"Kamu nggak sepantasnya ngomong begitu sama bude kamu sendiri!"
Usai makan malam, Kaira harus kembali mendengarkan ocehan dari ayahnya. Kali ini sebab bibinya itu mengadu bahwa Kaira menghinanya.
Setelah bertahun-tahun tidak pulang dan bahkan baru mendengar cerita Kaira via telepon, bukannya menanyakan bagaimana perjalanan Kaira, dia justru harus kembali disalahkan sebab aduan sang bibi yang dilebih-lebihkan. Selama makan malam, sang bibi terus merusak suasana dengan menyudutkannya melalui sepotong kalimat yang memang kelepasan dia ucapkan tadi. Tapi dari sudut pandang Kaira, bukankah kalimat sang bude jauh lebih nyelekit daripada kalimatnya?
Tapi mau seperti apapun pembelaan Kaira, sang ayah tidak akan membenarkan tindakannya. Pria itu akan tetap keras pada putrinya sendiri agar tidak bermasalah dengan adiknya itu.
"Kamu tuh kok nggak pernah rukun sama Bude Mita? Ada aja yang kalian ributkan," keluh sang ayah lagi.
Kaira hanya bisa menanggapi dalam hati. Sebab semakin disanggah, sang ayah mungkin hanya akan semakin menyalahkannya saja.
"Jangan sampai lah kamu mengungkit tentang ini sama bude. Tahu sendiri, kan? Hidupnya bude keras selama menikah karena suaminya melakukan KDRT. Dia cuma punya bapak sebagai keluarganya yang tersisa."
Selalu itu senjata yang ayahnya gunakan setiap kali menasehati Kaira agar tidak terlalu kasar pada sang bude. Hanya saja, meskipun Kaira sudah berupaya untuk selalu sabar, bibinya itu justru seolah memancing emosinya lebih dulu.
Keduanya berbincang di taman belakang rumah. Tepat di bawah pohon mangga yang sudah ada sejak Kaira kecil. Dulu sekali, ayahnya membuatkannya ayunan agar bisa bermain disini. Momen-momen hangat kebersamaan keluarga mereka tidak akan pernah bisa dia lupakan.
"Bapak pasti malu ya karena putri semata wayang yang bapak kuliahkan dengan susah payah justru pulang kampung dengan status pengangguran? Usia juga kalo kata orang sudah pantas menikah, tapi justru masih jadi beban orang tua."
Kaira menunduk, pada akhirnya dia menumpahkan keresahannya dipicu omongan sang bude tadi siang.
Sang ayah terdiam. Setelah mengomeli sang putri, lelaki itu tersadar bahwa putrinya juga sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
Pada akhirnya, lengan kanannya mendarat lembut diatas kepala sang putri. Menatap Kaira yang menunduk hampir menitikkan air mata.
"Bapak nggak pernah malu punya putri seperti kamu. Kaira yang cerdas dan selalu membanggakan bapak dan ibu. Kaira yang dikenal pemberani sampai anak-anak lain tidak ada yang berani mengganggu kamu ataupun teman-teman dekat kamu. Kaira yang selalu memikirkan bapak dan ibu sampai-sampai ikut menanggung beban kami. Bagaimana bapak dan ibu bisa malu?"
Seolah terketuk pintu hatinya, ayah Kaira yang tadinya mengomel kini justru berbalik memujinya. Kaira mendongak menatap senyum tulus di wajah sang ayah.
"Maaf ya, bapak nggak bermaksud marah-marah sama kamu. Hanya saja, bapak nggak mau kamu jadi anak durhaka. Biar bagaimanapun, bude juga orang tua kamu. Bapak nggak mau anak baik bapak jadi berkata yang kurang berkenan sama yang lebih tua."
Didikan sopan santun dan selalu menjadi baik terhadap siapapun adalah ajaran yang selalu ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Kaira hidup sejauh ini dengan membawa nilai-nilai tersebut. Sekalipun pada akhirnya dia justru harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua kebaikannya berbalas. Ada kalanya, Kaira justru harus dikhianati karena bersikap terlalu baik.
"Bapak nggak masalah kamu mau tinggal disini berapa lama pun. Rumah ini akan selalu jadi rumah kamu. Tenangkan diri dan kembalilah setelah kamu siap! Bapak dan ibu nggak pernah merasa terbebani karena kami yakin kamu selalu tekun dan bertanggung jawab."
Lagi-lagi Kaira hampir menangis. Orang tuanya selalu suportif terhadapnya. Sesuatu yang selalu Kaira syukuri sebagai miliknya.
"Ambil waktu untuk istirahat! Kamu tidak berhenti bekerja bahkan sejak kamu masih SMA. Mungkin sekarang saatnya menyegarkan diri, tapi dengan catatan jangan sampai terlena apalagi terlalu lama terpuruk, ya!" Tandas sang ayah.
Kaira mengangguk setelah disemangati oleh ayahnya itu.
"Iya, aku nggak mau jadi bude selanjutnya," ujar Kaira iseng yang membuat sang ayah kembali menjitak dahi putrinya sembari tertawa kecil.
"Hus! Nggak boleh begitu sama bude!"
Ayah dan anak itu tertawa meskipun perbincangan mereka serius. Masa-masa seperti inilah yang Kaira rindukan dari hidup seatap dengan orang tuanya.
Tawa mereka terhenti ketika sang ibu menghampiri dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa, Bu?" Tanya Bapak.
Ibu Kaira bahkan belum selesai mencuci piring—nampak dari kedua tangannya yang masih berbusa. Wanita itu menatap sang putri lamat, "Kamu di kota nggak aneh-aneh kan, Nak?"
Alis Kaira reflek mengerut, "Aneh-aneh bagaimana, Bu?"
Wanita usia lima puluhan awal itu menengok kembali kearah belakang, lalu menyelidik menatap putri semata wayangnya.
"Kamu nggak punya hutang sama rentenir, kan?"
Reflek Kaira menggeleng, "Nggak, bu. Aku bukan bude," celetuknya lagi yang membuat dia reflek kembali disikut oleh sang ayah.
"Kamu nggak....hamil, kan?" Tanya sang ibu lagi. Kali ini membuat Kaira jadi semakin terheran-heran akan sikap aneh ibunya itu.
"Nggak, bu. Pacar aja aku nggak punya," geleng Kaira lagi. "Ada apa, sih?" Tambahnya heran.
Wanita itu menatap sang putri setelah menghela nafasnya perlahan.
"Ada yang cari kamu, sekeluarga," ujar wanita itu.
Kaira terang saja bingung. Namun daripada memupuk lebih banyak kebingungan, pada akhirnya mereka bertiga bergerak menuju ruang tamu. Disana para tamu sudah duduk dengan ditemani oleh Bude Mita yang nampak sumringah.
Netra Kaira membulat saat menemukan sosok yang dia kenali tiba-tiba berada di rumahnya. Netra mereka bersitatap sebelum akhirnya lelaki itu mengutarakan tujuan datangnya yang membuat seisi rumah menjadi semakin syok.
"Kami datang kesini untuk melamar Kaira Hadinata."
Kaira menganga mendengar pernyataan tak masuk akal yang baru saja merayap dalam rungu. Wanita itu mengejapkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa pemandangan dan kalimat yang baru saja dia dengar mungkin hanya halusinasi. Tapi, tidak. Dia dengan jelas dan secara real time dapat memastikan bahwa manusia-manusia yang duduk di sofa ruang tamunya itu nyata. Begitu juga dengan kekagetan yang turut dirasakan oleh ibu dan bapaknya yang masih berdiri disampingnya. Di antara rombongan itu, tampak sosok yang tak pernah ia bayangkan akan kembali dengan niat seperti ini—Alvero Rajendra, mantan kekasihnya. Wajahnya terlihat serius, namun ada sorot mata yang sulit diartikan oleh Kaira. Mereka sama sekali tidak pernah lagi bertukar sapa—bahkan via media sosial. Lalu secara tiba-tiba, Alvero muncul lagi dihadapannya. Membawa sebuah pernyataan yang sama sekali tidak masuk akal baginya. Melamar? Hubungan mereka bahkan sudah kandas bertahun-tahun lalu. Tidak ada satupun keluarga Kaira yan
Di balik jendela rumah yang sederhana, Bude Mita tak bisa menahan binar matanya saat melihat mobil mewah yang dikendarai keluarga Rajendra tadi. Mobil itu berkilau di bawah lampu jalanan kampung, memantulkan kemewahan yang tak pernah ia bayangkan akan hadir di depan rumahnya. Senyumnya melebar penuh antusiasme."Terima saja, Kaira!" Desaknya penuh harap, sambil melirik keponakannya yang tampak gelisah. Di dalam hatinya, Bude Mita merasa ini adalah kesempatan emas—kesempatan untuk mengangkat derajat keluarga dan mempermudah hidupnya.Dengan langkah mantap, Bude Mita mendekati Kaira yang tengah duduk termenung di ruang tamu. "Kaira, kamu lihat kan? Mobilnya saja sudah mewah begitu, bisa kamu bayangkan betapa beruntungnya kamu jika menikah dengannya?" ujar Bude Mita dengan nada penuh semangat.Seolah pembaca profil profesional, Bude Mita kembali menegaskan tentang Davian."Usianya sudah matang. Tiga puluh dua tahun itu tidak terpaut terlalu jauh sama kamu. Pekerjaannya sebagai arsitek
Sebagai pengangguran, Kaira tidak punya alasan untuk tetap berdiam diri saja di rumah. Terutama karena kedua orang tuanya bekerja, begitupula adik-adik sepupunya yang berangkat sekolah. Wanita itu tidak mau berduaan saja di rumah dengan bibinya yang toxic. Bisa habis seluruh kesabarannya jika harus mendengarkan ocehan menyebalkan dari wanita bermuka seribu itu.Dengan kaos santai dan celana panjang serta rambut yang dibiarkan tergerai dan wajah polos tanpa makeup. Kaira tampil sederhana dan siap keluar rumah setelah selesai menyiapkan sarapan dan bersih-bersih pagi. Dia melangkahkan kakinya menuju warung sang ibu yang tidak jauh dari rumahnya. Berniat untuk membantu disana daripada dia bosan di rumah. Ibunya sudah lebih dulu sibuk meladeni para pelanggan. Meskipun hanya warung sepetak kecil, barang yang dijual adalah kebutuhan sehari-hari yang sangat mudah terjual. Daripada harus ke pasar atau ke kota lagi untuk belanja bulanan, kebanyakan warga desa lebih memilih untuk berbelanja di
Alunan musik oldies memenuhi pendengaran Kaira selama perjalanan di mobil Davian. Gap generasi tak terasa sebab Kaira justru punya selera musik yang sama sehingga dia sangat nyaman dengan pilihan playlist hari ini. Davian disebelahnya mengemudi dengan tenang. Pria berkacamata itu tersenyum tipis saat indra pendengarannya menangkap bahwa sesekali Kaira menggumamkan lirik lagu yang terputar.“Kamu tahu lagu-lagu Richard Marx?” Buka lelaki itu memancing pembicaraan setelah menemukan bahwa Kaira nampaknya cukup familiar dengan lagu-lagu yang terputar sejak tadi.Kaira mengangguk, “Sedikit. Ayah masih sering mendengarkannya di waktu-waktu senggang,” jawabnya. Mendengar jawaban Kaira membuat Davian kembali tersenyum tipis. Lelaki itu membiarkan lagu selanjutnya terputar, kali ini dari salah satu penyanyi paling jaya pada masanya. “Playlist saya sepertinya mirip dengan playlist ayah kamu, ya?” Gurau Davian. “Lagu-lagu ini juga dirilis saat mas belum lahir. Kondisi kita mungkin tidak jau
Kaira melirik Davian yang nampak duduk dengan tenang diseberangnya, sementara Alvero baru saja mengambil tempat tepat disebelah sang kakak. Posisi mereka layaknya tengah melakukan interview kandidat karyawan baru—sayangnya Kaira lah yang seolah tengah duduk di kursi panas menghadapi dua bos besar. "Apa kabar, Kai?"Alvero mengumbar senyuman mematikan yang beberapa tahun lalu berhasil menjeratnya. Lelaki itu tak banyak berubah, hanya tampilannya saja yang tentu sudah kehilangan fitur-fitur remajanya. Cara lelaki itu memanggilnya pun terdengar masih semanis dahulu. Hanya saja Kaira tahu, perasaan mereka sudah tentu tidak lagi sama. Kaira tidak berniat memberikan jawaban lisan. Wanita itu hanya mengangguk dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Jelas duduk bertiga seperti ini merupakan sebuah tekanan besar baginya. "Ada yang perlu Alvero sampaikan sebelum kamu memutuskan nantinya," Ujar Davian dengan senyuman tipis. Lelaki itu lantas bangkit dari kursinya dan menepuk pundak sang adik,
Kaira tidak bisa menahan kekagetannya. Dia tidak salah dengar, kan? Nama yang diucap oleh Alvero terdengar sangat tidak asing baginya.“Cindy Airatama?”Anggukan Alvero semakin membuat jantungnya mencelos. Kaira cukup kaget mendengar bahwa selama ini mantan kekasihnya ternyata berhubungan dengan teman duduknya semasa SMA? Astaga yang benar saja? Takdir macam apa yang tengah menjerat mereka?Dia hampir tak bisa berkata-kata, respon apa yang harus Kaira berikan selain tampang kaget yang secara gamblang sudah dia sajikan? “Mama tidak akan membiarkanku menikahinya selama Kak Davian belum menikah. Kamu tahu aturan seperti apa yang berlaku dalam keluargaku, kan?” Kaira ingat sempat saling berbagi kisah keluarga masing-masing. Dia tahu betapa ‘ningrat’ nya aturan keluarga Rajendra jika dilihat dari sudut pandang Alvero. “Bahkan meskipun aku mengatakan tentang ini, dia tidak serta merta merestui hubunganku dengan Cindy dan membiarkanku menikahinya. Aku tetap harus menunggu Davian menikah s
Kaira duduk termenung di tepi jendela kamarnya, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Udara sore yang sejuk menelisik melalui celah tirai, tetapi pikirannya tenggelam dalam pusaran pertimbangan yang rumit. Sisa percakapan tadi siang kembali membayang dalam benaknya, memaksa hatinya untuk menimbang-nimbang keputusan yang bisa mengubah hidupnya.Wanita itu sudah lama tidak berselancar di media sosial. Namun hari ini, pada akhirnya dia mencoba untuk mengintip akun mantan dan mantan teman sebangkunya dahulu. Kaira dan Cindy memang tidak saling follow, namun setidaknya Cindy tidak mengunci akunnya. Setelah menelisik hampir satu per satu foto yang diposting di akun media sosial milik Cindy, Kaira dapat menyimpulkan bahwa Cindy dan Alvero memang sudah sejak lama saling berhubungan. Bahkan foto pertama Alvero yang diposting di akun media sosial Cindy hanya berselang tiga bulan setelah Kaira dan Alvero putus hubungan waktu itu. Dia tersenyum getir. Bukan masalah belum move on a
"Mbak, bagi duit jajan dong!"Kaira yang tengah berselancar di platform pencari kerja memutar tubuhnya melirik sang adik sepupu yang berdiri dengan congkak di belakang sofa tempatnya duduk. Aidan sudah mengenakan seragamnya serampangan, berdiri dengan sebelah tangan yang menadah padanya. Pandangan heran Kaira dibawanya lagi pada jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Alis wanita itu mengerut heran. Mengapa Aidan masih di rumah di jam-jam ini sementara seingatnya Aira si kembaran sudah berangkat pukul enam pagi tadi? Bukankah mereka berada di sekolah dan bahkan kelas yang sama?"Kamu kok belum berangkat?" Kaira tentu saja tidak bisa menahan rasa penasarannya. Saat ini kedua orang tuanya sudah berangkat, begitu juga Aira yang sempat berpamitan padanya tadi, tapi bagaimana dengan Aidan yang tiba-tiba saja muncul?Laki-laki yang baru menginjak tujuh belas tahun itu berkacak pinggang, "Ini mau berangkat. Jadi mana duitnya? Makin lama dong berangkatnya kalau mbak nggak kasih duit
Kaira membalut rambut panjangnya yang basah dengan handuk. Wanita itu keluar dari kamar mandi dan langsung menemukan aroma lezat menguar di seluruh kamar. Di meja, terlihat Davian tengah sibuk merapikan teko listrik yang mungkin sudah sempat pria itu gunakan. Kaira mendekat sebab aromanya berhasil memancing indra penciumannya yang mengirimkan sinyal ke tubuhnya bahwa dia sudah benar-benar lapar sekarang.Davian tersenyum menemukan istrinya berdiri tidak jauh dengan wajah excited. Dia tidak bisa memesan makanan secara room service disini karena ada batasan waktu yang ditetapkan oleh hotel. Untung saja tadi dirinya membelia dua cup mie dan juga beberapa makanan ringan pendamping yang setidaknya bisa mereka makan malam ini. "Ayo makan! Kita belum makan malam tadi," ajak Davian yang kini sudah merapikan dan menyiapkan makanan malam mereka. Meskipun hanya dua cup mie, tapi makanan tambahannya cukup banyak dan Kaira rasa sepertinya cukup bagi mereka. Uap panas mengepul dari cup itu, memenu
Hujan deras mengguyur tanpa henti, menutupi pandangan jalan di depan mereka. Petir sesekali menyambar, disusul oleh gemuruh yang mengguncang udara. Di dalam mobil, Kaira duduk dengan cemas sambil memegang ponsel, mencoba mencari informasi tentang kondisi jalan. Davian, di sisi lain, memegang setir dengan penuh perhatian, memastikan kendaraan mereka tetap aman meski jalanan licin.Saat melewati tikungan tajam, lampu mobil menerangi pemandangan yang membuat mereka terdiam sejenak. Sebuah pohon besar tumbang, melintang di tengah jalan, menghalangi sepenuhnya jalur menuju kota.Davian menghela napas panjang dan menginjak rem, menghentikan mobil dengan hati-hati. Ia menatap Kaira, yang kini menatap balik dengan ekspresi khawatir."Ada jalur alternatif lain, tapi kita harus putar balik cukup jauh," ujar Kaira sembari menggigiti kuku jarinya. "—Apa sebaiknya kita menunggu hujannya reda dulu? Aku khawatir mas akan sangat kesulitan dengan jarak pandang terbatas seperti ini," sambung Kaira kha
Di dalam mobil yang melaju tenang di bawah langit malam, suasana terasa begitu sunyi. Hanya deru mesin dan desahan napas yang terdengar. Kaira duduk di kursi penumpang, menunduk sambil memeluk tas kecilnya dengan erat. Matanya menerawang kosong, tetapi bibirnya bergetar seperti menahan emosi yang sudah lama membuncah.Davian meliriknya sesekali dari kursi pengemudi. Tangannya yang kuat menggenggam setir dengan tenang, tetapi hatinya gelisah. Ia tahu betul badai yang berkecamuk di dalam hati istrinya. Kejadian di kantor polisi tadi cukup untuk membuat siapa pun terpukul.Dia menyadari seberapa keras Kaira berjuang selama ini. Sayangnya, dia menutup mata tentang apa yang ada dibelakangnya. Bahwa selama ini Kaira masih berjuang untuk keluarganya, bukan sekedar untuk egonya sendiri. Namun justru seperti tidak dihargai?Sejujurnya, Davian pun turut menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia menjadi suami yang tidak peka terhadap penderitaan istrinya selama ini?“Kaira,” panggil Davian
Kemunculan ayah dan ibu Kaira jelas mengejutkan bagi mereka. Pertama, kasus Aidan ini sebenarnya tengah berusaha ditutupi oleh Bude Mita. Itu sebabnya hanya dia dan Kaira yang tahu tentang ini. Bude Mita memaksa Kaira untuk datang sebab dia yakin Kaira pasti bisa mengurus surat-surat untuk Aidan. Biasanya, Kaira juga tidak akan melibatkan kedua orang tuanya sebab dia tidak pernah ingin menyusahkan mereka.Bude Mita memanfaatkan sikap Kaira yang satu itu untuk diam-diam mendapatkan keuntungannya sendiri.Tapi siapa yang menyangka bahwa seluruh keluarga akan berkumpul disini sekarang? Mendengarkan apa yang seharusnya masih tersembunyi dibawah tangan.Sebelum-sebelumnya, ayah dan ibu Kaira memang tahu bahwa putri mereka turut memberikan uang kepada keluarga budenya itu. Tapi mereka tidak tahu bahwa nominal dan bahkan kejadian semacam ini sampai terjadi. "Kamu sudah tua, tapi masih bersikap tidak tahu malu seperti ini? Kamu benar-benar tidak menganggap kakakmu sendiri, huh?!" Ayah Kaira
Mata Bude Mita membelalak tidak percaya. Kali ini sebab mendengar dari mulut putra kesayangannya sendiri bagaimana tiba-tiba pria muda itu balik menyalahkannya."Kamu ini gimana sih, Aidan? Kamu mau sok membela kakak sepupu kamu yang pelit dan gak berguna ini?" Kesalnya.Aidan memejamkan matanya dan mengepalkan kedua tangannya dengan amarah. Kali ini mungkin sudah habis batas kesabarannya. Pria muda itu menjambak rambutnya keras lalu kembali menatap mama dan kakak sepupunya itu secara bergantian. "Mbak Kaira sudah membantu kita selama ini. Jumlahnya cukup untuk biaya sekolah! Aku bahkan tidak pernah kekurangan uang jajan sebab Mbak Kaira selalu memberi lebih, belum lagi uang bulanan yang masih aku terima dari Pakde. Uang untuk mama dan Aira pun terpisah. Bukankah kita sudah hidup sangat senang dan nyaman disana, ma? Jadi mengapa mama balik menyalahkan Mbak Kaira untuk hal ini?" Tanya Aidan panjang. Aidan melanjutkan bicaranya, "Mama mau tahu kenapa aku melakukan ini, kan?"Dia menat
Sore itu, hujan rintik-rintik menyelimuti kota, namun hati Kaira jauh lebih bergemuruh daripada cuaca di luar. Napasnya memburu ketika ia turun dari mobil dan berlari menembus jalanan menuju kantor polisi. Meninggalkan sang suami yang terus berteriak memanggil namanya khawatir sementara saat ini Davian masih harus memarkirkan mobilnya.Telepon dari seorang petugas barusan membuat dunia Kaira runtuh—Aidan yang selama ini dia usahakan untuk penuhi kebutuhannya, justru diselidiki atas dugaan keterlibatan dalam jaringan judi online.Kaira menahan gemuruh amarah dan kecewa dalam dirinya. Apa yang sebenarnya Aidan lakukan? Apa yang anak itu butuhkan sampai dia harus menempuh dan berada disini? Apa uang yang selama ini dia kirimkan masih kurang?Begitu tiba, Kaira melangkah masuk ke ruang interogasi, dan di sana, ia menemukan Aidan duduk dengan wajah penuh penyesalan namun tak berdaya. Adik sepupunya itu bahkan masih menggunakan seragam sekolahnya. Entah apa yang dia lakukan dan bagaimana di
Bude Mita Calling...Kaira memilih mendiamkan panggilan dari budenya itu. Ini entah sudah keberapa kalinya hari ini wanita itu menghubunginya sejak pagi, bahkan tanpa peduli bahwa Kaira saat ini tengah dalam jam kerja.Sebuah bentuk profesionalitas. Sekalipun perusahaan tempatnya bekerja sekarang adalah milik suaminya dan semua karyawan telah mengetahui pasal itu, Kaira tidak bisa seenaknya. Ralat, dia tidak mau bersikap seenaknya. Bekerja tetaplah bekerja. Kaira membalikkan ponselnya sehingga tak lagi melihat layarnya bercahaya akibat panggilan terus menerus yang Bude Mita alamatkan padanya. Serius! Kaira tidak paham lagi dengan isi kepala bibinya satu itu! Belakangan ini dia terus menerus meminta uang pada Kaira entah untuk apa. Masalahnya, Kaira ingat bahwa dia telah memberikan uang bulanan pada Budenya tersebut seminggu lalu dengan nominal yang bahkan tiga kali lipat dari yang bisa dia beri biasanya. Belum lagi untuk adik-adiknya, Kaira sudah melipatgandakan jumlahnya. "Buat apa
"Sudahlah, yang terpenting mamamu benar-benar merestui kita, kan?"Cindy memainkan kancing kemeja Alvero yang kini tengah bersandar di ranjang dashboard kamar apartemennya. Kepalanya bersandar pada dada bidang Alvero sembari menikmati kebersamaan mereka yang belakangan ini sudah sangat jarang dia dapatkan begini. Alvero hanya memandang satu titik gelap di dinding. Nampak tak tergoyahkan meskipun sejak tadi Cindy memberikan kode-kode menggoda dengan memainkan jemari dan bibirnya di dada Alvero. Sudah hampir tiga puluh menit berada di ranjang kamar Cindy, dan mereka benar-benar hanya tiduran tanpa banyak bicara serius setelah pengumuman keputusan Mama Rajendra petang tadi. Cindy hanya bisa diam saat mendengar wanita yang selama ini menghalangi pernikahannya dengan Alvero pada akhirnya memberikan restu bersyarat. Berbeda dengan Alvero yang nampak tidak puas dan bahkan sampai berani setengah membentak mamanya sendiri. Sejujurnya, Cindy sudah cukup bersyukur dengan keputusan itu. Setida
Di dalam mobil yang melaju perlahan menembus jalanan malam, suasana terasa sunyi. Hanya suara lembut dari mesin mobil yang mengisi kekosongan di antara mereka. Davian duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya memegang setir dengan erat, matanya fokus menatap jalan. Sementara itu, Kaira duduk di sampingnya, termenung sambil memandang ke luar jendela.Kaira menghela napas panjang, membiarkan pikirannya kembali pada kejadian di rumah keluarga Rajendra. Keputusan Mama Rajendra untuk merestui hubungan Alvero dan Cindy tadi benar-benar mengejutkannya. Namun, syarat yang menyertainya—agar pasangan itu tetap tinggal di Indonesia—telah memicu reaksi yang tidak biasa dari Alvero.Kaira berbicara pelan, "Alvero terlihat... sangat kesal tadi. Apa menurut mas itu karena syarat Mama?"Davian tidak langsung menjawab. Ia mengubah posisi duduknya sedikit, mencoba mengendurkan ketegangan di bahunya. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berbicara dengan nada rendah, "Iya, mungkin."Kaira menoleh, memanda