Share

6. Pagi-Pagi Sekali

Sebagai pengangguran, Kaira tidak punya alasan untuk tetap berdiam diri saja di rumah. Terutama karena kedua orang tuanya bekerja, begitupula adik-adik sepupunya yang berangkat sekolah. Wanita itu tidak mau berduaan saja di rumah dengan bibinya yang toxic. Bisa habis seluruh kesabarannya jika harus mendengarkan ocehan menyebalkan dari wanita bermuka seribu itu.

Dengan kaos santai dan celana panjang serta rambut yang dibiarkan tergerai dan wajah polos tanpa makeup. Kaira tampil sederhana dan siap keluar rumah setelah selesai menyiapkan sarapan dan bersih-bersih pagi. Dia melangkahkan kakinya menuju warung sang ibu yang tidak jauh dari rumahnya. Berniat untuk membantu disana daripada dia bosan di rumah. 

Ibunya sudah lebih dulu sibuk meladeni para pelanggan. Meskipun hanya warung sepetak kecil, barang yang dijual adalah kebutuhan sehari-hari yang sangat mudah terjual. Daripada harus ke pasar atau ke kota lagi untuk belanja bulanan, kebanyakan warga desa lebih memilih untuk berbelanja di warung Ibu Kaira. 

Kaira melemparkan senyuman kearah sang ibu yang nampak kaget melihat putrinya datang. 

"Aku mau bantu-bantu ibu di warung hari ini," bisiknya. 

Wanita usia awal lima puluh itu tersenyum menanggapi keinginan putri semata wayangnya itu.

"Tidak apa memangnya?" Tanya wanita itu memastikan.

Kaira mengangguk, "Nggak ada masalah, bu!"

Ratih Hadinata tersenyum tulus. Putrinya tidak pernah berubah sejak dulu, bahkan meskipun dia sudah bertahun-tahun hidup di kota besar. Kaira tetap rendah hati dan tidak malu mengakui keluarganya.

"Loh, ini Kaira? Yaampun, Nak! Kapan pulang?" Tanya seorang ibu-ibu yang baru saja sampai di warung. Kaira berusaha keras mengingat senyuman yang nampak familiar tesebut. 

"Iya, Bu Ida. Saya baru pulang kemarin siang," jawab Kaira seadanya. Dia mengingat wanita itu sebagai salah satu tetangga rumahnya yang banyak bergaul juga dengan sang ibu. 

Wanita yang disapa Ibu Ida itu tersenyum sangat manis, "Cantik banget ya, Kaira! Memang sudah cantik dari dulu, sih! Tapi semakin dewasa semakin jadi, lho!" Pujinya.

Ibu Kaira hanya diam-diam tersenyum mendengarnya. Wanita itu masih sibuk melayani beberapa pelanggan dengan rincian belanja grosir. Sementara Kaira dia tugaskan untuk membantu melayani pelanggan-pelanggan yang fokus pada belanja barang ecer.

"Ah, Bu Ida bisa saja. Ibu lho nggak menua sama sekali sampai saya pangling. Kirain Bu Ida punya adik atau kembaran," canda Kaira yang membuat ibu-ibu tersipu. 

Sudah jelas, skill semacam ini selalu diperlukan untuk mempertahankan relasi. Kaira banyak belajar dari teman-teman penjilat di kantornya dulu.

Ternyata, tidak cukup buruk.

"Ah, bisa saja kamu itu! Sudah ah! Saya jadi malu! Takut jadi kalap belanja kalau sering-sering dipuji cantik," Bu Ida tertawa menanggapi candaan mereka. Wanita itu membayar belanjaannya dan pamit dari warung. 

Kaira melanjutkan pekerjaannya. Tak jarang dia juga harus mendengar kalimat kritikan dari beberapa warga yang menyayangkan dia tetap berjualan di warung padahal sudah kuliah ke kota. Tapi Kaira bodo amat, dia tidak mau terlalu memikirkan gunjingan semacam itu.

Belum genap dua puluh menit membantu sang ibu, seisi warung harus dikagetkan dengan teriakan menggelegar dari Bude Mita. Wanita itu setengah berlari dengan tubuh berisinya menuju warung sembari berteriak memanggil-manggil Kaira.

Suasana warung yang ramai jelas membuat Kaira jadi malu akan kelakuan budenya tersebut. Apalagi pelanggan-pelanggan disana yang kurang lebih sudah hapal dengan kelakuan diluar nalar dari ipar Bu Ratih itu. 

"Kenapa sih, Mit? Kenapa teriak-teriak begitu?" Tanya Bu Ratih dengan heran. 

Bude Mita mengatur nafasnya setelah berlari dari rumah yang hanya sekitar tiga ratus meter. 

"Kaira ini lho! Pagi-pagi harusnya kamu bersolek dulu! Ayo cepet pulang! Calon suami kamu yang kaya itu nungguin di rumah!"

Kaira terkejut, sang ibu juga tak kalah terkejut. Keduanya bertatapan kaget. Sepertinya semalam Davian hanya mengatakan akan datang tapi tidak menyebutkan bahwa dia akan datang hari ini. 

Melihat keponakan dan iparnya itu hanya bengong saling tatap, Bude Mita jadi gemas sendiri dan menarik keponakannya. "Ayo, cepat! Kamu setidaknya harus ganti baju dan pasang lipstik sedikit!" 

Ibu Kaira tak bisa berbuat banyak sebab pelanggannya di warung masih cukup ramai. Jadilah dia biarkan putrinya diurus oleh iparnya tersebut.

"Memang Kaira sudah punya calon suami, Bu?" Tanya salah seorang pelanggan. 

Ibu Kaira hanya tersenyum menanggapi. Tidak berani ikut mengklaim apapun lebih dulu sebab dia percaya pengumuman terlalu awal itu tidak baik. Maka wanita itu memilih untuk mengalihkan pembicaraan dengan menghitung setiap belanjaan dan fokus pada pelanggannya. 

Kaira yang sudah sampai di depan rumah dapat melihat mobil Davian terparkir tepat di depan rumahnya. Lelaki itu duduk dengan tegap di kursi teras huniannya. 

Melihat Kaira yang baru saja ditarik oleh budenya, Davian jadi sedikit tidak enak.

"Maaf, saya mengganggu kamu ya pagi-pagi," ujarnya tak enak.

Sejujurnya Kaira ingin sekali mengatakan bahwa dia benar-benar terganggu karena Davian datang sepagi ini tanpa ada pemberitahuan apapun lebih dulu. Bukan apa-apa, hanya saja dia sangat malu sebab respon berlebihan dari sang bude.

"Ada perlu apa ya, Mas?" Sapa Kaira tanpa basa-basi lagi. 

Davian tersenyum tipis mendengar sapaan Kaira. Laki-laki itu berupaya mengulum senyumnya dan menahan binar di matanya yang tertutup kacamata. 

"Saya rasa kita perlu sedikit bicara. Kamu punya waktu kan pagi ini?"

Bude Kaira muncul dengan sumringah, "Tentu! Kaira tidak ada pekerjaan, kok! Jadi bebas kalau kalian mau jalan-jalan seharian!"

Kaira komat-kamit kesal pada sang bude. 

Davian menggeleng pelan, "Tidak lama, kok. Mungkin sekitar satu atau dua jam saja. Kebetulan setelah ini saya masih harus pergi keluar kota. Tapi saya nggak tenang kalau belum menjelaskan ini secepatnya," ujar Davian.

Kaira mengabaikan sang bude yang masih mengintip di depan pintu. Wanita itu memindai penampilan kasual dari Davian lalu mengangguk. 

"Oke, tunggu sebentar, ya! Saya ganti baju sepuluh menit," izinnya.

Davian tersenyum mendengarnya, "Take your time. Kamu tidak perlu terlalu terburu-buru."

Dia tahu, biasanya wanita perlu waktu yang lumayan untuk bersiap. Namun Kaira justru menggeleng, "Hanya akan bicara, kan? Saya tidak akan menghabiskan waktu bersiap lebih dari itu," teguhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status