Share

7. Kejutan

"Gimana di kantor, Ka?" Sambungan telepon Ivy akhirnya tersambung. Ivy menghubungi Taraka sekretaris baru Joshua yang dulunya adalah sekretaris dirinya. Sebab itu ia akrab dan tidak ragu untuk menghubungi Taraka.

"Wah kacau, Mba. Setelah Mba resign, Pak Joshua jadi gegabah. Grasak-grusuk, bahkan terakhir dia adu mulut sama papinya di kantor sampai kantor heboh karena Pak Joshua dengan gegabahnya memulai pembangunan hotel di Bali tanpa sepengetahuan papinya," kata Taraka.

Ivy melihat ke sekeliling kafe yang tengah ia kunjungi itu. Takut-takut jika akan ada orang lain yang akan mendengar pembicaraannya dengan Taraka. Suaranya sedikit ia kecilkan. "Kenapa, Ka? Kenapa papinya marah? Bukannya itu kemauan beliau?"

"Tempat itu belum dapet izin. Tapi Pak Joshua kekeh. Dia juga sempet suruh saya datengin Mentri buat cepetin proses izinnya tapi Mentri menolak sebab memang tempat itu sangat di jaga. Dan sekarang pembangunannya dihentikan karena masyarakat di sana demo."

"Terus?"

"Para investor membatalkan kerjasama mereka." Disebrang sana Taraka menghela napas. "Sekarang kerjaan saya nambah, Mba. Ngurus Pak Joshua sama anterin dia pulang kalau dia mabuk. Pak Joshua jadi sering mabuk Mba sekarang. Saya jadi ikut stres."

"Kamu yang sabar, ya?"

"Ya mau gimana lagi, Mba. Cari kerja susah sekarang. Oh iya, gimana kabarnya Mba. Pasti bahagia ya setelah nikah sama Pak Nevan."

Bahagia? Ivy tertawa miris. Menggenggam gelas kopinya erat. "Ya semoga. Kalau gitu makasih ya, Ka infonya. Nanti kapan-kapan saya teraktir."

"Gak masalah, Mba. Santai aja."

Sambungan telepon terputus. Ivy jadi teringat ucapan Taraka barusan. Ia menatap layar ponselnya gamang. "Boro-boro bahagia, Ka. Yang ada gue ditipu. Orang gila mana yang nikah sama orang yang baru dia kenal bahkan nomor hp gue aja dia gak punya."

"GUE ORANG GILANYA!!"

Lantas Ivy menggelengkan kepalanya. Berharap bayang-bayang wajah lembut Nevan yang berhasil menipunya itu menyingkir. "Gue harus hubungin Pak Ferdi sekarang."

****

Sudah hari ketujuh semenjak Ivy pergi dari rumahnya tidur Nevan tidak nyenyak. Malam yang panjang ia lalui dengan perasaan resah. Lelaki itu tidak cukup berhak untuk mengkhawatirkan Ivy sebab penyebab istrinya itu pergi adalah dirinya sendiri, namun ia merasa bersalah kepada ayah Ivy karena sudah mengkhianati kepercayaannya. Ia tidak bisa menjaga Ivy.

Tatapannya gamang diantara remang lampu di sisi nakasnya. Nevan tidak bisa melakukan apapun sebab ia tidak cukup mengenal Ivy. Ia tidak bisa mencari Ivy karena ia tidak tahu dengan siapa dia berteman. Membingungkan. Helaan napasnya terdengar lebih menyakitkan kala itu. Saat waktu seolah berlari cepat, mengasihani Nevan, tidak ingin melihat lelaki itu terus berkelahi dengan rasa bersalahnya. Mungkin jam sudah muak melihat wajah pucat Nevan yang terus memelototinya.

Nevan mendahului tugas baskara. Ia duduk untuk menetralkan rasa pening kepalanya. Kemudian tubuh lunglainya dipaksa bangun untuk memulai hari lebih sibuk dari hari sebelumnya. Setidaknya jika ia sibuk ia tidak terlalu memikirkan Ivy kapan dia akan pulang. Percayalah menunggu tanpa sebuah kepastian itu seperti tenggelam di tengah laut lepas. Tidak tahu kemana arahnya dan dimana ujungnya.

Rapi dengan pakaiannya Nevan bergegas menuju kantornya. Tidak terlalu lama untuk sampai di kantor perusahaan nya. Seperti dugaannya karyawan kantornya belum ada yang masuk, bukan salah mereka tapi dirinya lah yang datang terlalu pagi. Ia melenggang menuju ruangannya dan meminta dibuatkan kopi sebelum ia memulai pekerjaan kepada office boy yang selesai mengepel di ruangannya.

"VAN ADA BERITA BAGUS!"

Jantung Nevan hampir merosot ke kantung kemih, Unmesh menyerobot masuk ke ruangannya dengan suara tingginya. Wajahnya berseri mengalahkan sinar matahari yang mulai naik, berlari girang seraya menenteng iPad ditangannya.

"Kalo bisa gue gunting pita suara lo, gue gak akan mikir dua kali," celetuk Nevan dengan nada ketus.

Unmesh memegang leher berjakunnya itu ngeri. "Emang gini ya efek samping ditinggalin istri itu?"

"Keluar atau—"

"Bentar buset." Unmesh mendekat. "Liat ada apa?" Ia menyodorkan iPad

Nevan melengos. "Bisa langsung kasih tau gue gak?" Apa yang harus ia lihat dari ratusan deretan email itu?

Sekarang giliran Unmesh yang berdecak heran. "Literasi Dilan! Ternyata bener Indonesia krisis membaca." Lelaki itu geleng-geleng kepala.

"Kalau gue cari sendiri tugas lo apa kalau gitu?" Singkat Nevan.

Unmesh cengengesan sembari menggaruk tengkuknya. "Oh iya hehe. Ini sekretaris Pak Ferdi hubungin perusahaan buat join jadi investor kita!"

"Serius?" tanya Nevan untuk memastikan.

"Tiga rius Merkurius penus Jupiter matahari! Tadi gue sempet dihubungin juga sama sekretaris nya. Dan beliau minta ketemu nanti jam dua siang," jelas Unmesh.

"Oke lo resecedule jadwal gue hari ini."

"Siap bang mesi." Unmesh memutar bola matanya. Berbalik dengan tubuh lesu.

****

"Saya senang bisa bekerja sama dengan anda." Dua lelaki berbeda usia itu saling menjabat tangan seraya menampilkan senyum terbaik mereka.

Nevan berhasil meyakinkan Ferdi sang investor besar itu. Ia amat bangga pada dirinya sendiri. Proyeknya bisa segera dilaksanakan.

"Terima kasih atas kepercayaan yang sudah Bapak beri kepada perusahaan kami. Selamat bergabung." Senyum cerah kembali terlihat di wajah Nevan.

"Saya senang bisa bergabung dengan perusahaan Pak Nevan. Persiapan dan rencananya tertata dan menurut saya sangat menjanjikan. Strategi yang matang yang mendorong keyakinan saya untuk tidak berpikir dua kali untuk bergabung dengan Pak. Nevan." Ferdi kembali tersenyum.

"Terima kasih."

"Oh iya, saya juga harus berterima kasih kepada istri Pak Nevan karena sudah mengenalkan dan memberi kontak perusahaan Pak Nevan."

Ucapan Ferdi barusan berhasil membuat dada Nevan bergebup kencang. Ia melirik Unmesh di sampingnya. "Istri saya?" tanya Nevan memastikan dengan kerutan di dahinya.

Meski Nevan terlihat baik-baik saja dan selalu tenang dalam situasi apapun, sungguh pikirannya tidak pernah tidak berisik. Setelah mengenal Ivy.

"Iya, sampaikan terima kasih saya kepada Bu Ivy. Kapan-kapan kita bisa makan bersama tanpa urusan bisnis."

Otak Nevan sejenak mencerna, tiba-tiba saja seperti ada benda padat yang menghambat kerja otaknya. Lantas ia hanya bisa tersenyum samar. "Nanti saya sampaikan."

Hampir satu setengah jam mengobrol akhirnya Ferdi pamit terlebih dahulu. Lalu tiba-tiba Nevan teringat sesuatu. Ia segera membereskan barang-barangnya dan pergi begitu saja dengan tergesa. Teriakan Unmesh ia abaikan. Di dalam kepalanya terus berkata jika ia harus segera pulang.

Mobil mengkilapnya membelah jalanan ibu kota yang cukup ramai sore itu. Jemarinya mengetuk-ngetuk stir mobil gelisah. Mungkinkah asumsinya benar. Nevan berdecak keras saat harus terpaksa berhenti sebab lampu berubah menjadi merah.

"Sial!" eluhnya.

Nada dering hpnya berbunyi, Nevan segera menyambar ponselnya.

"Ivy pulang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status