Kaira tidak bisa menahan kekagetannya. Dia tidak salah dengar, kan? Nama yang diucap oleh Alvero terdengar sangat tidak asing baginya.
“Cindy Airatama?” Anggukan Alvero semakin membuat jantungnya mencelos. Kaira cukup kaget mendengar bahwa selama ini mantan kekasihnya ternyata berhubungan dengan teman duduknya semasa SMA? Astaga yang benar saja? Takdir macam apa yang tengah menjerat mereka? Dia hampir tak bisa berkata-kata, respon apa yang harus Kaira berikan selain tampang kaget yang secara gamblang sudah dia sajikan? “Mama tidak akan membiarkanku menikahinya selama Kak Davian belum menikah. Kamu tahu aturan seperti apa yang berlaku dalam keluargaku, kan?” Kaira ingat sempat saling berbagi kisah keluarga masing-masing. Dia tahu betapa ‘ningrat’ nya aturan keluarga Rajendra jika dilihat dari sudut pandang Alvero. “Bahkan meskipun aku mengatakan tentang ini, dia tidak serta merta merestui hubunganku dengan Cindy dan membiarkanku menikahinya. Aku tetap harus menunggu Davian menikah sebelum aku bisa menikah juga,” jelas Alvero. Alvero kembali memandangi lautan disebelahnya, “Kamu tahu aku selalu ingin tinggal diluar negeri, kan? Aku dan Cindy punya keinginan yang sama. Kami akan membesarkan anak kami nanti disana. Kehidupan itu akan aku dapatkan begitu Davian menikah. Jadi tolong, bisa kamu bantu aku sekali ini saja?” Mohon Alvero lagi. Kaira tidak menyangka dia akan dilibatkan dalam drama keluarga orang seperti ini. Pandangan dan pikirannya kosong selama beberapa saat. Terlalu kaget dengan apa yang dia dengar dan proses di kepalanya terasa sangat lamban. Ketika pada akhirnya dia menemukan Davian berjalan kearah mereka dengan dua tangan berada di kantong, Kaira justru menatapnya ragu. Jika pernikahan ini hanyalah bala bantuan untuk mempermulus kehidupan Alvero, apakah Kaira dan Davian berani bermain-main diatas sebuah janji suci seperti ini? “Keuntungan apa yang akan aku dapatkan kalau menerima keputusan ini?” Tanya Kaira berusaha menggali lebih jauh. Mengabaikan Davian yang berjalan dari kejauhan dan tidak memutus pandang dengannya. Alvero memamerkan senyumnya, merasa Kaira sudah lebih melunak. “Secara materi, tentu kamu tidak akan kesulitan apapun. Kakakku itu adalah manusia paling royal yang aku tahu. Selain itu, kamu juga tidak akan didesak untuk menikah oleh Bude Mita. Setidaknya setelah menikah, kamu bisa menikmati hidup untukmu sendiri,” bisik Alvero kecil sementara Davian baru saja sampai di tempat mereka dan kini menarik kursi untuk kembali duduk. Tak berselang lama, makanan pada akhirnya tersaji diatas meja setelah cukup lama menunggu. Davian tidak membahas apapun lagi selain langsung meminta mereka untuk fokus pada apa yang tersaji diatas meja. Kaira hanya diam sepanjang makan. Meskipun menu dihadapannya adalah makanan favoritnya, wanita itu seolah kehilangan nafsu makannya. Habis dimakan oleh pikirannya sendiri, dia sedang berusaha mencerna apa yang telah dia lalui dan bagaimana kedepannya dia harus menghadapi hidup diantara mereka."Jangan diet, Kai! Kamu sudah terlalu kurus! Apa yang nantinya akan dipeluk oleh Kak Davian kalau kamu tidak makan dengan lahap?" Godaan Alvero membuat Kaira hampir menyemburkan makanannya. Davian berdehem sembari mengirimkan sebuah tatapan maut pada sang adik. Di saat yang bersamaan, tangan lelaki matang itu juga secara ringan mendorong sebuah gelas berisi air minum pada Kaira.
Setelah meneguk airnya, Kaira bahkan tidak membalas kalimat dari Alvero lagi. Tiba-tiba saja dia merasa canggung berada di tengah mereka.
Setelah beberapa saat, Alvero kembali lebih dulu sebab katanya ada yang harus diurusnya. Davian dengan tanggung jawabnya tentu mengantar Kaira kembali ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, Kaira jadi lebih banyak diam.
"Kenapa? Kamu kecewa karena Alvero ternyata memilih wanita lain selain kamu?"
Apa yang bisa Davian pikirkan selain itu? Adiknya dan gadis yang katanya calon istrinya itu punya hubungan di masa lalu. Sangat wajar kalau misalnya Kaira masih mengharapkan Alvero.
Mendengar itu Kaira justru mendelik tidak terima. Enak saja dia dianggap belum move on.
"Saya lebih kasihan pada nasib Cindy dan bayinya kalau Alvero tidak bisa bertanggung jawab terhadap mereka," tukasnya.
Dia cukup jujur dalam hal ini. Meskipun sudah lama tidak kontak dengan temannya itu, Kaira masih mengingat kebaikan Cindy selama mereka SMA. Bagaimana bisa dia abai begitu saja?
“Jangan terlalu dipikirkan! Terus terang, saya tidak akan memaksa kamu untuk menerima pinangan ini hanya karena masalah Alvero. Anak itu harus berjuang lebih keras untuk menebus kesalahannya. Jadi kamu tidak perlu merasa terbebani,” ucap Davian yang justru terdengar berbeda dengan sang adik.
Kaira melirik Davian yang tengah menyetir disebelahnya. Aura pria matang yang menguar sempurna dari sosok itu memang tidak dapat dihindari. “Mas nggak benar-benar ingin membantu Alvero?” Butuh sekitar sepuluh detik untuk Davian pada akhirnya memberi jawaban atas pertanyaan tersebut. “Dia sudah dewasa, tidak akan bisa terus berlindung dibalik saya ataupun mama. Dia paling tidak harus menyiapkan rencana lain apabila rencana yang satu ini tidak berjalan lancar.” Kaira beralih melirik Davian dengan serius, "Itu artinya, mas sudah menyerah? Tidak akan benar-benar berjuang untuk menikahi saya?"Entah apa yang Kaira pikirkan hingga dia mampu mengeluarkan kalimat tersebut. Segera setelah selesai mengucapkannya, Kaira merutuki dirinya sendiri di dalam hati.
Berbalik Davian yang kini meliriknya tenang, pria itu menghentikan mobilnya seiring dengan lampu lalu lintas yang menyala merah.
"Kalau bukan karena masalah Alvero, apakah kamu masih mau mempertimbangkan untuk menikah dengan saya?"
Kaira duduk termenung di tepi jendela kamarnya, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Udara sore yang sejuk menelisik melalui celah tirai, tetapi pikirannya tenggelam dalam pusaran pertimbangan yang rumit. Sisa percakapan tadi siang kembali membayang dalam benaknya, memaksa hatinya untuk menimbang-nimbang keputusan yang bisa mengubah hidupnya.Wanita itu sudah lama tidak berselancar di media sosial. Namun hari ini, pada akhirnya dia mencoba untuk mengintip akun mantan dan mantan teman sebangkunya dahulu. Kaira dan Cindy memang tidak saling follow, namun setidaknya Cindy tidak mengunci akunnya. Setelah menelisik hampir satu per satu foto yang diposting di akun media sosial milik Cindy, Kaira dapat menyimpulkan bahwa Cindy dan Alvero memang sudah sejak lama saling berhubungan. Bahkan foto pertama Alvero yang diposting di akun media sosial Cindy hanya berselang tiga bulan setelah Kaira dan Alvero putus hubungan waktu itu. Dia tersenyum getir. Bukan masalah belum move on a
"Mbak, bagi duit jajan dong!"Kaira yang tengah berselancar di platform pencari kerja memutar tubuhnya melirik sang adik sepupu yang berdiri dengan congkak di belakang sofa tempatnya duduk. Aidan sudah mengenakan seragamnya serampangan, berdiri dengan sebelah tangan yang menadah padanya. Pandangan heran Kaira dibawanya lagi pada jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Alis wanita itu mengerut heran. Mengapa Aidan masih di rumah di jam-jam ini sementara seingatnya Aira si kembaran sudah berangkat pukul enam pagi tadi? Bukankah mereka berada di sekolah dan bahkan kelas yang sama?"Kamu kok belum berangkat?" Kaira tentu saja tidak bisa menahan rasa penasarannya. Saat ini kedua orang tuanya sudah berangkat, begitu juga Aira yang sempat berpamitan padanya tadi, tapi bagaimana dengan Aidan yang tiba-tiba saja muncul?Laki-laki yang baru menginjak tujuh belas tahun itu berkacak pinggang, "Ini mau berangkat. Jadi mana duitnya? Makin lama dong berangkatnya kalau mbak nggak kasih duit
Kaira baru saja melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah ketika Davian bersandar tepat di mobil hitam mengilapnya. Lelaki itu mengenakan kemeja warna coklat tua yang digulung sebatas siku dan celana kain warna hitam yang memberikan kesan rapi namun tetap modis. Netra mereka tak sengaja langsung bertubrukan tadi yang membuat Kaira buru-buru membuang wajah karena detak jantungnya tiba-tiba saja menjadi terlalu cepat.Davian mengangkat tangan kanannya, dengan kaku mengucapkan salam saat Kaira mulai berjalan kearahnya. "Kamu sudah sarapan?" Davian bertanya basa-basi. Sesungguhnya mereka berdua diliputi kecanggungan yang berat pasca tiga hari pertemuan terakhir mereka waktu itu. Davian sendiri tak punya banyak pengalaman dalam mendekati wanita, apalagi Kaira yang berbeda dari wanita-wanita disekitarnya yang biasanya cenderung lebih agresif. Kaira mengangguk mengiyakan. "Kita jalan sekarang?" Tanya Davian sedikit lebih tenang dan langsung dibalas oleh anggukan kecil Kaira lagi. Gadis it
Mobil Davian berhenti di basement sebuah mal. Tante Tania tadi menghendaki untuk langsung bertemu di tempat belanja tersebut sebab dia sempat menghadiri temu dengan beberapa klien di salah satu resto disana.“Apa kabar, Kaira?” Wanita itu bergegas memeluk Kaira dengan mata berbinar, segera setelah mereka bertemu.Kaira membalasnya dengan senyuman canggung, wanita itu belum terbiasa berada di tengah-tengah keluarga Rajendra seperti ini. Dia masih menjawab seadanya dan menunjukkan kehati-hatiannya.“Kita makan dulu, yah! Baru setelah itu mulai belanja,” ungkap Tante Tania yang hanya bisa diangguki oleh Kaira. Wanita itu menurut saja dan kini duduk disebelah tante Tania sementara Davian berada diseberangnya.Tante Tania nampak sangat antusias dan cukup aktif dalam mengajaknya bicara hingga Kaira lama kelamaan jadi semakin nyaman. Mereka bahkan tanpa sadar tertawa akan beberapa topik yang membuat Davian menyimpulkan sebuah senyum. Jarang sekali dia melihat sang mama mau memulai topik dan
"Kamu yakin dengan keputusan kamu itu, nak?"Kaira mengangguk saat duduk di kursi kamar orang tuanya. Pasangan parubaya itu menatapnya heran saat sang putri menyampaikan keputusan finalnya kepada mereka. Pasalnya, Kaira terlihat syok dan sangat tidak terima saat dilamar kurang dari seminggu lalu. Namun kini dia justru mengatakan bahwa ini adalah keputusan finalnya, dan dia sudah memikirkan semuanya dengan matang. Sepasang parubaya itu saling menatap keheranan. "Apa yang mempengaruhi kamu dalam pengambilan keputusan ini? Kamu yakin?" Tanya sang bapak lagi.Wanita dua puluh lima tahun itu menatap kedua orang tuanya secara bergantian lalu mengangguk lagi. "Aku akan menerima pinangannya. Kaira rasa, tidak ada salahnya menerima lamaran dari seseorang seperti Mas Davian. Lagipula, mungkin dengan bersama dia aku bisa menemukan jalan karir yang baru," jelas Kaira kali ini. Tidak munafik bahwa itu merupakan salah satu bahan pertimbangannya saat mengambil keputusan ini. Tentu selain karena di
Kaira melihat pantulan dirinya di cermin. Masih belum percaya bahwa dirinya ternyata bisa terlihat seperti itu dengan gaun pengantin berwarna putih yang tak memiliki banyak aksen namun tetap memeluk tubuhnya dengan sempurna. Riasannya tidak berlebihan—soft glam yang elegan dan berhasil mengaksentuasi fitur wajah dan kecantikan Kaira dengan tepat. Rambutnya ditata ditambah bantuan sanggul modern dan sedikit bunga minimalis untuk mempercantiknya. Sentuhan tangan make up artist pilihan Tante Tania memang harus diacungi jempol. "Menantu mama memang cantik banget!" Kaira tersenyum tipis saat menemukan Tania sudah berdiri dibelakangnya. Wanita itu nampak puas dengan hasil riasan dan tampilan final Kaira di hari spesialnya itu. Tania menggenggam tangan Kaira dengan hangat, "Mama seneng banget akhirnya kamu benar-benar akan menjadi putri mama," ucap wanita parubaya tersebut. Kaira mengusap punggung tangan sang calon mertua. Sebelum Tania benar-benar menangis haru, lebih dulu wanita itu me
"Mas mandi duluan aja! Aku masih harus menghapus makeup dan membuka riasan lainnya," ujar Kaira ketika baru sampai di kamar hotel. Setelah berjam-jam sibuk menyapa tamu dan berada dalam keramaian, pada akhirnya acara hari itu tuntas. Kaira sudah duduk di depan meja rias. Mencoba untuk melepaskan secara perlahan riasan rambutnya—termasuk belasan bobby pin yang bertengger disana. Dibalik riasan rambut yang kelihatan sederhana, ternyata tersimpan penahan yang cukup membuat kepala Kaira nyut-nyutan.Keduanya malam ini akan beristirahat di kamar hotel tempat pesta dihelat. Hanya malam ini, besok Kaira akan langsung diboyong Davian untuk tinggal di kediaman mereka. Rumah pribadi Davian yang letaknya tak begitu jauh dari rumah utama keluarga Rajendra.Davian baru saja melepas tuxedonya, melepas kancing di lengan kemeja sebab dia sendiri sudah tidak tahan lagi mengenakan pakaian tersebut. Namun ketika melihat Kaira yang kelihatan kesusahan, laki-laki itu berinisiatif untuk membantunya lebih d
Butuh waktu lebih dari tiga puluh menit bagi Kaira menyelesaikan seluruh ritual mandinya. Mulai dari keramas, mandi, hingga mengeringkan rambut dan mengenakan skincare sebelum tidurnya. Syukur saja semua itu sudah ada di kamar mandi sehingga Kaira bisa menyelesaikan seluruhnya secara langsung di kamar mandi.Setelah selesai, Kaira justru bingung bagaimana ia harus keluar kamar mandi. Wanita itu tidak dapat menenangkan jantungnya yang terus berdebar kencang melebihi yang biasanya. Jelas Kaira paham apa pemicunya—dia khawatir. Bagaimana jika Davian menagih haknya sekarang? Jujur saja Kaira belum siap.Too much thought. Kaira mengambil nafas dan mengeluarkannya secara teratur untuk setidaknya sedikit menenangkan diri. Dia tidak mungkin terus berada di kamar mandi semalaman, kan?Pada akhirnya, wanita itu memberanikan diri untuk keluar dari kamar mandi. Kaki jenjangnya berjalan berjengkit, membuka kenop dengan super perlahan seolah berusaha tak menimbulkan suara barang satu desibel-pun. B
Setelah perdebatan tipis-tipis tadi, Kaira masuk ke dalam ruangan kerjanya. Langsung menemukan Davian yang tengah duduk di singgasananya sembari menikmati secangkir kopi pagi dengan seutas senyum yang menghiasi wajahnya. "Menikmati pertunjukan dengan tenang?" Sindir Kaira. Dia tahu pasti bahwa suaminya itu memang menonton dari dalam ruangan. Kaira meletakkan tas bawaannya diatas meja, lantas mulai menyiapkan perlengkapan kerjanya secara teliti.Davian masih senyum-senyum di tempatnya, "Jadi sekarang kamu sudah tidak marah lagi?" Tanyanya.Kaira meliriknya sekilas dibarengi dengan sebelah alis yang naik keatas. "Ada apa dengan pertanyaan out of topic itu?"Tiba-tiba saja Davian membahasnya. Kaira yakin seratus persen bahwa apa yang sekarang ini Davian lakukan adalah hanya untuk menjahilinya. "Buktinya kamu lebih mempercayai aku dibanding termakan permainan kata-kata Dokter Raina," tutur Davian yang kini memangku dagunya dengan kedua tangan. Lelaki dewasa itu justru nampak lucu dengan
Saat Kaira tiba di kantor pagi ini, dia tidak terkejut melihat sosok Raina sudah berdiri di depan ruangan Davian. Wajah perempuan itu tampak tenang, meskipun jelas ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.Jelas dia telah menduganya. Beberapa panggilan dan pesan yang dikirimkan semalam, bahkan di waktu istirahat, sudah pasti Raina tidak akan menyerah begitu saja. "Bu, ada tamu. Beliau bilang ingin menemui Pak Davian," ujar Tika sembari berbisik pelan. Sebagai pihak pertama di lantai Ruangan Direktur, Tika adalah yang bertugas untuk berkomunikasi dengan Kaira ataupun Davian apabila ada tamu. Juga menerima dari resepsionis utama yang berada di lantai dasar. Namun sepertinya, kedatangan tanpa jadwal dan brief sebelumnya ini membuat Tika agak sedikit kebingungan. Kaira melirik Raina yang tengah duduk dengan santai, "Bapak bilang apa?" Dia tahu suaminya sudah lebih dulu sampai ruangan hari ini. Seharusnya Davian sekarang sudah berada di ruangan. Tika bersiap untuk berbisik, dia mengecilkan s
Suara-suara aneh tiba-tiba saja terdengar berisik dan mengganggu pendengaran. Belum lagi guncangan kecil yang menyebabkan pergerakan pada tempatnya berada cukup mengusiknya. Kaira yang masih diliputi setengah rasa kantuk terpaksa membuka matanya untuk menemukan sumber gangguan.Matanya terbelalak, saat ini dia menghadap samping. Tepat menyaksikan bagaimana seorang wanita menduduki atau bahkan bisa dikatakan tengah menunggangi suaminya—tepat disampingnya. Pemandangan gila yang membuat Kaira berdebar sakit menyaksikannya. Lenguhan dan kesibukan dari sepasang insan gila disebelahnya cukup membuat Kaira tak bisa menahan air mata dan juga amarah. Namun tetap saja, Kaira tak bisa menggerakkan tubuhnya atau bahkan sekadar mengeluarkan suaranya. Ia kaku dan bisu. Ingin berteriak namun seolah tak bisa keluar apapun.Ketika pasangan gila itu menatap kearahnya, mereka tersenyum, dan itu jelas membuat Kaira semakin diliputi kemarahan. Bagaimana bisa suaminya dan Raina melakukan ini disana?Mata
Davian akhirnya kembali ke rumah setelah seluruh urusannya di rumah sakit selesai. Tubuhnya masih lemah, tetapi jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Begitu memasuki rumah, Kaira sigap membantunya duduk di sofa sebelum membawa bantal tambahan agar suaminya lebih nyaman."Pak Aldo, mau minum sesuatu? Teh ataupun soft drink?" Tanya Kaira pada Aldo yang sudah setia membantunya dan mengantar mereka pulang ke rumah dengan selamat.Aldo melirik Davian, memahami makna tatapan Davian dan tersenyum tipis berusah atak terlalu kentara. "Terima kasih, tapi tidak perlu repot, bu. Saya izin untuk langsung pulang ke rumah sekarang," ujarnya menolak halus tawaran Kaira.Tak membiarkan Kaira membujuk atau melakukan percakapan tambahan, Davian menambahkan narasi yang mungkin bisa membantu. "Benar, orang rumah pasti lebih tenang jika kamu berada disana. Terima kasih atas bantuannya ya, Do! Salam buat tante dan semoga lekas sembuh," ujar Davian pada Aldo yang pada akhirnya juga disetujui oleh Kaira. "Ah
Percakapan dengan Aldo terus berputar di kepalanya. Kaira yakin selama ini dia tidak melakukan sesuatu yang menyalahi aturan, tapi mengapa kemudian dia harus menghadapi segala macam kebetulan di dunia yang luasnya tak terhingga namun ternyata seolah sangat sempit ini?Dokter Raina adalah putri sulung mantan bosnya—putri dari Hanan Suditra?Jadi, dialah putri hilang yang sempat dia dengar desas-desusnya karena berselisih dengan ayahnya itu? Alasannya adalah ini? Karena rasa bersalahnya pada Davian?Mengapa semuanya jadi bertumpukan seperti ini? Itukah yang membuat Hanan Suditra memandangnya remeh sebelumnya? Karena mungkin dia pikir Kaira tidak akan pernah sebanding dengan putrinya untuk mendampingi Davian?"Bu Kaira, anda baik-baik saja?"Lamunannya terketuk, Kaira dengan cepat kembali pada dunia nyata—berada di ruang rawat bersama dengan Davian dan juga dokter yang tengah menjelaskan beberapa hal sebelum memperbolehkan Davian untuk beristirahat di rumah.Kaira melirik dokter dan suam
"Kamu benar-benar dengan bangga menyebut diri sebagai seorang istri saat bahkan kamu sendiri tidak tahu kesulitan yang Davi tengah hadapi?"Kaira menutup matanya sembari menahan sesak di dada yang terus memenuhinya. Wanita itu duduk di kursi panjang rumah sakit sendirian—memikirkan kembali keganjilan belakangan ini yang tak pernah dia anggap sebagai pertanda apapun. Tapi sentilan sinis dari Raina membuatnya merasa rendah diri. Apa dia benar-benar se-egois itu dan begitu cuek terhadap suaminya sendiri hingga bahkan tidak mengetahui bahwa Davian belakangan ini memang berada dalam kondisi tubuh kurang baik?"Bu Kaira.."Kaira melirik suara yang tiba-tiba menyapanya. Menatap lelaki tinggi dihadapannya yang hadir dengan kedua tangan bertautan dan raut bersalah."Saya minta maaf karena tidak bisa menemani Pak Davian tadi," ucapnya sembari menunduk.Kaira menghela nafas, ini juga bukan salah Aldo sama sekali. "Pak Aldo... Bagaimana kondisi ibu anda?"Aldo tersenyum tipis, "Syukurnya kondisi
"Mas Davian kenapa?"Ketika Dokter Raina keluar, Kaira berusaha keras menata perasaannya. Mengesampingkan seluruh ego dan kecurigaannya sebab yang terpenting saat ini baginya adalah keadaan Davian.Davian menatapnya lama, seolah ada banyak yang ingin dia sampaikan namun semuanya tertahan di ujung lidah. Pada akhirnya, dia hanya bisa menjawab seadanya. "Enggak apa-apa, Kai. Cuma diminta untuk istirahat saja," ujarnya dengan seberkas senyum yang kelihatan dipaksakan.Lama Kaira terdiam sampai akhirnya dia menghela nafas pelan, "Bagaimana tadi kejadiannya? Apa benar seperti yang Dokter Raina katakan?"Davian melihat dan mendengar bagaimana istrinya itu menatapnya datar. Seolah tak ada apapun yang terjadi diantara mereka. Dia bahkan tidak keberatan menyebut kembali nama Raina."Tadi seusai rapat, tiba-tiba saja kepalaku pusing. Sebenarnya perut juga sudah tidak enak sejak pagi. Saat keluar ruangan, tiba-tiba saja aku muntah dan ya seluruhnya gelap."Kaira menghela nafas untuk kesekian ka
Kaira menatap layar laptop dengan fokus, tangannya lincah mengetik sembari mengecek ulang jadwal dan laporan yang menumpuk di mejanya. Sejak pagi, ia sudah disibukkan dengan berbagai tugas sebagai asisten pribadi Davian, memastikan semua agenda berjalan lancar. Begitu juga delegasi tugas untuk merapikan kembali dokumen di ruangan.Namun, ada satu hal yang membuat pikirannya tidak tenang—Davian belum juga memberi kabar.Sejak siang tadi, suaminya pergi bersama Aldo untuk menghadiri rapat penting di luar kantor. Memenuhi persyaratan dari Mama Tania dan tentu juga Davian bahwa Kaira tidak boleh terlalu banyak bekerja dan juga tidak boleh sering-sering ikut dinas keluar. Makanya untuk saat ini Kaira harus puas untuk jaga kandang dan menyeleksi pekerjaan para staf dan membiarkan Aldo yang wara-wiri bersama suaminya.Awalnya, Kaira tidak terlalu khawatir. Namun, seiring waktu berlalu hingga sore menjelang, Davian belum juga kembali. Berkali-kali ia menghubungi ponselnya, tapi hanya nada sam
"Kamu kenapa sih, Kai? Mama perhatiin kok dari semalam banyak bengongnya?" Celetukan Mama Tania berhasil membuat Kaira yang tadinya tenggelam dalam bayang kembali naik ke permukaan. Wanita itu mengedipkan matanya beberapa kali sebab mungkin tanpa sadar hanya berdiam diri tanpa berkedip tadinya. Posisi selang dan tanaman yang ia sirami tidak berubah. Mungkin sekitar tiga menit lebih? Kaira hanya menyiram satu pot bunga hingga airnya meluap karena tidak bisa meresap dengan cepat. Mama Tania yang tadinya berinisiatif memotongkan buah untuk sang menantu sudah menyaksikan Kaira bengong disana selama itu. Dia juga beberapa kali menyebut nama Kaira namun menantunya itu seolah tak mendengarnya. Baru setelah berhasil menyentuh pundaknya, Kaira seolah tersadar dan meresponnya.Buru-buru Kaira mengarahkan selang ke tanaman lainnya. Sembari memaksakan sebuah senyuman hanya untuk menenangkan sang mertua yang bisa jadi justru akan menguliknya sampai akar sekarang."Nggak kok, ma. Tadi lagi mikiri