"Lho, nggak bisa gitu dong, Pak? Semua itu kan hasil kerja keras saya!"
Kaira tidak bisa lagi membendung emosinya ketika mengetahui bahwa proposal yang dia garap berminggu-minggu dengan susah payah nyatanya diklaim oleh orang lain. Apalagi karyanya tersebut berhasil membawa perusahaan mereka mendapatkan tender ratusan juta rupiah.
Ironisnya, proposal itu sebelumnya sudah ditolak mentah-mentah oleh sang kepala divisi. Saat itu, Kaira tak bisa melakukan apapun sebab berpikir bahwa karyanya itu mungkin memang tak lolos seleksi. Tapi dia tentu menjadi emosi setelah mengetahui bahwa proposal yang ditolak itu justru lanjut diajukan atas nama orang lain.
Dadanya naik turun begitu mendengar laporan dari salah satu rekan kerjanya. Kaira berjalan dengan wajah super tidak santai memasuki ruangan kepala divisinya dan meledak disana.
Pria tambun usia empat puluhan dengan kepala hampir botak itu justru menanggapi santai kemarahan Kaira. Seolah tidak ada rasa bersalah, dia bahkan hampir tidak menatap Kaira dan dengan santai duduk memilih fokus pada ponselnya.
"Kenapa nggak bisa? Apa sih masalahnya?"
Kaira menganga, bisa-bisanya seorang kepala divisi berlaku curang dan tidak adil seperti ini.
"Pak, itu proposal saya! Kalau bapak lupa, bapak sendiri yang menolak proposal tersebut dan bahkan memaki-maki saya disini. Tepat tanggal 16 Juli 2024, pukul 10 pagi! Saya ingat betul bapak bahkan membanting proposal tersebut disini!" Kaira bahkan menunjuk ujung meja yang sempat menyentuh permukaan proposalnya.
Terang saja Kaira mengingat setiap detailnya. Dia tidak bisa melupakan betapa sakit hatinya dia hari itu karena hasil kerja kerasnya dimaki-maki oleh pria dihadapannya. Begadang hingga hampir tipes dia lakukan demi menyelesaikan rancangan projek tersebut.
Sekarang dengan enteng, pria tersebut justru tertawa remeh.
"Ah, kamu terlalu baperan! Mana ada saya memaki-maki karyawan?"
Kaira hampir mencelos mendengarnya. Kepala Divisi Pemasaran yang berada dihadapannya itu sepertinya memang jenis manusia tidak tahu malu.
"Lagipula, proposal itu atas nama tim kita, kan? Bagaimana bisa kamu keras kepala ingin mengklaimnya atas nama kamu sendiri?" Lanjutnya lagi.
Oh! Lihat siapa yang berbicara?! Kaira rasanya hampir kehabisan kata-kata menghadapi pria menyebalkan yang selalu membolak-balikkan kata-katanya itu.
Lelaki dengan perut membuncit itu bangkit dari kursinya lalu berhenti tepat tiga langkah di depan Kaira. "Dimana loyalitas kamu terhadap perusahaan? Mengapa kamu harus perhitungan sekali soal hal-hal seperti ini? Bukannya harusnya kamu senang karena divisi kita tetap mendapatkan kreditnya?"
Jemari telunjuknya yang gempal kini dengan tidak sopan ikut menunjuk-nunjuk wajah Kaira. "Lagipula, bagaimana bisa proposal itu menang kalau kamu yang maju presentasi? Lihat? Mengelola emosi saja kamu tidak bisa!"
Sudah dicuri karyanya, dihina pula! Kaira benar-benar tidak tahan dengan segala ketidakadilan yang dia terima disini. Wanita dua puluh enam tahun itu sudah benar-benar mendidih menghadapi tindakan semena-mena dari kepala divisinya itu.
Ketukan di pintu membuat pria itu mengalihkan fokusnya. Dia lantas tersenyum lebar saat melihat yang masuk adalah salah satu rekan kerja Kaira—tepatnya oknum yang diberikan kesempatan untuk membawakan proposal di depan klien.
Vania Anindita—seorang staf yang masuk setahun setelah Kaira namun digadang-gadang sebentar lagi akan dipromosikan untuk naik jabatan.
Wanita dengan wangi parfum semerbak dan rambut catokan curly yang dibiarkan berkibar itu memasang senyuman manisnya. Melewati Kaira acuh seolah dia tak ada disana.
"Pak Aldo memanggil saya? Ada apa ya, Pak?"
Muak sekali rasanya Kaira mendengar suara yang dicentil-centilkan itu. Selama ini Kaira tidak pernah peduli dengan beragam provokasi yang sepertinya sengaja Vania lontarkan padanya untuk memperkeruh suasana. Kaira juga tidak terlalu menanggapi cuitan rekan-rekannya yang turut menggunjing Vania karena disebut sebagai peliharaan ketua divisi. Tapi siapa sangka justru dirinya ikut menjadi korban dari kecurangan yang mungkin saja dilakukan atas aliansi kedua manusia tengil dihadapannya itu?
"Aduh, Vania cantik kok cepat sekali sih sampai sini?"
Nada bicara Aldo terang sangat berbeda. Kaira hanya bisa mengumpat dalam hati mendengar dua manusia tidak tahu malu itu saling melempar senyum menjijikkan dihadapannya.
"Manajer ingin kita menghadap lima belas menit lagi. Sepertinya, dia akan memberikan reward untuk pegawai teladan seperti kamu. Jadi, tolong bersiap, ya!"
Panas sekali telinga Kaira mendengarnya. Entah apa yang membuat mereka begitu serakah dan berupaya untuk menginjaknya.
"Oh ya, Kaira, saya rasa tidak ada yang perlu diperbincangkan lagi. Kamu boleh keluar dari ruangan saya!"
Ini jelas sebuah usiran yang bahkan tidak lagi halus. Kaira memutar tubuhnya, membuang pandangan dari Vania yang menatapnya remeh dan benar-benar keluar membanting pintu ruangan atasannya tersebut.
Kali ini Kaira sudah tidak tahan lagi.
Kaki jenjang wanita itu melangkah penuh emosi menuju mejanya, melewati tatapan tak enak dari rekan kerja lainnya yang juga jelas mendengar permasalahan hari ini. Tapi tentu tak ada satupun dari mereka yang bisa membantu Kaira ataupun melawan ketua divisi. Kabarnya, Pak Aldo merupakan bagian keluarga dari CEO sehingga apapun tindakannya kerap kali masih ditolerir oleh para atasan lain. Ujung-ujungnya, karyawan dibawahnya yang menjadi kambing hitam.
Lebih dari empat tahun Kaira berjuang di perusahaan ini. Selama itu juga dia bersabar menghadapi bos yang secara jelas melakukan praktik nepotisme. Pikirnya, gaji yang dia dapatkan masih sangat layak untuk mengidupi hidupnya yang biasa-biasa saja. Selain itu, dulu tidak mudah baginya untuk bisa masuk perusahaan ini.
Tapi sepertinya kesabaran Kaira sudah mencapai ambang batasnya. Dia tidak lagi tahan diinjak-injak seperti ini. Kejadian hari ini sudah bukan yang pertama kali. Bukannya dia gila pengakuan, hanya saja, hasil kerjanya selalu di-diskredit untuk orang-orang kesayangan bos saja. Alhasil, seberapa cemerlang pun hasil kerja Kaira, dia akan tetap stuck di posisinya sekarang. Sementara junior-juniornya yang bahkan tidak memahami apapun dapat dengan mudah melesat mendapat promosi hanya karena mereka disayang oleh atasan.
Kaira duduk dengan amarah. Rekan-rekan disekelilingnya tidak berani mendekati sebab asap imajinari telah mengepul diatas kepalanya. Tanpa pikir panjang lagi, Kaira menjentikkan jemarinya diatas keyboard—suaranya memancarkan betapa emosi Kaira tersalurkan dalam setiap ketikan.
Tak butuh waktu lama, suara ketikan berubah menjadi suara kertas yang berhasil dicetak melalui printer. Setelah membubuhi dengan tanda tangan, Kaira berdiri lagi dan langsung berjalan menuju ruangan personalia.
"Permisi, bu. Saya hendak mengajukan pengunduran diri."
Baru saja meletakkan tas besarnya di lantai, Kaira harus kembali menahan pekikan di telinganya. Dia bahkan belum mendapat kesempatan untuk duduk atau sekedar meneguk segelas air. "Apa sih yang ada di pikiranmu, nduk? Kenapa kamu malah berhenti kerja dan balik ke kampung tanpa apa-apa? Kamu nggak ingat bagaimana perjuangan bapakmu supaya kamu bisa bayar kuliah?"Sudah dia duga. Selama empat jam perjalanan dari ibukota kembali ke kampungnya, Kaira sudah berusaha untuk menyiapkan diri dan menebalkan telinga mendengar ocehan dari bibinya. Setelah menyerahkan surat pengunduran diri bulan lalu, Kaira menyelesaikan sisa masa kerjanya dengan lebih banyak work from home. Selama itu juga dia berupaya untuk mencari pekerjaan baru. Sialnya, entah mengapa sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok meskipun pengalamannya sebagai staf pemasaran sudah menyentuh empat tahun. Beberapa interviewer menyayangkan bahwa dengan kualifikasinya, pencapaian Kaira bisa dianggap justru tidak sebanding
"Kamu nggak sepantasnya ngomong begitu sama bude kamu sendiri!"Usai makan malam, Kaira harus kembali mendengarkan ocehan dari ayahnya. Kali ini sebab bibinya itu mengadu bahwa Kaira menghinanya.Setelah bertahun-tahun tidak pulang dan bahkan baru mendengar cerita Kaira via telepon, bukannya menanyakan bagaimana perjalanan Kaira, dia justru harus kembali disalahkan sebab aduan sang bibi yang dilebih-lebihkan. Selama makan malam, sang bibi terus merusak suasana dengan menyudutkannya melalui sepotong kalimat yang memang kelepasan dia ucapkan tadi. Tapi dari sudut pandang Kaira, bukankah kalimat sang bude jauh lebih nyelekit daripada kalimatnya?Tapi mau seperti apapun pembelaan Kaira, sang ayah tidak akan membenarkan tindakannya. Pria itu akan tetap keras pada putrinya sendiri agar tidak bermasalah dengan adiknya itu."Kamu tuh kok nggak pernah rukun sama Bude Mita? Ada aja yang kalian ributkan," keluh sang ayah lagi.Kaira hanya bisa menanggapi dalam hati. Sebab semakin disanggah, sang
Kaira menganga mendengar pernyataan tak masuk akal yang baru saja merayap dalam rungu. Wanita itu mengejapkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa pemandangan dan kalimat yang baru saja dia dengar mungkin hanya halusinasi. Tapi, tidak. Dia dengan jelas dan secara real time dapat memastikan bahwa manusia-manusia yang duduk di sofa ruang tamunya itu nyata. Begitu juga dengan kekagetan yang turut dirasakan oleh ibu dan bapaknya yang masih berdiri disampingnya. Di antara rombongan itu, tampak sosok yang tak pernah ia bayangkan akan kembali dengan niat seperti ini—Alvero Rajendra, mantan kekasihnya. Wajahnya terlihat serius, namun ada sorot mata yang sulit diartikan oleh Kaira. Mereka sama sekali tidak pernah lagi bertukar sapa—bahkan via media sosial. Lalu secara tiba-tiba, Alvero muncul lagi dihadapannya. Membawa sebuah pernyataan yang sama sekali tidak masuk akal baginya. Melamar? Hubungan mereka bahkan sudah kandas bertahun-tahun lalu. Tidak ada satupun keluarga Kaira yan
Di balik jendela rumah yang sederhana, Bude Mita tak bisa menahan binar matanya saat melihat mobil mewah yang dikendarai keluarga Rajendra tadi. Mobil itu berkilau di bawah lampu jalanan kampung, memantulkan kemewahan yang tak pernah ia bayangkan akan hadir di depan rumahnya. Senyumnya melebar penuh antusiasme."Terima saja, Kaira!" Desaknya penuh harap, sambil melirik keponakannya yang tampak gelisah. Di dalam hatinya, Bude Mita merasa ini adalah kesempatan emas—kesempatan untuk mengangkat derajat keluarga dan mempermudah hidupnya.Dengan langkah mantap, Bude Mita mendekati Kaira yang tengah duduk termenung di ruang tamu. "Kaira, kamu lihat kan? Mobilnya saja sudah mewah begitu, bisa kamu bayangkan betapa beruntungnya kamu jika menikah dengannya?" ujar Bude Mita dengan nada penuh semangat.Seolah pembaca profil profesional, Bude Mita kembali menegaskan tentang Davian."Usianya sudah matang. Tiga puluh dua tahun itu tidak terpaut terlalu jauh sama kamu. Pekerjaannya sebagai arsitek
Sebagai pengangguran, Kaira tidak punya alasan untuk tetap berdiam diri saja di rumah. Terutama karena kedua orang tuanya bekerja, begitupula adik-adik sepupunya yang berangkat sekolah. Wanita itu tidak mau berduaan saja di rumah dengan bibinya yang toxic. Bisa habis seluruh kesabarannya jika harus mendengarkan ocehan menyebalkan dari wanita bermuka seribu itu.Dengan kaos santai dan celana panjang serta rambut yang dibiarkan tergerai dan wajah polos tanpa makeup. Kaira tampil sederhana dan siap keluar rumah setelah selesai menyiapkan sarapan dan bersih-bersih pagi. Dia melangkahkan kakinya menuju warung sang ibu yang tidak jauh dari rumahnya. Berniat untuk membantu disana daripada dia bosan di rumah. Ibunya sudah lebih dulu sibuk meladeni para pelanggan. Meskipun hanya warung sepetak kecil, barang yang dijual adalah kebutuhan sehari-hari yang sangat mudah terjual. Daripada harus ke pasar atau ke kota lagi untuk belanja bulanan, kebanyakan warga desa lebih memilih untuk berbelanja di
Alunan musik oldies memenuhi pendengaran Kaira selama perjalanan di mobil Davian. Gap generasi tak terasa sebab Kaira justru punya selera musik yang sama sehingga dia sangat nyaman dengan pilihan playlist hari ini. Davian disebelahnya mengemudi dengan tenang. Pria berkacamata itu tersenyum tipis saat indra pendengarannya menangkap bahwa sesekali Kaira menggumamkan lirik lagu yang terputar.“Kamu tahu lagu-lagu Richard Marx?” Buka lelaki itu memancing pembicaraan setelah menemukan bahwa Kaira nampaknya cukup familiar dengan lagu-lagu yang terputar sejak tadi.Kaira mengangguk, “Sedikit. Ayah masih sering mendengarkannya di waktu-waktu senggang,” jawabnya. Mendengar jawaban Kaira membuat Davian kembali tersenyum tipis. Lelaki itu membiarkan lagu selanjutnya terputar, kali ini dari salah satu penyanyi paling jaya pada masanya. “Playlist saya sepertinya mirip dengan playlist ayah kamu, ya?” Gurau Davian. “Lagu-lagu ini juga dirilis saat mas belum lahir. Kondisi kita mungkin tidak jau
Kaira melirik Davian yang nampak duduk dengan tenang diseberangnya, sementara Alvero baru saja mengambil tempat tepat disebelah sang kakak. Posisi mereka layaknya tengah melakukan interview kandidat karyawan baru—sayangnya Kaira lah yang seolah tengah duduk di kursi panas menghadapi dua bos besar. "Apa kabar, Kai?"Alvero mengumbar senyuman mematikan yang beberapa tahun lalu berhasil menjeratnya. Lelaki itu tak banyak berubah, hanya tampilannya saja yang tentu sudah kehilangan fitur-fitur remajanya. Cara lelaki itu memanggilnya pun terdengar masih semanis dahulu. Hanya saja Kaira tahu, perasaan mereka sudah tentu tidak lagi sama. Kaira tidak berniat memberikan jawaban lisan. Wanita itu hanya mengangguk dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Jelas duduk bertiga seperti ini merupakan sebuah tekanan besar baginya. "Ada yang perlu Alvero sampaikan sebelum kamu memutuskan nantinya," Ujar Davian dengan senyuman tipis. Lelaki itu lantas bangkit dari kursinya dan menepuk pundak sang adik,
Kaira tidak bisa menahan kekagetannya. Dia tidak salah dengar, kan? Nama yang diucap oleh Alvero terdengar sangat tidak asing baginya.“Cindy Airatama?”Anggukan Alvero semakin membuat jantungnya mencelos. Kaira cukup kaget mendengar bahwa selama ini mantan kekasihnya ternyata berhubungan dengan teman duduknya semasa SMA? Astaga yang benar saja? Takdir macam apa yang tengah menjerat mereka?Dia hampir tak bisa berkata-kata, respon apa yang harus Kaira berikan selain tampang kaget yang secara gamblang sudah dia sajikan? “Mama tidak akan membiarkanku menikahinya selama Kak Davian belum menikah. Kamu tahu aturan seperti apa yang berlaku dalam keluargaku, kan?” Kaira ingat sempat saling berbagi kisah keluarga masing-masing. Dia tahu betapa ‘ningrat’ nya aturan keluarga Rajendra jika dilihat dari sudut pandang Alvero. “Bahkan meskipun aku mengatakan tentang ini, dia tidak serta merta merestui hubunganku dengan Cindy dan membiarkanku menikahinya. Aku tetap harus menunggu Davian menikah s