"Perlu taksi bu?"
Untungnya, sebuah mobil berhenti tak lama di depan Adeline.
Ia sontak mengangguk. "Iya," jawab Adeline dengan cepat. "Apa ini kosong?"
"Kosong bu!" jawab sopir dari dalam. Tanpa membuang waktu, Adeline segera menaruh kopernya dalam bagasi, setelah selesai Adeline segera masuk ke dalam mobil. Perasaan lega langsung menyelimuti hati Adeline begitu duduk di dalam mobil. "Ke mana bu?!" tanya sopir. Adeline terdiam. Wajahnya menyiratkan kebingungan. "Ke mana? Dirinya mau ke mana?" pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Adeline. "Bu," panggil sopir taksi melihat Adeline dari kaca spion dalam. "Ibu mau ke mana?" "Jalan saja pak. Nanti saya kasih tahu," jawab Adeline. Mobil melaju meninggalkan jalan yang telah memberi kenangan pahit dalam hidup Adeline. Meninggalkan luka di hati Adeline yang tak mungkin bisa sembuh dalam hitungan hari. Setelah beberapa menit melaju, sopir taksi kembali bertanya. "Maaf, ibu mau ke mana? Saya harus tahu alamat yang mau ibu tuju." "Ke hotel pak," jawab Adeline. "Hotel atau penginapan yang murah didekat-dekat sini saja." "Baik bu," jawab sopir. Adeline terdiam, pandangannya melihat ke luar. Perlahan lamunannya membawa pada kejadian beberapa menit yang lalu saat dirinya begitu marah dengan suaminya yang tidak mempercayainya lagi. Matanya yang sembab sekarang basah kembali oleh genangan air mata. Sopir diam-diam memperhatikan Adeline. Ingin bertanya, tapi segan. Adeline mengusap pipi yang telah basah oleh air mata bahkan isak tangisnya tak bisa ditahan lagi. Adeline menangis menumpahkan segala kesedihan yang dari tadi dipendamnya. "Bu," panggil sopir iba. "Kenapa ibu menangis? Apa ibu baik-baik saja?!"Adeline segera mengusap air matanya.Adeline kembali duduk tenang. "Maaf, saya sedang terbawa perasaan."
Sopir taksi itu mengangguk walau ragu. "Oh, iya.Penginapan seperti apa yang ibu mau?"Untungnya, dari begitu banyak musibah, ada hal baik yang juga mengikuti Adeline.
Setelah turun hujan pasti akan muncul pelangi...
Adeline percaya itu.
Terbukti hari ini, badai telah berlalu di hidup Adeline Shabira.
Setelah melewati masa-masa sulit, sudah saatnya Adeline harus bangkit karena hidup terus berlanjut.
"Semoga hari ini aku mendapat pekerjaan," gumam Adeline, setelah itu bergegas pergi mencari kerja.
Meski ditolak, semangatnya tidak padam.
Mungkinkah lepas dari jerat mertua dan ipar toxic, mengubahnya seperti ini?
Tin!
Ditengoknya ke belakang, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti tepat di belakangnya.
Tak lama kemudian, pria bersetelan jas hitam keluar dari dalam mobil. Senyum lebar terukir dibibir tipisnya.
"Axel?" seru Adeline tak percaya melihat orang di depannya.
Bagaimana bisa ia bertemu sahabat lamanya di sini?
"Apa kabarmu?l" tanya Axel setelah berdiri depan Adeline.
"Baik, kabarku sangat baik! Kupikir siapa yang berisik dengan klakson," canda Adeline, "eh ternyata Mr. Axel."
"He-he-he," Axel terkekeh. "Kamu sedang apa di sini?"
Adeline menghela napas.
Wajah senangnya berubah jadi sedih. "Panjang. Bisakah kita bicara di tempat lain?!"
Tanpa banyak bertanya, Axel membawa Adeline ke sebuah restoran yang tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.
"Ok, pesanan sudah datang. Sebaiknya kita habiskan dulu sarapan kita ini. Setelah itu, kita lanjut bicara. Bagaimana?!" tanya Axel setelah mereka berdua telah duduk di dalam restoran.
Adeline mengangguk, "iya, kebetulan aku juga belum sarapan."
Tak ada yang bicara lagi, Axel berusaha membuat Adeline senyaman mungkin, apalagi melihat kedua mata Adeline terlihat bengkak seperti baru habis menangis.
"Makanannya enak," puji Adeline setelah selesai menghabiskan semua isi piringnya.
"Baguslah kalau kamu suka."
Gurat kesedihan nampak jelas diwajah Adeline. Disembunyikan serapat apapun tetap kelihatan di mata Axel. Persahabatan yang telah terjalin cukup lama membuat Axel sangat mengenal Adeline.
"Axel," Adeline memulai pembicaraan setelah beberapa saat diam. "Apa kamu bisa membantuku?!"
"Bantu apa?!" tanya Axel.
"Mencarikanku pekerjaan," jawab Adeline pelan.
Axel terdiam, menatap wajah Adeline yang tertunduk penuh dengan gurat kesedihan.
"Aku butuh pekerjaan untuk menyambung hidupku," bisik Adeline serak. Bayangan dirinya keluar dari rumah suaminya kembali menari dalam kepalanya sehingga butir air mata satu per satu jatuh membasahi pipi.
Axel tak bicara. Hatinya terenyuh melihat sahabatnya yang nampak sedih dan tertekan.
Perlahan satu per satu cerita mengalir dari bibir Adeline tanpa Axel minta. Penderitaan yang selama ini dipendamnya, diceritakan semua pada Axel sampai berani mengambil keputusan pergi meninggalkan suami yang lebih percaya pada ibunya yang jelas-jelas telah memfitnah dirinya.
"Jadi, saat kita bertemu itu, adik iparmu telah membuat video kita?!" tanya Axel.
Adeline mengangguk.
"Astaga!" Axel geleng-geleng kepala. "Mereka telah salah paham. Kenapa kamu tak menjelaskan semuanya kalau kita ini berteman?!"
"Untuk apa?!" ucap Adeline serak di antara isak tangisnya. "Tak ada yang akan percaya padaku. Bahkan suami yang aku junjung tinggi pun, tak sedikitpun percaya padaku."
"Jahat sekali mereka!" umpat Axel geram. "Bisa ku bayangkan, kamu pasti sangat tersiksa."
Adeline tersenyum getir. "Terkadang aku berpikir, kenapa hidup ini begitu tidak adil?"
Axel memandang iba Adeline. "Jangan berpikir seperti itu! Jangan berprasangka buruk pada hidupmu!"
"Tapi itu kenyataannya," tukas Adeline. "Aku bahkan tidak tahu dari rahim siapa aku dilahirkan! Jangankan mertua dan suamiku yang sayang padaku, kedua orangtuaku sendiri, tega membuangku ke panti asuhan!"
Axel diam, tapi hati kecilnya bicara, "seandainya kamu tahu siapa dirimu yang sebenarnya, aku yakin kamu pasti akan terkejut. Sabarlah, aku akan membantumu keluar dari masalah hidup yang menurutmu tidak adil."
Adeline menghapus air mata di pipi. "Maafkan aku Axel. Aku terbawa suasana hati sehingga bicara yang tidak-tidak."
"Tak apa Adeline. Kamu bebas bercerita apa saja padaku," ujar Axel. "Setidaknya dengan bercerita, beban hatimu sedikit bisa terobati. Tapi ngomong-ngomong, apa kamu mau bekerja di tempatku?!"
Mata Adeline membelalak mendengar ucapan Axel.
Wajah sendu Adeline langsung berubah senang, "Mau, mau!"Axel mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini alamat kantorku. Datanglah besok jam sepuluh pagi.""Iya, baik!"Drrt!Ponsel Axel bergetar. Nama Tuan Adras tertera di layar ponsel."Siapa?!" tanya Adeline penasaran karena Axel terpaku melihat layar ponselnya."Klienku, Tuan Adras. Salah satu konglomerat dengan aset triliunan yang sedang mencari putrinya yang hilang dipanti asuhan beberapa tahun ke belakang." Adeline terkejut mendengarnya. Sebenarnya, sudah sejauh mana Axel berubah menjadi sukses?Hanya saja, Adeline tak enak bila bertanya.Sementara itu, di dalam rumah mewah bergaya Eropa modern, Nyonya Adras sedang duduk melamun di ruang keluarganya yang megah dengan segala macam pajangan rumah yang terbuat dari kristal."Adeline, di mana kamu sekarang nak? Mama sangat merindukanmu," gumamnya lirih, mata sendunya menyiratkan begitu banyak kerinduan dalam hati."Ma!" panggilan dari putra bungsunya membuyarkan lamunan Nyonya
Tak terasa, hari berlalu cepat.Saat ini, Adeline bahkan sedang sibuk mencari baju yang pantas untuk dipakai kerja esok hari--sesuatu yang tak mungkin ia lakukan saat menjadi menantu Melanie."Baju ini saja," Adeline mengambil salah satu bajunya di lemari. "Ini cocok aku pakai ke kantor Axel. Terlihat sopan."Drrrt!Ponsel Adeline bergetar. Nama Axel tertera di layar ponsel.Axel: [Aku di depan rumahmu!'Hah?Bergegas Adeline melangkah untuk membuka pintu."Hai," Axel berdiri, tersenyum begitu pintu dibuka."Kamu ngapain ke sini?!" tanya Adeline kaget bercampur cemas. "Ini sudah malam!"Axel memperlihatkan kantung plastik putih kecil yang ada di tangannya. "Apa kamu mau menemaniku makan malam?!""Apa itu?!""Nasi goreng!" jawab Axel melangkah masuk melewati Adeline. "Nasi goreng langganan kita waktu masih sekolah dulu.""Masih jualan si abang itu?!""Sudah diganti dengan putranya. Semoga rasanya masih sama," jawab Axel memberikan satu kotak nasi goreng pada Adeline. "Makanlah!"Wangi
Sementara itu di Kediaman Ronald Wijaya..... "Baru tiga hari yang lalu kamu kakak transfer. Masa sudah habis lagi?" tanya Ronald heran. "Habis dong kak! Uang jajan yang kakak kasih, tidak ada artinya dibandingkan dengan uang jajan teman-temanku di kampus," protes Irene. "Mereka bahkan memakai mobil sendiri pergi ke kampus, sementara aku harus bergantian dengan Pamela." "Jadi maksudmu ingin pergi kuliah dengan mobil sendiri," tebak Pamela. "Iya dong!" Pamela mencibir. "Dasar otak sombong. Masih untung dikasih uang jajan sama kak Ronald, kuliah juga kamu tidak ada prestasinya. Datang ke kampus cuma buat ngecengin cowok-cowok." "Hati-hati kamu kalau bicara!" bentak Irene tersinggung. "Memang kenyataanya begitu! Lihat saja penampilanmu sekarang," tunjuk Pamela pada baju Irene. "Ke kampus seperti mau pergi ke klub malam. Seksi bener!" ledeknya. Wajah Irene memerah. Aliran darahnya terasa mendidih. "Kurang ajar kau!" "Apa?! Kenapa?! Marah?! Memang begitu kenyataannya! Kamu
Tok tok tok! Ruang kerja Axel diketuk dari luar. Fahira, sekretaris sekaligus tangan kanannya masuk. "Pak, sebentar lagi ada pertemuan dengan Tuan Ronald, pemilik dari Sky Gold Corp. "Jam berapa?!" tanya Axel tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop yang ada di depan. "Jam sepuluh pagi ini." "Ok! Sebentar lagi saya berangkat! Kamu siapkan saja semua berkas-berkas penting yang harus saya bawa!" "Baik, pak!" "Eh, tunggu!" cegah Axel ketika melihat Fahira akan melangkah pergi. "Iya, pak?" Axel melihat arloji yang melingkar di tangan. "Nanti jam sepuluh, ada temanku yang akan datang melamar kerja. Namanya Adeline Shabira." "Melamar pekerjaan? Bukankah, kantor kita saat ini tidak sedang menerima pegawai baru?!" "Memangnya kau tidak mau ada orang yang membantumu?!" "Tentu saja saya mau, pak!" jawab Fahira cepat, mengerti dengan maksud bosnya. "Sudah lama saya menantikan hal seperti ini." "Ok! Saya serahkan Adeline padamu dan ingat! Jangan bertanya apapun padanya
Senyum sinis terukir di bibir Irene. "Saya memang miskin, tapi saya punya hati!" ujar Adeline bicara penuh penekanan, tajam menatap iris mata Irene. "Ingat Irene! Roda kehidupan akan terus berputar. Saat ini kau boleh berbangga dengan apa yang kau punya, tapi kita lihat, apa kau masih bisa tertawa saat tamparan kehidupan menghampirimu!" Irene tak gentar sedikitpun. Jiwa keangkuhannya begitu terpampang nyata. Kakinya yang terbalut snakers putih maju satu langkah, berdiri menantang depan kakak iparnya. "Selama nyawaku masih di badan, kehidupan akan selalu berpihak padaku! Karena aku terlahir dari keluarga baik-baik, tidak seperti kau yang tidak tahu darimana berasal! Bisa saja, kau terlahir dari wanita murahan!" "Tutup mulutmu!" bentak Adeline kencang. Darahnya seakan mendidih. Walau tidak tahu dan tidak pernah melihat wajah wanita yang telah melahirkannya, tapi jika Irene menghina ibunya seperti itu, Adeline tidak terima. Melihat Adeline begitu emosi, Irene malah semakin gencar me
"Nyonya, jalan sangat macet," ujar sopir."Apa tidak bisa mencari jalan lain, pak?!" tanya Nyonya Adras melihat ke luar lewat jendela kaca mobilnya. "Mobil kita berada ditengah-tengah. Saya tidak bisa maju ataupun mundur. Terpaksa kita hanya bisa menunggu sampai kemacetan terurai."Nyonya Adras menghela napas. "Ya sudah. Mau bagaimana lagi?!"Sementara itu, di tempat lain. Irene baru saja sampai di rumah besarnya, kediaman Wijaya. "Bi!" suara nyaringnya memecah kesunyian rumah tatkala kakinya melewati pintu utama.Wanita tua datang tergopoh-gopoh. "Iya, non!""Di mana, mama?!" "Ada di kamarnya," jawab bibi. Irene langsung pergi menuju ke kamar mamanya. Brukh!Tas serta buku yang dibawanya langsung dilempar Irene ke atas sofa sudut begitu masuk ke dalam kamar."Apa tidak bisa kau mengetuk pintu terlebih dahulu?!" semprot Nyonya Melanie marah. Irene tak menggubris. Wajahnya merah, terlihat jelas suasana hatinya sedang kesal. "Ada apa?!" tanya Melani. "Aku tadi bertemu dengan wan
Ronald duduk gelisah bercampur kesal diruang kerjanya. Setelah tadi mendapat kabar, pihak dari Sahara Gold Corp membatalkan pertemuannya, Ronald kembali ke kantor.Sarah, sekretaris pribadi Ronald hanya diam mematung. Tak berani bicara, takut jadi sasaran kemarahan karena suasana hati bosnya sedang tidak baik-baik saja."Sialan!" umpat Ronald, kata pertama yang keluar dari bibirnya setelah cukup lama terdiam. "Dasar tidak profesional! Kalau dari Sahara Gold menghubungi kita, katakan pada mereka, kita membatalkan semua kerjasama! Saya tidak mau bekerjasama dengan perusahaan yang tidak profesional. Dipikirnya siapa mereka sampai berani membatalkan pertemuan yang telah disusun dari jauh-jauh hari!""Baik, pak!" Sarah langsung pergi ke luar.Ronald menghela napas. Detik berikut, pintu ruangannya kembali didorong dari luar. "Hai!"Ronald sejenak tertegun, melihat wanita baju merah masuk. "Bianca?!"Senyum lebar tersungging di bibir Bianca. "Rupanya, kamu masih mengingatku."Sarah masuk. "
Bianca dan Ronald telah selesai menghabiskan makan siangnya."Ternyata steak di sini sangat lezat," puji Bianca. "Piringku sampai kosong. Andai aku tak takut gemuk, sudah dipastikan, aku akan pesan lagi.""Pesanlah kalau kamu masih mau.""No! Cukup sudah makan siangku. Tak mau tubuhku jadi melar karena terlalu banyak makan," tolak Bianca.Tak lama datang hidangan penutup berupa puding mangga. "Kesukaanmu tidak pernah berubah, puding mangga."Bianca tersenyum senang. "Rupanya, kamu masih mengingatnya.""Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Setiap kali kita makan di luar, hidangan penutupnya pasti puding mangga dan itu seperti makanan wajib untukmu."Tak ada yang bicara lagi. Keduanya telah larut dalam kenikmatan puding mangga. Kenangan demi kenangan, satu per satu terbayang dalam ingatan Ronald dan Bianca. Biar bagaimanapun, pernah ada cinta di hati keduanya. Sesaat setelah menghabiskan puding mangga, Bianca membuka pembicaraan. "Ronald, sejujurnya aku datang menemui mu untuk minta maaf
Bianca semakin gencar dalam merangsang Ronald. Jari jemarinya lincah bermain menyusuri tubuh Ronald, apalagi Bianca sudah sangat hapal titik kelemahan Ronald.Jantung Ronald semakin berdegup kencang, hasratnya sebagai laki-laki normal sudah tidak bisa dibendung. Tangan yang dari tadi hanya diam, sekarang mulai memeluk pinggang ramping yang berada di atas pangkuannya. Bianca ingin sekali berteriak kegirangan karena mendapat respon yang sangat menyenangkan dari Ronald. Usahanya tidak sia-sia sudah memakai baju yang begitu seksi dengan belahan dada yang terbuka.Mata sendu Ronald tidak lepas menatap belahan dada yang ada di depan mata. Dua bukit kembar yang sangat menantang begitu menarik perhatian.Bianca sengaja membusungkan dada lalu secara perlahan tangan Ronald yang berada dipinggangnya ditarik agar menyentuh dadanya.Satu tangan Ronald tepat berada disalah satu bukit kembar Bianca. "Kamu dulu begitu memuja punyaku ini. Tanganmu akan begitu lincah bermain dengan keduanya. Sekarang
Dalam hati, Bianca tersenyum senang ketika melihat Ronald tanpa berkedip melihat tubuhnya dari atas sampai bawah. "Laki-laki mana yang bisa melawan kemolekan tubuh seorang Bianca? Ronald sekalipun yang begitu sangat mencintai istrinya akan tunduk dan takluk ketika melihat tubuh molekku. Apalagi sekarang Ronald sedang kesepian, butuh belaian seorang wanita untuk menyalurkan hasratnya. Bodoh sekali istrinya, meninggalkan Ronald seperti ini."Ronald memalingkan wajah. Tiba-tiba wajah istrinya muncul dipelupuk mata, "Adeline," bisiknya dalam hati. Bianca mendekati Ronald. "Boleh, aku duduk di sini?" Ronald menggeser tubuh, memberi ruang Bianca duduk di sampingnya.Ronald mengambil ponsel, melihat setiap pesan yang masuk."Apa kamu sudah mencari istrimu?" tanya Bianca memulai percakapan."Dari pagi aku sudah mencarinya," jawab Ronald pelan. "Sejak Adeline pergi dari rumah ini, ponselnya tidak pernah aktif. Mungkin memang sengaja tidak diaktifkan, agar aku tidak bisa menemukannya.""Itu
Bianca tersenyum kecut, melihat perubahan wajah Ronald. Bianca tahu, Ronald tidak menyukai kehadirannya di rumah itu.Melanie kembali duduk di samping Bianca. Untuk mengalihkan perhatian Bianca dari sikap Ronald, Melani menawarkan kue yang ada di dalam toples. "Kamu sudah mencoba kue ini?""Belum," jawab Bianca datar. "Kue ini sangat enak. Tante sendiri yang membuatnya."Bianca mengambil kue. "Terima kasih, tante.""Mama, apa kak Adeline ada kabarnya?" tanya Pamela."Untuk apa kamu tanyakan wanita itu?" ujar Melani tak suka."Memangnya kenapa? Biar bagaimanapun, kak Adeline masih menantu mama," jelas Pamela. "Kak Adeline masih istrinya kak Ronald.""Yang dikatakan Pamela itu, benar tante," ucap Bianca. "Apa tante tidak berusaha mencarinya.""Untuk apa? Lebih bagus, di rumah ini tak ada wanita itu!" "Bagaimana kalau kak Adeline bertemu orang jahat di luar sana? Pasti yang nanti akan direpotkan tetap kak Ronald," tutur Pamela.Melanie terdiam, apa yang dikatakan putri bungsunya ada be
"Terima kasih kawan atas pujiannya," Ronald menepuk bahu Ivan. "Tapi ngomong-ngomong, apa loe sudah menikah?" "Nasib gue kurang beruntung dalam pernikahan," jawab Ivan."Kenapa?" "Gue tidak beruntung dalam mendapatkan seorang istri," jawab Ivan getir."Maksudnya?" tanya Ronald."Mantan istri gue lebih tertarik dengan uang daripada dengan janji suci pernikahan.""Kalian bercerai?" "Iya. Dia pergi dengan pria itu. Bahkan anaknya sendiripun dilupakan," jelas Ivan tersenyum kecut. "Berapa anak loe?""Baru satu. Laki-laki umur 2 tahun," jawab Ivan. "Ibu gue yang merawatnya.""Sabar ya," Ronald menepuk bahu Ivan sebagai rasa empati. "Semua orang sudah punya takdirnya masing-masing.""Awalnya, gue tidak bisa menerima kenyataan pernikahan gue gagal, tapi lambat laun gue bisa mengikhlaskannya. Mantan istri gue bukan yang terbaik. Ini memang sudah jalan hidup yang harus gue lalui. Pelajaran bagi gue agar nantinya lebih berhati-hati dalam mencari wanita yang benar-benar mencintai gue apa ada
Di kediaman Ronald Wijaya. "Nyonya," bibi datang. "Ada tamu.""Siapa?!" tanya Melani.Tak lama kemudian, terdengar suara langkah sepatu menggema, mengisi kesunyian rumah. "Tante.""Bianca!" seru Melani. "OMG! Ada angin apa sampai bidadari cantik datang ke rumahku?"Bianca memeluk Melanie. "Apa kabar, tante?""Kabar tante baik, sangat baik. Bagaimana denganmu?" "Aku juga baik, tante," jawab Bianca.Tak lama datang Irene."Hai, Irene," sapa Bianca ramah. "Kak Bianca?" Bianca tersenyum lebar. "Kamu sudah besar dan semakin cantik saja. Bagaimana kabarmu?" "Kabarku baik," jawab Irene melihat Bianca dari atas sampai bawah. "Kak Bianca sangat cantik. Aku hampir tidak mengenali kakak.""Kamu juga cantik!" Bianca balas memuji. "Aku pangling melihatmu."Tak lama, bibi datang dengan membawa satu buah koper berukuran besar."Koper siapa itu?!" tanya Melani. "Koperku," jelas Bianca mengambil koper dari tangan bibi. Melani dan Irene saling berpandangan. Muncul kecurigaan dalam benak keduany
Pamela baru saja masuk, melihat Irene galak. "Awas saja kau, kalau sampai rotinya dihabiskan semua, aku akan ,,,"Irene dengan cepat memotong kalimat Pamela. "Akan apa, hah?!" tantangnya.Pamela diam, tapi tatapannya marah pada Irene. Tak ada garis ketakutan di wajah Irene. Kakinya melangkah, mendekati adiknya dengan tangan bertolak pinggang. "Akan apa, hah?!" tanyanya berulang. Kedua tangan Pamela terkepal di antara sisi tubuhnya. Kemarahan terpendam hari kemarin karena ribut dengan mamanya, sekarang tersulut kembali."Dasar bocah tengik! Pulang sekolah bukannya kasih salam pada kakak dan mama ,,,"Buukh!Tiba-tiba Pamela menendang kaki Irene. "Aaaa!" Jerit Irene. Meringis kesakitan di antara rasa kagetnya. Tak menduga, Pamela akan berbuat hal seperti itu. Tulang kering kaki kirinya langsung berdenyut."Siapa yang bocah tengik, hah?!" bentak Pamela marah. Irene meringis menahan sakit di kaki. Tubuhnya limbung jatuh ke lantai. Melani yang melihat kejadian tersebut, langsung berge
"Ka,,kamu jangan berburuk sangka padaku," Zahra gugup.Kevin melengos. "Tidak seperti itu," elak Zahra. "Kalau tidak, ya syukurlah," sergah Kevin. Zahra menelan saliva. Kecanggungan menguasai dirinya, akhirnya memutuskan turun saja. "Aku turun di sini saja.""Aku tadi menjemputmu dari rumah, jadi aku harus mengantarmu pulang ke rumah dengan selamat," jawab Kevin. "Kenapa? Apa ada masalah?"Zahra menggeleng. "Aku baru ingat. Sore ini ada janji dengan temanku.""Baiklah, kalau itu mau kamu." Mobil berhenti dipinggir jalan.Zahra melepas seatbeltnya. "Terima kasih.""Kamu yakin mau turun di sini?" "Iya, dari sini aku langsung ke rumah temanku."Setelah Zahra keluar. Kevin melajukan mobilnya, membaur kembali bersama kendaraan lain. Di dalam taksi. Zahra berubah murung. Wajah cerianya seketika hilang. "Neng," panggil sopir taksi. "Iya, pak?" tanya Zahra."Neng sakit ?""Tidak. Kenapa pak?!" tanya Zahra heran. "Tidak ada apa-apa, non," jawab sopir mengurungkan niatnya ingin bertany
"Ada apa?" Zahra heran melihat perubahan di wajah Kevin."Irene," jawab Kevin tegang."Irene?" Zahra mengikuti kemana Kevin melihat.Deg!Irene sedang menatapnya tajam."Aku tidak tahu ada Irene di sana," Kevin berdiri."Kamu mau ke mana?" tanya Zahra."Aku tidak mau, Irene salah paham padaku!" sergah Kevin. "Sebaiknya aku ke sana.""Saranku, sebaiknya jangan!" Kening Kevin mengernyit, melihat Zahra tidak mengerti. "Kelihatannya, Irene marah. Kalau kamu menghampirinya, kalian berdua pasti akan ribut. Kamu mau menjadi tontonan orang-orang?!""Apa maksudmu?! Justru, kalau aku tidak menghampirinya, dia akan semakin marah dan salah paham. Aku sangat mengenal Irene dengan baik. Aneh, kau ini!"Kevin segera pergi meninggalkan Zahra.Irene bersama dua temannya. Wajahnya kecut melihat Kevin."Hai," sapa Kevin basa basi, berusaha ramah menyapa kekasihnya dan kedua temannya."Hai Kevin! Loe ada di sini?" tanya Silvi."Gue kebetulan di sini bersama temanku," jawab Kevin menarik kursi disebel
Pelayan toko menyambut kedatangan Nyonya Melani ramah. Tak ada senyum, wajah Melani begitu dingin langsung melangkah menuju ke etalase yang memajang roti-roti terbaik toko. Nyonya Adras melihat sekilas ke arah Nyonya Melanie yang ada disampingnya."Apa roti ini semuanya masih fresh?" tanya Melanie."Tentu saja nyonya," jawab pelayan. "Setiap hari, toko kami menjual roti-roti baru.""Saya pesan roti best seller toko ini! Jangan lupa, roti yang masih baru!""Baik, nyonya," pelayan tersebut langsung pergi.Melani melihat Nyonya Adras yang ada di sampingnya, nampak sibuk dengan ponselnya. Merasa sedang diperhatikan, Nyonya Adras melihat Melani. "Sedang menunggu pesanan juga nyonya?" sapa Melanie ramah basa basi Nyonya Adras tersenyum. "Iya, nyonya.""Saya juga sedang menunggu pesanan," ujar Melanie.Nyonya Adras hanya menjawab dengan tersenyum."Saya sudah cukup lama berlangganan di toko roti ini," Melani membuka pembicaraan lagi. "Anak-anak sangat menyukai roti dari toko ini, kala