Share

bab 06. Kembali ke Rumah Kos

“Hei, ibu guru sudah pulang!”

Maryam tiba di teras rumah kos, disambut teriakan rekan satu kos. Tempat kos itu untuk perempuan. Di sore hari yang basah oleh gerimis, Maryam kembali ke rumah kos, setelah menyelesaikan satu bulan praktik mengajar di kawasan yang cukup jauh dari kampusnya. Sebenarnya Maryam pengin pulang ke kampungnya di Cirebon, tapi dekan FKIP meminta para mahasiswa yang sudah menyelesaikan praktik mengajar, untuk berkumpul di kampus besok siang. Maka Maryam menunda pulang ke Cirebon.

“Maaf ya, nggak sempat bawa oleh-oleh.” ujar Maryam. “Tadi setelah terakhir kali mengajar, aku pamit sama orang-orang di sana, terus langsung balik ke sini.”

“Nggak apa-apa.”

Sebuah gerobak bakso berhenti di depan rumah kos itu. Maryam yang hendak masuk ke kamarnya, menoleh pada Mang Ujo, tukang bakso langganan anak kos. Maryam merasa lapar karena belum makan siang.

“Ke mana aja, Mang? Kayaknya sudah seminggu nggak muncul. Pindah rute jualan ya?” tanya salah seorang penghuni kos.

“Istri saya meninggal, Neng….” jawab tukang bakso itu.

“Innalillahi…. Saya turut prihatin, Mang. Apakah dia sakit?”

“Bukan Neng, tapi ditabrak mobil waktu pulang dari pasar.”

“Ya Allah….”

Pedagang bakso itu lantas sibuk meladeni beragam pesanan.

Anak kos itu berbisik kepada rekan-rekan satu kosnya, tentang istri Mang Ujo yang meninggal, dan apakah ada yang mau memberi uang lebih sebagai tanda turut berduka cita. Uang untuk membayar bakso dikumpulkan. Semuanya memberi lebih. Saat acara makan bakso selesai, Maryam yang menyodorkan uang itu.

“Uang kembaliannya untuk Mang Ujo.” ujar Maryam.

Ujo tertegun, karena uang kembaliannya masih cukup besar, setara dengan sepuluh mangkok bakso. “Ada yang mau tambah ya?”

“Sudah kenyang. Kami semua turut prihatin atas musibah yang dialami keluarga Mang Ujo. Jadi mohon diterima tanda dukacita dari kami, biarpun nggak seberapa. Maklum anak kos.” ucap Maryam.

“Terima kasih Neng.” Suara Ujo serak. Dia pura-pura sibuk mencuci mangkok. Beberapa kali dia menyeka matanya dengan lengan baju.

Sebuah motor trail memasuki halaman rumah kos putri itu. Pengendaranya seorang pria muda berambut gondrong melampaui bahu, bertubuh jangkung atletis. Di boncengan motornya duduk seorang gadis penghuni rumah kos itu. Gadis itu turun dari motor, membuka jaket parasut merah bergambar burung di punggung dengan tulisan Black Falcon Automotive, yang sedari tadi dikenakannya. Diberikannya jaket itu kepada si pengendara motor. Pria itu mengenakan jaketnya, lalu menstarter motornya. Kemudian motor itu keluar dari halaman rumah kos, dengan suara bising.

Anak-anak kos tahu siapa pengendara motor trail itu. Senior mereka di kampus, yang setiap ospek selalu ikut turun tangan menggojlok mahasiswa baru. Dialah Marco Radea Wiratama, komandan the Adventure.

“Hey Silvi, gimana ceritanya lo pulang dibonceng sama Bang Marco? Sudah jadian? Wah, Silvi bisa mengalahkan banyak cegil yang ngarep Bang Marco.”

Silvi adalah gadis yang tadi numpang motor Marco, dia menjawab omongan rekannya. “Barusan gue ikut rapat di homebase, membahas urusan yang tengil banget.”

“Urusan apa yang tengil?”

“Urusan kunci.”

“Kunci apa?”

“Lo tau Raymond?” Silvi malah balik bertanya.

“Yang gondrong, suka bawa mobil jeep mehong?”

“Iya, itu Raymond, dia komandan the Adventure yang baru.”

“Oooh, jadi Bang Marco sudah pensiun sebagai komandan, ya?”

“He eh. Bang Marco berantem dengan Raymond, gara-gara homebase dikunci sama Raymond, dan kuncinya dibawa juga sama Raymond. Pada saat Raymond nggak datang ke kampus, seluruh anggota Adventure nggak bisa masuk ke homebase. Bete banget!”

“Wak wak wak!” teman-temannya Silvi tertawa membayangkan bagaimana dongkolnya para anggota pencinta alam itu tidak bisa masuk ke rumah sendiri.

Silvi lanjut bertutur, “Barusan itu rapat darurat, semua sepakat kunci homebase dititipkan ke kantor security kampus. Waktu tadi aku mau pulang, Bang Marco juga mau jalan arah ke sini, katanya mau ke rumah temannya, jadi dia ngajak bareng. Tadi sih gerimis, jadi dia pinjamkan jaket sama aku. Tapi don’t worry ya Mbak Maryam, aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Bang Marco. Dia hanya ngasi tumpangan.”

“Apaan sih? Kok, bawa-bawa nama aku?” Maryam menoleh pada Silvi.

Rekannya Silvi bicara, “Mbak Maryam kan, sering ngobrol dengan Bang Marco. Padahal beda fakultas, beda kegiatan UKM … apa coba yang diobrolkan oleh dua orang yang sangat berbeda? Kayaknya ngobrolin cinta.”

Maryam menyanggah. “Aku bukan ngobrol sama Marco, dia itu cuma mau beli peyek, tapi dia nggak mau peyek yang sudah tergeletak di kantin. Makanya dia pesen langsung sama aku, peyek yang fresh from wajan.”

“Tapi kan, dari urusan iwak peyek, bisa jadi urusan hati juga.”

“Capek ah.” Maryam berdiri, lantas menenteng tas dan travel bag yang belum sempat dia bawa masuk ke kamar.

“Neng, terima kasih ya.” Suara Ujo membuat gadis-gadis itu menoleh.

“Kirain sudah pergi dari tadi….” gumam Maryam.

“Tadi saya ambil air seember dari bak, buat nyuci mangkuk.” kata Ujo, lalu pamitan sambil mendorong gerobaknya ke luar dari pekarangan rumah kos.

Beberapa orang kembali ke kamar, ada yang pergi ke kampus untuk kuliah sore. Beberapa orang masih ngobrol di teras.

***

Keesokan harinya, setelah urusan di kampus selesai, Maryam menuju rumah rekannya yang bernama Nining, partner bisnis peyek. Rumah Nining adalah tempat memasak peyek. Selama sebulan Maryam praktik mengajar di tempat yang jauh dari kampus, membuat produksi peyek terhenti. Nining juga sibuk praktik mengajar, di lokasi yang berbeda dengan Maryam. Sekarang mereka ingin membuat peyek lagi, karena pelanggan mereka sudah banyak yang menanyakan.

Hari sudah gelap saat Maryam selesai memasak. Nining yang nanti akan mengemas peyek ke dalam plastik. Maryam pamit mau kembali ke rumah kos. Saat itu sudah pukul 20:30. Rumah Nining ada di dekat kampus, cukup dekat dengan tempat kos Maryam. Suasana di luar masih ramai dan benderang oleh cahaya lampu jalan serta lampu dari para pedagang di warung-warung tenda tepi jalan.

Maryam yang berjalan kaki hampir tiba di mulut gang, dia melihat seseorang berjalan ke luar dari gang itu. Orang itu pakai jaket hoodie, tapi Maryam merasa tahu siapa orang itu.

“Eh, dia kayak yang mau jalan ke arah kampus? Jam segini kan, biasanya sudah nggak ada aktivitas di kampus. Jangan-jangan dia janjian sama seseorang, mungkin cowok. Heh, biar aku buntutin, pengin tahu kayak apa cowok yang bikin dia mau diajak ketemuan malam-malam begini?”

Langkah orang itu memang berbelok ke arah kampus, tapi dia tidak masuk melalui gerbang utama yang sudah ditutup oleh petugas security. Dia hendak masuk ke areal kampus dengan cara memanjat pagar besi di samping kampus.

“Untung aku pakai celana panjang.” pikir Maryam saat melakukan hal yang sama, memanjat pagar itu. Dia meloncat ke dalam areal kampus.

“Aduh!” Tanpa sengaja Maryam mengeluarkan suara karena tiba-tiba saja kakinya terasa sakit. Orang yang sedari tadi dibuntutinya, menoleh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status