Baru saja meletakkan tas besarnya di lantai, Kaira harus kembali menahan pekikan di telinganya. Dia bahkan belum mendapat kesempatan untuk duduk atau sekedar meneguk segelas air.
"Apa sih yang ada di pikiranmu, nduk? Kenapa kamu malah berhenti kerja dan balik ke kampung tanpa apa-apa? Kamu nggak ingat bagaimana perjuangan bapakmu supaya kamu bisa bayar kuliah?"
Sudah dia duga. Selama empat jam perjalanan dari ibukota kembali ke kampungnya, Kaira sudah berusaha untuk menyiapkan diri dan menebalkan telinga mendengar ocehan dari bibinya.
Setelah menyerahkan surat pengunduran diri bulan lalu, Kaira menyelesaikan sisa masa kerjanya dengan lebih banyak work from home. Selama itu juga dia berupaya untuk mencari pekerjaan baru. Sialnya, entah mengapa sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok meskipun pengalamannya sebagai staf pemasaran sudah menyentuh empat tahun. Beberapa interviewer menyayangkan bahwa dengan kualifikasinya, pencapaian Kaira bisa dianggap justru tidak sebanding.
Apalagi kalau bukan karena tidak ada hasil kerja yang bisa dia catatkan atas namanya sendiri.
Tempat tinggal? Selama bekerja di ibukota, Kaira tinggal di sebuah rumah indekos murah. Pikirnya, dia tidak perlu hunian yang mewah. Cukup yang sederhana, masih terjangkau, dan dekat dari kantor. Tapi sayangnya, hampir bertepatan dengan pengunduran dirinya, Kaira terpaksa harus keluar dari rumah tersebut sebab tanahnya akan segera diratakan pemerintah. Pemilik kos tidak bisa melakukan apapun selain pasrah mengakhiri masa persewaan tersebut.
Kaira bertanya-tanya, apa sebenarnya kesalahannya hingga dia menjadi sial begini. Usianya yang baru saja sedikit diatas seperempat abad juga membuatnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Kenapa, sih? Memangnya orang-orang diatas usia dua puluh lima sudah tidak lagi butuh makan?
Jangan tanya soal tabungan. Kaira punya, tapi memang tidak banyak. Hasil kerjanya selama bertahun-tahun dia gunakan untuk menghidupi keluarga besarnya di kampung. Pasalnya, Kaira tidak hanya menanggung keluarga kecilnya saja. Wanita itu juga masih membiayai sekolah adik-adik sepupu dan bahkan bibi yang merupakan saudara ayahnya. Mereka semua tinggal dalam satu rumah dan kasarnya dapat Kaira sebut sebagai menumpang hidup pada keluarganya.
Kalau saja ayahnya bukan anak sulung dan ibunya bukan wanita sabar, Kaira sudah memastikan bahwa bibinya itu tidak akan bisa mengusik keluarganya.
"Aira dan Aidan sebentar lagi lulus SMA. Mereka juga masih butuh bantuan dana. Tapi kalau kamu sudah tidak bekerja lagi, darimana kamu bisa membiayai sekolah adik-adikmu? Kamu nggak ingat? Kamu lho yang dulu memaksa supaya mereka tetap sekolah dan mengatakan bahwa kamu sanggup membiayai mereka!"
Kaira benar-benar pusing mendengar ocehan dari adik ayahnya itu. Janda anak dua yang akhirnya kembali tinggal dengan kakak sulungnya sebab ditelantarkan oleh mantan suaminya. Masih cukup bugar, usia tiga puluhan akhir menjelang empat puluh. Seharusnya masih bisa bekerja atau membantu keluarga, hanya saja karena terbiasa dimanja dan hidup enak, dia memilih untuk tetap menjadi beban keluarga.
Helaan nafas Kaira terdengar cukup berat. Entah karena mendengar ocehan bibinya atau justru menyesali kebodohannya sebab bersikap idealis sehingga dulu dia dengan sadar mengatakan akan menanggung biaya sekolah adik-adik sepupunya itu.
Sebenarnya Kaira bisa dibilang berasal dari keluarga menengah. Ayahnya seorang Pegawai Negeri Sipil dengan jabatan dan golongan yang lumayan. Ibunya mengelola sebuah toko kelontong kecil yang cukup ramai di dekat rumahnya. Keuangannya tidaklah selalu sulit kalau untuk hidup cukup dan sederhana.
Hanya saja, bukan berarti mereka hidup tanpa kesulitan. Pasangan yang sama-sama merupakan anak sulung itu terbiasa untuk hidup keras dan mandiri sejak kecil. Sayangnya, keunggulan mereka justru seolah diperas oleh keluarga besar masing-masing.
Bukan hanya Bude Mita dan anak-anaknya yang ditanggung oleh Kaira sekeluarga. Kerap kali anggota keluarga lain meminjam uang dengan dalih untuk pendidikan anak ataupun kehidupan sehari-hari mereka. Namun hari berganti tahun, pinjaman itu tak kunjung kembali dan justru semakin bertambah. Alasannya selalu berakhir pada kalimat bahwa sebagai keluarga mereka tidak boleh terlalu perhitungan.
Sialnya, Kaira selalu merasa bahwa kedua orang tuanya terlalu baik meskipun selalu dimanfaatkan oleh keluarga besar mereka.
Orang tuanya sebenarnya tidak berniat membebani Kaira dengan tanggung jawab mengurus keluarga. Kaira saja yang merasa bahwa sebagai seorang anak dia harus mampu membantu meringankan beban kedua orang tuanya. Apalagi menyangkut dua adik sepupunya yang hampir tidak disekolahkan oleh ibu mereka sendiri. Kaira berharap dengan pendidikan, adik-adiknya itu nantinya bisa menjadi mandiri secara finansial dan menyokong kehidupan keluarganya sendiri. Tidak seperti bibi dan paman-pamannya yang terlalu bergantung pada kakak mereka bahkan saat masing-masing sudah berkeluarga seperti sekarang ini.
"Bapak sama ibu belum pulang ya, Bude?"
Kaira memilih untuk mengacuhkan omelan budenya itu. Dia mengambil segelas air untuk mengaliri kerongkongannya meskipun tanpa ditawari lebih dulu.
"Kamu itu diajak ngomong kok malah mengalihkan percakapan? Nggak sopan banget sama orang tua! Oh iya! Kamu kan juga sudah cukup berumur! Bukannya cari suami dan nikah supaya mengurangi beban keluarga, ini malah mau nganggur di rumah! Malu dong sama gelar kamu itu!"
Semakin dibiarkan mulutnya justru semakin kurang ajar. Kaira bahkan tidak tahu lagi harus menanggapi sang bibi dengan cara seperti apa. Dia tidak mungkin melempar kata-kata kasar karena pada akhirnya dia juga yang akan disalahkan oleh kedua orang tuanya.
Kaira menarik tas miliknya lalu berjalan menuju kamarnya yang sudah lama tidak ditempati. Kamar tersebut nampaknya sudah sempat dibersihkan. Kemarin Kaira memang sempat menelepon sang ibu dan menceritakan rencananya untuk tinggal di rumah sementara waktu.
"Heh, Kaira! Kok main nyelonong aja, sih?! Dengerin apa kata bude! Lebih baik kamu segera menikah dan hidup sama suami daripada menyusahkan orang tua! Kasian Mas Arif punya anak kuliahan tapi jadi beban tua!"
Helaan nafas Kaira semakin berat, kali ini wanita itu membalik badan dan menatap malas sang bude yang menurutnya sudah keterlaluan.
"Itu maksudnya bude lagi ngomongin diri sendiri? Salah pilih suami terus masih jadi beban buat kakak sendiri?"
"Kamu nggak sepantasnya ngomong begitu sama bude kamu sendiri!"Usai makan malam, Kaira harus kembali mendengarkan ocehan dari ayahnya. Kali ini sebab bibinya itu mengadu bahwa Kaira menghinanya.Setelah bertahun-tahun tidak pulang dan bahkan baru mendengar cerita Kaira via telepon, bukannya menanyakan bagaimana perjalanan Kaira, dia justru harus kembali disalahkan sebab aduan sang bibi yang dilebih-lebihkan. Selama makan malam, sang bibi terus merusak suasana dengan menyudutkannya melalui sepotong kalimat yang memang kelepasan dia ucapkan tadi. Tapi dari sudut pandang Kaira, bukankah kalimat sang bude jauh lebih nyelekit daripada kalimatnya?Tapi mau seperti apapun pembelaan Kaira, sang ayah tidak akan membenarkan tindakannya. Pria itu akan tetap keras pada putrinya sendiri agar tidak bermasalah dengan adiknya itu."Kamu tuh kok nggak pernah rukun sama Bude Mita? Ada aja yang kalian ributkan," keluh sang ayah lagi.Kaira hanya bisa menanggapi dalam hati. Sebab semakin disanggah, sang
Kaira menganga mendengar pernyataan tak masuk akal yang baru saja merayap dalam rungu. Wanita itu mengejapkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa pemandangan dan kalimat yang baru saja dia dengar mungkin hanya halusinasi. Tapi, tidak. Dia dengan jelas dan secara real time dapat memastikan bahwa manusia-manusia yang duduk di sofa ruang tamunya itu nyata. Begitu juga dengan kekagetan yang turut dirasakan oleh ibu dan bapaknya yang masih berdiri disampingnya. Di antara rombongan itu, tampak sosok yang tak pernah ia bayangkan akan kembali dengan niat seperti ini—Alvero Rajendra, mantan kekasihnya. Wajahnya terlihat serius, namun ada sorot mata yang sulit diartikan oleh Kaira. Mereka sama sekali tidak pernah lagi bertukar sapa—bahkan via media sosial. Lalu secara tiba-tiba, Alvero muncul lagi dihadapannya. Membawa sebuah pernyataan yang sama sekali tidak masuk akal baginya. Melamar? Hubungan mereka bahkan sudah kandas bertahun-tahun lalu. Tidak ada satupun keluarga Kaira yan
Di balik jendela rumah yang sederhana, Bude Mita tak bisa menahan binar matanya saat melihat mobil mewah yang dikendarai keluarga Rajendra tadi. Mobil itu berkilau di bawah lampu jalanan kampung, memantulkan kemewahan yang tak pernah ia bayangkan akan hadir di depan rumahnya. Senyumnya melebar penuh antusiasme."Terima saja, Kaira!" Desaknya penuh harap, sambil melirik keponakannya yang tampak gelisah. Di dalam hatinya, Bude Mita merasa ini adalah kesempatan emas—kesempatan untuk mengangkat derajat keluarga dan mempermudah hidupnya.Dengan langkah mantap, Bude Mita mendekati Kaira yang tengah duduk termenung di ruang tamu. "Kaira, kamu lihat kan? Mobilnya saja sudah mewah begitu, bisa kamu bayangkan betapa beruntungnya kamu jika menikah dengannya?" ujar Bude Mita dengan nada penuh semangat.Seolah pembaca profil profesional, Bude Mita kembali menegaskan tentang Davian."Usianya sudah matang. Tiga puluh dua tahun itu tidak terpaut terlalu jauh sama kamu. Pekerjaannya sebagai arsitek
Sebagai pengangguran, Kaira tidak punya alasan untuk tetap berdiam diri saja di rumah. Terutama karena kedua orang tuanya bekerja, begitupula adik-adik sepupunya yang berangkat sekolah. Wanita itu tidak mau berduaan saja di rumah dengan bibinya yang toxic. Bisa habis seluruh kesabarannya jika harus mendengarkan ocehan menyebalkan dari wanita bermuka seribu itu.Dengan kaos santai dan celana panjang serta rambut yang dibiarkan tergerai dan wajah polos tanpa makeup. Kaira tampil sederhana dan siap keluar rumah setelah selesai menyiapkan sarapan dan bersih-bersih pagi. Dia melangkahkan kakinya menuju warung sang ibu yang tidak jauh dari rumahnya. Berniat untuk membantu disana daripada dia bosan di rumah. Ibunya sudah lebih dulu sibuk meladeni para pelanggan. Meskipun hanya warung sepetak kecil, barang yang dijual adalah kebutuhan sehari-hari yang sangat mudah terjual. Daripada harus ke pasar atau ke kota lagi untuk belanja bulanan, kebanyakan warga desa lebih memilih untuk berbelanja di
Alunan musik oldies memenuhi pendengaran Kaira selama perjalanan di mobil Davian. Gap generasi tak terasa sebab Kaira justru punya selera musik yang sama sehingga dia sangat nyaman dengan pilihan playlist hari ini. Davian disebelahnya mengemudi dengan tenang. Pria berkacamata itu tersenyum tipis saat indra pendengarannya menangkap bahwa sesekali Kaira menggumamkan lirik lagu yang terputar.“Kamu tahu lagu-lagu Richard Marx?” Buka lelaki itu memancing pembicaraan setelah menemukan bahwa Kaira nampaknya cukup familiar dengan lagu-lagu yang terputar sejak tadi.Kaira mengangguk, “Sedikit. Ayah masih sering mendengarkannya di waktu-waktu senggang,” jawabnya. Mendengar jawaban Kaira membuat Davian kembali tersenyum tipis. Lelaki itu membiarkan lagu selanjutnya terputar, kali ini dari salah satu penyanyi paling jaya pada masanya. “Playlist saya sepertinya mirip dengan playlist ayah kamu, ya?” Gurau Davian. “Lagu-lagu ini juga dirilis saat mas belum lahir. Kondisi kita mungkin tidak jau
Kaira melirik Davian yang nampak duduk dengan tenang diseberangnya, sementara Alvero baru saja mengambil tempat tepat disebelah sang kakak. Posisi mereka layaknya tengah melakukan interview kandidat karyawan baru—sayangnya Kaira lah yang seolah tengah duduk di kursi panas menghadapi dua bos besar. "Apa kabar, Kai?"Alvero mengumbar senyuman mematikan yang beberapa tahun lalu berhasil menjeratnya. Lelaki itu tak banyak berubah, hanya tampilannya saja yang tentu sudah kehilangan fitur-fitur remajanya. Cara lelaki itu memanggilnya pun terdengar masih semanis dahulu. Hanya saja Kaira tahu, perasaan mereka sudah tentu tidak lagi sama. Kaira tidak berniat memberikan jawaban lisan. Wanita itu hanya mengangguk dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Jelas duduk bertiga seperti ini merupakan sebuah tekanan besar baginya. "Ada yang perlu Alvero sampaikan sebelum kamu memutuskan nantinya," Ujar Davian dengan senyuman tipis. Lelaki itu lantas bangkit dari kursinya dan menepuk pundak sang adik,
Kaira tidak bisa menahan kekagetannya. Dia tidak salah dengar, kan? Nama yang diucap oleh Alvero terdengar sangat tidak asing baginya.“Cindy Airatama?”Anggukan Alvero semakin membuat jantungnya mencelos. Kaira cukup kaget mendengar bahwa selama ini mantan kekasihnya ternyata berhubungan dengan teman duduknya semasa SMA? Astaga yang benar saja? Takdir macam apa yang tengah menjerat mereka?Dia hampir tak bisa berkata-kata, respon apa yang harus Kaira berikan selain tampang kaget yang secara gamblang sudah dia sajikan? “Mama tidak akan membiarkanku menikahinya selama Kak Davian belum menikah. Kamu tahu aturan seperti apa yang berlaku dalam keluargaku, kan?” Kaira ingat sempat saling berbagi kisah keluarga masing-masing. Dia tahu betapa ‘ningrat’ nya aturan keluarga Rajendra jika dilihat dari sudut pandang Alvero. “Bahkan meskipun aku mengatakan tentang ini, dia tidak serta merta merestui hubunganku dengan Cindy dan membiarkanku menikahinya. Aku tetap harus menunggu Davian menikah s
Kaira duduk termenung di tepi jendela kamarnya, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Udara sore yang sejuk menelisik melalui celah tirai, tetapi pikirannya tenggelam dalam pusaran pertimbangan yang rumit. Sisa percakapan tadi siang kembali membayang dalam benaknya, memaksa hatinya untuk menimbang-nimbang keputusan yang bisa mengubah hidupnya.Wanita itu sudah lama tidak berselancar di media sosial. Namun hari ini, pada akhirnya dia mencoba untuk mengintip akun mantan dan mantan teman sebangkunya dahulu. Kaira dan Cindy memang tidak saling follow, namun setidaknya Cindy tidak mengunci akunnya. Setelah menelisik hampir satu per satu foto yang diposting di akun media sosial milik Cindy, Kaira dapat menyimpulkan bahwa Cindy dan Alvero memang sudah sejak lama saling berhubungan. Bahkan foto pertama Alvero yang diposting di akun media sosial Cindy hanya berselang tiga bulan setelah Kaira dan Alvero putus hubungan waktu itu. Dia tersenyum getir. Bukan masalah belum move on a