Share

7. Bincang Berdua

Alunan musik oldies memenuhi pendengaran Kaira selama perjalanan di mobil Davian. Gap generasi tak terasa sebab Kaira justru punya selera musik yang sama sehingga dia sangat nyaman dengan pilihan playlist hari ini.

Davian disebelahnya mengemudi dengan tenang. Pria berkacamata itu tersenyum tipis saat indra pendengarannya menangkap bahwa sesekali Kaira menggumamkan lirik lagu yang terputar.

“Kamu tahu lagu-lagu Richard Marx?” Buka lelaki itu memancing pembicaraan setelah menemukan bahwa Kaira nampaknya cukup familiar dengan lagu-lagu yang terputar sejak tadi.

Kaira mengangguk, “Sedikit. Ayah masih sering mendengarkannya di waktu-waktu senggang,” jawabnya.

Mendengar jawaban Kaira membuat Davian kembali tersenyum tipis. Lelaki itu membiarkan lagu selanjutnya terputar, kali ini dari salah satu penyanyi paling jaya pada masanya.

“Playlist saya sepertinya mirip dengan playlist ayah kamu, ya?” Gurau Davian.

“Lagu-lagu ini juga dirilis saat mas belum lahir. Kondisi kita mungkin tidak jauh berbeda, kan? Perkembangan teknologi sekarang tidak membuat saya heran kalau kita bisa menyelam pada beberapa hal di masa lalu.”

Terkaan Kaira tepat sasaran. Beberapa lagu yang diputarnya memang dirilis bahkan sebelum dirinya lahir.

“Kamu nggak menganggap saya terlalu tua?” Tanya Davian lagi.

Tiga puluh dua dan dua puluh lima tahun. Mereka terpaut tujuh tahun. Mungkin tidak terlalu jauh juga bagi Kaira. Hanya saja, ini bukan saatnya untuk meributkan pasal usia.

“Kenapa? Mas merasa secara usia lebih dekat dengan ayahku? Mungkin tertarik untuk mencoba membangun hubungan dengan Bude Mita saja?” Ceplosan asal dari Kaira tanpa diduga justru memunculkan seberkas tawa langka dari Davian..

Sejujurnya Kaira heran, apa yang lucu dari perkataannya? Teman-teman Kaira selalu mengatakan bahwa selera humornya cukup payah.

“Kenapa? Kamu nggak suka dilamar oleh pria yang tujuh tahun lebih tua? Kamu lebih suka dengan yang sepantaran seperti Alvero?”

Untuk pertanyaan satu ini Kaira hanya bisa diam. Terdengar layaknya seorang suami yang ngambek pada istrinya sebab menemukan pria yang lebih masuk kriteria.

Kaira tidak menjawabnya langsung, Davian pun tidak melanjutkan obrolan acak mereka itu. Dia memutar setirnya memasuki sebuah rumah makan tepi pantai yang Kaira tahu masuk dalam golongan rumah makan dengan harga makanan yang cukup menguras kantong.

“Sudah sampai,” ujar Davian.

Katanya mau makan sambil ngobrol di tempat yang dekat-dekat saja? Kaira pikir mereka hanya akan makan di cafe pinggir kota saja.

“Kamu suka seafood, kan?” Lelaki itu bicara lagi setelah memastikan mobilnya terparkir sempurna. Melirik kearah Kaira yang tengah cengo memandang pilihan restonya. Juga agak tergelitik ketika mendengar kalimat terakhir. Darimana Davian tahu perihal makanan kesukaannya?

Dibanding menanyakan hal tersebut dengan suara keras, Kaira hanya bergumam kecil pada dirinya sendiri.

“Padahal tidak perlu makanan kesukaan jika hanya ingin bicara,” cicitnya kecil. Sayangnya, pendengaran tajam Davian masih bisa menangkapnya secara jelas. Entah apakah laki-laki itu punya pendengaran super atau apa.

Satu yang pasti, dia mulai menyukai semburat merah yang muncul di pipi Kaira. Nampak lucu sekali, kontras dengan nada agak ketus yang beberapa kali Kaira gunakan selama berbincang dengannya.

Mereka berdua keluar dari mobil, berjalan beriringan untuk masuk resto dan diarahkan oleh pelayan ke bilik sekat yang telah direservasi. Orang kaya memang berbeda. Sudah di resto cukup mahal pun masih mereservasi tempat juga.

Keduanya duduk berhadapan, disebelahnya bisa langsung mereka saksikan pemandangan laut yang disekat kaca pembatas. Sesuatu yang sedikit Kaira syukuri sebab kalau mereka makan dengan suasana pantai terbuka, dia mungkin akan lebih repot dengan rambutnya yang diterbangkan oleh angin pantai.

“Jadi, apa yang mau kita bicarakan?” Langsung memukul poin. Dibubuhi dengan gesture memeriksa jam tangan di pergelangan tangan kirinya.

Davian tidak melepaskan sedikitpun pandangannya pada Kaira. Dengan mata tajamnya dibalik kacamata, pria itu seolah tengah mencari celah untuk mengulitinya habis-habis.

“Take it easy, Kaira. Saya ingin kita bisa makan dengan baik sebelum bicara. Tidak perlu terlalu terburu-buru,” ucap lelaki itu lagi.

Bagi Kaira, pernyataan tersebut terdengar sangat plin-plan. Davian sendiri yang tadi mengatakan bahwa dirinya tidak punya cukup waktu hari ini. Tapi kini lelaki itu justru memintanya untuk santai?

“Saya sangat santai, tapi mas bilang setelah ini masih ada pekerjaan, kan? Saya menghargai waktu tersebut,” balas Kaira berharap dapat menuangkan pemikirannya masih dengan cara yang sopan sekalipun sebenarnya dia hampir ingin meneriaki lelaki dihadapannya itu karena tidak konsisten dengan perkataan sendiri.

Davian tersenyum tipis, “Kamu cukup considerate. Inikah yang membuat kamu bisa bertahan bekerja di perusahaan Hanan Suditra selama bertahun-tahun?”

Pertanyaan dari Davian langsung membuat kondisi mood Kaira kembali memburuk. Mendengar nama mantan bosnya itu membuat Kaira mengingat kembali masa-masa suramnya selama bekerja disana.

Tapi Kaira enggan menunjukkan kejengkelannya itu. Tidak mungkin dia mengeluhkan masalah pekerjaan kepada manusia yang katanya baru melamarnya tanpa aba-aba semalam.

“Saya sudah bukan lagi bagian dari perusahaan itu,” balas Kaira sekaligus menegaskan dia tidak tertarik dengan topik percakapan ini.

Tidak buta, Davian dapat dengan jelas mendeteksi ketidaknyamanan Kaira.

Davian menganggukkan kepalanya, “Itu alasanmu kembali kesini?”

Mendapatkan pertanyaan lanjutan, Kaira hampir saja kehilangan kesabarannya. Apalagi, dia merasa tidak datang untuk diinterogasi seperti ini.

“Anda ingin tahu apakah saya kembali kesini karena kehabisan uang dan bermasalah di kota? Ingin mendengarkan keluhan pengangguran?” Sinisnya.

Lelaki itu mengulum senyumnya, temperamen Kaira sesuai dengan perkiraannya.

Sementara di sisi lain, Kaira terus bertanya-tanya, apa motif utama Davian melamarnya? Apakah dia hanya akan dijadikan sebagai budak patriarki apalagi setelah mengetahui status penganggurannya?

“Kamu pasti kaget karena kami datang melamar begitu tiba-tiba kemarin. Kami segera datang begitu mengetahui kamu sudah kembali kesini.”

Pernyataan Davian tak urung membuat Kaira semakin bingung. Darimana lelaki itu tahu bahwa Kaira kembali?

Tapi sebelum bisa menyuarakan kebingungannya, Davian lebih dulu memotongnya.

“Ada banyak yang mungkin bisa kita bicarakan, tapi setelah kamu mendengarkan dia bicara lebih dulu.”

Kaira memutar tubuhnya saat Davian menunjuk seseorang dibelakang tubuhnya. Netra Kaira membulat, mengapa Alvero juga ada disini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status