Share

2. Pergi Membawa Luka

"Perlu taksi bu?"

Untungnya, sebuah mobil berhenti tak lama di depan Adeline.

Ia sontak mengangguk. "Iya," jawab Adeline dengan cepat. "Apa ini kosong?"

"Kosong bu!" jawab sopir dari dalam.

Tanpa membuang waktu, Adeline segera menaruh kopernya dalam bagasi, setelah selesai Adeline segera masuk ke dalam mobil.

Perasaan lega langsung menyelimuti hati Adeline begitu duduk di dalam mobil.

"Ke mana bu?!" tanya sopir.

Adeline terdiam. Wajahnya menyiratkan kebingungan. "Ke mana? Dirinya mau ke mana?" pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Adeline.

"Bu," panggil sopir taksi melihat Adeline dari kaca spion dalam. "Ibu mau ke mana?"

"Jalan saja pak. Nanti saya kasih tahu," jawab Adeline.

Mobil melaju meninggalkan jalan yang telah memberi kenangan pahit dalam hidup Adeline. Meninggalkan luka di hati Adeline yang tak mungkin bisa sembuh dalam hitungan hari.

Setelah beberapa menit melaju, sopir taksi kembali bertanya. "Maaf, ibu mau ke mana? Saya harus tahu alamat yang mau ibu tuju."

"Ke hotel pak," jawab Adeline. "Hotel atau penginapan yang murah didekat-dekat sini saja."

"Baik bu," jawab sopir.

Adeline terdiam, pandangannya melihat ke luar. Perlahan lamunannya membawa pada kejadian beberapa menit yang lalu saat dirinya begitu marah dengan suaminya yang tidak mempercayainya lagi. Matanya yang sembab sekarang basah kembali oleh genangan air mata.

Sopir diam-diam memperhatikan Adeline. Ingin bertanya, tapi segan.

Adeline mengusap pipi yang telah basah oleh air mata bahkan isak tangisnya tak bisa ditahan lagi. Adeline menangis menumpahkan segala kesedihan yang dari tadi dipendamnya.

"Bu," panggil sopir iba. "Kenapa ibu menangis? Apa ibu baik-baik saja?!"

Adeline segera mengusap air matanya.

Adeline kembali duduk tenang. "Maaf, saya sedang terbawa perasaan."

Sopir taksi itu mengangguk walau ragu. "Oh, iya.Penginapan seperti apa yang ibu mau?"

"Penginapan yang murah saja pak," ujar Adeline teringat isi dompetnya tidak ada uang banyak bahkan tidak membawa barang berharga, apalagi sekarang harus membayar taksi.

"Baik bu," jawab sopir. "Kalau boleh tahu, berapa lama ibu akan tinggal di penginapan? Biar nanti saya carikan yang sesuai."

"Saya tidak tahu," jawab Adeline pelan. Memang benar-benar tidak tahu.

"Boleh saya kasih saran bu?!"

"Saran apa?!"

"Menurutku, jika ibu akan lama tinggal di penginapan, lebih baik ibu sewa saja kontrakan atau tempat kost-kostan. Itu akan jauh lebih menghemat," jawab sopir. "Tapi itu terserah ibu, saya hanya memberi saran karena yang saya lihat, ibu sepertinya sedang dalam kesulitan."

Saran dari sopir masuk akal juga. Adeline mengangguk. "Boleh juga. Apa ada kontrakkan yang murah?!"

"Ada bu! Kebetulan kontrakkannya dekat rumah saya!" jawab sopir.

Mata sembab Adeline berbinar. Setidaknya dalam kesedihan telah difitnah mertuanya masih ada orang lain yang peduli. "Kalau begitu kita ke sana pak!"

Tak membutuhkan waktu lama. Rumah kontrakan yang ternyata cukup nyaman telah Adeline sewa dan siap untuk ditempati selama beberapa waktu ke depan.

Untungnya, dari begitu banyak musibah, ada hal baik yang juga mengikuti Adeline.


Setelah turun hujan pasti akan muncul pelangi...

Adeline percaya itu.

Terbukti hari ini, badai telah berlalu di hidup Adeline Shabira.

Setelah melewati masa-masa sulit, sudah saatnya Adeline harus bangkit karena hidup terus berlanjut.

"Semoga hari ini aku mendapat pekerjaan," gumam Adeline, setelah itu bergegas pergi mencari kerja.

Meski ditolak, semangatnya tidak padam.

Mungkinkah lepas dari jerat mertua dan ipar toxic, mengubahnya seperti ini?


Tin!

Tin!


Suara klakson mobil mendadak menghentikan langkah Adeline.

Ditengoknya ke belakang, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti tepat di belakangnya.

Tak lama kemudian, pria bersetelan jas hitam keluar dari dalam mobil. Senyum lebar terukir dibibir tipisnya.

"Axel?" seru Adeline tak percaya melihat orang di depannya.

Bagaimana bisa ia bertemu sahabat lamanya di sini?

"Apa kabarmu?l" tanya Axel setelah berdiri depan Adeline.

"Baik, kabarku sangat baik! Kupikir siapa yang berisik dengan klakson," canda Adeline, "eh ternyata Mr. Axel."

"He-he-he," Axel terkekeh. "Kamu sedang apa di sini?"

Adeline menghela napas.

Wajah senangnya berubah jadi sedih. "Panjang. Bisakah kita bicara di tempat lain?!"

Tanpa banyak bertanya, Axel membawa Adeline ke sebuah restoran yang tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.

"Ok, pesanan sudah datang. Sebaiknya kita habiskan dulu sarapan kita ini. Setelah itu, kita lanjut bicara. Bagaimana?!" tanya Axel setelah mereka berdua telah duduk di dalam restoran.

Adeline mengangguk, "iya, kebetulan aku juga belum sarapan."

Tak ada yang bicara lagi, Axel berusaha membuat Adeline senyaman mungkin, apalagi melihat kedua mata Adeline terlihat bengkak seperti baru habis menangis.

"Makanannya enak," puji Adeline setelah selesai menghabiskan semua isi piringnya.

"Baguslah kalau kamu suka."

Gurat kesedihan nampak jelas diwajah Adeline. Disembunyikan serapat apapun tetap kelihatan di mata Axel. Persahabatan yang telah terjalin cukup lama membuat Axel sangat mengenal Adeline.

"Axel," Adeline memulai pembicaraan setelah beberapa saat diam. "Apa kamu bisa membantuku?!"

"Bantu apa?!" tanya Axel.

"Mencarikanku pekerjaan," jawab Adeline pelan.

Axel terdiam, menatap wajah Adeline yang tertunduk penuh dengan gurat kesedihan.

"Aku butuh pekerjaan untuk menyambung hidupku," bisik Adeline serak. Bayangan dirinya keluar dari rumah suaminya kembali menari dalam kepalanya sehingga butir air mata satu per satu jatuh membasahi pipi.

Axel tak bicara. Hatinya terenyuh melihat sahabatnya yang nampak sedih dan tertekan.

Perlahan satu per satu cerita mengalir dari bibir Adeline tanpa Axel minta. Penderitaan yang selama ini dipendamnya, diceritakan semua pada Axel sampai berani mengambil keputusan pergi meninggalkan suami yang lebih percaya pada ibunya yang jelas-jelas telah memfitnah dirinya.

"Jadi, saat kita bertemu itu, adik iparmu telah membuat video kita?!" tanya Axel.

Adeline mengangguk.

"Astaga!" Axel geleng-geleng kepala. "Mereka telah salah paham. Kenapa kamu tak menjelaskan semuanya kalau kita ini berteman?!"

"Untuk apa?!" ucap Adeline serak di antara isak tangisnya. "Tak ada yang akan percaya padaku. Bahkan suami yang aku junjung tinggi pun, tak sedikitpun percaya padaku."

"Jahat sekali mereka!" umpat Axel geram. "Bisa ku bayangkan, kamu pasti sangat tersiksa."

Adeline tersenyum getir. "Terkadang aku berpikir, kenapa hidup ini begitu tidak adil?"

Axel memandang iba Adeline. "Jangan berpikir seperti itu! Jangan berprasangka buruk pada hidupmu!"

"Tapi itu kenyataannya," tukas Adeline. "Aku bahkan tidak tahu dari rahim siapa aku dilahirkan! Jangankan mertua dan suamiku yang sayang padaku, kedua orangtuaku sendiri, tega membuangku ke panti asuhan!"

Axel diam, tapi hati kecilnya bicara, "seandainya kamu tahu siapa dirimu yang sebenarnya, aku yakin kamu pasti akan terkejut. Sabarlah, aku akan membantumu keluar dari masalah hidup yang menurutmu tidak adil."

Adeline menghapus air mata di pipi. "Maafkan aku Axel. Aku terbawa suasana hati sehingga bicara yang tidak-tidak."

"Tak apa Adeline. Kamu bebas bercerita apa saja padaku," ujar Axel. "Setidaknya dengan bercerita, beban hatimu sedikit bisa terobati. Tapi ngomong-ngomong, apa kamu mau bekerja di tempatku?!"

Hah?

Mata Adeline membelalak mendengar ucapan Axel.






Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status