Sudah jam makan siang tapi Ivy enggan untuk keluar dari ruangannya. Pikirannya terganggu dengan kejadian tadi, saat Nevan memperkenalkan dirinya sebagai manager keungan baru di kantor pria itu. Nevan sama sekali tidak menyinggung tentang hubungannya—maksudnya apakah Nevan benar-benar tidak ingin mengakui Ivy sebagai istrinya? Aneh memang, hal tersebut sudah disepakati oleh Ivy dan Nevan sebelum Ivy datang ke kantor. Dan itu kemauan Ivy sendiri tapi Ivy merasa Nevan seharunya tidak menuruti kemauan nya itu. Tersadar dari lamunannya, Ivy berdiri setelah mendengar sebuah ketukan pintu. "Makan siang dulu. Mau saya temenin?" Nevan datang tanpa jasnya. Memperlihatkan badan kekarnya melalui kemeja putih yang bagian tangannya sengaja ia gulung sampai sikut. "Belum lapar," bohong Ivy. "Saya bisa sendiri, nanti karyawan lain curiga kalau Pak Nevan ngajak saya makan siang," tukasnya. "Memang ingin dicurigai." Nevan masuk begitu saja. Ivy melotot. "Saya mau tenang kerja di sini!" tekan Ivy.
Hampir pukul 10 malam Ivy baru keluar dari ruangannya. Tidak ada yang ia lakukan, hanya bolak balik memeriksa catatan keuangan tahun lalu yang ia minta ke Bu Fifi. Ia hanya sengaja mengulur waktu agar nanti sampainya di rumah Ivy tidak usah repot-repot menghadapai Nevan. Sebelum turun, Ivy melongok di balik tembok memastikan jika Nevan sudah meninggalkan kantor. "Dah balik kayaknya." Berjalan santai sambil meregangkan otot punggungnya yang lumayan pegal menuju lift. Lift turun ke lantai dasar menuju baseman. Perempuan itu celingukan mencari mobil yang ia pinjam dari sahabatnya. "Perasaan di sini," gumamnya. Tak sengaja ia menyenggol mobil lain saat hendak mengambil kunci yang ia jatuhkan. Mobil itu mengeluarkan suara yang mengagetkan nya. "Sumpah jantung gue mau copot!" Si pemilik mobil keluar dengan muka bantalnya. Yang membuat Ivy kembali terkejut untuk kedua kalinya. "Kok lama?" tanyanya dengan mata setengah tertutup. "Pak Nevan ngapain?" "Nunggu kamu." "Hah?"
Pukul setengah satu dini hari Ivy dan Nevan baru berbaring di ranjang kamar Nevan sebab tadi saat Ivy hendak masuk ke dalam kamarnya seekor kecoa terbang hampir mendarat di kepala perempuan itu jika satu detik saja Ivy telat menghindar, walaupun ia berakhir menindih tubuh Nevan. Kini keduanya kalut dengan rasa canggung. Berbaring dengan posisi ujung sama ujung dibatasi sebuah guling ditengah-tengah yang menjadi pembatas wilayah antara keduanya. Sungguh di luar prediksi, mereka akhirnya kembali tidur dalam kamar dan ranjang yang sama setelah kejadian itu. "Besok saya bersihkan biar tidak ada kecoa lagi." Suara Nevan mengudara memecahkan keheningan. Dalam diam Ivy berpikir keras harus merespon apa. Ia masih malu dengan kejadian tadi saat tiba-tiba ia menindih Nevan. Sungguh memalukan. "Kamu sudah tidur?" Nevan menoleh hanya untuk menemukan Ivy yang tengah melamun memandangi langit-langit dengan pandangan gamang. "Saya tidak bisa tidur.""Kamu tidak nyaman tidur di kamar saya?"Ivy
Ivy terbangun dengan kepala yang terasa seperti dihantam palu godam. Matanya masih setengah tertutup, mencoba menyesuaikan cahaya lampu yang menyerang penglihatan nya. Dengan tubuh yang terasa berat, ia perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur, merasakan setiap sendi dan ototnya berteriak protes.Ia duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Mulutnya kering dan berbau tidak sedap, sisa-sisa alkohol dari semalam masih terasa. Dengan mata setengah terpejam, Ivy mengamati kamar yang ditidurinya berantakan—pakaian yang berserakan di lantai, dan—pakaian berserakan? "Shit!!" erangnya tertahan. Ivy membulatkan matanya. Namun ia dapat bernapas dengan lega setelah memeriksa pakaiannya yang masih lengkap menempel di badan kurusnya. Ia melirik kopernya yang bersandar di tembok. "Selamat..., " katanya. Ivy khawatir ia melakukan hal bodoh saat semalam mabuk berat.Sebuah pertanyaan besar muncul dibenaknya, dimanakah sekarang dirinya berada? "Kata siapa kamu selamat?" Pria be
Ivy melangkah cepat, derap sepatunya memantul keras di lantai koridor. Wajahnya memerah, matanya berkilat-kilat penuh amarah. Ia baru saja menerima kabar bahwa lamaran kerjanya ditolak lagi—untuk kesekian puluh kalinya. Semua penolakan itu berujung pada satu nama: Finn Joshua Noman Tyaga. Pintu kantor Joshua terbuka lebar. Tanpa mengetuk, Ivy menerobos masuk, membuat beberapa karyawan yang berada di sekitar ruang kerja itu terperangah. Joshua yang sedang duduk di meja kerjanya, tampak tenang, nyaris tidak terkejut melihat Ivy datang dengan amarah yang meluap."Joshua!" Ivy berseru keras, suaranya menggema di ruangan yang luas. "Setelah kamu selingkuhin aku dan punya anak dari orang lain kamu tutup semua akses aku buat gak bisa kerja di manapun?"Joshua menatap Ivy dengan tatapan meremehkan. Dia tersenyum. Senyum yang dulu Ivy elu-elu kan, sekarang ia bahkan tidak sudi hanya untuk melihatnya. "Bukannya aku udah peringatin kamu? Kamu gak bisa lepas dari aku sayang." Ia berdiri dari dud
"Joshua stop!" Ivy berteriak berusaha merelai. Namun ia berakhir tersungkur terkena pukulan Joshua. Nevan yang melihat sempat ingin menolong, tapi tubuhnya tidak sanggup untuk bangkit. Semua tulangnya terasa patah. Pukulan Joshua benar-benar tidak main-main. Lorong lantai 20 benar-benar sepi. Ivy sudah bercucuran air mata, kalut melihat wajah Nevan yang sudah berdarah-darah. Ia menelepon resepsionis dan meminta agar resepsionis itu mengirim beberapa satpam setelah memberitahu jika Joshua sedang berkelahi dengan Nevan. "Jo! Stop. Joshua cukup!" Ivy kembali berteriak. Pria itu benar-benar seperti kesetanan. Sementara Nevan, entah mengapa dia tidak melawan sama sekali. Beberapa saat kemudian, tiga satpam dan orang kepercayaan keluarga Joshua datang terpogoh-pohoh. Nevan dan Joshua akhirnya bisa dipisahkan. "Kenapa kalian bertengkar, hah?!" Orang kepercayaan Joshua bertanya tegas. Joshua terengah-engah, mata tajamnya masih menatap bengis Nevan yang terkulai di lantai. Amarahnya semak
Tadi, setibanya Nevan di ruang rawat papanya Ivy dengan wajah babak belur, papanya Ivy segera memanggil seorang suster dan meminta agar luka Nevan segera diobati, namun pria itu segera menolak dengan halus. Ia hanya meminta kontak obat itu ditinggalkan dan lukanya akan dirinya obati sendiri. Dan alasan itu ia buat agar Ivy lah yang mengobati luka wajahnya. Perempuan yang beberapa menit lalu menyeretnya keluar dan membawanya ke tengah taman dengan sebuah kejengkelan yang terbelenggu di tengah kerongkongan. "Pak Nevan gila apa?! Papa saya sakit jantung loh, Bapak gak takut kalau tiba-tiba papa saya masuk ICU gara-gara cerita Bapak?!" Ivy berkacak pinggang, menghalangi sinar matahari yang menyembur wajah babak belur Nevan. Nevan sudah terduduk di atas kursi besi panjang, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang terasa patah-patah. "Buktinya enggak kan?" Santai Nevan sedikit menengadah. "Ya emang enggak, tapi kalau nanti papa saya kepikiran gimana? Bapak mau tanggung jawab?"
Ivy menatap semua tamu undangannya yang sama sekali tidak ia kenal. Dalam balutan gaun pengantin yang megah namun sederhana, ia berdiri di sudut ruangan, mencoba menghilangkan kegelisahan yang merasuk di hatinya. Pernikahannya baru selesai dilaksanakan satu jam lalu, namun perasaan ragu masih terus menghantui pikirannya.Para tamu bersorak gembira, berbincang-bincang dan tertawa dalam suasana pesta yang meriah. Namun, Ivy merasa terasing di tengah keramaian itu. Pandangannya tertuju pada Nevan, suaminya yang kini sedang berbincang dengan teman-teman dan kerabatnya. Nevan tampak begitu bahagia, seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Tapi Ivy, di sisi lain, merasa jiwanya terombang-ambing di antara kebahagiaan dan keraguan.Tidak hanya Nevan yang nampak bahagia, papa dan adiknya juga tidak henti memamerkan senyum hangat. Bayangan pernikahan yang sempurna telah lama Ivy impikan, namun kini ia berdiri di sini, merasa asing di hari yang seharusnya menjadi momen paling berharga dalam hidup
Pukul setengah satu dini hari Ivy dan Nevan baru berbaring di ranjang kamar Nevan sebab tadi saat Ivy hendak masuk ke dalam kamarnya seekor kecoa terbang hampir mendarat di kepala perempuan itu jika satu detik saja Ivy telat menghindar, walaupun ia berakhir menindih tubuh Nevan. Kini keduanya kalut dengan rasa canggung. Berbaring dengan posisi ujung sama ujung dibatasi sebuah guling ditengah-tengah yang menjadi pembatas wilayah antara keduanya. Sungguh di luar prediksi, mereka akhirnya kembali tidur dalam kamar dan ranjang yang sama setelah kejadian itu. "Besok saya bersihkan biar tidak ada kecoa lagi." Suara Nevan mengudara memecahkan keheningan. Dalam diam Ivy berpikir keras harus merespon apa. Ia masih malu dengan kejadian tadi saat tiba-tiba ia menindih Nevan. Sungguh memalukan. "Kamu sudah tidur?" Nevan menoleh hanya untuk menemukan Ivy yang tengah melamun memandangi langit-langit dengan pandangan gamang. "Saya tidak bisa tidur.""Kamu tidak nyaman tidur di kamar saya?"Ivy
Hampir pukul 10 malam Ivy baru keluar dari ruangannya. Tidak ada yang ia lakukan, hanya bolak balik memeriksa catatan keuangan tahun lalu yang ia minta ke Bu Fifi. Ia hanya sengaja mengulur waktu agar nanti sampainya di rumah Ivy tidak usah repot-repot menghadapai Nevan. Sebelum turun, Ivy melongok di balik tembok memastikan jika Nevan sudah meninggalkan kantor. "Dah balik kayaknya." Berjalan santai sambil meregangkan otot punggungnya yang lumayan pegal menuju lift. Lift turun ke lantai dasar menuju baseman. Perempuan itu celingukan mencari mobil yang ia pinjam dari sahabatnya. "Perasaan di sini," gumamnya. Tak sengaja ia menyenggol mobil lain saat hendak mengambil kunci yang ia jatuhkan. Mobil itu mengeluarkan suara yang mengagetkan nya. "Sumpah jantung gue mau copot!" Si pemilik mobil keluar dengan muka bantalnya. Yang membuat Ivy kembali terkejut untuk kedua kalinya. "Kok lama?" tanyanya dengan mata setengah tertutup. "Pak Nevan ngapain?" "Nunggu kamu." "Hah?"
Sudah jam makan siang tapi Ivy enggan untuk keluar dari ruangannya. Pikirannya terganggu dengan kejadian tadi, saat Nevan memperkenalkan dirinya sebagai manager keungan baru di kantor pria itu. Nevan sama sekali tidak menyinggung tentang hubungannya—maksudnya apakah Nevan benar-benar tidak ingin mengakui Ivy sebagai istrinya? Aneh memang, hal tersebut sudah disepakati oleh Ivy dan Nevan sebelum Ivy datang ke kantor. Dan itu kemauan Ivy sendiri tapi Ivy merasa Nevan seharunya tidak menuruti kemauan nya itu. Tersadar dari lamunannya, Ivy berdiri setelah mendengar sebuah ketukan pintu. "Makan siang dulu. Mau saya temenin?" Nevan datang tanpa jasnya. Memperlihatkan badan kekarnya melalui kemeja putih yang bagian tangannya sengaja ia gulung sampai sikut. "Belum lapar," bohong Ivy. "Saya bisa sendiri, nanti karyawan lain curiga kalau Pak Nevan ngajak saya makan siang," tukasnya. "Memang ingin dicurigai." Nevan masuk begitu saja. Ivy melotot. "Saya mau tenang kerja di sini!" tekan Ivy.
Selama mengolesi salep di punggung Nevan detak jantung Ivy tidak berhenti berdetak kencang. Ia bahkan sampai berkeringat padahal hanya mengolesi salep. Sekali lagi HANYA MENGOLESI SALEP! Tapi aktifitas itu terasa lebih berat melebihi pekerja kuli panggul."Sungguh berat," batin Ivy."Ivy?" Panggil Nevan membuat Ivy sedikit terhenyak."Hmm," balas Ivy pura-pura biasa saja. "Nanti Senin kamu boleh langsung kerja. Maksud saya kerja di kantor. Kalau kamu mau," kata Nevan. Ivy berhenti mengolesi salep sejenak. Menatap punggung Nevan untuk beberapa saat. "Tapi saya gak mau orang kantor tahu saya dan Pak Nevan—" ucap Ivy mengandung.Nevan memiringkan tubuhnya, menatap Ivy serius. "Kenapa?""Tidak mau saja." Perempuan itu mengalihkan pandangannya. Pura-pura sibuk membereskan salep dan wadah air hangat di nakas.Dengan hati-hati Nevan menyentuh tangan Ivy, mengelusnya. "Kamu masih kecewa dengan saya?" Tatapan mereka bertemu. Saling menyelami satu sama lain."Saya takut kelewat batas." Suara
"Lo kenapa dah mukanya kaya lagi nahan berak? Dari tadi suntuk. Berantem lagi sama Nevan?" Pria berpakaian rumah sakit yang tengah memiringkan ponselnya menghentikan aktifitas nya sejenak, meski dirinya tengah fokus dengan game-nya, gerak-gerik Ivy tidak luput dari perhatian. Ivy duduk di sofa, menyilangkan tangannya di dada tercenung. Kemudian ia berdecak menegakkan punggungnya. "Gue jadi merasa bersalah. Ternyata Nevan batalin pertemuan sama klien-nya tuh gara-gara dia ketiban bahan-bahan proyek.""Kan!" cibir Qaiz. Mata julidnya melirik sinis Ivy tidak habis pikir. "Terus lu ngapain ke sini bukannya urusin si Nevan.""Kan mau jagain lu! Lagian dia juga berangkat kerja." Ivy kembali merebahkan punggung nya lagi. Nampak tidak peduli meskipun pikirannya dikerubungi rasa khawatir pada Nevan."Yailah ngapain di rumah juga kalo gak ada yang ngurusin. Lu kagak takut apa dia bakal nyari ani-ani?" Soal memprovokasi kemampuan Qaiz jangan diragukan lagi."OON!" Ivy ngegas sampai matanya hend
"Ivy?" Suara lembut Nevan menginterupsi saat tidak ada suara yang menyahut, bahkan suara napas perempuan di belakangnya itu tidak terdengar sama sekali, jika saja tangan dingin Ivy tidak menempel di kulit punggung nya Nevan akan menyangka Ivy sudah pergi secara diam-diam. "Ivy?" Nevan membalikkan tubuhnya hanya untuk menemukan istrinya tengah tercenung. "Kamu sakit?" Tangan kekarnya mendarat di kening sempit Ivy untuk memastikan apakah suhu tubuh istrinya itu panas atau tidak. Tanpa sepatah kata apapun Ivy beranjak meninggalkan Nevan hingga tangan Nevan yang semula di keningnya terkulai ke atas kursi. Lelaki itu pun tidak protes hanya mengamati kemana Ivy pergi dan akan melakukan apa. Rupanya Ivy mengambil kotak p3k yang sudah Nevan siapkan di lemari kecil dekat kulkas. Lalu dia kembali duduk di belakang Nevan. "Lebamnya masih panas atau perih gak?" tanya Ivy pada akhirnya. Air mukanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran nya. Ia nampak ngilu hanya dengan melihatnya, apalagi Neva
Ivy kelimpungan sesampainya di rumah sakit. Tubuh lunglai Qaiz sudah dibawa perawat ke ruang instalasi gawat darurat. Bagaimana Ivy tidak terkejut dengan keadaan Qaiz yang tiba-tiba tidak sadarkan di ranjangnya, dengan peluh yang membanjiri seluruh wajah pucatnya saat ia hendak membangunkan sahabatnya itu untuk makan. Lalu Ivy segera menghubungi ambulans. "Gimana, Dok keadaan temen saya?" Ivy digiring seorang dokter yang ia tafsir umurnya sekitar 30 tahunan atau lebih ke sebuah ruangan yang dihuni beberapa alat medis dan sebuah komputer yang cukup besar di atas meja. Dokter yang berbeda dengan dokter yang pertama menangani Qaiz. "Ibu keluarga pasien?" tanya dokter itu. "Saya temennya, Dok. Keluarganya jauh, dia sendirian tinggal di sini," jelas Ivy. Dokter pria itu mengangguk "Baik, saya jelaskan ya kondisi pasien. Saya telah melakukan beberapa tes dan pemeriksaan. Hasilnya menunjukkan bahwa Pak Qaiz menderita Osteogenesis Imperfecta atau penyakit tulang rapuh. Atau kami biasa men
"Iz ada di dalam? Iz kok password nya beda lagi. QAIZ LO ADA DI DALEM GAK?!!"Seseorang menggedor-gedor pintu dari luar seraya berteriak seperti orang kesetanan. Qaiz yang sedang menggulung tubuhnya dengan selimut menghela napas panjang, menyibakkan selimutnya—Mau tak mau—dengan kesal. Atau jika tidak tetangga apartemen nya akan protes karena merasa terganggu dengan suara perempuan di balik pintunya itu. Dengan susah payah ia bangun meski setelahnya tubuh lelaki itu terasa menggigil karena tercium AC. Dirinya sedang tidak enak badan. Qaiz membuka pintu apartemen dengan wajah masam, pun si pelaku yang sudah mengganggu waktu istirahat nya memasang wajah yang sama. Tidak, lebih buruk dari itu. Dia seperti sudah menangis."Apaan si, Vy! Gue baru mau tidur," omel Qaiz.Ivy menerobos masuk. Berbaring dan menenggelamkan tubuhnya di kasur. Yang lantas membuat kemurkaan Qaiz meningkat. Ia sudah lelah bekerja sampai merasa tubuhnya remuk dan tulangnya di dekap es batu. Dan sekarang ia harus me
Hari ini matahari terasa dua kali lipat panasnya. Kulit wajah Ivy sampai memerah. Padahal ini sudah hampir jam lima sore. Perempuan itu mengambil waktu sejenak untuk mencari makan di luar selepas menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Ivy tidak memiliki jabatan khusus di kantor Nevan atau menjadi salah satu karyawan suaminya itu. Ia hanya bekerja di rumah sesuai arahan Nevan. Perempuan itu lantas masuk ke salah satu coffee shop yang sesekali ia datangi ketika pikirannya tengah penuh. Ia memesan kopi kesukaannya kemudian duduk di meja pojok dekat jendela. Tangannya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Jemarinya berselancar bebas membuka salah satu aplikasi sosial media. Seketika wajahnya berubah sendu setelah melihat postingan Joshua. Tentu saja Ivy masih mengikuti sosial media lelaki itu untuk mencari kabar dia. Di postingan itu tubuh tegapnya membelangi kamera menghadap laut. "Dia masih suka ke pantai?" lirih Ivy.Dulu Ivy lah yang sering mengajak Joshua untuk pergi ke pantai.