Wajah sendu Adeline langsung berubah senang, "Mau, mau!"
Axel mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini alamat kantorku. Datanglah besok jam sepuluh pagi."
"Iya, baik!"
Drrt!
Ponsel Axel bergetar. Nama Tuan Adras tertera di layar ponsel.
"Siapa?!" tanya Adeline penasaran karena Axel terpaku melihat layar ponselnya.
"Klienku, Tuan Adras. Salah satu konglomerat dengan aset triliunan yang sedang mencari putrinya yang hilang dipanti asuhan beberapa tahun ke belakang."
Hanya saja, Adeline tak enak bila bertanya.
Sementara itu, di dalam rumah mewah bergaya Eropa modern, Nyonya Adras sedang duduk melamun di ruang keluarganya yang megah dengan segala macam pajangan rumah yang terbuat dari kristal.
"Adeline, di mana kamu sekarang nak? Mama sangat merindukanmu," gumamnya lirih, mata sendunya menyiratkan begitu banyak kerinduan dalam hati.
"Ma!" panggilan dari putra bungsunya membuyarkan lamunan Nyonya Adras. "Mama kenapa?!" tanyanya begitu melihat raut wajah ibunya penuh kesedihan.
Nyonya Adras mencoba tersenyum, menekan segala kesedihan di depan putranya. "Mama tidak apa-apa, nak."
Adrian meraih tangan ibunya. "Mama pasti sedang merindukan Kak Adeline."
Kesedihan yang sedang ditekannya tak bisa membendung air mata. Perlahan butiran bening itu bergulir menyusuri pipi. "Mama sangat merindukan kakakmu."
Hati Adrian berdesir, menatap dalam sorot mata ibunya yang penuh kesedihan. "Jangan menangis ma," bisiknya lembut. "Bukankah, kita semua sedang berusaha mencari Kak Adeline?"
Bulir-bulir air mata semakin tak bisa dibendung. Nyonya Adras terisak. Hatinya menjerit. Kesedihan yang telah dirasakan selama bertahun-tahun, entah kapan akan segera berakhir dan mungkinkah akan berakhir?
"Ma, jangan menangis." Adrian merangkul tubuh wanita yang telah melahirkannya. "Aku ikut sedih kalau mama seperti ini."
"Mama merasa sangat bersalah pada kakakmu," ucap Nyonya Adras serak di antara isak tangisnya. "Seandainya dulu, mama dan papamu tidak menitipkannya dipanti asuhan, kakakmu pasti sekarang ada bersama kita."
Dengan lembut, Adrian mengelus punggung ibunya. "Mama tidak bersalah. Apa yang mama dan papa lakukan, itu semua demi keselamatan Kak Adeline."
"Bagaimana ,,," Nyonya Adras menjeda kalimatnya, dadanya terasa sesak sampai tak kuasa untuk bicara, "bagaimana ,,, kalau kakakmu tidak memaafkan mama," bisiknya lirih.
Adrian bingung tidak tahu harus berkata apa. Tubuh ibunya yang berguncang karena Isak tangis, dipeluknya penuh sayang.
"Bagaimana kalau kakakmu membenci mama?!"
"Jangan bicara seperti itu!" suara bariton Tuan Adras Tanudirga terdengar dari arah belakang keduanya.
Adrian menoleh ke belakang. "Pa."
Tuan Adras mendekati istrinya yang sedang sesenggukan menangis. "Berapa kali papa minta, mama jangan menangis seperti ini. Putri kita pasti akan kembali. Hanya waktu yang bisa menjawab semua keinginan kita. Mama harus sabar."
Adrian mengambil tisu yang tak jauh darinya. Diberikan pada ibunya.
"Axel sebentar lagi akan datang," jelas Tuan Adras. "Mudah-mudahan membawa kabar baik."
"Semoga saja pa," bisik istrinya serak penuh harap.
Tak lama kemudian, salah satu pelayan rumah keluarga Tuan Adras datang memberitahu kalau Tuan Axel telah sampai dan sekarang sedang menunggu di ruang depan.
Tanpa membuang waktu, Tuan Adras bergegas menemui Axel. Langkah tegasnya penuh kepastian, tak sabar ingin segera menemui Axel, membawa berita apa tentang putri yang sedang dicarinya.
Axel menjabat tangan Tuan Adras. Setelah cukup berbasa basi sekedar bertanya kabar, keduanya duduk.
"Jadi, berita apa yang ingin Pak Axel informasikan pada saya?!" tanya Tuan Adras.
"He-he-he," Axel terkekeh mencairkan suasana yang terasa tegang. "Tuan sepertinya sudah tidak sabar."
Tuan Adras menghela napas panjang. Beban berat rasa bersalah terus menghantui dirinya. Kehilangan putri yang sangat disayanginya seperti hidup tanpa arah, apalagi putrinya hilang dikarenakan keputusan yang telah diambilnya.
"Masa lalu tidak akan pernah kembali lagi," ujar Axel. "Penyesalan selalu datang terlambat, tapi saya yakin, tuan melakukan itu karena ada alasan kuat untuk melindungi putri tuan."
Tuan Adras menekan segala kesedihannya. Sorot matanya tidak bisa bohong. Pura-pura tegar di depan semua orang padahal hatinya juga penuh dengan kesedihan karena kehilangan darah dagingnya sendiri.
"Tuan Adras, sejujurnya saya belum berani untuk memberikan informasi mengenai apa yang telah saya dapatkan mengenai keberadaan putri tuan karena bukti-bukti yang saya pegang masih kurang, tapi terlepas dari itu semua, tuan jangan khawatir karena titik terang mengenai putri tuan sudah mulai terlihat. Saya janji dalam waktu dekat, saya akan memberitahu tuan jika apa yang saya duga memang itu benar-benar putri tuan," jelas Axel panjang lebar.
Kening Tuan Adras mengernyit. "Jadi saudara belum tahu mengenai putri saya?!"
"Seperti yang saya bilang tadi, saya belum berani mengungkap semuanya sebelum bukti yang saya temukan cukup kuat."
Wajah kecewa nampak di raut muka Tuan Adras. "Saudara bicara terlalu berbelit-belit. Saya pikir, saudara datang ke sini karena sudah menemukan putri saya. Kalau memang tidak sanggup dan tidak bisa menemukan putriku, lebih baik kita akhiri saja kerjasama kita ini! Saya menyesal telah bekerjasama dengan saudara kalau akhirnya akan seperti ini!"
Axel tertegun mendengar pernyataan tegas dari Tuan Adras.
"Seharusnya, saudara datang ke sini sudah mengetahui di mana keberadaan putri saya, ini malah masih berspekulasi!" ujar Tuan Adras kecewa, bangun dari duduk.
Axel mencoba meredakan kekecewaan kliennya tersebut. "Saya mengerti tuan secepatnya ingin menemukan putri yang telah lama hilang, tapi seperti yang saya bilang tadi, saya memang telah menemukan titik terang, tapi terlepas dari itu semua, saya tidak mau bertindak gegabah yang nantinya akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari."
Senyum mencemooh tersungging di bibir Tuan Adras. Hatinya kecewa, tapi apa yang dikatakan Axel ada benarnya juga.
"Tuan ,,," Axel bangun dari duduk, berdiri depan Tuan Adras. "Percaya pada saya, secepatnya saya yang akan membawa putri tuan ke rumah ini. Saya hanya minta waktu sebentar saja, hanya untuk lebih memastikan dan meyakinkan kalau apa yang telah saya temukan adalah benar."
Tuan Adras menatap tajam iris mata Axel, seakan sedang mencari kejujuran dan bukti keseriusan dari ucapan kliennya itu.
"Panti asuhan, tempat di mana semua identitas dari penghuni panti telah habis terbakar. Itu yang menyulitkan saya. Maka dari itu, saya tidak mau bertindak gegabah," sambung Axel meyakinkan Tuan Adras.
Tak terasa, hari berlalu cepat.Saat ini, Adeline bahkan sedang sibuk mencari baju yang pantas untuk dipakai kerja esok hari--sesuatu yang tak mungkin ia lakukan saat menjadi menantu Melanie."Baju ini saja," Adeline mengambil salah satu bajunya di lemari. "Ini cocok aku pakai ke kantor Axel. Terlihat sopan."Drrrt!Ponsel Adeline bergetar. Nama Axel tertera di layar ponsel.Axel: [Aku di depan rumahmu!'Hah?Bergegas Adeline melangkah untuk membuka pintu."Hai," Axel berdiri, tersenyum begitu pintu dibuka."Kamu ngapain ke sini?!" tanya Adeline kaget bercampur cemas. "Ini sudah malam!"Axel memperlihatkan kantung plastik putih kecil yang ada di tangannya. "Apa kamu mau menemaniku makan malam?!""Apa itu?!""Nasi goreng!" jawab Axel melangkah masuk melewati Adeline. "Nasi goreng langganan kita waktu masih sekolah dulu.""Masih jualan si abang itu?!""Sudah diganti dengan putranya. Semoga rasanya masih sama," jawab Axel memberikan satu kotak nasi goreng pada Adeline. "Makanlah!"Wangi
Sementara itu di Kediaman Ronald Wijaya..... "Baru tiga hari yang lalu kamu kakak transfer. Masa sudah habis lagi?" tanya Ronald heran. "Habis dong kak! Uang jajan yang kakak kasih, tidak ada artinya dibandingkan dengan uang jajan teman-temanku di kampus," protes Irene. "Mereka bahkan memakai mobil sendiri pergi ke kampus, sementara aku harus bergantian dengan Pamela." "Jadi maksudmu ingin pergi kuliah dengan mobil sendiri," tebak Pamela. "Iya dong!" Pamela mencibir. "Dasar otak sombong. Masih untung dikasih uang jajan sama kak Ronald, kuliah juga kamu tidak ada prestasinya. Datang ke kampus cuma buat ngecengin cowok-cowok." "Hati-hati kamu kalau bicara!" bentak Irene tersinggung. "Memang kenyataanya begitu! Lihat saja penampilanmu sekarang," tunjuk Pamela pada baju Irene. "Ke kampus seperti mau pergi ke klub malam. Seksi bener!" ledeknya. Wajah Irene memerah. Aliran darahnya terasa mendidih. "Kurang ajar kau!" "Apa?! Kenapa?! Marah?! Memang begitu kenyataannya! Kamu
Tok tok tok! Ruang kerja Axel diketuk dari luar. Fahira, sekretaris sekaligus tangan kanannya masuk. "Pak, sebentar lagi ada pertemuan dengan Tuan Ronald, pemilik dari Sky Gold Corp. "Jam berapa?!" tanya Axel tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop yang ada di depan. "Jam sepuluh pagi ini." "Ok! Sebentar lagi saya berangkat! Kamu siapkan saja semua berkas-berkas penting yang harus saya bawa!" "Baik, pak!" "Eh, tunggu!" cegah Axel ketika melihat Fahira akan melangkah pergi. "Iya, pak?" Axel melihat arloji yang melingkar di tangan. "Nanti jam sepuluh, ada temanku yang akan datang melamar kerja. Namanya Adeline Shabira." "Melamar pekerjaan? Bukankah, kantor kita saat ini tidak sedang menerima pegawai baru?!" "Memangnya kau tidak mau ada orang yang membantumu?!" "Tentu saja saya mau, pak!" jawab Fahira cepat, mengerti dengan maksud bosnya. "Sudah lama saya menantikan hal seperti ini." "Ok! Saya serahkan Adeline padamu dan ingat! Jangan bertanya apapun padanya
Senyum sinis terukir di bibir Irene. "Saya memang miskin, tapi saya punya hati!" ujar Adeline bicara penuh penekanan, tajam menatap iris mata Irene. "Ingat Irene! Roda kehidupan akan terus berputar. Saat ini kau boleh berbangga dengan apa yang kau punya, tapi kita lihat, apa kau masih bisa tertawa saat tamparan kehidupan menghampirimu!" Irene tak gentar sedikitpun. Jiwa keangkuhannya begitu terpampang nyata. Kakinya yang terbalut snakers putih maju satu langkah, berdiri menantang depan kakak iparnya. "Selama nyawaku masih di badan, kehidupan akan selalu berpihak padaku! Karena aku terlahir dari keluarga baik-baik, tidak seperti kau yang tidak tahu darimana berasal! Bisa saja, kau terlahir dari wanita murahan!" "Tutup mulutmu!" bentak Adeline kencang. Darahnya seakan mendidih. Walau tidak tahu dan tidak pernah melihat wajah wanita yang telah melahirkannya, tapi jika Irene menghina ibunya seperti itu, Adeline tidak terima. Melihat Adeline begitu emosi, Irene malah semakin gencar me
"Nyonya, jalan sangat macet," ujar sopir."Apa tidak bisa mencari jalan lain, pak?!" tanya Nyonya Adras melihat ke luar lewat jendela kaca mobilnya. "Mobil kita berada ditengah-tengah. Saya tidak bisa maju ataupun mundur. Terpaksa kita hanya bisa menunggu sampai kemacetan terurai."Nyonya Adras menghela napas. "Ya sudah. Mau bagaimana lagi?!"Sementara itu, di tempat lain. Irene baru saja sampai di rumah besarnya, kediaman Wijaya. "Bi!" suara nyaringnya memecah kesunyian rumah tatkala kakinya melewati pintu utama.Wanita tua datang tergopoh-gopoh. "Iya, non!""Di mana, mama?!" "Ada di kamarnya," jawab bibi. Irene langsung pergi menuju ke kamar mamanya. Brukh!Tas serta buku yang dibawanya langsung dilempar Irene ke atas sofa sudut begitu masuk ke dalam kamar."Apa tidak bisa kau mengetuk pintu terlebih dahulu?!" semprot Nyonya Melanie marah. Irene tak menggubris. Wajahnya merah, terlihat jelas suasana hatinya sedang kesal. "Ada apa?!" tanya Melani. "Aku tadi bertemu dengan wan
Ronald duduk gelisah bercampur kesal diruang kerjanya. Setelah tadi mendapat kabar, pihak dari Sahara Gold Corp membatalkan pertemuannya, Ronald kembali ke kantor.Sarah, sekretaris pribadi Ronald hanya diam mematung. Tak berani bicara, takut jadi sasaran kemarahan karena suasana hati bosnya sedang tidak baik-baik saja."Sialan!" umpat Ronald, kata pertama yang keluar dari bibirnya setelah cukup lama terdiam. "Dasar tidak profesional! Kalau dari Sahara Gold menghubungi kita, katakan pada mereka, kita membatalkan semua kerjasama! Saya tidak mau bekerjasama dengan perusahaan yang tidak profesional. Dipikirnya siapa mereka sampai berani membatalkan pertemuan yang telah disusun dari jauh-jauh hari!""Baik, pak!" Sarah langsung pergi ke luar.Ronald menghela napas. Detik berikut, pintu ruangannya kembali didorong dari luar. "Hai!"Ronald sejenak tertegun, melihat wanita baju merah masuk. "Bianca?!"Senyum lebar tersungging di bibir Bianca. "Rupanya, kamu masih mengingatku."Sarah masuk. "
Bianca dan Ronald telah selesai menghabiskan makan siangnya."Ternyata steak di sini sangat lezat," puji Bianca. "Piringku sampai kosong. Andai aku tak takut gemuk, sudah dipastikan, aku akan pesan lagi.""Pesanlah kalau kamu masih mau.""No! Cukup sudah makan siangku. Tak mau tubuhku jadi melar karena terlalu banyak makan," tolak Bianca.Tak lama datang hidangan penutup berupa puding mangga. "Kesukaanmu tidak pernah berubah, puding mangga."Bianca tersenyum senang. "Rupanya, kamu masih mengingatnya.""Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Setiap kali kita makan di luar, hidangan penutupnya pasti puding mangga dan itu seperti makanan wajib untukmu."Tak ada yang bicara lagi. Keduanya telah larut dalam kenikmatan puding mangga. Kenangan demi kenangan, satu per satu terbayang dalam ingatan Ronald dan Bianca. Biar bagaimanapun, pernah ada cinta di hati keduanya. Sesaat setelah menghabiskan puding mangga, Bianca membuka pembicaraan. "Ronald, sejujurnya aku datang menemui mu untuk minta maaf
"Lancang sekali mulutmu!" bentak Melani. Pamela tak gentar. Entah setan apa yang menguasai dirinya sampai berani melawan mamanya. "Aku begini karena mama juga!""Apa maksudmu, hah?!" tanya Melani geram."Bahkan, mama tidak mengenal aku sama sekali!" teriak Pamela kencang sampai otot lehernya timbul. "Irene tercengang melihat adiknya yang sangat emosi."Mama sibuk dengan dunia mama sendiri," sambung Pamela, matanya mulai berkaca-kaca. "Mama tidak peduli denganku! Dari kecil, aku tidak pernah diperhatikan. Saat aku sakit dan dirawat, di mana mama saat itu?!" tanya Pamela kecut. Kejadian dua tahun lalu saat Pamela terkena demam berdarah kembali diungkit. Disaat putri kecilnya butuh dukungan, saat itu Melani sibuk dengan dunia sosialitanya. "Jadi, sekarang kamu mulai menyalahkan mama?!""Apa itu ada gunanya?!" ledek Pamela. Bulir air mata mulai jatuh dari kelopak matanya. "Sejak papa meninggal, mama seakan hidup hanya untuk diri sendiri. Aku ,,," Pamela menunjuk dadanya sendiri. "Aku
Melihat majikannya hanya terdiam saja membuat Mang Ujang bertanya. "Apa nyonya juga sakit?"Melani mendengus kesal. "Kenapa sih, si bibi pakai acara sakit segala," omelnya. Mang Ujang hanya diam. Melanie mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu dari saku. "Ini uang untuk ke dokter!" ucapnya ketus. "Iya, nyonya." Setelah itu, Melani berlalu pergi membawa hati yang kesal.Sementara itu, jauh dari kediaman Ronald Wijaya. Di dalam sebuah rumah sederhana, Adeline termenung sendiri depan jendela memandang bulan. Pikiran dan hatinya teringat dengan Ronald, suami yang telah ditinggalkannya."Kenapa hatiku gelisah dan selalu teringat dengan Ronald? Apa, dia baik-baik saja di sana?" gumam Adeline bertanya-tanya sendiri.Setelah cukup lama berdiri memandang bulan, Adeline menutup jendela rapat-rapat. Tubuh lelahnya naik ke atas tempat tidur sederhana. "Sedang apa Ronald saat ini? Apa dia mencariku atau Ronald malah bahagia, aku pergi dari rumahnya?" bisik Adeline memandang langit-langit
Bianca semakin gencar dalam merangsang Ronald. Jari jemarinya lincah bermain menyusuri tubuh Ronald, apalagi Bianca sudah sangat hapal titik kelemahan Ronald.Jantung Ronald semakin berdegup kencang, hasratnya sebagai laki-laki normal sudah tidak bisa dibendung. Tangan yang dari tadi hanya diam, sekarang mulai memeluk pinggang ramping yang berada di atas pangkuannya. Bianca ingin sekali berteriak kegirangan karena mendapat respon yang sangat menyenangkan dari Ronald. Usahanya tidak sia-sia sudah memakai baju yang begitu seksi dengan belahan dada yang terbuka.Mata sendu Ronald tidak lepas menatap belahan dada yang ada di depan mata. Dua bukit kembar yang sangat menantang begitu menarik perhatian.Bianca sengaja membusungkan dada lalu secara perlahan tangan Ronald yang berada dipinggangnya ditarik agar menyentuh dadanya.Satu tangan Ronald tepat berada disalah satu bukit kembar Bianca. "Kamu dulu begitu memuja punyaku ini. Tanganmu akan begitu lincah bermain dengan keduanya. Sekarang
Dalam hati, Bianca tersenyum senang ketika melihat Ronald tanpa berkedip melihat tubuhnya dari atas sampai bawah. "Laki-laki mana yang bisa melawan kemolekan tubuh seorang Bianca? Ronald sekalipun yang begitu sangat mencintai istrinya akan tunduk dan takluk ketika melihat tubuh molekku. Apalagi sekarang Ronald sedang kesepian, butuh belaian seorang wanita untuk menyalurkan hasratnya. Bodoh sekali istrinya, meninggalkan Ronald seperti ini."Ronald memalingkan wajah. Tiba-tiba wajah istrinya muncul dipelupuk mata, "Adeline," bisiknya dalam hati. Bianca mendekati Ronald. "Boleh, aku duduk di sini?" Ronald menggeser tubuh, memberi ruang Bianca duduk di sampingnya.Ronald mengambil ponsel, melihat setiap pesan yang masuk."Apa kamu sudah mencari istrimu?" tanya Bianca memulai percakapan."Dari pagi aku sudah mencarinya," jawab Ronald pelan. "Sejak Adeline pergi dari rumah ini, ponselnya tidak pernah aktif. Mungkin memang sengaja tidak diaktifkan, agar aku tidak bisa menemukannya.""Itu
Bianca tersenyum kecut, melihat perubahan wajah Ronald. Bianca tahu, Ronald tidak menyukai kehadirannya di rumah itu.Melanie kembali duduk di samping Bianca. Untuk mengalihkan perhatian Bianca dari sikap Ronald, Melani menawarkan kue yang ada di dalam toples. "Kamu sudah mencoba kue ini?""Belum," jawab Bianca datar. "Kue ini sangat enak. Tante sendiri yang membuatnya."Bianca mengambil kue. "Terima kasih, tante.""Mama, apa kak Adeline ada kabarnya?" tanya Pamela."Untuk apa kamu tanyakan wanita itu?" ujar Melani tak suka."Memangnya kenapa? Biar bagaimanapun, kak Adeline masih menantu mama," jelas Pamela. "Kak Adeline masih istrinya kak Ronald.""Yang dikatakan Pamela itu, benar tante," ucap Bianca. "Apa tante tidak berusaha mencarinya.""Untuk apa? Lebih bagus, di rumah ini tak ada wanita itu!" "Bagaimana kalau kak Adeline bertemu orang jahat di luar sana? Pasti yang nanti akan direpotkan tetap kak Ronald," tutur Pamela.Melanie terdiam, apa yang dikatakan putri bungsunya ada be
"Terima kasih kawan atas pujiannya," Ronald menepuk bahu Ivan. "Tapi ngomong-ngomong, apa loe sudah menikah?" "Nasib gue kurang beruntung dalam pernikahan," jawab Ivan."Kenapa?" "Gue tidak beruntung dalam mendapatkan seorang istri," jawab Ivan getir."Maksudnya?" tanya Ronald."Mantan istri gue lebih tertarik dengan uang daripada dengan janji suci pernikahan.""Kalian bercerai?" "Iya. Dia pergi dengan pria itu. Bahkan anaknya sendiripun dilupakan," jelas Ivan tersenyum kecut. "Berapa anak loe?""Baru satu. Laki-laki umur 2 tahun," jawab Ivan. "Ibu gue yang merawatnya.""Sabar ya," Ronald menepuk bahu Ivan sebagai rasa empati. "Semua orang sudah punya takdirnya masing-masing.""Awalnya, gue tidak bisa menerima kenyataan pernikahan gue gagal, tapi lambat laun gue bisa mengikhlaskannya. Mantan istri gue bukan yang terbaik. Ini memang sudah jalan hidup yang harus gue lalui. Pelajaran bagi gue agar nantinya lebih berhati-hati dalam mencari wanita yang benar-benar mencintai gue apa ada
Di kediaman Ronald Wijaya. "Nyonya," bibi datang. "Ada tamu.""Siapa?!" tanya Melani.Tak lama kemudian, terdengar suara langkah sepatu menggema, mengisi kesunyian rumah. "Tante.""Bianca!" seru Melani. "OMG! Ada angin apa sampai bidadari cantik datang ke rumahku?"Bianca memeluk Melanie. "Apa kabar, tante?""Kabar tante baik, sangat baik. Bagaimana denganmu?" "Aku juga baik, tante," jawab Bianca.Tak lama datang Irene."Hai, Irene," sapa Bianca ramah. "Kak Bianca?" Bianca tersenyum lebar. "Kamu sudah besar dan semakin cantik saja. Bagaimana kabarmu?" "Kabarku baik," jawab Irene melihat Bianca dari atas sampai bawah. "Kak Bianca sangat cantik. Aku hampir tidak mengenali kakak.""Kamu juga cantik!" Bianca balas memuji. "Aku pangling melihatmu."Tak lama, bibi datang dengan membawa satu buah koper berukuran besar."Koper siapa itu?!" tanya Melani. "Koperku," jelas Bianca mengambil koper dari tangan bibi. Melani dan Irene saling berpandangan. Muncul kecurigaan dalam benak keduany
Pamela baru saja masuk, melihat Irene galak. "Awas saja kau, kalau sampai rotinya dihabiskan semua, aku akan ,,,"Irene dengan cepat memotong kalimat Pamela. "Akan apa, hah?!" tantangnya.Pamela diam, tapi tatapannya marah pada Irene. Tak ada garis ketakutan di wajah Irene. Kakinya melangkah, mendekati adiknya dengan tangan bertolak pinggang. "Akan apa, hah?!" tanyanya berulang. Kedua tangan Pamela terkepal di antara sisi tubuhnya. Kemarahan terpendam hari kemarin karena ribut dengan mamanya, sekarang tersulut kembali."Dasar bocah tengik! Pulang sekolah bukannya kasih salam pada kakak dan mama ,,,"Buukh!Tiba-tiba Pamela menendang kaki Irene. "Aaaa!" Jerit Irene. Meringis kesakitan di antara rasa kagetnya. Tak menduga, Pamela akan berbuat hal seperti itu. Tulang kering kaki kirinya langsung berdenyut."Siapa yang bocah tengik, hah?!" bentak Pamela marah. Irene meringis menahan sakit di kaki. Tubuhnya limbung jatuh ke lantai. Melani yang melihat kejadian tersebut, langsung berge
"Ka,,kamu jangan berburuk sangka padaku," Zahra gugup.Kevin melengos. "Tidak seperti itu," elak Zahra. "Kalau tidak, ya syukurlah," sergah Kevin. Zahra menelan saliva. Kecanggungan menguasai dirinya, akhirnya memutuskan turun saja. "Aku turun di sini saja.""Aku tadi menjemputmu dari rumah, jadi aku harus mengantarmu pulang ke rumah dengan selamat," jawab Kevin. "Kenapa? Apa ada masalah?"Zahra menggeleng. "Aku baru ingat. Sore ini ada janji dengan temanku.""Baiklah, kalau itu mau kamu." Mobil berhenti dipinggir jalan.Zahra melepas seatbeltnya. "Terima kasih.""Kamu yakin mau turun di sini?" "Iya, dari sini aku langsung ke rumah temanku."Setelah Zahra keluar. Kevin melajukan mobilnya, membaur kembali bersama kendaraan lain. Di dalam taksi. Zahra berubah murung. Wajah cerianya seketika hilang. "Neng," panggil sopir taksi. "Iya, pak?" tanya Zahra."Neng sakit ?""Tidak. Kenapa pak?!" tanya Zahra heran. "Tidak ada apa-apa, non," jawab sopir mengurungkan niatnya ingin bertany
"Ada apa?" Zahra heran melihat perubahan di wajah Kevin."Irene," jawab Kevin tegang."Irene?" Zahra mengikuti kemana Kevin melihat.Deg!Irene sedang menatapnya tajam."Aku tidak tahu ada Irene di sana," Kevin berdiri."Kamu mau ke mana?" tanya Zahra."Aku tidak mau, Irene salah paham padaku!" sergah Kevin. "Sebaiknya aku ke sana.""Saranku, sebaiknya jangan!" Kening Kevin mengernyit, melihat Zahra tidak mengerti. "Kelihatannya, Irene marah. Kalau kamu menghampirinya, kalian berdua pasti akan ribut. Kamu mau menjadi tontonan orang-orang?!""Apa maksudmu?! Justru, kalau aku tidak menghampirinya, dia akan semakin marah dan salah paham. Aku sangat mengenal Irene dengan baik. Aneh, kau ini!"Kevin segera pergi meninggalkan Zahra.Irene bersama dua temannya. Wajahnya kecut melihat Kevin."Hai," sapa Kevin basa basi, berusaha ramah menyapa kekasihnya dan kedua temannya."Hai Kevin! Loe ada di sini?" tanya Silvi."Gue kebetulan di sini bersama temanku," jawab Kevin menarik kursi disebel