Alunan musik oldies memenuhi pendengaran Kaira selama perjalanan di mobil Davian. Gap generasi tak terasa sebab Kaira justru punya selera musik yang sama sehingga dia sangat nyaman dengan pilihan playlist hari ini.
Davian disebelahnya mengemudi dengan tenang. Pria berkacamata itu tersenyum tipis saat indra pendengarannya menangkap bahwa sesekali Kaira menggumamkan lirik lagu yang terputar. “Kamu tahu lagu-lagu Richard Marx?” Buka lelaki itu memancing pembicaraan setelah menemukan bahwa Kaira nampaknya cukup familiar dengan lagu-lagu yang terputar sejak tadi. Kaira mengangguk, “Sedikit. Ayah masih sering mendengarkannya di waktu-waktu senggang,” jawabnya. Mendengar jawaban Kaira membuat Davian kembali tersenyum tipis. Lelaki itu membiarkan lagu selanjutnya terputar, kali ini dari salah satu penyanyi paling jaya pada masanya. “Playlist saya sepertinya mirip dengan playlist ayah kamu, ya?” Gurau Davian. “Lagu-lagu ini juga dirilis saat mas belum lahir. Kondisi kita mungkin tidak jauh berbeda, kan? Perkembangan teknologi sekarang tidak membuat saya heran kalau kita bisa menyelam pada beberapa hal di masa lalu.” Terkaan Kaira tepat sasaran. Beberapa lagu yang diputarnya memang dirilis bahkan sebelum dirinya lahir. “Kamu nggak menganggap saya terlalu tua?” Tanya Davian lagi. Tiga puluh dua dan dua puluh lima tahun. Mereka terpaut tujuh tahun. Mungkin tidak terlalu jauh juga bagi Kaira. Hanya saja, ini bukan saatnya untuk meributkan pasal usia. “Kenapa? Mas merasa secara usia lebih dekat dengan ayahku? Mungkin tertarik untuk mencoba membangun hubungan dengan Bude Mita saja?” Ceplosan asal dari Kaira tanpa diduga justru memunculkan seberkas tawa langka dari Davian.. Sejujurnya Kaira heran, apa yang lucu dari perkataannya? Teman-teman Kaira selalu mengatakan bahwa selera humornya cukup payah. “Kenapa? Kamu nggak suka dilamar oleh pria yang tujuh tahun lebih tua? Kamu lebih suka dengan yang sepantaran seperti Alvero?” Untuk pertanyaan satu ini Kaira hanya bisa diam. Terdengar layaknya seorang suami yang ngambek pada istrinya sebab menemukan pria yang lebih masuk kriteria. Kaira tidak menjawabnya langsung, Davian pun tidak melanjutkan obrolan acak mereka itu. Dia memutar setirnya memasuki sebuah rumah makan tepi pantai yang Kaira tahu masuk dalam golongan rumah makan dengan harga makanan yang cukup menguras kantong. “Sudah sampai,” ujar Davian. Katanya mau makan sambil ngobrol di tempat yang dekat-dekat saja? Kaira pikir mereka hanya akan makan di cafe pinggir kota saja. “Kamu suka seafood, kan?” Lelaki itu bicara lagi setelah memastikan mobilnya terparkir sempurna. Melirik kearah Kaira yang tengah cengo memandang pilihan restonya. Juga agak tergelitik ketika mendengar kalimat terakhir. Darimana Davian tahu perihal makanan kesukaannya? Dibanding menanyakan hal tersebut dengan suara keras, Kaira hanya bergumam kecil pada dirinya sendiri. “Padahal tidak perlu makanan kesukaan jika hanya ingin bicara,” cicitnya kecil. Sayangnya, pendengaran tajam Davian masih bisa menangkapnya secara jelas. Entah apakah laki-laki itu punya pendengaran super atau apa. Satu yang pasti, dia mulai menyukai semburat merah yang muncul di pipi Kaira. Nampak lucu sekali, kontras dengan nada agak ketus yang beberapa kali Kaira gunakan selama berbincang dengannya. Mereka berdua keluar dari mobil, berjalan beriringan untuk masuk resto dan diarahkan oleh pelayan ke bilik sekat yang telah direservasi. Orang kaya memang berbeda. Sudah di resto cukup mahal pun masih mereservasi tempat juga. Keduanya duduk berhadapan, disebelahnya bisa langsung mereka saksikan pemandangan laut yang disekat kaca pembatas. Sesuatu yang sedikit Kaira syukuri sebab kalau mereka makan dengan suasana pantai terbuka, dia mungkin akan lebih repot dengan rambutnya yang diterbangkan oleh angin pantai. “Jadi, apa yang mau kita bicarakan?” Langsung memukul poin. Dibubuhi dengan gesture memeriksa jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Davian tidak melepaskan sedikitpun pandangannya pada Kaira. Dengan mata tajamnya dibalik kacamata, pria itu seolah tengah mencari celah untuk mengulitinya habis-habis. “Take it easy, Kaira. Saya ingin kita bisa makan dengan baik sebelum bicara. Tidak perlu terlalu terburu-buru,” ucap lelaki itu lagi. Bagi Kaira, pernyataan tersebut terdengar sangat plin-plan. Davian sendiri yang tadi mengatakan bahwa dirinya tidak punya cukup waktu hari ini. Tapi kini lelaki itu justru memintanya untuk santai? “Saya sangat santai, tapi mas bilang setelah ini masih ada pekerjaan, kan? Saya menghargai waktu tersebut,” balas Kaira berharap dapat menuangkan pemikirannya masih dengan cara yang sopan sekalipun sebenarnya dia hampir ingin meneriaki lelaki dihadapannya itu karena tidak konsisten dengan perkataan sendiri. Davian tersenyum tipis, “Kamu cukup considerate. Inikah yang membuat kamu bisa bertahan bekerja di perusahaan Hanan Suditra selama bertahun-tahun?” Pertanyaan dari Davian langsung membuat kondisi mood Kaira kembali memburuk. Mendengar nama mantan bosnya itu membuat Kaira mengingat kembali masa-masa suramnya selama bekerja disana. Tapi Kaira enggan menunjukkan kejengkelannya itu. Tidak mungkin dia mengeluhkan masalah pekerjaan kepada manusia yang katanya baru melamarnya tanpa aba-aba semalam. “Saya sudah bukan lagi bagian dari perusahaan itu,” balas Kaira sekaligus menegaskan dia tidak tertarik dengan topik percakapan ini. Tidak buta, Davian dapat dengan jelas mendeteksi ketidaknyamanan Kaira. Davian menganggukkan kepalanya, “Itu alasanmu kembali kesini?” Mendapatkan pertanyaan lanjutan, Kaira hampir saja kehilangan kesabarannya. Apalagi, dia merasa tidak datang untuk diinterogasi seperti ini. “Anda ingin tahu apakah saya kembali kesini karena kehabisan uang dan bermasalah di kota? Ingin mendengarkan keluhan pengangguran?” Sinisnya. Lelaki itu mengulum senyumnya, temperamen Kaira sesuai dengan perkiraannya. Sementara di sisi lain, Kaira terus bertanya-tanya, apa motif utama Davian melamarnya? Apakah dia hanya akan dijadikan sebagai budak patriarki apalagi setelah mengetahui status penganggurannya? “Kamu pasti kaget karena kami datang melamar begitu tiba-tiba kemarin. Kami segera datang begitu mengetahui kamu sudah kembali kesini.” Pernyataan Davian tak urung membuat Kaira semakin bingung. Darimana lelaki itu tahu bahwa Kaira kembali? Tapi sebelum bisa menyuarakan kebingungannya, Davian lebih dulu memotongnya. “Ada banyak yang mungkin bisa kita bicarakan, tapi setelah kamu mendengarkan dia bicara lebih dulu.” Kaira memutar tubuhnya saat Davian menunjuk seseorang dibelakang tubuhnya. Netra Kaira membulat, mengapa Alvero juga ada disini?Kaira melirik Davian yang nampak duduk dengan tenang diseberangnya, sementara Alvero baru saja mengambil tempat tepat disebelah sang kakak. Posisi mereka layaknya tengah melakukan interview kandidat karyawan baru—sayangnya Kaira lah yang seolah tengah duduk di kursi panas menghadapi dua bos besar. "Apa kabar, Kai?"Alvero mengumbar senyuman mematikan yang beberapa tahun lalu berhasil menjeratnya. Lelaki itu tak banyak berubah, hanya tampilannya saja yang tentu sudah kehilangan fitur-fitur remajanya. Cara lelaki itu memanggilnya pun terdengar masih semanis dahulu. Hanya saja Kaira tahu, perasaan mereka sudah tentu tidak lagi sama. Kaira tidak berniat memberikan jawaban lisan. Wanita itu hanya mengangguk dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Jelas duduk bertiga seperti ini merupakan sebuah tekanan besar baginya. "Ada yang perlu Alvero sampaikan sebelum kamu memutuskan nantinya," Ujar Davian dengan senyuman tipis. Lelaki itu lantas bangkit dari kursinya dan menepuk pundak sang adik,
Kaira tidak bisa menahan kekagetannya. Dia tidak salah dengar, kan? Nama yang diucap oleh Alvero terdengar sangat tidak asing baginya.“Cindy Airatama?”Anggukan Alvero semakin membuat jantungnya mencelos. Kaira cukup kaget mendengar bahwa selama ini mantan kekasihnya ternyata berhubungan dengan teman duduknya semasa SMA? Astaga yang benar saja? Takdir macam apa yang tengah menjerat mereka?Dia hampir tak bisa berkata-kata, respon apa yang harus Kaira berikan selain tampang kaget yang secara gamblang sudah dia sajikan? “Mama tidak akan membiarkanku menikahinya selama Kak Davian belum menikah. Kamu tahu aturan seperti apa yang berlaku dalam keluargaku, kan?” Kaira ingat sempat saling berbagi kisah keluarga masing-masing. Dia tahu betapa ‘ningrat’ nya aturan keluarga Rajendra jika dilihat dari sudut pandang Alvero. “Bahkan meskipun aku mengatakan tentang ini, dia tidak serta merta merestui hubunganku dengan Cindy dan membiarkanku menikahinya. Aku tetap harus menunggu Davian menikah s
Kaira duduk termenung di tepi jendela kamarnya, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Udara sore yang sejuk menelisik melalui celah tirai, tetapi pikirannya tenggelam dalam pusaran pertimbangan yang rumit. Sisa percakapan tadi siang kembali membayang dalam benaknya, memaksa hatinya untuk menimbang-nimbang keputusan yang bisa mengubah hidupnya.Wanita itu sudah lama tidak berselancar di media sosial. Namun hari ini, pada akhirnya dia mencoba untuk mengintip akun mantan dan mantan teman sebangkunya dahulu. Kaira dan Cindy memang tidak saling follow, namun setidaknya Cindy tidak mengunci akunnya. Setelah menelisik hampir satu per satu foto yang diposting di akun media sosial milik Cindy, Kaira dapat menyimpulkan bahwa Cindy dan Alvero memang sudah sejak lama saling berhubungan. Bahkan foto pertama Alvero yang diposting di akun media sosial Cindy hanya berselang tiga bulan setelah Kaira dan Alvero putus hubungan waktu itu. Dia tersenyum getir. Bukan masalah belum move on a
"Mbak, bagi duit jajan dong!"Kaira yang tengah berselancar di platform pencari kerja memutar tubuhnya melirik sang adik sepupu yang berdiri dengan congkak di belakang sofa tempatnya duduk. Aidan sudah mengenakan seragamnya serampangan, berdiri dengan sebelah tangan yang menadah padanya. Pandangan heran Kaira dibawanya lagi pada jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Alis wanita itu mengerut heran. Mengapa Aidan masih di rumah di jam-jam ini sementara seingatnya Aira si kembaran sudah berangkat pukul enam pagi tadi? Bukankah mereka berada di sekolah dan bahkan kelas yang sama?"Kamu kok belum berangkat?" Kaira tentu saja tidak bisa menahan rasa penasarannya. Saat ini kedua orang tuanya sudah berangkat, begitu juga Aira yang sempat berpamitan padanya tadi, tapi bagaimana dengan Aidan yang tiba-tiba saja muncul?Laki-laki yang baru menginjak tujuh belas tahun itu berkacak pinggang, "Ini mau berangkat. Jadi mana duitnya? Makin lama dong berangkatnya kalau mbak nggak kasih duit
Kaira baru saja melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah ketika Davian bersandar tepat di mobil hitam mengilapnya. Lelaki itu mengenakan kemeja warna coklat tua yang digulung sebatas siku dan celana kain warna hitam yang memberikan kesan rapi namun tetap modis. Netra mereka tak sengaja langsung bertubrukan tadi yang membuat Kaira buru-buru membuang wajah karena detak jantungnya tiba-tiba saja menjadi terlalu cepat.Davian mengangkat tangan kanannya, dengan kaku mengucapkan salam saat Kaira mulai berjalan kearahnya. "Kamu sudah sarapan?" Davian bertanya basa-basi. Sesungguhnya mereka berdua diliputi kecanggungan yang berat pasca tiga hari pertemuan terakhir mereka waktu itu. Davian sendiri tak punya banyak pengalaman dalam mendekati wanita, apalagi Kaira yang berbeda dari wanita-wanita disekitarnya yang biasanya cenderung lebih agresif. Kaira mengangguk mengiyakan. "Kita jalan sekarang?" Tanya Davian sedikit lebih tenang dan langsung dibalas oleh anggukan kecil Kaira lagi. Gadis it
Mobil Davian berhenti di basement sebuah mal. Tante Tania tadi menghendaki untuk langsung bertemu di tempat belanja tersebut sebab dia sempat menghadiri temu dengan beberapa klien di salah satu resto disana.“Apa kabar, Kaira?” Wanita itu bergegas memeluk Kaira dengan mata berbinar, segera setelah mereka bertemu.Kaira membalasnya dengan senyuman canggung, wanita itu belum terbiasa berada di tengah-tengah keluarga Rajendra seperti ini. Dia masih menjawab seadanya dan menunjukkan kehati-hatiannya.“Kita makan dulu, yah! Baru setelah itu mulai belanja,” ungkap Tante Tania yang hanya bisa diangguki oleh Kaira. Wanita itu menurut saja dan kini duduk disebelah tante Tania sementara Davian berada diseberangnya.Tante Tania nampak sangat antusias dan cukup aktif dalam mengajaknya bicara hingga Kaira lama kelamaan jadi semakin nyaman. Mereka bahkan tanpa sadar tertawa akan beberapa topik yang membuat Davian menyimpulkan sebuah senyum. Jarang sekali dia melihat sang mama mau memulai topik dan
"Kamu yakin dengan keputusan kamu itu, nak?"Kaira mengangguk saat duduk di kursi kamar orang tuanya. Pasangan parubaya itu menatapnya heran saat sang putri menyampaikan keputusan finalnya kepada mereka. Pasalnya, Kaira terlihat syok dan sangat tidak terima saat dilamar kurang dari seminggu lalu. Namun kini dia justru mengatakan bahwa ini adalah keputusan finalnya, dan dia sudah memikirkan semuanya dengan matang. Sepasang parubaya itu saling menatap keheranan. "Apa yang mempengaruhi kamu dalam pengambilan keputusan ini? Kamu yakin?" Tanya sang bapak lagi.Wanita dua puluh lima tahun itu menatap kedua orang tuanya secara bergantian lalu mengangguk lagi. "Aku akan menerima pinangannya. Kaira rasa, tidak ada salahnya menerima lamaran dari seseorang seperti Mas Davian. Lagipula, mungkin dengan bersama dia aku bisa menemukan jalan karir yang baru," jelas Kaira kali ini. Tidak munafik bahwa itu merupakan salah satu bahan pertimbangannya saat mengambil keputusan ini. Tentu selain karena di
Kaira melihat pantulan dirinya di cermin. Masih belum percaya bahwa dirinya ternyata bisa terlihat seperti itu dengan gaun pengantin berwarna putih yang tak memiliki banyak aksen namun tetap memeluk tubuhnya dengan sempurna. Riasannya tidak berlebihan—soft glam yang elegan dan berhasil mengaksentuasi fitur wajah dan kecantikan Kaira dengan tepat. Rambutnya ditata ditambah bantuan sanggul modern dan sedikit bunga minimalis untuk mempercantiknya. Sentuhan tangan make up artist pilihan Tante Tania memang harus diacungi jempol. "Menantu mama memang cantik banget!" Kaira tersenyum tipis saat menemukan Tania sudah berdiri dibelakangnya. Wanita itu nampak puas dengan hasil riasan dan tampilan final Kaira di hari spesialnya itu. Tania menggenggam tangan Kaira dengan hangat, "Mama seneng banget akhirnya kamu benar-benar akan menjadi putri mama," ucap wanita parubaya tersebut. Kaira mengusap punggung tangan sang calon mertua. Sebelum Tania benar-benar menangis haru, lebih dulu wanita itu me