Share

bab 05. Komandan Baru yang Arogan

Gadis itu punya nama lengkap Maryam Nur Asyifa, penampilannya sederhana, pakaian dan jilbabnya dari bahan yang murah, dan berwarna gelap. Wajahnya selalu polos tanpa make up. Namun di balik kesederhanaan itu, sebenarnya Maryam berparas cantik, dengan kulit kuning langsat. Saat dia tersenyum ada lekuk mungil di pipinya, giginya rapi dan bersih, matanya bulat bening. Tubuhnya tinggi semampai.

Saat ini Maryam sudah memasuki tahun ke empat masa kuliah. Maryam tidak sempat jualan peyek, karena sibuk praktik mengajar di sebuah SMP, di Cicalengka. Itu yang dilihat Marco di akun media sosial milik Maryam. Marco dan Maryam saling follow akun medsos, walau Maryam jarang membuat postingan, Marco juga begitu. Postingan yang dibuat Maryam kadang-kadang diberi tanda like oleh Marco. Sedangkan postingan terakhir Marco di akun pribadinya, adalah saat dirinya melakukan serah terima jabatan komandan Adventure kepada yuniornya yang bernama Raymond Sanjaya. Postingan itu lewat di beranda akun medsos milik Maryam, dan Maryam tidak memberi jejak apapun pada tayangan video itu, hanya mengamatinya saja.

Maryam kerap merasa kegiatannya biasa saja, tidak ada yang istimewa untuk diposting di medsos. Sedangkan Marco tidak terlalu suka posting kegiatan climbing dan naik gunung di akun pribadinya, karena sering diintai oleh keluarganya, dan diomeli mamanya. Makanya Marco lebih sering mengunggah kegiatannya di akun milik organisasi Adventure. Maryam tidak follow akun Adventure, karena merasa bukan anggota. Sebenarnya pengin follow, tapi khawatir dipertanyakan, mau ngapain follow akun The Adventure. Maryam memang kerap merasa tidak percaya diri, dan penuh rasa khawatir jika ditolak oleh pihak lain. Efek dari beberapa kejadian di masa kecilnya, saat dirinya kerap ditolak ikut bermain oleh teman-teman di SD, karena dianggap anak miskin yang bajunya lusuh, sepatu butut.

Kali ini Maryam mengunggah video saat dirinya sedang mengajar di depan kelas, yang merekam adalah rekannya. Maryam ingin kegiatannya mengajar dapat terdokumentasi, dan bisa dilihat oleh keluarganya. Tidak disangka, Marco memberi komentar pada postingan itu.

“Ibu guru Maryam.” Itu komentar Marco, lalu ditambahi emoticon love. Cuma begitu saja, tapi mengundang beberapa komentar dari rekan-rekan Maryam di kampus.

“Cie cie, dikasih lope sama si Abang.”

“Ukhti Maryam, kapan balik ke kampus? Kayaknya ada yang kangen tuh.”

“Pulanglah Dek, sekarang Abang sudah bukan komandan lagi.” Itu komentar dari Cepi, anggota Adventure yang pernah jadi rekan sekelas Maryam.

Komentar Cepi dibalas oleh komentar Marco. “Cuci muka sana!”

Si Cepi membalas Marco. “Cukur rambut lo! Dah semester VIII masih gondrong! Norak lo!”

Lalu ada rekan Marco yang berkomentar juga. “Bakal hilang kekuatan Samson kalau rambutnya dicukur.”

“Gue bukan Samson.” Balas Marco.

“Saha maneh?” balas Cepi lagi. Maksudnya ‘siapa kamu?’

Marco membalas lagi. “Aing maung.”

Maryam terkikik pelan membaca komen yang saling berbalas itu.

***

Sore itu seusai kuliah, Marco tidak buru-buru pulang. Dia duduk di dalam homebase sembari mendengarkan musik.

Cepi masuk ke dalam homebase. “Gue mau nginap di homebase. Tempat kos gue lagi direnov kamar mandinya. Semua mampet, bau banget. Cuma satu kamar mandi yang berfungsi. Malas gue kudu antre setiap kali mau pake kamar mandi. Entar kalau septictank sudah disedot, kamar mandi semuanya sudah kelar direnov, baru gue mau balik ke tempat kos.”

Beberapa anggota Adventure kadang menginap di homebase, untuk banyak alasan. Homebase itu bisa jadi alternatif tempat mondok saat tak tahu harus ke mana.

“Ya udah, gue temenin lo mondok di sini ....” ucapan Marco tidak lanjut karena ada seseorang yang datang dan memotong ucapannya.

“Buat sementara, dilarang mondok di homebase!” Itu suara Raymond, komandan Adventure yang baru.

“Apa hak lo ngelarang kita?” tanya Marco.

“Gue lagi mendata aset organisasi, termasuk barang-barang dalam homebase. Untuk sementara jangan ada yang mondok di homebase supaya isi homebase aman.”

“Lo kira, kita mau nyolong?” Marco mulai kesal, “Semua barang dalam homebase ini adalah hasil upaya seluruh anggota Adventure! Semua anggota berhak memakai homebase kapan pun mereka mau, selama tidak bikin kerusakan di sini.”

“Kalau gitu, apa gunanya kalian milih gue jadi komandan yang baru, kalau kalian nggak mau gue atur?”

“Gue nggak milih lo, Raymond!” tukas Marco.

“Tapi anggota lain milih gue, menghargai gue sebagai komandan, sebagai pemimpin. Anggota lain mau nurut sama aturan gue! Kalau ada satu oknum yang menolak kepemimpinan gue ... ya terserah! Tapi apa artinya orang sebiji, dibanding puluhan anggota aktif yang ngedukung gue?” Raymond mengambil kunci homebase dari lubang kuncinya.

“Arogan banget sih lo!” ujar Cepi, “Marco aja yang dua tahun jadi komandan, nggak pernah ngelarang anggota yang mau mondok di homebase.”

Raymond menyeringai. “Hei Marco, lo sudah lewat, mending lo minggir! Kuliah yang bener!”

Marco mulai emosi. “Nggak perlu ngedikte apa yang harus gue lakukan! Gue tau kalau lo marah soal latihan di Citatah kemarin, karena lo nggak mau gue ikut.”

“Terus kenapa lo malah ikut?”

Cepi yang menjawab, “Karena anggota yunior ingin Marco ikut, mereka merasa aman kalau Marco ada bersama mereka. Kalau lo mau dipatuhi sama seluruh anggota Adventure, maka buatlah mereka merasa aman dan nyaman, saat bersama lo.”

“Gue nggak butuh saran kalian. Pergi sana! Homebase mau gue kunci!”

Cepi bicara lagi, dengan nada lunak, “Raymond, biar bagaimanapun, aku dan Marco adalah senior kamu, di kampus ini, maupun di organisasi. Setidaknya kamu masih bisa menghargai kalau umurku dan Marco itu lebih tua dari kamu.”

“Kalian aja nggak pernah menghargai aku sebagai komandan Adventure, bagaimana aku bisa menghargai kalian?”

Marco membalas, “Berapa duit harga diri lo?”

Wajah Raymond memerah menahan marah, dia hendak bergerak mendekati Marco. Lekas Cepi berdiri di antara keduanya. “Sudah Maghrib Bro, kita pergi aja. Masak lo mau ribut saat adzan Maghrib?” Akhirnya Cepi berhasil membuat Marco beranjak meninggalkan homebase.

Akan tetapi saat di teras, Marco menoleh ke arah Raymond yang sedang mengunci pintu homebase. “Raymond, lo kurang ajar! Suatu saat lo bakal tau rasa, karena sudah ngusir gue dari homebase!”

“Persetan!” jawab Raymond sembari berjalan meninggalkan homebase yang sudah terkunci, dan kuncinya dia yang bawa.

Beberapa saat kemudian Marco melarikan motornya pulang ke rumahnya nan sepi, kali ini bersama Cepi. Malam itu mereka makan bareng, mengobrol sembari nonton beberapa acara TV. Akhirnya keduanya tertidur di karpet ruang tengah rumah.

“Aku mau mati sebagai climber!”

Marco terbangun, istighfar beberapa kali. Mimpi kali ini lebih buruk. Pemanjat itu, yang berteriak mau mati sebagai climber, adalah dirinya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status