Share

3. Putri Kecil Kesayangan Ayah

"Kamu nggak sepantasnya ngomong begitu sama bude kamu sendiri!"

Usai makan malam, Kaira harus kembali mendengarkan ocehan dari ayahnya. Kali ini sebab bibinya itu mengadu bahwa Kaira menghinanya.

Setelah bertahun-tahun tidak pulang dan bahkan baru mendengar cerita Kaira via telepon, bukannya menanyakan bagaimana perjalanan Kaira, dia justru harus kembali disalahkan sebab aduan sang bibi yang dilebih-lebihkan. Selama makan malam, sang bibi terus merusak suasana dengan menyudutkannya melalui sepotong kalimat yang memang kelepasan dia ucapkan tadi. Tapi dari sudut pandang Kaira, bukankah kalimat sang bude jauh lebih nyelekit daripada kalimatnya?

Tapi mau seperti apapun pembelaan Kaira, sang ayah tidak akan membenarkan tindakannya. Pria itu akan tetap keras pada putrinya sendiri agar tidak bermasalah dengan adiknya itu.

"Kamu tuh kok nggak pernah rukun sama Bude Mita? Ada aja yang kalian ributkan," keluh sang ayah lagi.

Kaira hanya bisa menanggapi dalam hati. Sebab semakin disanggah, sang ayah mungkin hanya akan semakin menyalahkannya saja. 

"Jangan sampai lah kamu mengungkit tentang ini sama bude. Tahu sendiri, kan? Hidupnya bude keras selama menikah karena suaminya melakukan KDRT. Dia cuma punya bapak sebagai keluarganya yang tersisa."

Selalu itu senjata yang ayahnya gunakan setiap kali menasehati Kaira agar tidak terlalu kasar pada sang bude. Hanya saja, meskipun Kaira sudah berupaya untuk selalu sabar, bibinya itu justru seolah memancing emosinya lebih dulu. 

Keduanya berbincang di taman belakang rumah. Tepat di bawah pohon mangga yang sudah ada sejak Kaira kecil. Dulu sekali, ayahnya membuatkannya ayunan agar bisa bermain disini. Momen-momen hangat kebersamaan keluarga mereka tidak akan pernah bisa dia lupakan. 

"Bapak pasti malu ya karena putri semata wayang yang bapak kuliahkan dengan susah payah justru pulang kampung dengan status pengangguran? Usia juga kalo kata orang sudah pantas menikah, tapi justru masih jadi beban orang tua."

Kaira menunduk, pada akhirnya dia menumpahkan keresahannya dipicu omongan sang bude tadi siang. 

Sang ayah terdiam. Setelah mengomeli sang putri, lelaki itu tersadar bahwa putrinya juga sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

Pada akhirnya, lengan kanannya mendarat lembut diatas kepala sang putri. Menatap Kaira yang menunduk hampir menitikkan air mata.

"Bapak nggak pernah malu punya putri seperti kamu. Kaira yang cerdas dan selalu membanggakan bapak dan ibu. Kaira yang dikenal pemberani sampai anak-anak lain tidak ada yang berani mengganggu kamu ataupun teman-teman dekat kamu. Kaira yang selalu memikirkan bapak dan ibu sampai-sampai ikut menanggung beban kami. Bagaimana bapak dan ibu bisa malu?"

Seolah terketuk pintu hatinya, ayah Kaira yang tadinya mengomel kini justru berbalik memujinya. Kaira mendongak menatap senyum tulus di wajah sang ayah. 

"Maaf ya, bapak nggak bermaksud marah-marah sama kamu. Hanya saja, bapak nggak mau kamu jadi anak durhaka. Biar bagaimanapun, bude juga orang tua kamu. Bapak nggak mau anak baik bapak jadi berkata yang kurang berkenan sama yang lebih tua."

Didikan sopan santun dan selalu menjadi baik terhadap siapapun adalah ajaran yang selalu ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Kaira hidup sejauh ini dengan membawa nilai-nilai tersebut. Sekalipun pada akhirnya dia justru harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua kebaikannya berbalas. Ada kalanya, Kaira justru harus dikhianati karena bersikap terlalu baik. 

"Bapak nggak masalah kamu mau tinggal disini berapa lama pun. Rumah ini akan selalu jadi rumah kamu. Tenangkan diri dan kembalilah setelah kamu siap! Bapak dan ibu nggak pernah merasa terbebani karena kami yakin kamu selalu tekun dan bertanggung jawab." 

Lagi-lagi Kaira hampir menangis. Orang tuanya selalu suportif terhadapnya. Sesuatu yang selalu Kaira syukuri sebagai miliknya.

"Ambil waktu untuk istirahat! Kamu tidak berhenti bekerja bahkan sejak kamu masih SMA. Mungkin sekarang saatnya menyegarkan diri, tapi dengan catatan jangan sampai terlena apalagi terlalu lama terpuruk, ya!" Tandas sang ayah. 

Kaira mengangguk setelah disemangati oleh ayahnya itu.

"Iya, aku nggak mau jadi bude selanjutnya," ujar Kaira iseng yang membuat sang ayah kembali menjitak dahi putrinya sembari tertawa kecil. 

"Hus! Nggak boleh begitu sama bude!" 

Ayah dan anak itu tertawa meskipun perbincangan mereka serius. Masa-masa seperti inilah yang Kaira rindukan dari hidup seatap dengan orang tuanya. 

Tawa mereka terhenti ketika sang ibu menghampiri dengan tergopoh-gopoh. 

"Ada apa, Bu?" Tanya Bapak.

Ibu Kaira bahkan belum selesai mencuci piring—nampak dari kedua tangannya yang masih berbusa. Wanita itu menatap sang putri lamat, "Kamu di kota nggak aneh-aneh kan, Nak?"

Alis Kaira reflek mengerut, "Aneh-aneh bagaimana, Bu?"

Wanita usia lima puluhan awal itu menengok kembali kearah belakang, lalu menyelidik menatap putri semata wayangnya. 

"Kamu nggak punya hutang sama rentenir, kan?" 

Reflek Kaira menggeleng, "Nggak, bu. Aku bukan bude," celetuknya lagi yang membuat dia  reflek kembali disikut oleh sang ayah. 

"Kamu nggak....hamil, kan?" Tanya sang ibu lagi. Kali ini membuat Kaira jadi semakin terheran-heran akan sikap aneh ibunya itu. 

"Nggak, bu. Pacar aja aku nggak punya," geleng Kaira lagi. "Ada apa, sih?" Tambahnya heran.

Wanita itu menatap sang putri setelah menghela nafasnya perlahan. 

"Ada yang cari kamu, sekeluarga," ujar wanita itu.

Kaira terang saja bingung. Namun daripada memupuk lebih banyak kebingungan, pada akhirnya mereka bertiga bergerak menuju ruang tamu. Disana para tamu sudah duduk dengan ditemani oleh Bude Mita yang nampak sumringah. 

Netra Kaira membulat saat menemukan sosok yang dia kenali tiba-tiba berada di rumahnya. Netra mereka bersitatap sebelum akhirnya lelaki itu mengutarakan tujuan datangnya yang membuat seisi rumah menjadi semakin syok.

"Kami datang kesini untuk melamar Kaira Hadinata."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status