Sebagai pengangguran, Kaira tidak punya alasan untuk tetap berdiam diri saja di rumah. Terutama karena kedua orang tuanya bekerja, begitupula adik-adik sepupunya yang berangkat sekolah. Wanita itu tidak mau berduaan saja di rumah dengan bibinya yang toxic. Bisa habis seluruh kesabarannya jika harus mendengarkan ocehan menyebalkan dari wanita bermuka seribu itu.
Dengan kaos santai dan celana panjang serta rambut yang dibiarkan tergerai dan wajah polos tanpa makeup. Kaira tampil sederhana dan siap keluar rumah setelah selesai menyiapkan sarapan dan bersih-bersih pagi. Dia melangkahkan kakinya menuju warung sang ibu yang tidak jauh dari rumahnya. Berniat untuk membantu disana daripada dia bosan di rumah.
Ibunya sudah lebih dulu sibuk meladeni para pelanggan. Meskipun hanya warung sepetak kecil, barang yang dijual adalah kebutuhan sehari-hari yang sangat mudah terjual. Daripada harus ke pasar atau ke kota lagi untuk belanja bulanan, kebanyakan warga desa lebih memilih untuk berbelanja di warung Ibu Kaira.
Kaira melemparkan senyuman kearah sang ibu yang nampak kaget melihat putrinya datang.
"Aku mau bantu-bantu ibu di warung hari ini," bisiknya.
Wanita usia awal lima puluh itu tersenyum menanggapi keinginan putri semata wayangnya itu.
"Tidak apa memangnya?" Tanya wanita itu memastikan.
Kaira mengangguk, "Nggak ada masalah, bu!"
Ratih Hadinata tersenyum tulus. Putrinya tidak pernah berubah sejak dulu, bahkan meskipun dia sudah bertahun-tahun hidup di kota besar. Kaira tetap rendah hati dan tidak malu mengakui keluarganya.
"Loh, ini Kaira? Yaampun, Nak! Kapan pulang?" Tanya seorang ibu-ibu yang baru saja sampai di warung. Kaira berusaha keras mengingat senyuman yang nampak familiar tesebut.
"Iya, Bu Ida. Saya baru pulang kemarin siang," jawab Kaira seadanya. Dia mengingat wanita itu sebagai salah satu tetangga rumahnya yang banyak bergaul juga dengan sang ibu.
Wanita yang disapa Ibu Ida itu tersenyum sangat manis, "Cantik banget ya, Kaira! Memang sudah cantik dari dulu, sih! Tapi semakin dewasa semakin jadi, lho!" Pujinya.
Ibu Kaira hanya diam-diam tersenyum mendengarnya. Wanita itu masih sibuk melayani beberapa pelanggan dengan rincian belanja grosir. Sementara Kaira dia tugaskan untuk membantu melayani pelanggan-pelanggan yang fokus pada belanja barang ecer.
"Ah, Bu Ida bisa saja. Ibu lho nggak menua sama sekali sampai saya pangling. Kirain Bu Ida punya adik atau kembaran," canda Kaira yang membuat ibu-ibu tersipu.
Sudah jelas, skill semacam ini selalu diperlukan untuk mempertahankan relasi. Kaira banyak belajar dari teman-teman penjilat di kantornya dulu.
Ternyata, tidak cukup buruk.
"Ah, bisa saja kamu itu! Sudah ah! Saya jadi malu! Takut jadi kalap belanja kalau sering-sering dipuji cantik," Bu Ida tertawa menanggapi candaan mereka. Wanita itu membayar belanjaannya dan pamit dari warung.
Kaira melanjutkan pekerjaannya. Tak jarang dia juga harus mendengar kalimat kritikan dari beberapa warga yang menyayangkan dia tetap berjualan di warung padahal sudah kuliah ke kota. Tapi Kaira bodo amat, dia tidak mau terlalu memikirkan gunjingan semacam itu.
Belum genap dua puluh menit membantu sang ibu, seisi warung harus dikagetkan dengan teriakan menggelegar dari Bude Mita. Wanita itu setengah berlari dengan tubuh berisinya menuju warung sembari berteriak memanggil-manggil Kaira.
Suasana warung yang ramai jelas membuat Kaira jadi malu akan kelakuan budenya tersebut. Apalagi pelanggan-pelanggan disana yang kurang lebih sudah hapal dengan kelakuan diluar nalar dari ipar Bu Ratih itu.
"Kenapa sih, Mit? Kenapa teriak-teriak begitu?" Tanya Bu Ratih dengan heran.
Bude Mita mengatur nafasnya setelah berlari dari rumah yang hanya sekitar tiga ratus meter.
"Kaira ini lho! Pagi-pagi harusnya kamu bersolek dulu! Ayo cepet pulang! Calon suami kamu yang kaya itu nungguin di rumah!"
Kaira terkejut, sang ibu juga tak kalah terkejut. Keduanya bertatapan kaget. Sepertinya semalam Davian hanya mengatakan akan datang tapi tidak menyebutkan bahwa dia akan datang hari ini.
Melihat keponakan dan iparnya itu hanya bengong saling tatap, Bude Mita jadi gemas sendiri dan menarik keponakannya. "Ayo, cepat! Kamu setidaknya harus ganti baju dan pasang lipstik sedikit!"
Ibu Kaira tak bisa berbuat banyak sebab pelanggannya di warung masih cukup ramai. Jadilah dia biarkan putrinya diurus oleh iparnya tersebut.
"Memang Kaira sudah punya calon suami, Bu?" Tanya salah seorang pelanggan.
Ibu Kaira hanya tersenyum menanggapi. Tidak berani ikut mengklaim apapun lebih dulu sebab dia percaya pengumuman terlalu awal itu tidak baik. Maka wanita itu memilih untuk mengalihkan pembicaraan dengan menghitung setiap belanjaan dan fokus pada pelanggannya.
Kaira yang sudah sampai di depan rumah dapat melihat mobil Davian terparkir tepat di depan rumahnya. Lelaki itu duduk dengan tegap di kursi teras huniannya.
Melihat Kaira yang baru saja ditarik oleh budenya, Davian jadi sedikit tidak enak.
"Maaf, saya mengganggu kamu ya pagi-pagi," ujarnya tak enak.
Sejujurnya Kaira ingin sekali mengatakan bahwa dia benar-benar terganggu karena Davian datang sepagi ini tanpa ada pemberitahuan apapun lebih dulu. Bukan apa-apa, hanya saja dia sangat malu sebab respon berlebihan dari sang bude.
"Ada perlu apa ya, Mas?" Sapa Kaira tanpa basa-basi lagi.
Davian tersenyum tipis mendengar sapaan Kaira. Laki-laki itu berupaya mengulum senyumnya dan menahan binar di matanya yang tertutup kacamata.
"Saya rasa kita perlu sedikit bicara. Kamu punya waktu kan pagi ini?"
Bude Kaira muncul dengan sumringah, "Tentu! Kaira tidak ada pekerjaan, kok! Jadi bebas kalau kalian mau jalan-jalan seharian!"
Kaira komat-kamit kesal pada sang bude.
Davian menggeleng pelan, "Tidak lama, kok. Mungkin sekitar satu atau dua jam saja. Kebetulan setelah ini saya masih harus pergi keluar kota. Tapi saya nggak tenang kalau belum menjelaskan ini secepatnya," ujar Davian.
Kaira mengabaikan sang bude yang masih mengintip di depan pintu. Wanita itu memindai penampilan kasual dari Davian lalu mengangguk.
"Oke, tunggu sebentar, ya! Saya ganti baju sepuluh menit," izinnya.
Davian tersenyum mendengarnya, "Take your time. Kamu tidak perlu terlalu terburu-buru."
Dia tahu, biasanya wanita perlu waktu yang lumayan untuk bersiap. Namun Kaira justru menggeleng, "Hanya akan bicara, kan? Saya tidak akan menghabiskan waktu bersiap lebih dari itu," teguhnya.
Alunan musik oldies memenuhi pendengaran Kaira selama perjalanan di mobil Davian. Gap generasi tak terasa sebab Kaira justru punya selera musik yang sama sehingga dia sangat nyaman dengan pilihan playlist hari ini. Davian disebelahnya mengemudi dengan tenang. Pria berkacamata itu tersenyum tipis saat indra pendengarannya menangkap bahwa sesekali Kaira menggumamkan lirik lagu yang terputar.“Kamu tahu lagu-lagu Richard Marx?” Buka lelaki itu memancing pembicaraan setelah menemukan bahwa Kaira nampaknya cukup familiar dengan lagu-lagu yang terputar sejak tadi.Kaira mengangguk, “Sedikit. Ayah masih sering mendengarkannya di waktu-waktu senggang,” jawabnya. Mendengar jawaban Kaira membuat Davian kembali tersenyum tipis. Lelaki itu membiarkan lagu selanjutnya terputar, kali ini dari salah satu penyanyi paling jaya pada masanya. “Playlist saya sepertinya mirip dengan playlist ayah kamu, ya?” Gurau Davian. “Lagu-lagu ini juga dirilis saat mas belum lahir. Kondisi kita mungkin tidak jau
Kaira melirik Davian yang nampak duduk dengan tenang diseberangnya, sementara Alvero baru saja mengambil tempat tepat disebelah sang kakak. Posisi mereka layaknya tengah melakukan interview kandidat karyawan baru—sayangnya Kaira lah yang seolah tengah duduk di kursi panas menghadapi dua bos besar. "Apa kabar, Kai?"Alvero mengumbar senyuman mematikan yang beberapa tahun lalu berhasil menjeratnya. Lelaki itu tak banyak berubah, hanya tampilannya saja yang tentu sudah kehilangan fitur-fitur remajanya. Cara lelaki itu memanggilnya pun terdengar masih semanis dahulu. Hanya saja Kaira tahu, perasaan mereka sudah tentu tidak lagi sama. Kaira tidak berniat memberikan jawaban lisan. Wanita itu hanya mengangguk dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Jelas duduk bertiga seperti ini merupakan sebuah tekanan besar baginya. "Ada yang perlu Alvero sampaikan sebelum kamu memutuskan nantinya," Ujar Davian dengan senyuman tipis. Lelaki itu lantas bangkit dari kursinya dan menepuk pundak sang adik,
Kaira tidak bisa menahan kekagetannya. Dia tidak salah dengar, kan? Nama yang diucap oleh Alvero terdengar sangat tidak asing baginya.“Cindy Airatama?”Anggukan Alvero semakin membuat jantungnya mencelos. Kaira cukup kaget mendengar bahwa selama ini mantan kekasihnya ternyata berhubungan dengan teman duduknya semasa SMA? Astaga yang benar saja? Takdir macam apa yang tengah menjerat mereka?Dia hampir tak bisa berkata-kata, respon apa yang harus Kaira berikan selain tampang kaget yang secara gamblang sudah dia sajikan? “Mama tidak akan membiarkanku menikahinya selama Kak Davian belum menikah. Kamu tahu aturan seperti apa yang berlaku dalam keluargaku, kan?” Kaira ingat sempat saling berbagi kisah keluarga masing-masing. Dia tahu betapa ‘ningrat’ nya aturan keluarga Rajendra jika dilihat dari sudut pandang Alvero. “Bahkan meskipun aku mengatakan tentang ini, dia tidak serta merta merestui hubunganku dengan Cindy dan membiarkanku menikahinya. Aku tetap harus menunggu Davian menikah s
Kaira duduk termenung di tepi jendela kamarnya, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Udara sore yang sejuk menelisik melalui celah tirai, tetapi pikirannya tenggelam dalam pusaran pertimbangan yang rumit. Sisa percakapan tadi siang kembali membayang dalam benaknya, memaksa hatinya untuk menimbang-nimbang keputusan yang bisa mengubah hidupnya.Wanita itu sudah lama tidak berselancar di media sosial. Namun hari ini, pada akhirnya dia mencoba untuk mengintip akun mantan dan mantan teman sebangkunya dahulu. Kaira dan Cindy memang tidak saling follow, namun setidaknya Cindy tidak mengunci akunnya. Setelah menelisik hampir satu per satu foto yang diposting di akun media sosial milik Cindy, Kaira dapat menyimpulkan bahwa Cindy dan Alvero memang sudah sejak lama saling berhubungan. Bahkan foto pertama Alvero yang diposting di akun media sosial Cindy hanya berselang tiga bulan setelah Kaira dan Alvero putus hubungan waktu itu. Dia tersenyum getir. Bukan masalah belum move on a
"Mbak, bagi duit jajan dong!"Kaira yang tengah berselancar di platform pencari kerja memutar tubuhnya melirik sang adik sepupu yang berdiri dengan congkak di belakang sofa tempatnya duduk. Aidan sudah mengenakan seragamnya serampangan, berdiri dengan sebelah tangan yang menadah padanya. Pandangan heran Kaira dibawanya lagi pada jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Alis wanita itu mengerut heran. Mengapa Aidan masih di rumah di jam-jam ini sementara seingatnya Aira si kembaran sudah berangkat pukul enam pagi tadi? Bukankah mereka berada di sekolah dan bahkan kelas yang sama?"Kamu kok belum berangkat?" Kaira tentu saja tidak bisa menahan rasa penasarannya. Saat ini kedua orang tuanya sudah berangkat, begitu juga Aira yang sempat berpamitan padanya tadi, tapi bagaimana dengan Aidan yang tiba-tiba saja muncul?Laki-laki yang baru menginjak tujuh belas tahun itu berkacak pinggang, "Ini mau berangkat. Jadi mana duitnya? Makin lama dong berangkatnya kalau mbak nggak kasih duit
Kaira baru saja melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah ketika Davian bersandar tepat di mobil hitam mengilapnya. Lelaki itu mengenakan kemeja warna coklat tua yang digulung sebatas siku dan celana kain warna hitam yang memberikan kesan rapi namun tetap modis. Netra mereka tak sengaja langsung bertubrukan tadi yang membuat Kaira buru-buru membuang wajah karena detak jantungnya tiba-tiba saja menjadi terlalu cepat.Davian mengangkat tangan kanannya, dengan kaku mengucapkan salam saat Kaira mulai berjalan kearahnya. "Kamu sudah sarapan?" Davian bertanya basa-basi. Sesungguhnya mereka berdua diliputi kecanggungan yang berat pasca tiga hari pertemuan terakhir mereka waktu itu. Davian sendiri tak punya banyak pengalaman dalam mendekati wanita, apalagi Kaira yang berbeda dari wanita-wanita disekitarnya yang biasanya cenderung lebih agresif. Kaira mengangguk mengiyakan. "Kita jalan sekarang?" Tanya Davian sedikit lebih tenang dan langsung dibalas oleh anggukan kecil Kaira lagi. Gadis it
Mobil Davian berhenti di basement sebuah mal. Tante Tania tadi menghendaki untuk langsung bertemu di tempat belanja tersebut sebab dia sempat menghadiri temu dengan beberapa klien di salah satu resto disana.“Apa kabar, Kaira?” Wanita itu bergegas memeluk Kaira dengan mata berbinar, segera setelah mereka bertemu.Kaira membalasnya dengan senyuman canggung, wanita itu belum terbiasa berada di tengah-tengah keluarga Rajendra seperti ini. Dia masih menjawab seadanya dan menunjukkan kehati-hatiannya.“Kita makan dulu, yah! Baru setelah itu mulai belanja,” ungkap Tante Tania yang hanya bisa diangguki oleh Kaira. Wanita itu menurut saja dan kini duduk disebelah tante Tania sementara Davian berada diseberangnya.Tante Tania nampak sangat antusias dan cukup aktif dalam mengajaknya bicara hingga Kaira lama kelamaan jadi semakin nyaman. Mereka bahkan tanpa sadar tertawa akan beberapa topik yang membuat Davian menyimpulkan sebuah senyum. Jarang sekali dia melihat sang mama mau memulai topik dan
"Kamu yakin dengan keputusan kamu itu, nak?"Kaira mengangguk saat duduk di kursi kamar orang tuanya. Pasangan parubaya itu menatapnya heran saat sang putri menyampaikan keputusan finalnya kepada mereka. Pasalnya, Kaira terlihat syok dan sangat tidak terima saat dilamar kurang dari seminggu lalu. Namun kini dia justru mengatakan bahwa ini adalah keputusan finalnya, dan dia sudah memikirkan semuanya dengan matang. Sepasang parubaya itu saling menatap keheranan. "Apa yang mempengaruhi kamu dalam pengambilan keputusan ini? Kamu yakin?" Tanya sang bapak lagi.Wanita dua puluh lima tahun itu menatap kedua orang tuanya secara bergantian lalu mengangguk lagi. "Aku akan menerima pinangannya. Kaira rasa, tidak ada salahnya menerima lamaran dari seseorang seperti Mas Davian. Lagipula, mungkin dengan bersama dia aku bisa menemukan jalan karir yang baru," jelas Kaira kali ini. Tidak munafik bahwa itu merupakan salah satu bahan pertimbangannya saat mengambil keputusan ini. Tentu selain karena di