"Gimana di kantor, Ka?" Sambungan telepon Ivy akhirnya tersambung. Ivy menghubungi Taraka sekretaris baru Joshua yang dulunya adalah sekretaris dirinya. Sebab itu ia akrab dan tidak ragu untuk menghubungi Taraka.
"Wah kacau, Mba. Setelah Mba resign, Pak Joshua jadi gegabah. Grasak-grusuk, bahkan terakhir dia adu mulut sama papinya di kantor sampai kantor heboh karena Pak Joshua dengan gegabahnya memulai pembangunan hotel di Bali tanpa sepengetahuan papinya," kata Taraka. Ivy melihat ke sekeliling kafe yang tengah ia kunjungi itu. Takut-takut jika akan ada orang lain yang akan mendengar pembicaraannya dengan Taraka. Suaranya sedikit ia kecilkan. "Kenapa, Ka? Kenapa papinya marah? Bukannya itu kemauan beliau?" "Tempat itu belum dapet izin. Tapi Pak Joshua kekeh. Dia juga sempet suruh saya datengin Mentri buat cepetin proses izinnya tapi Mentri menolak sebab memang tempat itu sangat di jaga. Dan sekarang pembangunannya dihentikan karena masyarakat di sana demo." "Terus?" "Para investor membatalkan kerjasama mereka." Disebrang sana Taraka menghela napas. "Sekarang kerjaan saya nambah, Mba. Ngurus Pak Joshua sama anterin dia pulang kalau dia mabuk. Pak Joshua jadi sering mabuk Mba sekarang. Saya jadi ikut stres." "Kamu yang sabar, ya?" "Ya mau gimana lagi, Mba. Cari kerja susah sekarang. Oh iya, gimana kabarnya Mba. Pasti bahagia ya setelah nikah sama Pak Nevan." Bahagia? Ivy tertawa miris. Menggenggam gelas kopinya erat. "Ya semoga. Kalau gitu makasih ya, Ka infonya. Nanti kapan-kapan saya teraktir." "Gak masalah, Mba. Santai aja." Sambungan telepon terputus. Ivy jadi teringat ucapan Taraka barusan. Ia menatap layar ponselnya gamang. "Boro-boro bahagia, Ka. Yang ada gue ditipu. Orang gila mana yang nikah sama orang yang baru dia kenal bahkan nomor hp gue aja dia gak punya." "GUE ORANG GILANYA!!" Lantas Ivy menggelengkan kepalanya. Berharap bayang-bayang wajah lembut Nevan yang berhasil menipunya itu menyingkir. "Gue harus hubungin Pak Ferdi sekarang." **** Sudah hari ketujuh semenjak Ivy pergi dari rumahnya tidur Nevan tidak nyenyak. Malam yang panjang ia lalui dengan perasaan resah. Lelaki itu tidak cukup berhak untuk mengkhawatirkan Ivy sebab penyebab istrinya itu pergi adalah dirinya sendiri, namun ia merasa bersalah kepada ayah Ivy karena sudah mengkhianati kepercayaannya. Ia tidak bisa menjaga Ivy. Tatapannya gamang diantara remang lampu di sisi nakasnya. Nevan tidak bisa melakukan apapun sebab ia tidak cukup mengenal Ivy. Ia tidak bisa mencari Ivy karena ia tidak tahu dengan siapa dia berteman. Membingungkan. Helaan napasnya terdengar lebih menyakitkan kala itu. Saat waktu seolah berlari cepat, mengasihani Nevan, tidak ingin melihat lelaki itu terus berkelahi dengan rasa bersalahnya. Mungkin jam sudah muak melihat wajah pucat Nevan yang terus memelototinya. Nevan mendahului tugas baskara. Ia duduk untuk menetralkan rasa pening kepalanya. Kemudian tubuh lunglainya dipaksa bangun untuk memulai hari lebih sibuk dari hari sebelumnya. Setidaknya jika ia sibuk ia tidak terlalu memikirkan Ivy kapan dia akan pulang. Percayalah menunggu tanpa sebuah kepastian itu seperti tenggelam di tengah laut lepas. Tidak tahu kemana arahnya dan dimana ujungnya. Rapi dengan pakaiannya Nevan bergegas menuju kantornya. Tidak terlalu lama untuk sampai di kantor perusahaan nya. Seperti dugaannya karyawan kantornya belum ada yang masuk, bukan salah mereka tapi dirinya lah yang datang terlalu pagi. Ia melenggang menuju ruangannya dan meminta dibuatkan kopi sebelum ia memulai pekerjaan kepada office boy yang selesai mengepel di ruangannya. "VAN ADA BERITA BAGUS!" Jantung Nevan hampir merosot ke kantung kemih, Unmesh menyerobot masuk ke ruangannya dengan suara tingginya. Wajahnya berseri mengalahkan sinar matahari yang mulai naik, berlari girang seraya menenteng iPad ditangannya. "Kalo bisa gue gunting pita suara lo, gue gak akan mikir dua kali," celetuk Nevan dengan nada ketus. Unmesh memegang leher berjakunnya itu ngeri. "Emang gini ya efek samping ditinggalin istri itu?" "Keluar atau—" "Bentar buset." Unmesh mendekat. "Liat ada apa?" Ia menyodorkan iPad Nevan melengos. "Bisa langsung kasih tau gue gak?" Apa yang harus ia lihat dari ratusan deretan email itu? Sekarang giliran Unmesh yang berdecak heran. "Literasi Dilan! Ternyata bener Indonesia krisis membaca." Lelaki itu geleng-geleng kepala. "Kalau gue cari sendiri tugas lo apa kalau gitu?" Singkat Nevan. Unmesh cengengesan sembari menggaruk tengkuknya. "Oh iya hehe. Ini sekretaris Pak Ferdi hubungin perusahaan buat join jadi investor kita!" "Serius?" tanya Nevan untuk memastikan. "Tiga rius Merkurius penus Jupiter matahari! Tadi gue sempet dihubungin juga sama sekretaris nya. Dan beliau minta ketemu nanti jam dua siang," jelas Unmesh. "Oke lo resecedule jadwal gue hari ini." "Siap bang mesi." Unmesh memutar bola matanya. Berbalik dengan tubuh lesu. **** "Saya senang bisa bekerja sama dengan anda." Dua lelaki berbeda usia itu saling menjabat tangan seraya menampilkan senyum terbaik mereka. Nevan berhasil meyakinkan Ferdi sang investor besar itu. Ia amat bangga pada dirinya sendiri. Proyeknya bisa segera dilaksanakan. "Terima kasih atas kepercayaan yang sudah Bapak beri kepada perusahaan kami. Selamat bergabung." Senyum cerah kembali terlihat di wajah Nevan. "Saya senang bisa bergabung dengan perusahaan Pak Nevan. Persiapan dan rencananya tertata dan menurut saya sangat menjanjikan. Strategi yang matang yang mendorong keyakinan saya untuk tidak berpikir dua kali untuk bergabung dengan Pak. Nevan." Ferdi kembali tersenyum. "Terima kasih." "Oh iya, saya juga harus berterima kasih kepada istri Pak Nevan karena sudah mengenalkan dan memberi kontak perusahaan Pak Nevan." Ucapan Ferdi barusan berhasil membuat dada Nevan bergebup kencang. Ia melirik Unmesh di sampingnya. "Istri saya?" tanya Nevan memastikan dengan kerutan di dahinya. Meski Nevan terlihat baik-baik saja dan selalu tenang dalam situasi apapun, sungguh pikirannya tidak pernah tidak berisik. Setelah mengenal Ivy. "Iya, sampaikan terima kasih saya kepada Bu Ivy. Kapan-kapan kita bisa makan bersama tanpa urusan bisnis." Otak Nevan sejenak mencerna, tiba-tiba saja seperti ada benda padat yang menghambat kerja otaknya. Lantas ia hanya bisa tersenyum samar. "Nanti saya sampaikan." Hampir satu setengah jam mengobrol akhirnya Ferdi pamit terlebih dahulu. Lalu tiba-tiba Nevan teringat sesuatu. Ia segera membereskan barang-barangnya dan pergi begitu saja dengan tergesa. Teriakan Unmesh ia abaikan. Di dalam kepalanya terus berkata jika ia harus segera pulang. Mobil mengkilapnya membelah jalanan ibu kota yang cukup ramai sore itu. Jemarinya mengetuk-ngetuk stir mobil gelisah. Mungkinkah asumsinya benar. Nevan berdecak keras saat harus terpaksa berhenti sebab lampu berubah menjadi merah. "Sial!" eluhnya. Nada dering hpnya berbunyi, Nevan segera menyambar ponselnya. "Ivy pulang?"Ivy tidak pernah membayangkan akan kembali ke rumah minimalis bergaya modern yang ia pilih sendiri bersama Nevan setelah mereka memutuskan untuk pindah dari apartemen lelaki itu. Kejadiannya terlalu cepat dan mengejutkan. Perempuan itu menatap rumah Nevan untuk beberapa saat. Lalu ia masuk dengan kunci yang ia miliki. Kedua bola matanya menyusuri setiap sudut rumah itu. Masih rapi dan bersih. Nevan sepertinya memang tipe orang yang memperhatikan kebersihan. Kaki Ivy ia seret menuju dapur, membuka kulkas. Di sana hanya terdapat beberapa butir telur dan seikat bayam yang sebagian sudah kering mungkin karena Nevan tidak sempat memasak.Ivy melongok jam di tangannya. Pukul enam sore. Sebentar lagi Nevan pulang. Ia menggulung lengan kemejanya, mengambil seikat bayam dan tiga butir telur dari kulkas. Tangan nya lihai memotong bayam ddilanjutkan dengan mengaduk telur yang sudah ia pecahkan. Aroma bawang goreng pun menguar ke semua ruangan. Tanpa Ivy sadari, seseorang membuka pintu, masuk de
Hampir tengah malam, itu berarti Ivy dan Nevan sudah menghabiskan lima jam mereka terbuang sia-sia hanya untuk berenang diantara rasa-rasa yang perlahan tenggelam dalam kesalahpahaman. Duduk berjarak satu meter di atas sofa menatap layar televisi tanpa sebuah obrolan. Tidak ada yang bersuara atau sekadar membahas soal film yang keduanya tengah tonton. Atau rasa dingin yang membuat hati mereka beku. Ivy sebenarnya tidak terganggu dengan situasi ini, sebab asing sudah lama akrab dengannya. Dan bukankah seharusnya seperti ini?Di sisi lain Nevan tengah bergelut dengan isi kepalanya yang mendadak penuh, namun mendadak membatu. Pun dengan perasaannya yang sedikit merasa kecewa setelah mengetahui alasan Ivy kembali ke rumah nya. Alasan bukan dirinya adalah penyebab Nevan terdiam sedari tadi."Saya udah ngantuk, saya tidur duluan." Ivy berdiri tanpa menoleh ke arah Nevan kemudian pergi begitu saja. Nevan menengok hanya untuk melihat Ivy masuk ke kamar tamu."Ivy beneran sakit hati sama say
"Hi, pa," sapa Ivy sesampainya di kamar rawat sang papa. Tersenyum merekah saat melihat kondisi ayahnya yang semakin hari semakin terlihat sehat. Ia meletakan satu paper bag yang ia bawa di nakas lantas duduk di kursi di samping bad."Ke sini sama siapa?" Galih melongok pintu yang sudah tertutup seperti mencari seseorang."Sendirian. Kenapa emang, Pa?""Kenapa gak bareng sama Nevan tadi?""Hah?" Kedua alis Ivy bertaut, keheranan. "Nevan ke sini?""Iya. Dia ngurusin administrasi terus ngobrol sebentar. Papa pikir dia buru-buru karena mau jemput kamu," jelas Galih."Engga, Pa. Aku ke sini sendirian. Eh gak sengaja tadi ketemu Qaiz di parkiran. Kita bareng ke sininya."Galih menegakkan tubuhnya. Kening sempitnya berkerut. "Qaiz kenapa memang?""Akhir-akhir ini katanya dia suka nyeri-nyeri sendi. Gak tau kenapa." Ivy menaikan kedua pundaknya, acuh. Mungkin memang Qaiz sudah cukup tua. "Oh... Coba nanti kamu tanyain ke Qaiz. Kasih tau papa, ya?" Galih sudah menganggap Qaiz seperti anaknya
Ivy terbangun dengan kepala yang terasa seperti dihantam palu godam. Matanya masih setengah tertutup, mencoba menyesuaikan cahaya lampu yang menyerang penglihatan nya. Dengan tubuh yang terasa berat, ia perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur, merasakan setiap sendi dan ototnya berteriak protes.Ia duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Mulutnya kering dan berbau tidak sedap, sisa-sisa alkohol dari semalam masih terasa. Dengan mata setengah terpejam, Ivy mengamati kamar yang ditidurinya berantakan—pakaian yang berserakan di lantai, dan—pakaian berserakan? "Shit!!" erangnya tertahan. Ivy membulatkan matanya. Namun ia dapat bernapas dengan lega setelah memeriksa pakaiannya yang masih lengkap menempel di badan kurusnya. Ia melirik kopernya yang bersandar di tembok. "Selamat..., " katanya. Ivy khawatir ia melakukan hal bodoh saat semalam mabuk berat.Sebuah pertanyaan besar muncul dibenaknya, dimanakah sekarang dirinya berada? "Kata siapa kamu selamat?" Pria be
Ivy melangkah cepat, derap sepatunya memantul keras di lantai koridor. Wajahnya memerah, matanya berkilat-kilat penuh amarah. Ia baru saja menerima kabar bahwa lamaran kerjanya ditolak lagi—untuk kesekian puluh kalinya. Semua penolakan itu berujung pada satu nama: Finn Joshua Noman Tyaga. Pintu kantor Joshua terbuka lebar. Tanpa mengetuk, Ivy menerobos masuk, membuat beberapa karyawan yang berada di sekitar ruang kerja itu terperangah. Joshua yang sedang duduk di meja kerjanya, tampak tenang, nyaris tidak terkejut melihat Ivy datang dengan amarah yang meluap."Joshua!" Ivy berseru keras, suaranya menggema di ruangan yang luas. "Setelah kamu selingkuhin aku dan punya anak dari orang lain kamu tutup semua akses aku buat gak bisa kerja di manapun?"Joshua menatap Ivy dengan tatapan meremehkan. Dia tersenyum. Senyum yang dulu Ivy elu-elu kan, sekarang ia bahkan tidak sudi hanya untuk melihatnya. "Bukannya aku udah peringatin kamu? Kamu gak bisa lepas dari aku sayang." Ia berdiri dari dud
"Joshua stop!" Ivy berteriak berusaha merelai. Namun ia berakhir tersungkur terkena pukulan Joshua. Nevan yang melihat sempat ingin menolong, tapi tubuhnya tidak sanggup untuk bangkit. Semua tulangnya terasa patah. Pukulan Joshua benar-benar tidak main-main. Lorong lantai 20 benar-benar sepi. Ivy sudah bercucuran air mata, kalut melihat wajah Nevan yang sudah berdarah-darah. Ia menelepon resepsionis dan meminta agar resepsionis itu mengirim beberapa satpam setelah memberitahu jika Joshua sedang berkelahi dengan Nevan. "Jo! Stop. Joshua cukup!" Ivy kembali berteriak. Pria itu benar-benar seperti kesetanan. Sementara Nevan, entah mengapa dia tidak melawan sama sekali. Beberapa saat kemudian, tiga satpam dan orang kepercayaan keluarga Joshua datang terpogoh-pohoh. Nevan dan Joshua akhirnya bisa dipisahkan. "Kenapa kalian bertengkar, hah?!" Orang kepercayaan Joshua bertanya tegas. Joshua terengah-engah, mata tajamnya masih menatap bengis Nevan yang terkulai di lantai. Amarahnya semak
Tadi, setibanya Nevan di ruang rawat papanya Ivy dengan wajah babak belur, papanya Ivy segera memanggil seorang suster dan meminta agar luka Nevan segera diobati, namun pria itu segera menolak dengan halus. Ia hanya meminta kontak obat itu ditinggalkan dan lukanya akan dirinya obati sendiri. Dan alasan itu ia buat agar Ivy lah yang mengobati luka wajahnya. Perempuan yang beberapa menit lalu menyeretnya keluar dan membawanya ke tengah taman dengan sebuah kejengkelan yang terbelenggu di tengah kerongkongan. "Pak Nevan gila apa?! Papa saya sakit jantung loh, Bapak gak takut kalau tiba-tiba papa saya masuk ICU gara-gara cerita Bapak?!" Ivy berkacak pinggang, menghalangi sinar matahari yang menyembur wajah babak belur Nevan. Nevan sudah terduduk di atas kursi besi panjang, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang terasa patah-patah. "Buktinya enggak kan?" Santai Nevan sedikit menengadah. "Ya emang enggak, tapi kalau nanti papa saya kepikiran gimana? Bapak mau tanggung jawab?"
Ivy menatap semua tamu undangannya yang sama sekali tidak ia kenal. Dalam balutan gaun pengantin yang megah namun sederhana, ia berdiri di sudut ruangan, mencoba menghilangkan kegelisahan yang merasuk di hatinya. Pernikahannya baru selesai dilaksanakan satu jam lalu, namun perasaan ragu masih terus menghantui pikirannya.Para tamu bersorak gembira, berbincang-bincang dan tertawa dalam suasana pesta yang meriah. Namun, Ivy merasa terasing di tengah keramaian itu. Pandangannya tertuju pada Nevan, suaminya yang kini sedang berbincang dengan teman-teman dan kerabatnya. Nevan tampak begitu bahagia, seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Tapi Ivy, di sisi lain, merasa jiwanya terombang-ambing di antara kebahagiaan dan keraguan.Tidak hanya Nevan yang nampak bahagia, papa dan adiknya juga tidak henti memamerkan senyum hangat. Bayangan pernikahan yang sempurna telah lama Ivy impikan, namun kini ia berdiri di sini, merasa asing di hari yang seharusnya menjadi momen paling berharga dalam hidup