Share

3. Lamaran Dadakan

"Joshua stop!" Ivy berteriak berusaha merelai. Namun ia berakhir tersungkur terkena pukulan Joshua. Nevan yang melihat sempat ingin menolong, tapi tubuhnya tidak sanggup untuk bangkit. Semua tulangnya terasa patah. Pukulan Joshua benar-benar tidak main-main.

Lorong lantai 20 benar-benar sepi. Ivy sudah bercucuran air mata, kalut melihat wajah Nevan yang sudah berdarah-darah. Ia menelepon resepsionis dan meminta agar resepsionis itu mengirim beberapa satpam setelah memberitahu jika Joshua sedang berkelahi dengan Nevan.

"Jo! Stop. Joshua cukup!" Ivy kembali berteriak. Pria itu benar-benar seperti kesetanan. Sementara Nevan, entah mengapa dia tidak melawan sama sekali.

Beberapa saat kemudian, tiga satpam dan orang kepercayaan keluarga Joshua datang terpogoh-pohoh. Nevan dan Joshua akhirnya bisa dipisahkan.

"Kenapa kalian bertengkar, hah?!" Orang kepercayaan Joshua bertanya tegas.

Joshua terengah-engah, mata tajamnya masih menatap bengis Nevan yang terkulai di lantai. Amarahnya semakin membara, mana kala Ivy memilih menolong Nevan alih-alih dirinya. "Manusia berengsek!" geramnya.

"Kita bicarakan dengan kepala dingin. Kalian ikut saya." Orang kepercayaan Joshua berjalan mendahui setelah menyuruh tiga satpam itu membawa Joshua dan Nevan.

Ivy hanya bisa tercenung, menatap kepergian mereka sebab kehadirannya memang tidak diperlukan. Akhirnya tumitnya berputar menuju lift, ia menekan tombol lantai dasar seperti yang dilakukannya tadi. Namun kali ini ia benar-benar akan pulang.

****

Tempat tujuannya hanya di ruangan yang di dominasi warna putih ini. Bau obat dan berisiknya tetesan infus sang papa sudah menjadi teman akrab Ivy. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran nya sejenak. Di liriknya sang papa yang tengah tertidur pulas dan tenang.

Wajah babak belur Nevan sekelebat memenuhi ruang kepalanya. Ia menggeleng cepat, seharusnya ia tidak peduli dengan lelaki itu. Ini bukan urusannya.

Ivy berdiri, melangkah menuju kamar mandi. Di dalam ruangan itu, begitu pintu tertutup, dia menyandarkan punggungnya ke tembok, merasakan dinginnya tembok menembus baju. Kamar mandi kecil itu menjadi tempat perlindungan sementara dari kegelisahan yang menyelimuti pikirannya.

Saat air shower mulai mengalir, gemericik air membawa Ivy pada ingatan buruk yang mendadak menyesakkan dadanya. Joshua, pria berengsek yang kabarnya tadi berkelahi dengan Nevan telah berhasil merusak kehidupan yang sudah ia tata dengan rapi. Ivy dipecat dari pekerjaannya karena enggan menerima Joshua kembali setelah dirinya mengungkap kebejatan yang berkali-kali mantan kekasih nya itu lakukan.

Ivy masih bisa memaafkan kan jika Joshua hanya bermain-main dengan perempuan lain, tapi kali ini pria itu menghamili seorang mahasiswi dan kehamilannya sudah menginjak 22 minggu. Perempuan itu menangis dihadapan Ivy meminta pertolongan untuk pertanggungjawaban Joshua. Ivy yang tadinya merasa marah pun berganti dengan rasa kasihan. Lantas mengakhiri hubungan dengan Joshua adalah jalan satu-satunya.

"Joshua yang salah kenapa gue yang dipecat? Mentang-mentang anak pemilik perusahaan mecat orang seenaknya! Gue masuk perusahaan itu dengan usaha gue sendiri," berangnya.

Dengan mata tertutup, Ivy mencoba mengusir bayangan-bayangan itu, tapi ingatan tersebut terlalu kuat. Dia melihat dirinya yang lebih muda, bersembunyi di sudut ruangan, menahan napas, berharap semua itu hanyalah mimpi buruk. Tapi suara keras dan bayangan gelap di balik pintu menghantam kenyataannya dengan kejam. "Berengsek! Joshua Berengsek!" Ivy berteriak tertahan.

Air hangat yang mengalir di tubuhnya sekarang tidak mampu menghapus dingin yang menggigit hatinya saat itu. Ivy menggigil, meskipun suhu air sudah diatur setinggi mungkin. Ingatan itu, meskipun hanya sekejap, meninggalkan bekas yang mendalam, membuatnya kembali merasa terperangkap dalam rasa takut yang sama. "Kuliah Tarunika gimana? Pengobatan papa gimana?

Dengan tarikan napas panjang, Ivy berusaha kembali ke dalam kesadadannya. Papa dan adiknya membutuhkannya. Ivy tidak bisa membiarkan Joshua melihat kehancurannya, ia harus membuktikan bahwa tanpa pria itu Ivy bisa hidup lebih baik dan sukses. Setelah beberapa menit, Ivy mematikan air, mengusap wajahnya, dan bersiap untuk kembali ke ruang inap papanya, membawa tekad baru untuk menghadapi ketakutannya.

Ivy keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan pakaian santai. Namun jantungnya lagi-lagi dibuat bekerja lebih berat hari ini. Pria yang tadi dipukuli Joshua sudah duduk manis mengobrol dengan papanya. Nampak sangat akrab seperti sudah saling mengenal.

"Ngapain Pak Nevan ada di sini?" tanya Ivy.

Dua pria berbeda usia itu menoleh bersamaan. Nevan tersenyum diantara luka robek bibirnya.

"Ketemu kamu ngapain lagi? Sekalian jengukin papa," ujarnya yang langsung mendapatkan anggukan dari Galih.

"Oh, kamu bicara mau pindah itu maksudnya ke rumah Nak Nevan, Nak? Kenapa kamu gak cerita kalau dalam waktu dekat ini kalian akan menikah?"

"Hah?" Ivy melongo, matanya bergulir menatap Nevan meminta penjelasan.

"Loh, saya kan sudah bilang sama kamu mau ketemu papa kamu untuk meminta restu," jelas Nevan santai. Di wajahnya tidak sedikitpun memperlihatkan segurat keraguan, bahkan setelah ia dihajar habis-habisan oleh Joshua tadi.

"Pak Nevan bilang minggu depan?" cicit Ivy. Ia tidak memiliki dalih untuk menolak jika tahu-tahu pria ini sudah duduk mengobrol panjang lebar dengan papanya. Jika tahu begini, Ivy tadi tidak berlama-lama di kamar mandi. Ia bisa lebih dulu menyeret Nevan ke luar sebelum papanya menjadi korban keahliannya dalam memperdaya seseorang.

Pikir saja, jika Nevan tidak memiliki kemampuan itu, ia tidak bisa bertahan lama bekerja dengan Joshua.

"Saya pikir itu terlalu lama. Jadi saya datang sekarang," Nevan balas berbisik.

"Papa seneng kalau nak Nevan bisa jagain kamu dan gantiin posisi Joshua di hati kamu. Papa gak tau kalau Joshua udah lama putus sama kamu, Nak. Papa cuma bisa dukung kamu dan doa kan kalian supaya selalu hidup bahagia," ucap Galih seraya menepuk pelan punggung Nevan.

"Terima kasih, Pa," Nevan menimpali.

"Sebenernya papa sedikit kecewa alasan kalian menikah. Tapi mau dikata apa, nasi sudah menjadi bubur. Papa harap Nak Nevan bisa menjaga Ivy dengan baik. Papa juga ngerti sebab papa pernah muda. Tapi dengan kejujuran Nak Nevan kemari saja, sudah membuat papa sedikit tenang. Papa pikir mungkin pernikahan kalian akan jauh lebih baik jika segera diselenggarakan."

Mendengar penuturan sang papa, semua organ dalam perut Ivy mendadak terasa merosot. "Pak Nevan ceritain kejadian semalam sama papa saya? Semuanya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status