Share

5. Dorongan Bude Mita

Di balik jendela rumah yang sederhana, Bude Mita tak bisa menahan binar matanya saat melihat mobil mewah yang dikendarai keluarga Rajendra tadi. Mobil itu berkilau di bawah lampu jalanan kampung,  memantulkan kemewahan yang tak pernah ia bayangkan akan hadir di depan rumahnya. Senyumnya melebar penuh antusiasme.

"Terima saja, Kaira!" Desaknya penuh harap, sambil melirik  keponakannya yang tampak gelisah. Di dalam hatinya, Bude Mita merasa ini adalah kesempatan emas—kesempatan untuk mengangkat derajat keluarga dan mempermudah hidupnya.

Dengan langkah mantap, Bude Mita mendekati Kaira yang tengah duduk termenung di ruang tamu. "Kaira, kamu lihat kan?  Mobilnya saja sudah mewah begitu, bisa kamu bayangkan betapa beruntungnya kamu jika menikah dengannya?" ujar Bude Mita dengan nada penuh semangat.

Seolah pembaca profil profesional, Bude Mita kembali menegaskan tentang Davian.

"Usianya sudah matang. Tiga puluh dua tahun itu tidak terpaut terlalu jauh sama kamu. Pekerjaannya sebagai arsitek juga bagus. Belum lagi latar belakang keluarganya memang sudah kaya sejak orok. Secara fisik juga tampan dan tegap begitu. Bude kalau masih muda sih tidak akan pikir dua kali untuk menerima pinangannya," tutur Bude Mita bersemangat.

Kaira hanya terdiam, hatinya masih kacau oleh berbagai pikiran. Namun, Bude Mita tak berhenti di situ. Ia duduk di samping Kaira dan meraih tangan keponakannya dengan penuh kelembutan, tetapi juga dengan tekanan yang terasa.

"Sudahlah, Nduk. Jangan terlalu lama berpikir. Ini kesempatan yang tak datang dua kali. Dengan menikah dengan Davian, hidupmu akan berubah. Kamu tidak perlu lagi repot-repot bekerja keras, dan keluarga kita juga akan lebih dihormati," Bude Mita semakin mendesak.

Kaira menunduk, merasakan beban yang semakin berat. Ia tahu niat Bude Mita, tetapi hatinya masih dipenuhi kebimbangan. Bude Mita melanjutkan, kali ini dengan nada yang sengaja dilembutkan, namun tetap menekan, "Kamu sudah dewasa. Jangan biarkan kesempatan ini lewat begitu saja. Kalau kamu terus menunda-nunda, kapan lagi kamu akan menikah?"

Ucapan itu bagaikan pisau yang menusuk hati Kaira. Ia tahu bahwa  Bude Mita memang silau harta. Ia juga tahu, keluarga Alvero merupakan keluarga terpandang dengan kekayaan yang mungkin sesuai ekspektasi budenya itu. Tapi tetap saja, ini hidupnya! Kaira tidak bisa menjalani kehidupan hanya karena berpatok harta saja.

"Sudahlah, Mit! Kamu jangan mendesaknya begitu! Biarkan Kaira mengenal Davian perlahan dan mengambil keputusannya sendiri. Kita jangan terlalu banyak ikut campur," nasehat ayah Kaira.

Raut Bude Mita mengeras, seolah dia tidak sependapat dengan kakaknya itu.

"Mas itu terlalu memanjakan Kaira! Atau mas justru gak rela ya kalau putri mas menikah? Kita semua nggak mau Kaira nantinya dicap perawan tua! Mas harusnya tadi langsung saja menerima pinangannya! Dilihat dari sudut manapun, keluarga mereka itu kaya dan baik. Kaira pasti tidak akan menyesal menikah di keluarga seperti itu," ucap Bude Mita penuh penekanan. 

Kaira sudah gatal sekali ingin berkomentar. Namun dia melihat kembali wajah sang ibu yang seolah bisa membaca pikirannya. Wanita itu menggeleng padanya, meminta Kaira untuk tidak melemparkan kalimat menyakitkan yang mungkin hendak dia tujukan pada budenya itu.

Suasana di ruang tamu sudah tidak lagi kondusif. Kaira dengan segala beban pikirannya memilih untuk pamit dan istirahat di kamar lebih awal. Tidak hanya karena dia lelah sebab perjalanan pulang tadi pagi, tapi juga drama demi drama yang entah mengapa menghampirinya secara bersamaan hari ini.

Wanita dengan rambut panjang itu merebahkan dirinya di kasur single ukuran 120 x 200 senti itu. Netranya menatap langit-langit kamarnya yang sederhana. Kamar yang sama dimana beberapa tahun yang lalu Kaira berguling-guling sebab salting saat bertukar pesan dengan kekasih backstreetnya selama SMA—Alvero. 

Masa-masa dimana dia merasakan bunga-bunga kasmaran. Alvero adalah pacar pertamanya, sekaligus satu-satunya bahkan hingga kini mereka telah berusia dua puluh lima tahun. Melupakan masa-masa manisnya bersama Alvero terang saja tidak mudah baginya. Apalagi dengan perpisahan mereka  yang disebabkan karena terbentang jarak dan waktu. Kala itu, Alvero memilih untuk kuliah di luar negeri sementara Kaira diterima di sebuah Universitas Negeri di ibukota. 

Alasan perpisahan mereka cukup klasik tapi tetap menyisakan luka yang menganga. Setelah sekian lama berupaya menyembuhkan dan menyibukkan diri, mengapa tiba-tiba Alvero datang lagi dan parahnya langsung melamar dia untuk kakaknya sendiri? Apa yang sebenarnya Alvero tengah pikirkan?

Suara ketukan halus di pintu membuyarkan lamunan Kaira. Wanita itu tersenyum saat adik sepupunya masuk dengan sebuah senyuman kecil . Kaira ingat tadi sore Aira bilang bahwa malam ini dia ingin tidur dengan kakak sepupunya itu karena dia benar-benar rindu Kaira. 

"Aku ganggu Mbak Kaira, nggak?" 

Aira penuh sopan santun, jauh berbeda dengan ibunya yang seolah selalu menekan Kaira. 

Kaira menggeleng lalu menggeser tubuhnya untuk menyisakan space di ranjangnya. Dia lantas menepuk sisi yang kosong, "Sini! katanya mau cerita banyak sama mbak?!"

Aira tersenyum lebar lalu langsung berbaring tepat disebelah kakak sepupunya itu. Aira sangat menyayangi Kaira karena wanita itulah yang kerap merawatnya saat kecil. 

"Mbak Kaira beneran kenal dengan Mas Alvero?" Tanya Aira tiba-tiba.

Alih-alih menceritakan tentang dirinya, sepertinya malam ini Aira justru akan mengulik tentang kakak sepupu kesayangannya itu. 

Kaira mengangguk, "Iya, teman SMA," ujarnya. Mengikuti skenario Alvero tadi.

Aira lantas mengeluarkan ponselnya dari saku lalu masuk kedalam laman sosial media miliknya. Wanita itu mengetikkan nama Alvero di jajaran pengikut Kaira namun tidak dia temukan sama sekali.

"Kok nggak saling follow?" Tanya Aira serius.

Kaira tersenyum kecil, "Cuma kenal saja. Aku juga tidak tahu akun media sosial miliknya," ujar Kaira asal. 

Menyandang status sebagai generasi Z, Aira dengan cepat mencari nama Alvero dan menemukan akunnya. Pas sekali akun Alvero tidak dikunci sehingga bisa dia intai dengan mudah.

Kaira ikut memandangi guliran layar di ponsel Aira. Alvero punya cukup banyak postingan yang diisi dengan jepretan tempat-tempat hasilnya berkeliling dunia. Lelaki itu memang selalu bercita-cita untuk menjajaki berbagai macam tempat, itu juga yang membuatnya untuk mengambil kuliah diluar negeri. 

Salah satu postingan yang turut menarik perhatian Kaira adalah dimana Alvero berpose mesra dengan seorang wanita cantik. Captionnya pun dibubuhi emotikon hati.

"Nah ketemu!"

Aira berhenti pada sebuah postingan yang berisi jepretan foto keluarga dimana username Davian ikut ditandai disana. Sayangnya, akun Davian digembok sehingga mereka tidak bisa melanjutkan aktivitas stalking tersebut dengan bebas. 

"Ah, nggak asik!" Keluh Aira. 

Kaira tertawa kecil menanggapi. Bersamaan dengan ponselnya yang tiba-tiba berdenting.

"Kaira, tolong save nomor saya, Davian."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status