Bianca dan Ronald telah selesai menghabiskan makan siangnya."Ternyata steak di sini sangat lezat," puji Bianca. "Piringku sampai kosong. Andai aku tak takut gemuk, sudah dipastikan, aku akan pesan lagi.""Pesanlah kalau kamu masih mau.""No! Cukup sudah makan siangku. Tak mau tubuhku jadi melar karena terlalu banyak makan," tolak Bianca.Tak lama datang hidangan penutup berupa puding mangga. "Kesukaanmu tidak pernah berubah, puding mangga."Bianca tersenyum senang. "Rupanya, kamu masih mengingatnya.""Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Setiap kali kita makan di luar, hidangan penutupnya pasti puding mangga dan itu seperti makanan wajib untukmu."Tak ada yang bicara lagi. Keduanya telah larut dalam kenikmatan puding mangga. Kenangan demi kenangan, satu per satu terbayang dalam ingatan Ronald dan Bianca. Biar bagaimanapun, pernah ada cinta di hati keduanya. Sesaat setelah menghabiskan puding mangga, Bianca membuka pembicaraan. "Ronald, sejujurnya aku datang menemui mu untuk minta maaf
"Lancang sekali mulutmu!" bentak Melani. Pamela tak gentar. Entah setan apa yang menguasai dirinya sampai berani melawan mamanya. "Aku begini karena mama juga!""Apa maksudmu, hah?!" tanya Melani geram."Bahkan, mama tidak mengenal aku sama sekali!" teriak Pamela kencang sampai otot lehernya timbul. "Irene tercengang melihat adiknya yang sangat emosi."Mama sibuk dengan dunia mama sendiri," sambung Pamela, matanya mulai berkaca-kaca. "Mama tidak peduli denganku! Dari kecil, aku tidak pernah diperhatikan. Saat aku sakit dan dirawat, di mana mama saat itu?!" tanya Pamela kecut. Kejadian dua tahun lalu saat Pamela terkena demam berdarah kembali diungkit. Disaat putri kecilnya butuh dukungan, saat itu Melani sibuk dengan dunia sosialitanya. "Jadi, sekarang kamu mulai menyalahkan mama?!""Apa itu ada gunanya?!" ledek Pamela. Bulir air mata mulai jatuh dari kelopak matanya. "Sejak papa meninggal, mama seakan hidup hanya untuk diri sendiri. Aku ,,," Pamela menunjuk dadanya sendiri. "Aku
Puas melumat bibir dan berhasil membuat Irene terdiam. Kevin dalam hati bersorak girang usahanya tidak sia-sia."Kamu tidak marah lagi?!" bisik Kevin setelah melepaskan ciumannya.Irene menunduk, menghapus sisa-sisa saliva yang menempel di bibir. Wajahnya merona merah. Kevin memang paling pandai kalau sudah urusan membujuk. Segala macam cara selalu dilakukan dan ujungnya Irene akan luluh. "Melihatmu diam, artinya kamu telah memaafkan aku. Iya, kan?!" "Tidak ada kesempatan lagi, jika kamu mengulang kesalahan yang sama," ucap Irene ketus. "Kamu harus tahu, aku benci dengan orang yang selingkuh.""He-he-he," Kevin terkekeh senang. Ditariknya tubuh Irene, dipeluk erat. "I love you," bisiknya lembut depan telinga.Wajah yang telah merah, bertambah merah. Irene membalas pelukan Kevin. Hatinya terasa tenang. "Aku juga mencintai mu."Pagutan bibir kembali terjadi, tapi kali ini tak ada paksaan. Kevin dan Irene sama-sama mau, saling melumat dan saling berbalas penuh cinta.Puas berbagi kasih
Kediaman Wijaya. Praaaang!Suara nyaring piring jatuh memecah kesunyian rumah. Sontak membuat semua orang yang berada dalam kamar masing-masing keluar, ingin mengetahui apa yang terjadi. "Suara apa itu?!" tanya Melani begitu keluar dari kamar pribadinya. Tak ada jawaban."Bibi!" panggilan nyaring Melani memecah kesunyian rumah.Di dapur. Bibi sedang ketakutan dan kebingungan melihat pecahan piring yang berserakan di lantai. "Bibiii!" panggilan menggema kembali terdengar dari Melani.Deg!Jantung bibi berdetak lebih cepat. Wajahnya pucat melihat ke arah pintu. Tak ,,, tuk ,,, tak ,,, tuk ,,,Langkah suara semakin datang mendekat."Bibiiii!" teriak Melani dengan kedua mata melotot, nyaris keluar, begitu melihat apa yang terjadi di dapur. Pecahan dari piring kesayangannya berserakan di lantai.Kedua kaki bibi gemetar, berdiri di samping wastafel."Kurang ajar kau!" bentak Melani tanpa bertanya dan kenapa piring itu bisa pecah. "Kau bosan hidup, hah?!""Nyo,, nyonya, itu ,, itu," b
"Tadi saya lihat, mama berdiri depan pintu kamar Pamela. Apa piring ini pecah karena ulah bocah itu?!" tebak Irene. Bibi diam, melihat suaminya minta bantu jawab. "Hanya kesalahpahaman saja, non. Tidak ada apa-apa," jelas Mang Ujang. "Eh, ngomong-ngomong apa non perlu sesuatu?!" "Saya mau juice jeruk.""Iya non, nanti bibi bawakan ke kamar," sahut bibi. Irene pergi, "jangan pake lama!"***Adeline tak bisa tidur. Bayang-bayang suaminya bersama Bianca menari-nari dalam pikirannya. "Kenapa mereka bisa bersama-sama? Apa mungkin, dibelakangku, Ronald sering bertemu dengan Bianca?" Berbagai macam pertanyaan dan prasangka, akhirnya bergelayut dalam benak Adeline. Menghela napas sejenak, Adeline kemudian bangun untuk mencari udara segar di luar. Adeline menutup pintu rumah. Berdiri sejenak diteras, melihat keadaan sekelilingnya yang nampak sepi. Tak berapa lama kemudian, lewat dua orang ibu-ibu menyapa Adeline. "Permisi bu.""Iya bu, silahkan," jawab Adeline ramah."Penghuni baru ya
Pelayan toko menyambut kedatangan Nyonya Melani ramah. Tak ada senyum, wajah Melani begitu dingin langsung melangkah menuju ke etalase yang memajang roti-roti terbaik toko. Nyonya Adras melihat sekilas ke arah Nyonya Melanie yang ada disampingnya."Apa roti ini semuanya masih fresh?" tanya Melanie."Tentu saja nyonya," jawab pelayan. "Setiap hari, toko kami menjual roti-roti baru.""Saya pesan roti best seller toko ini! Jangan lupa, roti yang masih baru!""Baik, nyonya," pelayan tersebut langsung pergi.Melani melihat Nyonya Adras yang ada di sampingnya, nampak sibuk dengan ponselnya. Merasa sedang diperhatikan, Nyonya Adras melihat Melani. "Sedang menunggu pesanan juga nyonya?" sapa Melanie ramah basa basi Nyonya Adras tersenyum. "Iya, nyonya.""Saya juga sedang menunggu pesanan," ujar Melanie.Nyonya Adras hanya menjawab dengan tersenyum."Saya sudah cukup lama berlangganan di toko roti ini," Melani membuka pembicaraan lagi. "Anak-anak sangat menyukai roti dari toko ini, kala
"Ada apa?" Zahra heran melihat perubahan di wajah Kevin."Irene," jawab Kevin tegang."Irene?" Zahra mengikuti kemana Kevin melihat.Deg!Irene sedang menatapnya tajam."Aku tidak tahu ada Irene di sana," Kevin berdiri."Kamu mau ke mana?" tanya Zahra."Aku tidak mau, Irene salah paham padaku!" sergah Kevin. "Sebaiknya aku ke sana.""Saranku, sebaiknya jangan!" Kening Kevin mengernyit, melihat Zahra tidak mengerti. "Kelihatannya, Irene marah. Kalau kamu menghampirinya, kalian berdua pasti akan ribut. Kamu mau menjadi tontonan orang-orang?!""Apa maksudmu?! Justru, kalau aku tidak menghampirinya, dia akan semakin marah dan salah paham. Aku sangat mengenal Irene dengan baik. Aneh, kau ini!"Kevin segera pergi meninggalkan Zahra.Irene bersama dua temannya. Wajahnya kecut melihat Kevin."Hai," sapa Kevin basa basi, berusaha ramah menyapa kekasihnya dan kedua temannya."Hai Kevin! Loe ada di sini?" tanya Silvi."Gue kebetulan di sini bersama temanku," jawab Kevin menarik kursi disebel
"Ka,,kamu jangan berburuk sangka padaku," Zahra gugup.Kevin melengos. "Tidak seperti itu," elak Zahra. "Kalau tidak, ya syukurlah," sergah Kevin. Zahra menelan saliva. Kecanggungan menguasai dirinya, akhirnya memutuskan turun saja. "Aku turun di sini saja.""Aku tadi menjemputmu dari rumah, jadi aku harus mengantarmu pulang ke rumah dengan selamat," jawab Kevin. "Kenapa? Apa ada masalah?"Zahra menggeleng. "Aku baru ingat. Sore ini ada janji dengan temanku.""Baiklah, kalau itu mau kamu." Mobil berhenti dipinggir jalan.Zahra melepas seatbeltnya. "Terima kasih.""Kamu yakin mau turun di sini?" "Iya, dari sini aku langsung ke rumah temanku."Setelah Zahra keluar. Kevin melajukan mobilnya, membaur kembali bersama kendaraan lain. Di dalam taksi. Zahra berubah murung. Wajah cerianya seketika hilang. "Neng," panggil sopir taksi. "Iya, pak?" tanya Zahra."Neng sakit ?""Tidak. Kenapa pak?!" tanya Zahra heran. "Tidak ada apa-apa, non," jawab sopir mengurungkan niatnya ingin bertany
Ronald menghirup uap kopi miliknya. Dirinya sudah malas untuk bicara dengan Rani."Apa kamu sudah punya anak?" tanya Rani basa basi untuk memancing Ronald bicara."Bukan urusanmu!" jawab Ronald ketus.Rani tersenyum kecut. "Sialan. Kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa. Pantang bagiku untuk kalah dari pria yang sok suci sepertimu!" bisik hati kecil Rani.Ronald mengedarkan pandangan ke sekeliling, meja dan bangku panjang yang tadi kosong sekarang sudah banyak orang. Kebanyakan dari mereka para pria yang sengaja datang untuk minum kopi sambil merokok dan mengobrol."Mau tambah kopinya?" tanya Rani ketika melihat cangkir kopi Ronald sudah mau habis."Tidak!""Sepertinya kau sedang ada masalah," tebak Rani."Jangan sok tau!" "Wajahmu yang mengatakannya," sambung Rani.Ronald mendengus kesal. "Boleh percaya atau tidak, aku bisa membaca orang lewat wajahnya," ujar Rani menatap lekat wajah Ronald. "Kau sedang dalam masalah besar.""Memangnya kau seorang cenayang?!" "Hi-hi-hi," Ran
Senyum kebahagiaan terpancar dari wajah semua orang yang berada di mansion Tuan Adras. Putri satu-satunya yang telah lama hilang bertahun-tahun sekarang telah kembali. "Mama sangat bahagia sekali, sekarang kamu telah berada ditengah-tengah kami. Sekarang keluarga kita lengkap lagi.""Iya, pencarian kita selama bertahun-tahun membuahkan hasil. Ini semua berkat Pak Axel. Dulu kami meminta bantuan orang lain untuk mencari putri kami, tapi tidak pernah ada hasilnya. Setelah Pak Axel yang menanganinya, ternyata sangat membuahkan hasil. Adeline Shabira Evander telah kembali," sambung Tuan Adras dengan wajah yang berseri melihat putrinya."Tuan terlalu berlebihan memuji, saya hanya meneruskan apa yang telah orang lain kerjakan," jawab Axel merendah."Aku sekarang punya kakak, ada tempat untuk cerita. Rasanya senang sekali." Adrian ikut bicara."Memangnya kamu tidak bisa cerita ke mama?""Bisa, tapi rasanya berbeda kalau cerita ke kakak sendiri. Kalau ke mama pasti ujungnya aku diomelin," ja
"Ronald! Kau mau apa?" Bianca kaget bukan kepalang saat Ronald menariknya kasar. "Lepaskan!""Ke luar dari kamarku!" usir Ronald.Tubuh Bianca didorong ke luar. "Jangan pernah masuk ke kamarku lagi!"Blughhh!Bianca meloncat kaget saat Ronald menutup pintu kamar sampai menimbulkan suara yang cukup keras. "Astaga! Kesurupan setan apa si Ronald?"Dari balik pintu yang tertutup, Ronald berdiri mematung, tangannya terkepal menahan marah disisi kiri dan . Lilin yang tersusun rapi di lantai langsung diinjaknya satu per satu untuk meluapkan amarahnya. "Brengsek! Sialan!" Sementara itu di luar kamar, Bianca merapikan baju tidurnya yang tipis menerawang. "Dasar gila! Brengsek! Awas kau, Ronald!""Ada apa ini?" Terdengar suara Tante Melanie baru saja ke luar dari dalam kamar. "Ada apa, ma?" Terdengar pula suara Irene disusul suara Pamela."Suara apa itu?"Bianca yang hendak pergi ke kamarnya terhenti langkahnya melihat Tante Melanie, Irene dan Pamela berdiri tidak jauh darinya."Ada apa
Ronald melangkahkan kakinya perlahan dengan pandangan melihat ke sekitar. Puluhan lilin bahkan mungkin ratusan lilin telah menghias kamarnya. Cahaya remang-remang yang hanya dihasilkan dari cahaya lilin membuat Ronald tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang duduk di sofa menatap dirinya.Perlahan tubuh yang hanya terlihat seperti bayangan berdiri kemudian datang mendekat. "Ronald."Hidung Ronald mencium bau parfum yang tidak asing. "Bianca.""Aku membuat kejutan untukmu. Apa kamu menyukainya?" tanya Bianca berdiri di depan Ronald.Dalam cahaya temaram lilin, Ronald sekarang bisa melihat wajah Bianca dengan jelas. "Untuk apa kamu melakukan ini semua?""Untuk kamu. Aku ingin membuat kejutan untukmu, sengaja menyusun semua lilin ini. Bukankah dulu kamu sangat menyukainya?"Ronald melihat seluruh lilin yang menyala. "Dulu dan sekarang sudah berbeda.""Tidak ada yang berbeda." Bianca semakin mendekat. "Bagiku, dulu dan sekarang sama saja, tidak ada yang berbeda."Ronald menghind
Kevin tersenyum samar, sesaat melihat ke arah di mana tadi Irene pergi bersama Silvi. "Aku pulang duluan.""Hati-hati, bro," jawab temannya."Ok, sip!" Kevin lalu melihat Zahra. "Pulang duluan."Zahra tidak menjawab, Kevin langsung pergi meninggalkan Zahra yang terdiam. "Zahra," panggil teman Kevin."Apa?" tanya Zahra menoleh ke belakang."Tidak ikut Kevin?" tanyanya."Aku masih ada kelas," jawab Zahra langsung pergi.Semua teman Kevin menatap punggung Zahra yang semakin jauh pergi. "Aku yakin, pasti si Zahra menyukai si Kevin.""Sangat terlihat dari matanya, tapi menurutku si Zahra tidak bisa mengambil si Kevin dari si Irene," jawab temannya yang lain."Kenapa?""Secara kita tahu, bagaimana si Kevin yang begitu menyukai si Irene. Bahkan bisa dibilang, si Kevin ini bucin alias budak cinta," jawab yang satunya lagi."Ha-ha-ha. Benar juga, tapi biar bucin kalau setiap hari dapat godaan terus menerus dari si Zahra yang juga cantik begitu, seorang laki-laki pasti akan tergoda juga.""Iya
"Apa maksud tante?" tanya Bianca mulai terpancing.Melanie diam. "Maksudnya apa, tante?" ulang Bianca. "Apa yang tante pikirkan tentang aku?""Tidak, tidak ada. Lupakan saja," jawab Melanie. "Anggap saja, tante tidak bertanya apa-apa.""Apa maksud tante, aku ini wanita yang sering tidur dengan banyak lelaki? Apa seperti itu tante?" tebak Bianca tersinggung."Tidak, tidak seperti itu. Kamu jangan salah paham!" Melanie cepat-cepat membantah."Tapi itu yang aku tangkap dari pertanyaan tante," suara Bianca mulai terdengar keras."Eh, kamu jangan salah paham. Bukan begitu maksud tante! Kamu berpikir terlalu jauh dan mengada-ada, tidak mungkin tante sampai berpikir seperti itu." Melanie cepat-cepat meluruskan apa yang Bianca pikirkan.Bianca terdiam, hatinya sangat tidak senang dengan apa yang dituduhkan Tante Melanie padanya. Walau tidak menjabarkan secara langsung, tapi pertanyaan Tante Melanie membuatnya tersinggung. Melihat wajah Bianca yang merengut, Melanie langsung mengalihkan pemb
"Pa," Adrian melihat papa dengan wajah memohon. "Aku ingin bertemu dengan kak Adeline.""Belum waktunya kamu bertemu dengan kakakmu," jawab papa."Kenapa belum waktunya? Apa mama dan lapa belum memberitahu tentang siapa kak Adeline sebenarnya?""Kami sudah menceritakan semuanya. Kita harus memberi waktu untuk kakakmu agar bisa memahami apa yang terjadi dimasa lalu," jawab papa.Adrian terdiam, apa yang papanya katakan ada benarnya. Pasti tidak mudah untuk kakaknya bisa menerima keluarganya yang telah berpuluh-puluh tahun lamanya terpisah."Kita sekarang bersabar saja, tunggu sampai kakakmu bisa memahami semuanya," timpal mama. "Kita bersabar saja," sambung papa menenangkan putra kesayangannya."Lebih baik kamu sekarang ganti bajumu lalu makan," ucap mama.Adrian menghela napas, "iya baiklah, kalau itu yang terbaik.".....Bianca pulang ke rumah dengan wajah kesal. Dilihatnya ke sekeliling rumah yang nampak sepi. "Non Bianca ,,,," sapa bibi datang dari arah belakang sehingga membuat
"Bianca ,,,," Ronald menjeda ucapannya. "Apa yang telah terjadi tadi, menurutku itu hanyalah sebuah kekhilafan."Kening Bianca mengernyit. "Apa maksudmu itu sebuah kekhilafan?""Itu ,,," Ronald terdiam sesaat. "Aku rasa itu sebuah kekhilafan.""Ucapanmu membuatku tersinggung," rajuk Bianca. Tangannya kembali melingkar di leher Ronald. "Yang terjadi tadi memang sebuah kekhilafan." Ronald melepaskan tangan Bianca dari lehernya.Wajah Bianca berubah kesal. "Aku tidak mau tahu, kamu mau berpikir apa! Yang terjadi tadi, bagiku bukan sebuah kekhilafan. Yang kita lakukan tadi karena kita sama-sama menginginkannya. Itu bukan sebuah kekhilafan!""Bianca ,,," Ronald mencoba memberi pengertian."Aku ini bukan boneka yang bisa kamu perlakukan sesuka hati kamu!" Bianca langsung berdiri. "Aku tidak terima kamu menghinaku seperti ini!""Bianca ,,," Ronald mencoba tetap bersikap lembut untuk memberi pengertian pada Bianca agar tidak marah, urusannya bisa rumit kalau Bianca sampai melapor pada maman
Bianca terpekik senang begitu Ronald tiba-tiba menggendong tubuhnya. Dengan cepat, tangannya langsung melingkari leher Ronald agar tidak terjatuh.Tubuh Bianca ditidurkan di atas sofa, napas Ronald sudah naik turun tidak beraturan. Gejolak hasrat di dadanya tidak bisa di bendung lagi tatkala melihat rok mini Bianca tersingkap sehingga memperlihatkan kain transparan berenda hitam yang menutupi aset pribadi Bianca.Dalam hati Bianca bersorak sorai, ternyata untuk membangkitkan gairah seorang Ronald tidaklah sulit, hanya dengan sedikit sentuhan saja Ronald sudah terbakar api gairahnya.Ronald membuka jas yang menutupi tubuh kekarnya, dilemparnya sembarang arah dengan pandangan yang tidak beralih dari tubuh Bianca yang telentang pasrah. Sungguh pemandangan indah saat itu bagi Ronald melihat rok tersingkap dan baju bagian atas yang sudah terbuka kancingnya sehingga memperlihatkan dua bukit kembar yang begitu menantang.Untuk semakin memancing Ronald agar semakin terbakar gairahnya, Bianca