Share

bab 03. Dianggap Tidak Ada

Setelah itu, Marco kerap beli peyek buatan Maryam, sebelum dikirim ke kantin. Katanya peyek itu buat teman makan nasi kalau di rumah, kadang jadi cemilan saat dia sedang mengerjakan tugas kuliah. Maryam tentu senang punya pelanggan tetap yang selalu membeli peyeknya dalam jumlah cukup banyak.

Kadang-kadang Marco mengajak Maryam ngobrol cukup banyak, tentang kampung halaman Maryam di Cirebon. Marco minta dicarikan baju batik khas Cirebon, yang dibuat oleh wong Cirebon, katanya dia pengin pakai baju batik buat acara keluarga besarnya. Maryam mencari di pengrajin batik, di wilayah Trusmi. Dikirimkannya beberapa foto baju batik beraneka motif, ke nomor WA Marco. Sekalian dengan informasi harga. Maryam mengirim gambar baju batik dari yang cukup murah, menengah, dan mahal.

Motif batik yang dipilih Maryam adalah yang khas Cirebon, seperti motif mega mendung, singa barong, dan paksi naga liman. Ternyata Marco menyukai motif batik tersebut, lantas mentransfer sejumlah uang ke rekening Maryam, untuk membeli tiga kemeja batik, yang harganya menengah. Maryam memberikan barang pesanan itu di kampus, sekalian dengan sisa uang. Marco tidak mau mengambil sisa uangnya, walau sisa uang itu masih sekitar 135 ribu, katanya itu buat ganti ongkos Maryam ke Kawasan Trusmi.

Maryam jadi punya ide untuk menawarkan jasa titip batik ke rekan-rekannya. Lumayanlah, sebulan sekali Maryam pulang ke Cirebon, selalu ada saja yang titip batik. Maryam tidak menaikkan harga terlalu tinggi, cukuplah ada ganti ongkos dan sedikit laba. Hasilnya sebagian ditabung. Hingga saat Maryam menapaki semester VI, dia sudah bisa membeli laptop, walau second. Maryam tidak perlu lagi menahan rasa malu ketika pinjam laptop milik markas dakwah kampus. Dia sudah bisa tenang saat mengerjakan tugas, dan kelak bikin skripsi, dengan laptop miliknya sendiri.

Sekarang Maryam sudah di tingkat akhir, urusannya dengan Marco masih sebatas peyek kacang dan teri. Namun hati Maryam sulit menolak pandangannya yang terpesona juga dengan pemanjat tebing andalan kampusnya itu.

“Salahkah aku jika menyimpan rasa suka pada dirinya? Karena di mataku Marco itu orang yang baik. Tidak pernah ada sikapnya yang membuatku kesal. Tapi mau sampai kapan aku melamunkan dirinya? Ujung-ujungnya hanya halu. Ya Allah, aku nggak sanggup kalau terus saja mencintai seseorang … tapi orang itu nggak mungkin aku raih karena aku dan dia terlalu jauh berbeda dari segi ekonomi keluarga. Jangan biarkan aku patah hati, ya Allah, karena aku takut tidak sanggup menanggung rasa sakitnya. Singkirkan Marco dari pikiranku, dari hatiku. Biarkan saja hatiku hampa, daripada penuh dengan harapan semu.”

***

“Aku mau mati sebagai climber!”

“Lekas turun dari situ! Lo sudah gila ya?!”

“Jangan halangi aku! Mending aku mati sebagai climber!”

“Tidak! Jangaaan ....!”

Suara alarm berbunyi nyaring. Seorang pria muda terbangun dari mimpi buruk. Sepi dan gelap. Alarm pada ponselnya sudah biasa distel untuk berbunyi pada jam 05:00, maksudnya supaya dia ingat menunaikan shalat shubuh.

“Marco, matikan atuh alarmnya … berisik.” ujar rekannya yang tidur bersama dalam tenda.

Pria muda bernama Marco itu merangkak ke luar dari tenda sembari membawa ponselnya. Marco dan rekan-rekannya baru saja beristirahat pada jam dua dini hari, setelah semalam bikin acara jurit malam dan api unggun untuk para anggota yunior dari organisasi pencinta alam kampusnya. Saat ini mereka berada di kawasan karst Citatah, Kabupaten Bandung. Marco bersama rombongan datang ke situ sejak kemarin siang untuk pelatihan panjat tebing bagi anggota yunior. Latihan usai saat hari mulai gelap, dan mereka bermalam di situ.

Hari masih gelap. Marco masih mengantuk, namun dia enggan masuk tenda lagi karena berdesakan. Di dalam tenda itu ada empat orang laki-laki yang sedang menggeletak, anggota senior dan yuniornya. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Marco duduk di luar tenda. Dikenakannya jaket parka untuk menahan hawa dingin udara subuh.

Marco mengeluarkan ponsel untuk melihat notifikasi, siapa tahu ada pesan penting dari keluarganya. Ternyata tidak ada. Lantas dia melihat media sosial. Dia melihat postingan dari akun seorang mahasiswi yang saling follow dengannya. Marco tersenyum tipis saat melihat unggahan mahasiswi itu, sedang praktik mengajar di sebuah sekolah yang cukup jauh dari kampus.

“Ibu guru Maryam.” Hanya itu komentar yang diketik Marco, lantas diberi emoticon love.

Saat hari sudah terang, Marco dan rekan-rekannya membereskan bekas camping. Selain membongkar tenda, mereka juga mengemasi sampah bekas makanan dan minuman. Yang paling penting untuk dikerjakan adalah memastikan tidak ada bara sisa pembakaran dan puntung rokok yang masih menyala.

Komandan organisasi pencinta alam yang memimpin rombongan itu bernama Raymond, dia mengabsen para peserta pelatihan, yaitu 17 orang anggota yunior. Walaupun tidak semua anggota yunior itu punya cukup nyali untuk memanjat tebing sungguhan, tapi para senior yang jadi instruktur tidak memaksa. Yang berani saja yang berlatih climbing, yang kurang nyali dilatih tali temali. Latihan akan diulang dua minggu mendatang di tempat yang sama, yaitu tebing 48 meter.

Setelah acara mengabsen, Raymond membubarkan barisan. Dia tidak mengabsen nama Marco. Padahal Marco adalah salah seorang instruktur pelatihan panjat tebing itu.

Cepi, salah seorang pemanjat senior, berbisik pada Marco. “Lo kagak diabsen, mungkin lo cuma dianggap laler yang ngikutin acara ini.”

Marco tentu saja geram dengan sikap Raymond, tapi dia tidak protes. Dia sudah tahu kenapa Raymond bersikap begitu terhadap dirinya. Marco tahu jika Raymond tidak suka padanya, dan tidak pernah berusaha menutupi ketidaksukaan itu.

Marco menggendong ransel di punggung, berjalan beriringan dengan rombongan untuk meninggalkan Citatah. Mereka melewati dinding-dinding batu kapur, berpapasan dengan para pekerja yang hendak menambang batu kapur itu. Para penambang batu tradisional, yang harus bersaing dengan mesin-mesin besar milik pabrik, untuk berlomba mengeruk dinding karst Citatah setiap harinya. Marco berpikir, suatu saat karst Citatah akan habis digerus, dan hilanglah tebing-tebing panjatan yang jadi kebanggaan para climber Bandung.

Akhirnya mereka tiba di jalan raya. Raymond mengambil mobil jeep miliknya yang sejak kemarin pagi dititipkan di sebuah bengkel. Beberapa orang anggota Adventure yang perempuan turut dengan Raymond. Sisanya naik mobil yang dibawa rekannya, ada juga yang boncengan motor. Semua pulang bersama, kecuali Marco dan Cepi yang masih duduk di sebuah warung, sedang makan ketan bakar yang dicocol ke sambal oncom dan serundeng.

“Bang Marco, Bang Cepi, kita duluan ya.” Pamit beberapa anggota yunior. Mereka masih menghargai Marco sebagai mantan komandan UKM pencinta alam.

“Hati-hati di jalan.” Marco dan Cepi mengangkat tangan, membalas ucapan pamit mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status