salah paham." Nevan berusaha menggenggam tangan Ivy namun segera perempuan itu tepis. "Salah paham? Pak Nevan bilang kerja di restoran temen Pak Nevan. Tapi ini apa? Ini perusahaan milik Pak Nevan kan? Alasan Pak Nevan nikahin saya juga biar bisa balas dendam sama Joshua. Dimana salah pahamnya? Jelasin ke saya!" Dada Ivy terasa sesak. Ia merasa sangat kecewa, kepercayaannya lagi dan lagi di khianati. "Mas jelasin, semuanya. Tapi jangan panggil Mas, Pak lagi. Mas jelasin di rumah ya?" pinta Nevan dengan suara lembut. "Itu sudah menjelaskan jika hubungan kita sekarang udah sejauh dari sebelum pak Nevan mengenal saya." Ivy berbalik mengambil langkah lebar meninggalkan Nevan. Nevan tidak mau hanya diam saja. Ia menyusul Ivy dan mencegahnya untuk pergi. "Mas bisa jelasin. Dengarkan dulu." Ia mencengkram pergelangan tangan Ivy, cukup kuat namun tidak menyakiti perempuan itu sama sekali. Hanya agar Ivy menghentikan langkahnya dan mendengar penjelasannya. "Ucapan pak Unmesh tadi sudah cukup jelas. Tolong kasih saya waktu buat mikirin kelanjutan pernikahan kita ini. Saya butuh waktu dan saya harap Pak Nevan bisa ngerti." Cengkraman tangan Nevan melonggar. "Kalau memang itu mau kamu, saya gak bisa larang. Tapi kamu pulang ke rumah kita aja, ya? Biar saya yang nginep di rumah Unmesh buat beberapa hari sampai kamu tenang." "Gak usah, saya bisa menginap di rumah teman saya. Saya permisi." Ivy menyeret kakinya pergi meninggalkan Nevan dengan perasaan sesak. Hatinya hancur lebur. Mendapati kenyataan yang tidak ia duga-duga. Sementara Nevan, laki-laki itu hanya bisa memandangi punggung Ivy yang semakin menjauh dari jangkauan matanya. Ia tidak punya pilihan lain selain membiarkan istrinya itu meninggalkan nya. Nevan bahkan tidak tahu bagaimana kelanjutan pernikahannya dengan Ivy setelah ini. Apakah Ivy akan menggugatnya atau tidak.Sudah satu Minggu Nevan ditinggalkan Ivy setelah istrinya itu mengetahui tujuan Nevan menikahinya. Karena singkatnya perkenalan mereka, Nevan juga jadi tidak tahu harus mencari Ivy kemana, ia juga tidak mengenal satu pun teman Ivy yang bisa ia tanyai. Beberapa hari ini Nevan hanya datang ke rumah sakit menjenguk mertuanya berharap Ivy ada di sana. Namun sepertinya Ivy tahu hal itu, maka Nevan tidak pernah bertemu dalam ketidakbetulan itu. Nevan juga tidak bisa cerita ke papanya Ivy soal rumah tangganya khawatir akan memperburuk kondisi beliau. Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi Nevan hanya bisa melamun. Mengingat bayang-bayang wajah Ivy dalam otaknya. Ia tahu ini mungkin terdengar keterlaluan setelah semuanya terjadi, tapi ia benar-benar tidak ingin Ivy pergi dari hidupnya. "Woy!!! Ada berita bagus! Bukan bagus lagi ini si tapi berita luar biasa!" Jantung Nevan hampir merosot ke lambungnya mendengar suara pemuda bergaya selenge yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Wajah nya na
"Gimana di kantor, Ka?" Sambungan telepon Ivy akhirnya tersambung. Ivy menghubungi Taraka sekretaris baru Joshua yang dulunya adalah sekretaris dirinya. Sebab itu ia akrab dan tidak ragu untuk menghubungi Taraka. "Wah kacau, Mba. Setelah Mba resign, Pak Joshua jadi gegabah. Grasak-grusuk, bahkan terakhir dia adu mulut sama papinya di kantor sampai kantor heboh karena Pak Joshua dengan gegabahnya memulai pembangunan hotel di Bali tanpa sepengetahuan papinya," kata Taraka. Ivy melihat ke sekeliling kafe yang tengah ia kunjungi itu. Takut-takut jika akan ada orang lain yang akan mendengar pembicaraannya dengan Taraka. Suaranya sedikit ia kecilkan. "Kenapa, Ka? Kenapa papinya marah? Bukannya itu kemauan beliau?" "Tempat itu belum dapet izin. Tapi Pak Joshua kekeh. Dia juga sempet suruh saya datengin Mentri buat cepetin proses izinnya tapi Mentri menolak sebab memang tempat itu sangat di jaga. Dan sekarang pembangunannya dihentikan karena masyarakat di sana demo." "Terus?" "Par
Ivy tidak pernah membayangkan akan kembali ke rumah minimalis bergaya modern yang ia pilih sendiri bersama Nevan setelah mereka memutuskan untuk pindah dari apartemen lelaki itu. Kejadiannya terlalu cepat dan mengejutkan. Perempuan itu menatap rumah Nevan untuk beberapa saat. Lalu ia masuk dengan kunci yang ia miliki. Kedua bola matanya menyusuri setiap sudut rumah itu. Masih rapi dan bersih. Nevan sepertinya memang tipe orang yang memperhatikan kebersihan. Kaki Ivy ia seret menuju dapur, membuka kulkas. Di sana hanya terdapat beberapa butir telur dan seikat bayam yang sebagian sudah kering mungkin karena Nevan tidak sempat memasak.Ivy melongok jam di tangannya. Pukul enam sore. Sebentar lagi Nevan pulang. Ia menggulung lengan kemejanya, mengambil seikat bayam dan tiga butir telur dari kulkas. Tangan nya lihai memotong bayam ddilanjutkan dengan mengaduk telur yang sudah ia pecahkan. Aroma bawang goreng pun menguar ke semua ruangan. Tanpa Ivy sadari, seseorang membuka pintu, masuk de
Hampir tengah malam, itu berarti Ivy dan Nevan sudah menghabiskan lima jam mereka terbuang sia-sia hanya untuk berenang diantara rasa-rasa yang perlahan tenggelam dalam kesalahpahaman. Duduk berjarak satu meter di atas sofa menatap layar televisi tanpa sebuah obrolan. Tidak ada yang bersuara atau sekadar membahas soal film yang keduanya tengah tonton. Atau rasa dingin yang membuat hati mereka beku. Ivy sebenarnya tidak terganggu dengan situasi ini, sebab asing sudah lama akrab dengannya. Dan bukankah seharusnya seperti ini?Di sisi lain Nevan tengah bergelut dengan isi kepalanya yang mendadak penuh, namun mendadak membatu. Pun dengan perasaannya yang sedikit merasa kecewa setelah mengetahui alasan Ivy kembali ke rumah nya. Alasan bukan dirinya adalah penyebab Nevan terdiam sedari tadi."Saya udah ngantuk, saya tidur duluan." Ivy berdiri tanpa menoleh ke arah Nevan kemudian pergi begitu saja. Nevan menengok hanya untuk melihat Ivy masuk ke kamar tamu."Ivy beneran sakit hati sama say
"Hi, pa," sapa Ivy sesampainya di kamar rawat sang papa. Tersenyum merekah saat melihat kondisi ayahnya yang semakin hari semakin terlihat sehat. Ia meletakan satu paper bag yang ia bawa di nakas lantas duduk di kursi di samping bad. "Ke sini sama siapa?" Galih melongok pintu yang sudah tertutup seperti mencari seseorang. "Sendirian. Kenapa emang, Pa?" "Kenapa gak bareng sama Nevan tadi?" "Hah?" Kedua alis Ivy bertaut, keheranan. "Nevan ke sini?" "Iya. Dia ngurusin administrasi terus ngobrol sebentar. Papa pikir dia buru-buru karena mau jemput kamu," jelas Galih. "Engga, Pa. Aku ke sini sendirian. Eh gak sengaja tadi ketemu Qaiz di parkiran. Kita bareng ke sininya." Galih menegakkan tubuhnya. Kening sempitnya berkerut. "Qaiz kenapa memang?" "Akhir-akhir ini katanya dia suka nyeri-nyeri sendi. Gak tau kenapa." Ivy menaikan kedua pundaknya, acuh. Mungkin memang Qaiz sudah cukup tua. "Oh... Coba nanti kamu tanyain ke Qaiz. Kasih tau papa, ya?" Galih sudah menganggap Qai
Hanya ada suara sendok yang bertabrakan dengan piring yang menemani makan malam Ivy dan Nevan. Ivy fokus dengan makanannya agar segera menyelesaikan makan malamnya. Sementara Nevan, sesekali mencuri pandang kepada Ivy."Saya—" Ivy.Saya—" Nevan.Keduanya saling pandang untuk kemudian berdehem canggung dan melemparkan tatapan mereka ke sembarang arah. "Pak Nevan duluan," ucap Ivy mempersilahkan Nevan untuk bicara lebih dulu.Nevan melepaskan genggaman sendoknya. Memberi perhatian sepenuhnya kepada Ivy. "Saya... Hanya mau menjelaskan kalau tadi saya memang sudah ada rencana menjenguk papa. Saya tidak bermaksud mengintili kamu atau mungkin seperti apa yang ada di dalam pikiran kamu. Saya hanya—""Bayar tagihan rumah sakit?" Potong Ivy. Nevan terdiam. Pandangannya terjatuh pada sisa nasi di piringnya. "Terima kasih. Dan tenang saja, Pak Nevan tidak perlu khawatir saya tidak berpikir seperti apa yang Pak Nevan ucapkan barusan. Tidak mungkin Pak Nevan membuang waktu Bapak hanya untuk memb
Hari ini matahari terasa dua kali lipat panasnya. Kulit wajah Ivy sampai memerah. Padahal ini sudah hampir jam lima sore. Perempuan itu mengambil waktu sejenak untuk mencari makan di luar selepas menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Ivy tidak memiliki jabatan khusus di kantor Nevan atau menjadi salah satu karyawan suaminya itu. Ia hanya bekerja di rumah sesuai arahan Nevan. Perempuan itu lantas masuk ke salah satu coffee shop yang sesekali ia datangi ketika pikirannya tengah penuh. Ia memesan kopi kesukaannya kemudian duduk di meja pojok dekat jendela. Tangannya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Jemarinya berselancar bebas membuka salah satu aplikasi sosial media. Seketika wajahnya berubah sendu setelah melihat postingan Joshua. Tentu saja Ivy masih mengikuti sosial media lelaki itu untuk mencari kabar dia. Di postingan itu tubuh tegapnya membelangi kamera menghadap laut. "Dia masih suka ke pantai?" lirih Ivy.Dulu Ivy lah yang sering mengajak Joshua untuk pergi ke pantai.
Ivy terbangun dengan kepala yang terasa seperti dihantam palu godam. Matanya masih setengah tertutup, mencoba menyesuaikan cahaya lampu yang menyerang penglihatan nya. Dengan tubuh yang terasa berat, ia perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur, merasakan setiap sendi dan ototnya berteriak protes.Ia duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Mulutnya kering dan berbau tidak sedap, sisa-sisa alkohol dari semalam masih terasa. Dengan mata setengah terpejam, Ivy mengamati kamar yang ditidurinya berantakan—pakaian yang berserakan di lantai, dan—pakaian berserakan? "Shit!!" erangnya tertahan. Ivy membulatkan matanya. Namun ia dapat bernapas dengan lega setelah memeriksa pakaiannya yang masih lengkap menempel di badan kurusnya. Ia melirik kopernya yang bersandar di tembok. "Selamat..., " katanya. Ivy khawatir ia melakukan hal bodoh saat semalam mabuk berat.Sebuah pertanyaan besar muncul dibenaknya, dimanakah sekarang dirinya berada? "Kata siapa kamu selamat?" Pria be
Hari ini matahari terasa dua kali lipat panasnya. Kulit wajah Ivy sampai memerah. Padahal ini sudah hampir jam lima sore. Perempuan itu mengambil waktu sejenak untuk mencari makan di luar selepas menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Ivy tidak memiliki jabatan khusus di kantor Nevan atau menjadi salah satu karyawan suaminya itu. Ia hanya bekerja di rumah sesuai arahan Nevan. Perempuan itu lantas masuk ke salah satu coffee shop yang sesekali ia datangi ketika pikirannya tengah penuh. Ia memesan kopi kesukaannya kemudian duduk di meja pojok dekat jendela. Tangannya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Jemarinya berselancar bebas membuka salah satu aplikasi sosial media. Seketika wajahnya berubah sendu setelah melihat postingan Joshua. Tentu saja Ivy masih mengikuti sosial media lelaki itu untuk mencari kabar dia. Di postingan itu tubuh tegapnya membelangi kamera menghadap laut. "Dia masih suka ke pantai?" lirih Ivy.Dulu Ivy lah yang sering mengajak Joshua untuk pergi ke pantai.
Hanya ada suara sendok yang bertabrakan dengan piring yang menemani makan malam Ivy dan Nevan. Ivy fokus dengan makanannya agar segera menyelesaikan makan malamnya. Sementara Nevan, sesekali mencuri pandang kepada Ivy."Saya—" Ivy.Saya—" Nevan.Keduanya saling pandang untuk kemudian berdehem canggung dan melemparkan tatapan mereka ke sembarang arah. "Pak Nevan duluan," ucap Ivy mempersilahkan Nevan untuk bicara lebih dulu.Nevan melepaskan genggaman sendoknya. Memberi perhatian sepenuhnya kepada Ivy. "Saya... Hanya mau menjelaskan kalau tadi saya memang sudah ada rencana menjenguk papa. Saya tidak bermaksud mengintili kamu atau mungkin seperti apa yang ada di dalam pikiran kamu. Saya hanya—""Bayar tagihan rumah sakit?" Potong Ivy. Nevan terdiam. Pandangannya terjatuh pada sisa nasi di piringnya. "Terima kasih. Dan tenang saja, Pak Nevan tidak perlu khawatir saya tidak berpikir seperti apa yang Pak Nevan ucapkan barusan. Tidak mungkin Pak Nevan membuang waktu Bapak hanya untuk memb
"Hi, pa," sapa Ivy sesampainya di kamar rawat sang papa. Tersenyum merekah saat melihat kondisi ayahnya yang semakin hari semakin terlihat sehat. Ia meletakan satu paper bag yang ia bawa di nakas lantas duduk di kursi di samping bad. "Ke sini sama siapa?" Galih melongok pintu yang sudah tertutup seperti mencari seseorang. "Sendirian. Kenapa emang, Pa?" "Kenapa gak bareng sama Nevan tadi?" "Hah?" Kedua alis Ivy bertaut, keheranan. "Nevan ke sini?" "Iya. Dia ngurusin administrasi terus ngobrol sebentar. Papa pikir dia buru-buru karena mau jemput kamu," jelas Galih. "Engga, Pa. Aku ke sini sendirian. Eh gak sengaja tadi ketemu Qaiz di parkiran. Kita bareng ke sininya." Galih menegakkan tubuhnya. Kening sempitnya berkerut. "Qaiz kenapa memang?" "Akhir-akhir ini katanya dia suka nyeri-nyeri sendi. Gak tau kenapa." Ivy menaikan kedua pundaknya, acuh. Mungkin memang Qaiz sudah cukup tua. "Oh... Coba nanti kamu tanyain ke Qaiz. Kasih tau papa, ya?" Galih sudah menganggap Qai
Hampir tengah malam, itu berarti Ivy dan Nevan sudah menghabiskan lima jam mereka terbuang sia-sia hanya untuk berenang diantara rasa-rasa yang perlahan tenggelam dalam kesalahpahaman. Duduk berjarak satu meter di atas sofa menatap layar televisi tanpa sebuah obrolan. Tidak ada yang bersuara atau sekadar membahas soal film yang keduanya tengah tonton. Atau rasa dingin yang membuat hati mereka beku. Ivy sebenarnya tidak terganggu dengan situasi ini, sebab asing sudah lama akrab dengannya. Dan bukankah seharusnya seperti ini?Di sisi lain Nevan tengah bergelut dengan isi kepalanya yang mendadak penuh, namun mendadak membatu. Pun dengan perasaannya yang sedikit merasa kecewa setelah mengetahui alasan Ivy kembali ke rumah nya. Alasan bukan dirinya adalah penyebab Nevan terdiam sedari tadi."Saya udah ngantuk, saya tidur duluan." Ivy berdiri tanpa menoleh ke arah Nevan kemudian pergi begitu saja. Nevan menengok hanya untuk melihat Ivy masuk ke kamar tamu."Ivy beneran sakit hati sama say
Ivy tidak pernah membayangkan akan kembali ke rumah minimalis bergaya modern yang ia pilih sendiri bersama Nevan setelah mereka memutuskan untuk pindah dari apartemen lelaki itu. Kejadiannya terlalu cepat dan mengejutkan. Perempuan itu menatap rumah Nevan untuk beberapa saat. Lalu ia masuk dengan kunci yang ia miliki. Kedua bola matanya menyusuri setiap sudut rumah itu. Masih rapi dan bersih. Nevan sepertinya memang tipe orang yang memperhatikan kebersihan. Kaki Ivy ia seret menuju dapur, membuka kulkas. Di sana hanya terdapat beberapa butir telur dan seikat bayam yang sebagian sudah kering mungkin karena Nevan tidak sempat memasak.Ivy melongok jam di tangannya. Pukul enam sore. Sebentar lagi Nevan pulang. Ia menggulung lengan kemejanya, mengambil seikat bayam dan tiga butir telur dari kulkas. Tangan nya lihai memotong bayam ddilanjutkan dengan mengaduk telur yang sudah ia pecahkan. Aroma bawang goreng pun menguar ke semua ruangan. Tanpa Ivy sadari, seseorang membuka pintu, masuk de
"Gimana di kantor, Ka?" Sambungan telepon Ivy akhirnya tersambung. Ivy menghubungi Taraka sekretaris baru Joshua yang dulunya adalah sekretaris dirinya. Sebab itu ia akrab dan tidak ragu untuk menghubungi Taraka. "Wah kacau, Mba. Setelah Mba resign, Pak Joshua jadi gegabah. Grasak-grusuk, bahkan terakhir dia adu mulut sama papinya di kantor sampai kantor heboh karena Pak Joshua dengan gegabahnya memulai pembangunan hotel di Bali tanpa sepengetahuan papinya," kata Taraka. Ivy melihat ke sekeliling kafe yang tengah ia kunjungi itu. Takut-takut jika akan ada orang lain yang akan mendengar pembicaraannya dengan Taraka. Suaranya sedikit ia kecilkan. "Kenapa, Ka? Kenapa papinya marah? Bukannya itu kemauan beliau?" "Tempat itu belum dapet izin. Tapi Pak Joshua kekeh. Dia juga sempet suruh saya datengin Mentri buat cepetin proses izinnya tapi Mentri menolak sebab memang tempat itu sangat di jaga. Dan sekarang pembangunannya dihentikan karena masyarakat di sana demo." "Terus?" "Par
Sudah satu Minggu Nevan ditinggalkan Ivy setelah istrinya itu mengetahui tujuan Nevan menikahinya. Karena singkatnya perkenalan mereka, Nevan juga jadi tidak tahu harus mencari Ivy kemana, ia juga tidak mengenal satu pun teman Ivy yang bisa ia tanyai. Beberapa hari ini Nevan hanya datang ke rumah sakit menjenguk mertuanya berharap Ivy ada di sana. Namun sepertinya Ivy tahu hal itu, maka Nevan tidak pernah bertemu dalam ketidakbetulan itu. Nevan juga tidak bisa cerita ke papanya Ivy soal rumah tangganya khawatir akan memperburuk kondisi beliau. Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi Nevan hanya bisa melamun. Mengingat bayang-bayang wajah Ivy dalam otaknya. Ia tahu ini mungkin terdengar keterlaluan setelah semuanya terjadi, tapi ia benar-benar tidak ingin Ivy pergi dari hidupnya. "Woy!!! Ada berita bagus! Bukan bagus lagi ini si tapi berita luar biasa!" Jantung Nevan hampir merosot ke lambungnya mendengar suara pemuda bergaya selenge yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Wajah nya na
Ivy menatap semua tamu undangannya yang sama sekali tidak ia kenal. Dalam balutan gaun pengantin yang megah namun sederhana, ia berdiri di sudut ruangan, mencoba menghilangkan kegelisahan yang merasuk di hatinya. Pernikahannya baru selesai dilaksanakan satu jam lalu, namun perasaan ragu masih terus menghantui pikirannya.Para tamu bersorak gembira, berbincang-bincang dan tertawa dalam suasana pesta yang meriah. Namun, Ivy merasa terasing di tengah keramaian itu. Pandangannya tertuju pada Nevan, suaminya yang kini sedang berbincang dengan teman-teman dan kerabatnya. Nevan tampak begitu bahagia, seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Tapi Ivy, di sisi lain, merasa jiwanya terombang-ambing di antara kebahagiaan dan keraguan.Tidak hanya Nevan yang nampak bahagia, papa dan adiknya juga tidak henti memamerkan senyum hangat. Bayangan pernikahan yang sempurna telah lama Ivy impikan, namun kini ia berdiri di sini, merasa asing di hari yang seharusnya menjadi momen paling berharga dalam hidup
Tadi, setibanya Nevan di ruang rawat papanya Ivy dengan wajah babak belur, papanya Ivy segera memanggil seorang suster dan meminta agar luka Nevan segera diobati, namun pria itu segera menolak dengan halus. Ia hanya meminta kontak obat itu ditinggalkan dan lukanya akan dirinya obati sendiri. Dan alasan itu ia buat agar Ivy lah yang mengobati luka wajahnya. Perempuan yang beberapa menit lalu menyeretnya keluar dan membawanya ke tengah taman dengan sebuah kejengkelan yang terbelenggu di tengah kerongkongan. "Pak Nevan gila apa?! Papa saya sakit jantung loh, Bapak gak takut kalau tiba-tiba papa saya masuk ICU gara-gara cerita Bapak?!" Ivy berkacak pinggang, menghalangi sinar matahari yang menyembur wajah babak belur Nevan. Nevan sudah terduduk di atas kursi besi panjang, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang terasa patah-patah. "Buktinya enggak kan?" Santai Nevan sedikit menengadah. "Ya emang enggak, tapi kalau nanti papa saya kepikiran gimana? Bapak mau tanggung jawab?"