Kaira melirik Davian yang nampak duduk dengan tenang diseberangnya, sementara Alvero baru saja mengambil tempat tepat disebelah sang kakak. Posisi mereka layaknya tengah melakukan interview kandidat karyawan baru—sayangnya Kaira lah yang seolah tengah duduk di kursi panas menghadapi dua bos besar.
"Apa kabar, Kai?" Alvero mengumbar senyuman mematikan yang beberapa tahun lalu berhasil menjeratnya. Lelaki itu tak banyak berubah, hanya tampilannya saja yang tentu sudah kehilangan fitur-fitur remajanya. Cara lelaki itu memanggilnya pun terdengar masih semanis dahulu. Hanya saja Kaira tahu, perasaan mereka sudah tentu tidak lagi sama. Kaira tidak berniat memberikan jawaban lisan. Wanita itu hanya mengangguk dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Jelas duduk bertiga seperti ini merupakan sebuah tekanan besar baginya. "Ada yang perlu Alvero sampaikan sebelum kamu memutuskan nantinya," Ujar Davian dengan senyuman tipis. Lelaki itu lantas bangkit dari kursinya dan menepuk pundak sang adik, pamit ke toilet katanya dan meninggalkan sepasang mantan kekasih itu berdua di meja makan. Situasi ini lebih dia benci, terjebak berdua dengan mantan kekasih yang kelihatan jelas sekali tengah merencanakan sesuatu terhadapnya. Apalagi setelah tragedi semalam dimana ia tiba-tiba merekomendasikan Kaira kepada keluarganya dan bahkan dengan nekat menyampaikan lamaran dadakan. "Tenang saja, Davian sudah tahu tentang kita," jelas Alvero seolah menjawab langsung keingintahuan Kaira sejak kemarin. Alis Kaira mengernyit sebab heran. Pernyataan itu tentu membuatnya semakin bingung akan motif utama keluarga ini mengincarnya. “Dan dia setuju untuk melakukan ini?" Heran Kaira. Alvero kembali mengangguk yang membuat Kaira seolah kehabisan kata-kata. Dia tidak habis pikir. Bagaimana bisa Davian dengan tebal muka menikahi mantan kekasih adiknya sendiri? Tanpa kenal dan pendekatan sebelumnya pula. "Aku yang minta dia untuk menikahi kamu. Mama juga setuju. Tidak ada masalah dalam keluargaku, semuanya aman terkendali," penjelasan Alvero tak urung membuat Kaira tiba-tiba saja jadi semakin uring-uringan. Wanita itu tak terima, "Atas dasar apa? Apakah sekarang pengalaman berkencan juga bisa dijadikan sebagai referensi dan masuk dalam riwayat hidup sehingga bahkan bisa direkomendasikan begini? Hhhh lucu sekali," sinis Kaira memutar bola matanya heran. Alvero tertawa tipis melihat respon mantan kekasihnya itu, “Kamu masih sangat ekspresif,” balasannya membuat Kaira semakin naik darah. Apa ini bahkan saat yang tepat untuk mengomentari temperamennya? Dua kakak beradik itu sama saja suka sekali menguji kesabarannya yang bak sehelai tisu dibagi empat bahkan lebih. “Okay, aku akan bicara serius. Kamu tidak perlu emosi begitu,” ujar Alvero akhirnya setelah menyelesaikan tawanya. Melihat wajah Kaira merah padam membuatnya harus segera mengantisipasi fase selanjutnya dari kemarahan Kaira. Lelaki itu memandang laut sebentar sebelum akhirnya kembali fokus pada Kaira. “Dengan segala kerendahan hati, aku meminta kesediaan kamu untuk menikahi Kak Davian. Selama ini kakakku itu tidak pernah membawa satupun wanita pulang ke rumah dan bahkan sepertinya hampir melajang sepanjang hidupnya. Mamaku tentu sudah terus menuntutnya untuk menikah dan aku rasa kamu adalah kandidat terbaik,” ujar Alvero. Kaira mengernyitkan alisnya lagi. Dari sekian juta penduduk dunia dan entah berapa banyak wanita yang ada diluar sana, bagaimana mereka bisa mengambil kesimpulan untuk memilihnya? “Dia punya pekerjaan yang mentereng dan kalian berasal dari keluarga cukup berada. Bukan hal sulit tentunya untuk memilih satu diantara kalangan kalian ketimbang memilih seseorang sepertiku,” elak Kaira. Alvero menggeleng, “Aku kenal kamu dengan cukup baik, Kai. Aku berani bertaruh bahkan sampai kini kamu pasti belum berkencan lagi bukan karena tidak ada yang mendekati, tapi karena kamu yang merasa tidak punya waktu untuk menjalin hubungan,” bela Alvero. “Tapi itu tidak cukup menjadi alasan mengapa kalian memilihku, bukan? Apalagi dengan riwayat diantara kita, kamu yakin itu sebuah keputusan yang etis?” Kaira agak berhati-hati ketika menyenggol kembali tentang hubungan masa lalu keduanya. Namun respon Alvero sebaliknya justru sangat santai. Tegas dan jelas bahwa lelaki itu memang sudah tak punya perasaan apapun lagi padanya. Kaira merutuk dalam hati ketika memikirkan itu, apa yang sebenarnya dia harapkan? “Justru itu, aku melakukan ini sekaligus untuk membantumu. Anggap saja aku memberimu jalan keluar dari permasalahanmu sekarang. Lihat ini sebagai sebuah win-win solution,” ujar Alvero yang kini terlihat lebih serius dengan pindah mengisi kursi kakaknya tadi. Kaira bertambah bingung namun masih dengan setia menyimak. “Aku ingin membantumu keluar dari situasi sulit diantara keluargamu. Menikahi Davian juga opsi yang tepat untuk pengembangan diri, dia bisa support cita-cita karirmu. Disaat yang bersamaan, kamu juga bisa membantu kakakku agar tidak terus mendapat ocehan dari mama. Selain itu, kamu juga bisa sekaligus membantu aku,” tutur Alvero lagi. Kaira mendelik, apa yang salah dengan dirinya? Pertama, situasi sulit semacam apa yang para pria kaya ini pikir tengah dia alami? Kedua, apa yang dia bisa bantu untuk kedua bersaudara ini? “Menikahi Davian tidak akan merugikan kamu sama sekali. Dia mungkin bukan orang yang romantis, tapi kalau kamu mencari seseorang yang cukup logis namun perhatian dan bisa kamu ajak berbagi pendapat seumur hidup, Davian adalah pilihan terbaik. Aku tidak mengatakan ini karena aku adiknya,“ tegas Alvero. Melihat Kaira yang menatapnya ragu, Alvero pada akhirnya menghela nafas dan menembakkan senjata terakhirnya. Kaira bukan seseorang yang mudah untuk ditaklukkan dalam sebuah percakapan. “Davian harus segera menikah.” Alvero menahan kalimatnya untuk menghela nafas sedikit lebih dalam. “—baru setelah itu aku akan bisa menikahi Cindy yang sekarang tengah mengandung anakku.”Kaira tidak bisa menahan kekagetannya. Dia tidak salah dengar, kan? Nama yang diucap oleh Alvero terdengar sangat tidak asing baginya.“Cindy Airatama?”Anggukan Alvero semakin membuat jantungnya mencelos. Kaira cukup kaget mendengar bahwa selama ini mantan kekasihnya ternyata berhubungan dengan teman duduknya semasa SMA? Astaga yang benar saja? Takdir macam apa yang tengah menjerat mereka?Dia hampir tak bisa berkata-kata, respon apa yang harus Kaira berikan selain tampang kaget yang secara gamblang sudah dia sajikan? “Mama tidak akan membiarkanku menikahinya selama Kak Davian belum menikah. Kamu tahu aturan seperti apa yang berlaku dalam keluargaku, kan?” Kaira ingat sempat saling berbagi kisah keluarga masing-masing. Dia tahu betapa ‘ningrat’ nya aturan keluarga Rajendra jika dilihat dari sudut pandang Alvero. “Bahkan meskipun aku mengatakan tentang ini, dia tidak serta merta merestui hubunganku dengan Cindy dan membiarkanku menikahinya. Aku tetap harus menunggu Davian menikah s
Kaira duduk termenung di tepi jendela kamarnya, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Udara sore yang sejuk menelisik melalui celah tirai, tetapi pikirannya tenggelam dalam pusaran pertimbangan yang rumit. Sisa percakapan tadi siang kembali membayang dalam benaknya, memaksa hatinya untuk menimbang-nimbang keputusan yang bisa mengubah hidupnya.Wanita itu sudah lama tidak berselancar di media sosial. Namun hari ini, pada akhirnya dia mencoba untuk mengintip akun mantan dan mantan teman sebangkunya dahulu. Kaira dan Cindy memang tidak saling follow, namun setidaknya Cindy tidak mengunci akunnya. Setelah menelisik hampir satu per satu foto yang diposting di akun media sosial milik Cindy, Kaira dapat menyimpulkan bahwa Cindy dan Alvero memang sudah sejak lama saling berhubungan. Bahkan foto pertama Alvero yang diposting di akun media sosial Cindy hanya berselang tiga bulan setelah Kaira dan Alvero putus hubungan waktu itu. Dia tersenyum getir. Bukan masalah belum move on a
"Mbak, bagi duit jajan dong!"Kaira yang tengah berselancar di platform pencari kerja memutar tubuhnya melirik sang adik sepupu yang berdiri dengan congkak di belakang sofa tempatnya duduk. Aidan sudah mengenakan seragamnya serampangan, berdiri dengan sebelah tangan yang menadah padanya. Pandangan heran Kaira dibawanya lagi pada jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Alis wanita itu mengerut heran. Mengapa Aidan masih di rumah di jam-jam ini sementara seingatnya Aira si kembaran sudah berangkat pukul enam pagi tadi? Bukankah mereka berada di sekolah dan bahkan kelas yang sama?"Kamu kok belum berangkat?" Kaira tentu saja tidak bisa menahan rasa penasarannya. Saat ini kedua orang tuanya sudah berangkat, begitu juga Aira yang sempat berpamitan padanya tadi, tapi bagaimana dengan Aidan yang tiba-tiba saja muncul?Laki-laki yang baru menginjak tujuh belas tahun itu berkacak pinggang, "Ini mau berangkat. Jadi mana duitnya? Makin lama dong berangkatnya kalau mbak nggak kasih duit
Kaira baru saja melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah ketika Davian bersandar tepat di mobil hitam mengilapnya. Lelaki itu mengenakan kemeja warna coklat tua yang digulung sebatas siku dan celana kain warna hitam yang memberikan kesan rapi namun tetap modis. Netra mereka tak sengaja langsung bertubrukan tadi yang membuat Kaira buru-buru membuang wajah karena detak jantungnya tiba-tiba saja menjadi terlalu cepat.Davian mengangkat tangan kanannya, dengan kaku mengucapkan salam saat Kaira mulai berjalan kearahnya. "Kamu sudah sarapan?" Davian bertanya basa-basi. Sesungguhnya mereka berdua diliputi kecanggungan yang berat pasca tiga hari pertemuan terakhir mereka waktu itu. Davian sendiri tak punya banyak pengalaman dalam mendekati wanita, apalagi Kaira yang berbeda dari wanita-wanita disekitarnya yang biasanya cenderung lebih agresif. Kaira mengangguk mengiyakan. "Kita jalan sekarang?" Tanya Davian sedikit lebih tenang dan langsung dibalas oleh anggukan kecil Kaira lagi. Gadis it
Mobil Davian berhenti di basement sebuah mal. Tante Tania tadi menghendaki untuk langsung bertemu di tempat belanja tersebut sebab dia sempat menghadiri temu dengan beberapa klien di salah satu resto disana.“Apa kabar, Kaira?” Wanita itu bergegas memeluk Kaira dengan mata berbinar, segera setelah mereka bertemu.Kaira membalasnya dengan senyuman canggung, wanita itu belum terbiasa berada di tengah-tengah keluarga Rajendra seperti ini. Dia masih menjawab seadanya dan menunjukkan kehati-hatiannya.“Kita makan dulu, yah! Baru setelah itu mulai belanja,” ungkap Tante Tania yang hanya bisa diangguki oleh Kaira. Wanita itu menurut saja dan kini duduk disebelah tante Tania sementara Davian berada diseberangnya.Tante Tania nampak sangat antusias dan cukup aktif dalam mengajaknya bicara hingga Kaira lama kelamaan jadi semakin nyaman. Mereka bahkan tanpa sadar tertawa akan beberapa topik yang membuat Davian menyimpulkan sebuah senyum. Jarang sekali dia melihat sang mama mau memulai topik dan
"Kamu yakin dengan keputusan kamu itu, nak?"Kaira mengangguk saat duduk di kursi kamar orang tuanya. Pasangan parubaya itu menatapnya heran saat sang putri menyampaikan keputusan finalnya kepada mereka. Pasalnya, Kaira terlihat syok dan sangat tidak terima saat dilamar kurang dari seminggu lalu. Namun kini dia justru mengatakan bahwa ini adalah keputusan finalnya, dan dia sudah memikirkan semuanya dengan matang. Sepasang parubaya itu saling menatap keheranan. "Apa yang mempengaruhi kamu dalam pengambilan keputusan ini? Kamu yakin?" Tanya sang bapak lagi.Wanita dua puluh lima tahun itu menatap kedua orang tuanya secara bergantian lalu mengangguk lagi. "Aku akan menerima pinangannya. Kaira rasa, tidak ada salahnya menerima lamaran dari seseorang seperti Mas Davian. Lagipula, mungkin dengan bersama dia aku bisa menemukan jalan karir yang baru," jelas Kaira kali ini. Tidak munafik bahwa itu merupakan salah satu bahan pertimbangannya saat mengambil keputusan ini. Tentu selain karena di
Kaira melihat pantulan dirinya di cermin. Masih belum percaya bahwa dirinya ternyata bisa terlihat seperti itu dengan gaun pengantin berwarna putih yang tak memiliki banyak aksen namun tetap memeluk tubuhnya dengan sempurna. Riasannya tidak berlebihan—soft glam yang elegan dan berhasil mengaksentuasi fitur wajah dan kecantikan Kaira dengan tepat. Rambutnya ditata ditambah bantuan sanggul modern dan sedikit bunga minimalis untuk mempercantiknya. Sentuhan tangan make up artist pilihan Tante Tania memang harus diacungi jempol. "Menantu mama memang cantik banget!" Kaira tersenyum tipis saat menemukan Tania sudah berdiri dibelakangnya. Wanita itu nampak puas dengan hasil riasan dan tampilan final Kaira di hari spesialnya itu. Tania menggenggam tangan Kaira dengan hangat, "Mama seneng banget akhirnya kamu benar-benar akan menjadi putri mama," ucap wanita parubaya tersebut. Kaira mengusap punggung tangan sang calon mertua. Sebelum Tania benar-benar menangis haru, lebih dulu wanita itu me
"Mas mandi duluan aja! Aku masih harus menghapus makeup dan membuka riasan lainnya," ujar Kaira ketika baru sampai di kamar hotel. Setelah berjam-jam sibuk menyapa tamu dan berada dalam keramaian, pada akhirnya acara hari itu tuntas. Kaira sudah duduk di depan meja rias. Mencoba untuk melepaskan secara perlahan riasan rambutnya—termasuk belasan bobby pin yang bertengger disana. Dibalik riasan rambut yang kelihatan sederhana, ternyata tersimpan penahan yang cukup membuat kepala Kaira nyut-nyutan.Keduanya malam ini akan beristirahat di kamar hotel tempat pesta dihelat. Hanya malam ini, besok Kaira akan langsung diboyong Davian untuk tinggal di kediaman mereka. Rumah pribadi Davian yang letaknya tak begitu jauh dari rumah utama keluarga Rajendra.Davian baru saja melepas tuxedonya, melepas kancing di lengan kemeja sebab dia sendiri sudah tidak tahan lagi mengenakan pakaian tersebut. Namun ketika melihat Kaira yang kelihatan kesusahan, laki-laki itu berinisiatif untuk membantunya lebih d