Share

2. Racun Keluarga

Baru saja meletakkan tas besarnya di lantai, Kaira harus kembali menahan pekikan di telinganya. Dia bahkan belum mendapat kesempatan untuk duduk atau sekedar meneguk segelas air. 

"Apa sih yang ada di pikiranmu, nduk? Kenapa kamu malah berhenti kerja dan balik ke kampung tanpa apa-apa? Kamu nggak ingat bagaimana perjuangan bapakmu supaya kamu bisa bayar kuliah?"

Sudah dia duga. Selama empat jam perjalanan dari ibukota kembali ke kampungnya, Kaira sudah berusaha untuk menyiapkan diri dan menebalkan telinga mendengar ocehan dari bibinya. 

Setelah menyerahkan surat pengunduran diri bulan lalu, Kaira menyelesaikan sisa masa kerjanya dengan lebih banyak  work from home. Selama itu juga dia berupaya untuk mencari pekerjaan baru. Sialnya, entah mengapa sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok meskipun pengalamannya sebagai staf pemasaran sudah menyentuh empat tahun. Beberapa interviewer menyayangkan bahwa dengan kualifikasinya, pencapaian Kaira bisa dianggap justru tidak sebanding.

Apalagi kalau bukan karena tidak ada hasil kerja yang bisa dia catatkan atas namanya sendiri.

Tempat tinggal? Selama bekerja di ibukota, Kaira tinggal di sebuah rumah indekos murah. Pikirnya, dia tidak perlu hunian yang mewah. Cukup yang sederhana, masih terjangkau, dan dekat dari kantor. Tapi sayangnya, hampir bertepatan dengan pengunduran dirinya, Kaira terpaksa harus keluar dari rumah tersebut sebab tanahnya akan segera diratakan pemerintah. Pemilik kos tidak bisa melakukan apapun selain pasrah mengakhiri masa persewaan tersebut.

Kaira bertanya-tanya, apa sebenarnya kesalahannya hingga dia menjadi sial begini. Usianya yang baru saja sedikit diatas seperempat abad juga membuatnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Kenapa, sih? Memangnya orang-orang diatas usia dua puluh lima sudah tidak lagi butuh makan?

Jangan tanya soal tabungan. Kaira punya, tapi memang tidak banyak. Hasil kerjanya selama bertahun-tahun dia gunakan untuk menghidupi keluarga besarnya di kampung. Pasalnya, Kaira tidak hanya menanggung keluarga kecilnya saja. Wanita itu juga masih membiayai sekolah adik-adik sepupu dan bahkan bibi yang merupakan saudara ayahnya. Mereka semua tinggal dalam satu rumah dan kasarnya dapat Kaira sebut sebagai menumpang hidup pada keluarganya.

Kalau saja ayahnya bukan anak sulung dan ibunya bukan wanita sabar, Kaira sudah memastikan bahwa bibinya itu tidak akan bisa mengusik keluarganya. 

"Aira dan Aidan sebentar lagi lulus SMA. Mereka juga masih butuh bantuan dana. Tapi kalau kamu sudah tidak bekerja lagi, darimana kamu bisa membiayai sekolah adik-adikmu? Kamu nggak ingat? Kamu lho yang dulu memaksa supaya mereka tetap sekolah dan mengatakan bahwa kamu sanggup membiayai mereka!"

Kaira benar-benar pusing mendengar ocehan dari adik ayahnya itu. Janda anak dua yang akhirnya kembali tinggal dengan kakak sulungnya sebab ditelantarkan oleh mantan suaminya. Masih cukup bugar, usia tiga puluhan akhir menjelang empat puluh. Seharusnya masih bisa bekerja atau membantu keluarga, hanya saja karena terbiasa dimanja dan hidup enak, dia memilih untuk tetap menjadi beban keluarga. 

Helaan nafas Kaira terdengar cukup berat. Entah karena mendengar ocehan bibinya atau justru menyesali  kebodohannya sebab bersikap idealis sehingga dulu dia dengan sadar mengatakan akan menanggung biaya sekolah adik-adik sepupunya itu.

Sebenarnya Kaira bisa dibilang berasal dari keluarga menengah. Ayahnya seorang Pegawai Negeri Sipil dengan jabatan dan golongan yang lumayan. Ibunya mengelola sebuah toko kelontong kecil yang cukup ramai di dekat rumahnya. Keuangannya tidaklah selalu sulit kalau untuk hidup cukup dan sederhana.

Hanya saja, bukan berarti mereka hidup tanpa kesulitan. Pasangan yang sama-sama merupakan anak sulung itu terbiasa untuk hidup keras dan mandiri sejak kecil. Sayangnya, keunggulan mereka justru seolah diperas oleh keluarga besar masing-masing.  

Bukan hanya Bude Mita dan anak-anaknya yang ditanggung oleh Kaira sekeluarga. Kerap kali anggota keluarga lain meminjam uang dengan dalih untuk pendidikan anak ataupun kehidupan sehari-hari mereka. Namun hari berganti tahun, pinjaman itu tak kunjung kembali dan justru semakin bertambah. Alasannya selalu berakhir pada kalimat bahwa sebagai keluarga mereka tidak boleh terlalu perhitungan. 

Sialnya, Kaira selalu merasa bahwa kedua orang tuanya terlalu baik meskipun selalu dimanfaatkan oleh keluarga besar mereka.

Orang tuanya sebenarnya tidak berniat membebani Kaira dengan tanggung jawab mengurus keluarga. Kaira saja yang merasa bahwa sebagai seorang anak dia harus mampu membantu meringankan beban kedua orang tuanya. Apalagi menyangkut dua adik sepupunya yang hampir tidak disekolahkan oleh ibu mereka sendiri. Kaira berharap dengan pendidikan, adik-adiknya itu nantinya bisa menjadi mandiri secara finansial dan menyokong kehidupan keluarganya sendiri. Tidak seperti bibi dan paman-pamannya yang terlalu bergantung pada kakak mereka bahkan saat masing-masing sudah berkeluarga seperti sekarang ini.

"Bapak sama ibu belum pulang ya, Bude?"

Kaira memilih untuk mengacuhkan omelan budenya itu. Dia mengambil segelas air untuk mengaliri kerongkongannya meskipun tanpa ditawari lebih dulu.

"Kamu itu diajak ngomong kok malah mengalihkan percakapan? Nggak sopan banget sama orang tua! Oh iya! Kamu kan juga sudah cukup berumur! Bukannya cari suami dan nikah supaya mengurangi beban keluarga, ini malah mau nganggur di rumah! Malu dong sama gelar kamu itu!"

Semakin dibiarkan mulutnya justru semakin kurang ajar. Kaira bahkan tidak tahu lagi harus menanggapi sang bibi dengan cara seperti apa. Dia tidak mungkin melempar kata-kata kasar karena pada akhirnya dia juga yang akan disalahkan oleh kedua orang tuanya.

Kaira menarik tas miliknya lalu berjalan menuju kamarnya yang sudah lama tidak ditempati. Kamar tersebut nampaknya sudah sempat dibersihkan. Kemarin Kaira memang sempat menelepon sang ibu dan menceritakan rencananya untuk tinggal di rumah sementara waktu.

"Heh, Kaira! Kok main nyelonong aja, sih?! Dengerin apa kata bude! Lebih baik kamu segera menikah dan hidup sama suami daripada menyusahkan orang tua! Kasian Mas Arif punya anak kuliahan tapi jadi beban tua!"

Helaan nafas Kaira semakin berat, kali ini wanita itu membalik badan dan menatap malas sang bude yang menurutnya sudah keterlaluan. 

"Itu maksudnya bude lagi ngomongin diri sendiri? Salah pilih suami terus masih jadi beban buat kakak sendiri?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status