Share

8. Win-win Solution

Kaira melirik Davian yang nampak duduk dengan tenang diseberangnya, sementara Alvero baru saja mengambil tempat tepat disebelah sang kakak. Posisi mereka layaknya tengah melakukan interview kandidat karyawan baru—sayangnya Kaira lah yang seolah tengah duduk di kursi panas menghadapi dua bos besar.

"Apa kabar, Kai?"

Alvero mengumbar senyuman mematikan yang beberapa tahun lalu berhasil menjeratnya. Lelaki itu tak banyak berubah, hanya tampilannya saja yang tentu sudah kehilangan fitur-fitur remajanya. Cara lelaki itu memanggilnya pun terdengar masih semanis dahulu. Hanya saja Kaira tahu, perasaan mereka sudah tentu tidak lagi sama.

Kaira tidak berniat memberikan jawaban lisan. Wanita itu hanya mengangguk dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Jelas duduk bertiga seperti ini merupakan sebuah tekanan besar baginya.

"Ada yang perlu Alvero sampaikan sebelum kamu memutuskan nantinya," Ujar Davian dengan senyuman tipis. Lelaki itu lantas bangkit dari kursinya dan menepuk pundak sang adik, pamit ke toilet katanya dan meninggalkan sepasang mantan kekasih itu berdua di meja makan.

Situasi ini lebih dia benci, terjebak berdua dengan mantan kekasih yang kelihatan jelas sekali tengah merencanakan sesuatu terhadapnya. Apalagi setelah tragedi semalam dimana ia tiba-tiba merekomendasikan Kaira kepada keluarganya dan bahkan dengan nekat menyampaikan lamaran dadakan.

"Tenang saja, Davian sudah tahu tentang kita," jelas Alvero seolah menjawab langsung keingintahuan Kaira sejak kemarin.

Alis Kaira mengernyit sebab heran. Pernyataan itu tentu membuatnya semakin bingung akan motif utama keluarga ini mengincarnya.

“Dan dia setuju untuk melakukan ini?" Heran Kaira.

Alvero kembali mengangguk yang membuat Kaira seolah kehabisan kata-kata. Dia tidak habis pikir. Bagaimana bisa Davian dengan tebal muka menikahi mantan kekasih adiknya sendiri? Tanpa kenal dan pendekatan sebelumnya pula.

"Aku yang minta dia untuk menikahi kamu. Mama juga setuju. Tidak ada masalah dalam keluargaku, semuanya aman terkendali," penjelasan Alvero tak urung membuat Kaira tiba-tiba saja jadi semakin uring-uringan.

Wanita itu tak terima, "Atas dasar apa? Apakah sekarang pengalaman berkencan juga bisa dijadikan sebagai referensi dan masuk dalam riwayat hidup sehingga bahkan bisa direkomendasikan begini? Hhhh lucu sekali," sinis Kaira memutar bola matanya heran.

Alvero tertawa tipis melihat respon mantan kekasihnya itu, “Kamu masih sangat ekspresif,” balasannya membuat Kaira semakin naik darah. Apa ini bahkan saat yang tepat untuk mengomentari temperamennya?

Dua kakak beradik itu sama saja suka sekali menguji kesabarannya yang bak sehelai tisu dibagi empat bahkan lebih.

“Okay, aku akan bicara serius. Kamu tidak perlu emosi begitu,” ujar Alvero akhirnya setelah menyelesaikan tawanya. Melihat wajah Kaira merah padam membuatnya harus segera mengantisipasi fase selanjutnya dari kemarahan Kaira.

Lelaki itu memandang laut sebentar sebelum akhirnya kembali fokus pada Kaira.

“Dengan segala kerendahan hati, aku meminta kesediaan kamu untuk menikahi Kak Davian. Selama ini kakakku itu tidak pernah membawa satupun wanita pulang ke rumah dan bahkan sepertinya hampir melajang sepanjang hidupnya. Mamaku tentu sudah terus menuntutnya untuk menikah dan aku rasa kamu adalah kandidat terbaik,” ujar Alvero.

Kaira mengernyitkan alisnya lagi. Dari sekian juta penduduk dunia dan entah berapa banyak wanita yang ada diluar sana, bagaimana mereka bisa mengambil kesimpulan untuk memilihnya?

“Dia punya pekerjaan yang mentereng dan kalian berasal dari keluarga cukup berada. Bukan hal sulit tentunya untuk memilih satu diantara kalangan kalian ketimbang memilih seseorang sepertiku,” elak Kaira.

Alvero menggeleng, “Aku kenal kamu dengan cukup baik, Kai. Aku berani bertaruh bahkan sampai kini kamu pasti belum berkencan lagi bukan karena tidak ada yang mendekati, tapi karena kamu yang merasa tidak punya waktu untuk menjalin hubungan,” bela Alvero.

“Tapi itu tidak cukup menjadi alasan mengapa kalian memilihku, bukan? Apalagi dengan riwayat diantara kita, kamu yakin itu sebuah keputusan yang etis?”

Kaira agak berhati-hati ketika menyenggol kembali tentang hubungan masa lalu keduanya. Namun respon Alvero sebaliknya justru sangat santai. Tegas dan jelas bahwa lelaki itu memang sudah tak punya perasaan apapun lagi padanya. Kaira merutuk dalam hati ketika memikirkan itu, apa yang sebenarnya dia harapkan?

“Justru itu, aku melakukan ini sekaligus untuk membantumu. Anggap saja aku memberimu jalan keluar dari permasalahanmu sekarang. Lihat ini sebagai sebuah win-win solution,” ujar Alvero yang kini terlihat lebih serius dengan pindah mengisi kursi kakaknya tadi.

Kaira bertambah bingung namun masih dengan setia menyimak.

“Aku ingin membantumu keluar dari situasi sulit diantara keluargamu. Menikahi Davian juga opsi yang tepat untuk pengembangan diri, dia bisa support cita-cita karirmu. Disaat yang bersamaan, kamu juga bisa membantu kakakku agar tidak terus mendapat ocehan dari mama. Selain itu, kamu juga bisa sekaligus membantu aku,” tutur Alvero lagi.

Kaira mendelik, apa yang salah dengan dirinya? Pertama, situasi sulit semacam apa yang para pria kaya ini pikir tengah dia alami? Kedua, apa yang dia bisa bantu untuk kedua bersaudara ini?

“Menikahi Davian tidak akan merugikan kamu sama sekali. Dia mungkin bukan orang yang romantis, tapi kalau kamu mencari seseorang yang cukup logis namun perhatian dan bisa kamu ajak berbagi pendapat seumur hidup, Davian adalah pilihan terbaik. Aku tidak mengatakan ini karena aku adiknya,“ tegas Alvero.

Melihat Kaira yang menatapnya ragu, Alvero pada akhirnya menghela nafas dan menembakkan senjata terakhirnya. Kaira bukan seseorang yang mudah untuk ditaklukkan dalam sebuah percakapan.

“Davian harus segera menikah.”

Alvero menahan kalimatnya untuk menghela nafas sedikit lebih dalam.

“—baru setelah itu aku akan bisa menikahi Cindy yang sekarang tengah mengandung anakku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status