"Perlu taksi bu?"
Untungnya, sebuah mobil berhenti tak lama di depan Adeline.
Ia sontak mengangguk. "Iya," jawab Adeline dengan cepat. "Apa ini kosong?"
"Kosong bu!" jawab sopir dari dalam. Tanpa membuang waktu, Adeline segera menaruh kopernya dalam bagasi, setelah selesai Adeline segera masuk ke dalam mobil. Perasaan lega langsung menyelimuti hati Adeline begitu duduk di dalam mobil. "Ke mana bu?!" tanya sopir. Adeline terdiam. Wajahnya menyiratkan kebingungan. "Ke mana? Dirinya mau ke mana?" pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Adeline. "Bu," panggil sopir taksi melihat Adeline dari kaca spion dalam. "Ibu mau ke mana?" "Jalan saja pak. Nanti saya kasih tahu," jawab Adeline. Mobil melaju meninggalkan jalan yang telah memberi kenangan pahit dalam hidup Adeline. Meninggalkan luka di hati Adeline yang tak mungkin bisa sembuh dalam hitungan hari. Setelah beberapa menit melaju, sopir taksi kembali bertanya. "Maaf, ibu mau ke mana? Saya harus tahu alamat yang mau ibu tuju." "Ke hotel pak," jawab Adeline. "Hotel atau penginapan yang murah didekat-dekat sini saja." "Baik bu," jawab sopir. Adeline terdiam, pandangannya melihat ke luar. Perlahan lamunannya membawa pada kejadian beberapa menit yang lalu saat dirinya begitu marah dengan suaminya yang tidak mempercayainya lagi. Matanya yang sembab sekarang basah kembali oleh genangan air mata. Sopir diam-diam memperhatikan Adeline. Ingin bertanya, tapi segan. Adeline mengusap pipi yang telah basah oleh air mata bahkan isak tangisnya tak bisa ditahan lagi. Adeline menangis menumpahkan segala kesedihan yang dari tadi dipendamnya. "Bu," panggil sopir iba. "Kenapa ibu menangis? Apa ibu baik-baik saja?!"Adeline segera mengusap air matanya.Adeline kembali duduk tenang. "Maaf, saya sedang terbawa perasaan."
Sopir taksi itu mengangguk walau ragu. "Oh, iya.Penginapan seperti apa yang ibu mau?"Untungnya, dari begitu banyak musibah, ada hal baik yang juga mengikuti Adeline.
Setelah turun hujan pasti akan muncul pelangi...
Adeline percaya itu.
Terbukti hari ini, badai telah berlalu di hidup Adeline Shabira.
Setelah melewati masa-masa sulit, sudah saatnya Adeline harus bangkit karena hidup terus berlanjut.
"Semoga hari ini aku mendapat pekerjaan," gumam Adeline, setelah itu bergegas pergi mencari kerja.
Meski ditolak, semangatnya tidak padam.
Mungkinkah lepas dari jerat mertua dan ipar toxic, mengubahnya seperti ini?
Tin!
Ditengoknya ke belakang, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti tepat di belakangnya.
Tak lama kemudian, pria bersetelan jas hitam keluar dari dalam mobil. Senyum lebar terukir dibibir tipisnya.
"Axel?" seru Adeline tak percaya melihat orang di depannya.
Bagaimana bisa ia bertemu sahabat lamanya di sini?
"Apa kabarmu?l" tanya Axel setelah berdiri depan Adeline.
"Baik, kabarku sangat baik! Kupikir siapa yang berisik dengan klakson," canda Adeline, "eh ternyata Mr. Axel."
"He-he-he," Axel terkekeh. "Kamu sedang apa di sini?"
Adeline menghela napas.
Wajah senangnya berubah jadi sedih. "Panjang. Bisakah kita bicara di tempat lain?!"
Tanpa banyak bertanya, Axel membawa Adeline ke sebuah restoran yang tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.
"Ok, pesanan sudah datang. Sebaiknya kita habiskan dulu sarapan kita ini. Setelah itu, kita lanjut bicara. Bagaimana?!" tanya Axel setelah mereka berdua telah duduk di dalam restoran.
Adeline mengangguk, "iya, kebetulan aku juga belum sarapan."
Tak ada yang bicara lagi, Axel berusaha membuat Adeline senyaman mungkin, apalagi melihat kedua mata Adeline terlihat bengkak seperti baru habis menangis.
"Makanannya enak," puji Adeline setelah selesai menghabiskan semua isi piringnya.
"Baguslah kalau kamu suka."
Gurat kesedihan nampak jelas diwajah Adeline. Disembunyikan serapat apapun tetap kelihatan di mata Axel. Persahabatan yang telah terjalin cukup lama membuat Axel sangat mengenal Adeline.
"Axel," Adeline memulai pembicaraan setelah beberapa saat diam. "Apa kamu bisa membantuku?!"
"Bantu apa?!" tanya Axel.
"Mencarikanku pekerjaan," jawab Adeline pelan.
Axel terdiam, menatap wajah Adeline yang tertunduk penuh dengan gurat kesedihan.
"Aku butuh pekerjaan untuk menyambung hidupku," bisik Adeline serak. Bayangan dirinya keluar dari rumah suaminya kembali menari dalam kepalanya sehingga butir air mata satu per satu jatuh membasahi pipi.
Axel tak bicara. Hatinya terenyuh melihat sahabatnya yang nampak sedih dan tertekan.
Perlahan satu per satu cerita mengalir dari bibir Adeline tanpa Axel minta. Penderitaan yang selama ini dipendamnya, diceritakan semua pada Axel sampai berani mengambil keputusan pergi meninggalkan suami yang lebih percaya pada ibunya yang jelas-jelas telah memfitnah dirinya.
"Jadi, saat kita bertemu itu, adik iparmu telah membuat video kita?!" tanya Axel.
Adeline mengangguk.
"Astaga!" Axel geleng-geleng kepala. "Mereka telah salah paham. Kenapa kamu tak menjelaskan semuanya kalau kita ini berteman?!"
"Untuk apa?!" ucap Adeline serak di antara isak tangisnya. "Tak ada yang akan percaya padaku. Bahkan suami yang aku junjung tinggi pun, tak sedikitpun percaya padaku."
"Jahat sekali mereka!" umpat Axel geram. "Bisa ku bayangkan, kamu pasti sangat tersiksa."
Adeline tersenyum getir. "Terkadang aku berpikir, kenapa hidup ini begitu tidak adil?"
Axel memandang iba Adeline. "Jangan berpikir seperti itu! Jangan berprasangka buruk pada hidupmu!"
"Tapi itu kenyataannya," tukas Adeline. "Aku bahkan tidak tahu dari rahim siapa aku dilahirkan! Jangankan mertua dan suamiku yang sayang padaku, kedua orangtuaku sendiri, tega membuangku ke panti asuhan!"
Axel diam, tapi hati kecilnya bicara, "seandainya kamu tahu siapa dirimu yang sebenarnya, aku yakin kamu pasti akan terkejut. Sabarlah, aku akan membantumu keluar dari masalah hidup yang menurutmu tidak adil."
Adeline menghapus air mata di pipi. "Maafkan aku Axel. Aku terbawa suasana hati sehingga bicara yang tidak-tidak."
"Tak apa Adeline. Kamu bebas bercerita apa saja padaku," ujar Axel. "Setidaknya dengan bercerita, beban hatimu sedikit bisa terobati. Tapi ngomong-ngomong, apa kamu mau bekerja di tempatku?!"
Mata Adeline membelalak mendengar ucapan Axel.
Wajah sendu Adeline langsung berubah senang, "Mau, mau!"Axel mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini alamat kantorku. Datanglah besok jam sepuluh pagi.""Iya, baik!"Drrt!Ponsel Axel bergetar. Nama Tuan Adras tertera di layar ponsel."Siapa?!" tanya Adeline penasaran karena Axel terpaku melihat layar ponselnya."Klienku, Tuan Adras. Salah satu konglomerat dengan aset triliunan yang sedang mencari putrinya yang hilang dipanti asuhan beberapa tahun ke belakang." Adeline terkejut mendengarnya. Sebenarnya, sudah sejauh mana Axel berubah menjadi sukses?Hanya saja, Adeline tak enak bila bertanya.Sementara itu, di dalam rumah mewah bergaya Eropa modern, Nyonya Adras sedang duduk melamun di ruang keluarganya yang megah dengan segala macam pajangan rumah yang terbuat dari kristal."Adeline, di mana kamu sekarang nak? Mama sangat merindukanmu," gumamnya lirih, mata sendunya menyiratkan begitu banyak kerinduan dalam hati."Ma!" panggilan dari putra bungsunya membuyarkan lamunan Nyonya
Tak terasa, hari berlalu cepat.Saat ini, Adeline bahkan sedang sibuk mencari baju yang pantas untuk dipakai kerja esok hari--sesuatu yang tak mungkin ia lakukan saat menjadi menantu Melanie."Baju ini saja," Adeline mengambil salah satu bajunya di lemari. "Ini cocok aku pakai ke kantor Axel. Terlihat sopan."Drrrt!Ponsel Adeline bergetar. Nama Axel tertera di layar ponsel.Axel: [Aku di depan rumahmu!'Hah?Bergegas Adeline melangkah untuk membuka pintu."Hai," Axel berdiri, tersenyum begitu pintu dibuka."Kamu ngapain ke sini?!" tanya Adeline kaget bercampur cemas. "Ini sudah malam!"Axel memperlihatkan kantung plastik putih kecil yang ada di tangannya. "Apa kamu mau menemaniku makan malam?!""Apa itu?!""Nasi goreng!" jawab Axel melangkah masuk melewati Adeline. "Nasi goreng langganan kita waktu masih sekolah dulu.""Masih jualan si abang itu?!""Sudah diganti dengan putranya. Semoga rasanya masih sama," jawab Axel memberikan satu kotak nasi goreng pada Adeline. "Makanlah!"Wangi
Sementara itu di Kediaman Ronald Wijaya..... "Baru tiga hari yang lalu kamu kakak transfer. Masa sudah habis lagi?" tanya Ronald heran. "Habis dong kak! Uang jajan yang kakak kasih, tidak ada artinya dibandingkan dengan uang jajan teman-temanku di kampus," protes Irene. "Mereka bahkan memakai mobil sendiri pergi ke kampus, sementara aku harus bergantian dengan Pamela." "Jadi maksudmu ingin pergi kuliah dengan mobil sendiri," tebak Pamela. "Iya dong!" Pamela mencibir. "Dasar otak sombong. Masih untung dikasih uang jajan sama kak Ronald, kuliah juga kamu tidak ada prestasinya. Datang ke kampus cuma buat ngecengin cowok-cowok." "Hati-hati kamu kalau bicara!" bentak Irene tersinggung. "Memang kenyataanya begitu! Lihat saja penampilanmu sekarang," tunjuk Pamela pada baju Irene. "Ke kampus seperti mau pergi ke klub malam. Seksi bener!" ledeknya. Wajah Irene memerah. Aliran darahnya terasa mendidih. "Kurang ajar kau!" "Apa?! Kenapa?! Marah?! Memang begitu kenyataannya! Kamu ini pali
Tok tok tok! Ruang kerja Axel diketuk dari luar. Fahira, sekretaris sekaligus tangan kanannya masuk. "Pak, sebentar lagi ada pertemuan dengan Tuan Ronald, pemilik dari Sky Gold Corp. "Jam berapa?!" tanya Axel tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop yang ada di depan. "Jam sepuluh pagi ini." "Ok! Sebentar lagi saya berangkat! Kamu siapkan saja semua berkas-berkas penting yang harus saya bawa!" "Baik, pak!" "Eh, tunggu!" cegah Axel ketika melihat Fahira akan melangkah pergi. "Iya, pak?" Axel melihat arloji yang melingkar di tangan. "Nanti jam sepuluh, ada temanku yang akan datang melamar kerja. Namanya Adeline Shabira." "Melamar pekerjaan? Bukankah, kantor kita saat ini tidak sedang menerima pegawai baru?!" "Memangnya kau tidak mau ada orang yang membantumu?!" "Tentu saja saya mau, pak!" jawab Fahira cepat, mengerti dengan maksud bosnya. "Sudah lama saya menantikan hal seperti ini." "Ok! Saya serahkan Adeline padamu dan ingat! Jangan bertanya apapun padanya
Senyum sinis terukir di bibir Irene. "Saya memang miskin, tapi saya punya hati!" ujar Adeline bicara penuh penekanan, tajam menatap iris mata Irene. "Ingat Irene! Roda kehidupan akan terus berputar. Saat ini kau boleh berbangga dengan apa yang kau punya, tapi kita lihat, apa kau masih bisa tertawa saat tamparan kehidupan menghampirimu!" Irene tak gentar sedikitpun. Jiwa keangkuhannya begitu terpampang nyata. Kakinya yang terbalut snakers putih maju satu langkah, berdiri menantang depan kakak iparnya. "Selama nyawaku masih di badan, kehidupan akan selalu berpihak padaku! Karena aku terlahir dari keluarga baik-baik, tidak seperti kau yang tidak tahu darimana berasal! Bisa saja, kau terlahir dari wanita murahan!" "Tutup mulutmu!" bentak Adeline kencang. Darahnya seakan mendidih. Walau tidak tahu dan tidak pernah melihat wajah wanita yang telah melahirkannya, tapi jika Irene menghina ibunya seperti itu, Adeline tidak terima. Melihat Adeline begitu emosi, Irene malah semakin gencar me
"Dia wanita tak tahu diri! Tukang selingkuh! Apa tak cukup, bukti yang telah adikmu berikan itu?!""Ma!" Ronald terlihat putus asa. "Tidak seperti itu. Aku....."Mendengar suaminya penuh kebimbangan, Adeline sontak merasakan amarah yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.Selama ini, dia tak pernah melakukan hal aneh.Adeline selalu berusaha jadi istri dan ipar yang baik. Bahkan terkadang nyaris jadi pembantu di rumah ini?Selama ini, dia diam karena Ronald menenangkannya di belakang.Tapi, bagaimana bisa Ronald bimbang seperti ini saat semua meragukan kesetiaanya?Namun belum sempat Adeline berbicara, mertuanya segera bertindak. "Ronald! Apa masih kurang bukti foto yang Irene berikan?!"Merasa namanya disebut, kakak dari Ronald itu segera memberikan ponsel miliknya pada Melanie."Lihat ini!" Melanie memutar video yang ada di dalam ponsel Irene. "Tidak ada fitnah! Semua bukti nyata, istrimu telah selingkuh!"Ronald tertegun. Kedua bola matanya tak berkedip melihat video yang sedang berp