“Bagaimana rasanya jika kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi seseorang itu sulit digapai? Orang itu bukan selebritis, bukan pejabat, bukan pula suami wanita lain. Seseorang itu mahasiswa juga di kampusku, sama seperti aku yang juga mahasiswa di Universitas Taruma Bandung. Cuma bedanya, aku anak sopir angkot, dia anak pengusaha kaya raya. Ya sudah jelas, rasa cintaku ini nggak tau diri.”
Begitulah yang ditulis seorang mahasiswi bernama Maryam, di notesnya, saat hatinya resah, sulit tidur padahal sudah hampir tengah malam. Maryam sedang berada di sebuah kawasan yang cukup jauh dari kampusnya dan juga rumah kosnya. Kampusnya di Kota Bandung, sedangkan saat ini Maryam ada di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Maryam berada di kawasan itu dalam rangka memulai praktik mengajar di sebuah SMP, untuk merampungkan salah satu tugas akhir kuliahnya. Sudah beberapa hari Maryam dan dua rekannya berada di Cicalengka, untuk praktik mengajar selama sebulan pada sebuah SMP. Kepala sekolah sudah mengizinkan, dan menempatkan ketiga orang mahasiswi itu di rumahnya, kebetulan ada kamar kosong. Rumah kepala sekolah itu memang sudah biasa ditempati oleh mahasiswa yang praktik mengajar atau KKN di daerah itu. Tentu saja ada biaya menginap yang harus dibayarkan oleh para mahasiswa itu. Maryam adalah mahasiswa FKIP jurusan MIPA. Sejak sore dia sudah mempersiapkan bahan untuk mengajar besok, semua sudah bolak-balik diperiksanya, rasanya tidak ada yang kurang. “Yah, memang ada yang kurang. Karena sekarang aku jauh dari kampus, jadi nggak ada Marco di sini.” Kembali benak Maryam mengembara pada sosok seorang lelaki muda di kampusnya, Marco Radea Wiratama. Pertama kali Maryam melihat Marco, sudah sejak awal kuliah. Marco satu angkatan dengan Maryam, bedanya Maryam terdaftar di Fakultas Kependidikan, Marco ada di Fakultas Ekonomi. Mulanya juga tentu tidak saling kenal. Namun sosok Marco memang gampang dikenali, dan banyak mahasiswi yang pengin kenal. Marco punya postur jangkung untuk ukuran orang Indonesia, sekitar 180 cm, terlihat rada kurus tapi berotot, wajahnya mirip Prince Caspian di film Narnia 2, gondrong pula, rambutnya berwarna coklat gelap. Marco memang blasteran Sunda Belanda, papanya seorang pengusaha kaya di Bandung yang dapat jodoh wanita cantik asal Belanda. Maryam memilih kampus swasta itu, karena yayasan yang menaungi kampus tersebut menjanjikan beasiswa untuk mahasiswa yang kurang mampu namun punya prestasi seni atau olah raga, ataupun punya IPK yang memenuhi syarat untuk menerima beasiswa. Ketika awal kuliah, tentu saja orang tua Maryam harus membayar biaya kuliah yang tidak kecil untuk ukuran mereka. Karena ingin mendukung cita-cita putrinya, ayahanda Maryam menjual mobil angkot satu-satunya untuk bisa melunasi biaya kuliah Maryam di tahun pertama, dan membayar kamar kos. Maryam sungguh sedih mendapati kenyataan bahwa ayahnya tidak punya lagi mobil angkot, dan terpaksa mengemudikan angkot milik orang lain dengan sistem setoran. Orang tuanya bilang bahwa Maryam tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan mereka, harus terus kuliah hingga berhasil lulus. Saat masuk semester III Maryam sudah beroleh beasiswa, hingga saat ini. Uang kuliah gratis, dapat uang saku yang cukup untuk bayar kamar kos sederhana, dan biaya makan yang sederhana pula. Maryam tidak mau menyia-nyiakan beasiswa yang sudah diraihnya. Dia harus mempertahankan IPK di atas 3,5. Maryam tidak ingin dibebani pikiran apapun, hanya kuliah, dan organisasi. Penerima beasiswa memang harus aktif pula di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa, maka Maryam memilih aktif di organisasi dakwah kampus. Organisasi rohani Islam itulah yang paling sesuai buat Maryam, karena memang Maryam terbiasa hidup di lingkungan Islami. Sejak SD hingga SMA dia berada di sekolah Islam. Lagipula, aktif di kegiatan dakwah kampusnya itu tidak butuh modal sepeser pun, tidak seperti UKM yang lain. Apalagi UKM pencinta alam, yang konon kabarnya butuh biaya ratusan ribu untuk sekali perjalanan naik gunung yang ada di Jawa Barat. Bagaimana dengan perjalanan naik gunung ke Jaya Wijaya? Mungkin menghabiskan dana puluhan juta untuk satu orang saja. “Eh, kenapa sih, malah mikirin naik gunung?” Maryam merebahkan tubuh di tikar yang ditilami selimut motif salur, yang kata orang, selimut macam itu adalah selimut rumah sakit. Maryam menyelubungi tubuhnya dengan sarung. Kedua rekannya sudah tidur, di ranjang. Karena ranjang kayu itu terlalu sempit buat bertiga, Maryam mengalah, dia merebahkan diri di tikar. Maryam ingin tidur, tapi pikirannya masih mengembara, memikirkan UKM pencinta alam di kampusnya. Tentu saja Maryam tidak pernah ikut kegiatan UKM itu, bukan anggota pula. Namun Maryam pernah beberapa kali berada di homebase pencinta alam kampusnya. Dari situlah Maryam kenal dengan Marco, sang komandan organisasi pencinta alam. Maryam teringat tahun-tahun yang telah lewat, dirinya aktif di kegiatan dakwah masjid kampus. Saat bulan Muharam tiba, biasanya aktivis masjid kampus menyiapkan acara syukuran khitanan massal untuk anak-anak yang berdomisili di sekitar kampus. Banyak makanan yang harus dimasak, untuk hidangan para tamu. Karena itu aktivis masjid meminjam homebase milik organisasi pencinta alam untuk tempat memasak. Hari itu tidak ada anggota pencinta alam yang beraktivitas di dalam homebase, yang ada cuma para akhwat sibuk memasak dan menyusun hidangan ke atas baki dan kemasan karton. Tiba-tiba Marco masuk ke dalam homebase, mau mengambil helmnya yang tergeletak di atas sebuah lemari. Saat itu Marco adalah komandan UKM pencinta alam kampus. Dia mengamati markasnya yang dipenuhi oleh mahasiswi berhijab. Marco bicara, “Ukhti, kalau sudah selesai masak, tolong bersihkan lagi homebase ini. Jangan berantakan dan kotor!” Seorang akhwat menyeletuk, “Tadinya juga udah kotor dan berantakan, Bang.” Marco bicara lagi, “Lantas apa bedanya, muslimah seperti kalian, dengan orang-orang gondrong yang suka nongkrong di sini? Kalau sama-sama jorok, kok nggak ada bedanya ya?” “Iya, nanti kami bersihkan.” sahut Maryam. Kemudian Marco pergi. Kelar masak, para akhwat meninggalkan homebase, mereka mandi, dandan, untuk mengikuti acara pokok yang akan segera dimulai di aula kampus. Sementara di dalam homebase, ada setumpuk perabot bekas masak. Maryam memilih tidak ikut acara pokok, dia membawa perabotan itu ke halaman samping homebase, di mana ada keran air. Maryam mencuci perabotan itu, daripada nanti Marco menyindir bahwa aktivis masjid kampus ternyata jorok. Selesai mencuci wajan dan panci berukuran besar, Maryam bangkit sejenak karena pegal, berbalik badan, tertegun melihat Marco sedang berdiri di teras homebase, memandanginya. Wajah Marco tampak serius, atau kesal mungkin, karena homebase yang kotor belum lagi disapu.Maryam merasa Marco sedang menatapnya dengan perasaan kesal karena lantai homebase yang masih kotor.“Nanti homebase itu saya sapu, setelah beres cuci piring.” ujar Maryam.“Itu di meja ada nasi kuning dan lauk pauk, kenapa belum dibawa ke lokasi acara?” tanya Marco sembari menuding meja di dalam homebase.“Itu nasi kuning buat di sini ….”Para akhwat juga memasak nasi kuning buat anak-anak pencinta alam, walaupun tentu tidak akan cukup jika untuk semua anggota. Namun cukup banyak beras yang dimasak, dua kilo. Lauknya orek tempe dan urap sayuran. Itulah masakan tanda terima kasih karena sudah diizinkan pinjam homebase.Beberapa anggota pencinta alam masuk ke dalam homebase. Ada yang melongokkan kepala memandangi Maryam. “Teteh, itu nasi dan ce-esnya, buat kita?”“Iya, silakan dimakan ya.” jawab Maryam.“Asyik, makasih banyak Teteh cantik. Hei Guys, makan kuy!”Marco berdiri di pintu, memandangi para anggota pencinta alam yang mau makan. “Hei, kelar makan nanti, lo semua bersihin nih h
Setelah itu, Marco kerap beli peyek buatan Maryam, sebelum dikirim ke kantin. Katanya peyek itu buat teman makan nasi kalau di rumah, kadang jadi cemilan saat dia sedang mengerjakan tugas kuliah. Maryam tentu senang punya pelanggan tetap yang selalu membeli peyeknya dalam jumlah cukup banyak. Kadang-kadang Marco mengajak Maryam ngobrol cukup banyak, tentang kampung halaman Maryam di Cirebon. Marco minta dicarikan baju batik khas Cirebon, yang dibuat oleh wong Cirebon, katanya dia pengin pakai baju batik buat acara keluarga besarnya. Maryam mencari di pengrajin batik, di wilayah Trusmi. Dikirimkannya beberapa foto baju batik beraneka motif, ke nomor WA Marco. Sekalian dengan informasi harga. Maryam mengirim gambar baju batik dari yang cukup murah, menengah, dan mahal. Motif batik yang dipilih Maryam adalah yang khas Cirebon, seperti motif mega mendung, singa barong, dan paksi naga liman. Ternyata Marco menyukai motif batik tersebut, lantas mentransfer sejumlah uang ke rekening Ma
Setelah rombongan itu pergi, Marco bicara. “Gue mimpi lagi .... ketemu Tonny ... dia terus saja bilang ... aku mau mati sebagai climber.”Cepi menjawab lirih, “Jangan dipikirin terus. Semua sudah berakhir, Bro. Nggak ada lagi yang bisa lo perbuat untuk Tonny.”Marco bertanya dalam hati, Kapan ya, pertama kali datangnya mimpi itu? Mimpi buruk tentang sebuah pemanjatan di tebing, bersama seorang rekan bernama Tonny. Dalam mimpinya, Tonny sesumbar, “Aku mau mati sebagai climber!”Dulu ... sekitar tiga tahun lalu mimpi buruk itu berawal, tapi kemudian Marco merasa semua bakal pulih seperti sedia kala, termasuk hatinya. Namun sekarang, setelah bertahun lewat, mimpi buruk itu datang lagi. Marco merasa, mimpi itu datang karena ada kaitannya dengan seseorang yang masuk dalam organisasi pencinta alam kampus. Tepatnya, seorang mahasiswi, adik kelasnya, yang masuk menjadi anggota Adventure setahun lalu. Gadis itu bernama Silvi. Sejak Silvi masuk ke organisasi Adventure, Marco kembali mengalami
Gadis itu punya nama lengkap Maryam Nur Asyifa, penampilannya sederhana, pakaian dan jilbabnya dari bahan yang murah, dan berwarna gelap. Wajahnya selalu polos tanpa make up. Namun di balik kesederhanaan itu, sebenarnya Maryam berparas cantik, dengan kulit kuning langsat. Saat dia tersenyum ada lekuk mungil di pipinya, giginya rapi dan bersih, matanya bulat bening. Tubuhnya tinggi semampai. Saat ini Maryam sudah memasuki tahun ke empat masa kuliah. Maryam tidak sempat jualan peyek, karena sibuk praktik mengajar di sebuah SMP, di Cicalengka. Itu yang dilihat Marco di akun media sosial milik Maryam. Marco dan Maryam saling follow akun medsos, walau Maryam jarang membuat postingan, Marco juga begitu. Postingan yang dibuat Maryam kadang-kadang diberi tanda like oleh Marco. Sedangkan postingan terakhir Marco di akun pribadinya, adalah saat dirinya melakukan serah terima jabatan komandan Adventure kepada yuniornya yang bernama Raymond Sanjaya. Postingan itu lewat di beranda akun medsos
“Hei, ibu guru sudah pulang!”Maryam tiba di teras rumah kos, disambut teriakan rekan satu kos. Tempat kos itu untuk perempuan. Di sore hari yang basah oleh gerimis, Maryam kembali ke rumah kos, setelah menyelesaikan satu bulan praktik mengajar di kawasan yang cukup jauh dari kampusnya. Sebenarnya Maryam pengin pulang ke kampungnya di Cirebon, tapi dekan FKIP meminta para mahasiswa yang sudah menyelesaikan praktik mengajar, untuk berkumpul di kampus besok siang. Maka Maryam menunda pulang ke Cirebon.“Maaf ya, nggak sempat bawa oleh-oleh.” ujar Maryam. “Tadi setelah terakhir kali mengajar, aku pamit sama orang-orang di sana, terus langsung balik ke sini.”“Nggak apa-apa.”Sebuah gerobak bakso berhenti di depan rumah kos itu. Maryam yang hendak masuk ke kamarnya, menoleh pada Mang Ujo, tukang bakso langganan anak kos. Maryam merasa lapar karena belum makan siang.“Ke mana aja, Mang? Kayaknya sudah seminggu nggak muncul. Pindah rute jualan ya?” tanya salah seorang penghuni kos.“Istri s
“Eh, siapa kamu?”“Ini aku, Maryam. Kamu mau ngapain ke kampus malam-malam begini, Silvi?”“Aku mau ke homebase, ada barangku yang ketinggalan.”"Kenapa harus loncat pagar?”“Aku nggak masuk lewat gerbang, karena malas ngomong minta dibukain gerbang sama satpam..”“Bisa besok lagi kamu ambil barang yang ketinggalan itu.”“Ya sudahlah, besok aja!” Silvi terlihat marah, lalu kembali memanjat pagar besi. Maryam juga terpaksa manjat lagi sambil menahan rasa sakit pada kakinya. Tak lama mereka sudah ada di trotoar jalan.“Ngapain sih, Mbak ngikutin aku?!” gerutu Silvi sambil duluan jalan, kembali ke gang tempat rumah kos mereka berada. Maryam membuntuti dengan langkah terpincang-pincang.“Heran aja ngelihat kamu ke kampus malam-malam begini. Aku juga terkadang ada barang tertinggal di markas dakwah kampus, aku cari besoknya lagi, nggak malam-malam datang ke kampus.”Silvi merengut sembari terus melangkah masuk gang. Tiba di rumah kos, Silvi mengeluarkan kunci dari saku celana panjangnya, l