********Di kafetaria rumah sakit, Bisma mendorong pintu kaca dan mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat di mana teman-temannya duduk menunggu. Senyumnya seketika mengembang ketika dia menemukan teman-temannya duduk di meja paling sudut.Terlihat Aji dan Rayan tengah duduk di sana menunggunya datang. Tidak ada Luna seperti dugaan Nayra. Hanya mereka berempat.“Baru kelar lo?” Tanya Aji saat Bisma berhasil mendudukkan dirinya di dekat Rayan.“Hmm, operasinya lumayan lama.” Jawab Bisma sembari memakan Pastry yang telah dipesan teman-temannya tadi untuknya.“Ohh, iya. Tadi gue mau ke sini sama Nayra . . . .”“Terus Nayranya mana?” Sambar Aji antusias, memotong kalimat Bisma yang belum selesai. Pandangannya dia edarkan ke seluruh sudut kafetaria, mencari-cari sosok Nayra. Hal tersebut tentu saja membuat Rayan mendelik jengkel, sikap Aji terkadang memang berlebihan.“Nah, itu. Pas di lobby, Tante Lisa tiba-tiba datang dan ngajak dia keluar. Tahu, deh, mau apa.” Jelas Bisma seraya me
********Sore harinya, Nayra masih berada di rumah sakit karena masih ada jadwal operasi jam setengah tujuh malam nanti. Karena waktunya sekarang senggang, dia memilih duduk di kursi panjang di atap rumah sakit sembari menikmati langit sore. Sudah lama dia tidak melihat matahari tenggelam karena kesibukannya.Begitu Nayra tenggelam dalam lamunannya, dia dikejutkan dengan kedatangan Rayan yang langsung merebahkan diri di kursi dan meletakkan kepalanya di pangkuan Nayra.Nayra menghela napas dalam, heran dengan sikap Rayan yang selalu membuatnya terkejut. Lama-lama Nayra bisa terkena serangan jantung. Kan jadi lucu judulnya nanti, seorang dokter ahli jantung terkena serangan jantung.“Kok tahu aku di sini?” Nayra mengernyit penasaran.“Jangan ge-er. Aku cuma datang ke sini dan kebetulan ada kamu juga.”Nayra mendengus kesal. Menyebalkan sekali.“Kamu inget, nggak?” Suara Rayan menyusup pelan di balik ketidaksadaran Nayra yang masih terkejut sekaligus bingung akan kedatangan Rayan. “Dulu
********“Rayan. . . .”Luna berteriak menyambut kedatangan Rayan sembari berdiri di samping mobilnya.“Kok kamu bisa di sini?” Tanya Rayan heran begitu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tempatnya sangat sepi, mungkin karena jauh dari pemukiman. Lampu penerangan jalan yang temaram dan hanya beberapa yang menyala. Sepertinya jalanan itu jarang dilintasi kendaraan.“Tadi siang sepulang dari rumah sakit, aku nganter Ibu ke rumah saudaranya. Pas pulang, nggak tahu kenapa ban mobil aku pecah. Aku udah nunggu kendaraan lewat buat minta bantuan, tapi nggak ada. Malah makin sore. Aku takut, Ray. Makanya telepon kamu. Aku juga bingung mau minta bantuan siapa lagi.”Rayan mengangguk, kemudian melihat keadaan mobil milik Luna. Benar saja, dia melihat salah satu ban belakang bagian kiri pecah.“Kamu nggak bawa ban cadangan?” Tanya Rayan setelah selesai memeriksa mobil Luna. Gadis itu hanya menggeleng.“Ini udah mau malem. Mobil kamu tinggalin di sini aja, Lun. Nanti biar bengkel yang bawa. Sek
********“Nay, kok ngelamun?” Tegur Tante Lisa heran melihat Nayra yang terus memainkan sedotannya dengan pandangan kosong, sesekali gadis itu menghela napas berat.Masih jelas dalam ingatan Nayra saat tadi malam dia menelepon Rayan untuk menanyakan bisa mengantarnya pulang atau tidak.Nayra takut kalau urusan yang Rayan katakan saat mereka di atap belum selesai. Tapi Nayra malah dibuat terkejut saat mendengar bukan suara Rayan yang mengangkat telepon, melainkan Luna yang mengatakan kalau Rayan sedang berada di toilet.Seakan ingin memberitahu Nayra, Luna juga menceritakan Rayan menjemputnya karena mobil Luna ada masalah, Luna juga mengatakan mereka sedang makan malam bersama. Tak ingin mendengar lebih, dengan segera Nayra menutup sambungan teleponnya.Nayra tersenyum getir, ternyata urusan yang dimaksud Rayan adalah menemui Luna. Kecurigaan yang sempat hinggap ternyata tidak salah. Rayan meninggalkannya untuk menemui Luna.“Padahal, kan, dia bisa ngirim orang bengkel.” Gumam Nayra da
********Pagi hari setelah menikmati libur akhir pekan, Rayan kembali bekerja. Membuka pintu ruangan, langkah kakinya dia bawa ke meja kerja yang ada di sana.Rayan tertegun saat matanya mendapati sebotol yoghurt stroberi yang diberikan Nayra waktu itu, belum sempat dia minum. Tangannya lantas terulur untuk mengambil susu fermentasi tersebut. Sudut bibirnya tertarik tipis memandangi itu.“. . . . aku keingetan dulu kita sering banget minum ini. Masih suka, kan?”Rayan menggeleng guna mengusir ingatan yang tiba-tiba membuat hatinya menghangat. Dia lantas menyesap habis yoghurtnya, tapi justru wajah Nayra terus mampir dalam segala ekspresi, terlebih kemarin saat raut wajah Nayra yang sedih sepanjang mendiskusikan undangan pernikahan, membuat perasaan Rayan terganggu.“. . . . Kamu bukan orang yang berperasaan. . . .”“Shit.” Umpatnya kesal sembari melempar botol yoghurt tepat ke dalam tong sampah di sudut ruangan, kemudian memijat pelipisnya yang terasa pening ketika kalimat Nayra terng
*******“Rayan?”Hana refleks menoleh pada Nayra meminta penjelasan. Sementara Nayra menelan ludah–gelagapan. “Itu, dia. . . .” Mata Nayra bergerak-gerak gelisah–memutar otak mencari jawaban. “Kucing. Aku punya kucing namanya Rayan. Aku nggak suka banget sama Kepala Rumah Sakit kita, makanya aku kasih nama dia Rayan.”Nayra nyengir kaku. Sementara Bunda yang mendengar itu langsung menghunuskan tatapan tajam padanya seolah siap untuk menusuk Nayra.“Eung. . . , Han. Kamu udah selesai belum makannya?” Nayra melirik makanan Hana sudah habis dengan tatapan tak enak hati.Hana yang mengerti bahwa Nayra ingin dirinya keluar dari ruangan langsung membereskan sisa-sisa makanannya dan berpamitan untuk pergi.Selepas kepergian Hana, Bunda langsung melayangkan pukulan gemas di lengan Nayra, membuatnya menjerit-jerit manja.“Aww. Bun, ini namanya KDRT.” Protes Nayra sembari mengusap lengannya. Bunda hanya mendengus kesal, tak peduli dengan protes yang dilayangkan sang anak.“Lagian, masa, menant
********Ini adalah kali kedua Rayan dan Nayra terpergok melakukan hal yang kurang pantas di rumah sakit. Tak pernah terbersit dalam pikiran Nayra akan mengalami kejadian memalukan seperti ini. Pasalnya, bukan hanya Om Rendi yang melihat, tapi juga ada orang lain, Giselle.Jika dulu Om Rendi membiarkan mereka, tapi sekarang tidak demikian. Saat ini keduanya dibawa ke ruang kerja lelaki paruh baya itu untuk siap diberi teguran.Rayan dan Nayra duduk bersebrangan dengan Om Rendi di hadapan mereka. Lelaki paruh baya itu menyoroti mereka dengan tatapan tajam seolah siap menelan mereka bulat-bulat. Demi apa pun, Rayan dan Nayra akan lebih suka uji nyali di ruang jenazah yang ada di rumah sakit itu, dibandingkan duduk berhadapan di ruang kerja Om Rendi yang terasa lebih mencekam.Kini Rayan dan Nayra hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil sesekali melihat ke arah Om Rendi dengan takut. Nayra memilin-milin jemari tangannya yang mulai berkeringat karena terlalu takut dengan tatapa
********“Nay, kamu bebas nggak sekarang?” Tanya Rayan setelah beberapa saat mereka hanya diam sambil berjalan beriringan menuju lift.“Hmm.” Nayra menyahuti dengan malas.“Kamu marah?”“Nggak, kesel doang.” Jawab Nayra tanpa melihat ke arah Rayan dan mempercepat langkahnya, laki-laki itu dengan segera mengimbangi.“Karena Papa gangguin kita ciuman?”Mendengar pernyataan nyeleneh Rayan, Nayra menghentikan langkahnya, dia menatap kesal Rayan dengan wajah memerah menahan emosi.“Kamu tuh, ya, ish.” Kesal Nayra menendang tulang kering Rayan, menyalurkan kekesalannya di sana. Nayra benar-benar tak mengerti dengan isi kepala Rayan saat ini.“Aduh. Kok malah nendang, sih, Nay. . . .”Rayan meringis ngilu sambil membungkuk untuk mengusap kakinya.“Aku malu tahu, nggak, sih, Kak?" Jerit Nayra kesal sembari menghentakan kakinya dan berlalu meninggalkan Rayan yang masih meringis kesakitan. Dia yakin jika sekarang tulang kering Rayan pasti sudah membiru di balik celana panjangnya.“Tunggu . . .