"Nyonya, jalan sangat macet," ujar sopir."Apa tidak bisa mencari jalan lain, pak?!" tanya Nyonya Adras melihat ke luar lewat jendela kaca mobilnya. "Mobil kita berada ditengah-tengah. Saya tidak bisa maju ataupun mundur. Terpaksa kita hanya bisa menunggu sampai kemacetan terurai."Nyonya Adras menghela napas. "Ya sudah. Mau bagaimana lagi?!"Sementara itu, di tempat lain. Irene baru saja sampai di rumah besarnya, kediaman Wijaya. "Bi!" suara nyaringnya memecah kesunyian rumah tatkala kakinya melewati pintu utama.Wanita tua datang tergopoh-gopoh. "Iya, non!""Di mana, mama?!" "Ada di kamarnya," jawab bibi. Irene langsung pergi menuju ke kamar mamanya. Brukh!Tas serta buku yang dibawanya langsung dilempar Irene ke atas sofa sudut begitu masuk ke dalam kamar."Apa tidak bisa kau mengetuk pintu terlebih dahulu?!" semprot Nyonya Melanie marah. Irene tak menggubris. Wajahnya merah, terlihat jelas suasana hatinya sedang kesal. "Ada apa?!" tanya Melani. "Aku tadi bertemu dengan wan
Ronald duduk gelisah bercampur kesal diruang kerjanya. Setelah tadi mendapat kabar, pihak dari Sahara Gold Corp membatalkan pertemuannya, Ronald kembali ke kantor.Sarah, sekretaris pribadi Ronald hanya diam mematung. Tak berani bicara, takut jadi sasaran kemarahan karena suasana hati bosnya sedang tidak baik-baik saja."Sialan!" umpat Ronald, kata pertama yang keluar dari bibirnya setelah cukup lama terdiam. "Dasar tidak profesional! Kalau dari Sahara Gold menghubungi kita, katakan pada mereka, kita membatalkan semua kerjasama! Saya tidak mau bekerjasama dengan perusahaan yang tidak profesional. Dipikirnya siapa mereka sampai berani membatalkan pertemuan yang telah disusun dari jauh-jauh hari!""Baik, pak!" Sarah langsung pergi ke luar.Ronald menghela napas. Detik berikut, pintu ruangannya kembali didorong dari luar. "Hai!"Ronald sejenak tertegun, melihat wanita baju merah masuk. "Bianca?!"Senyum lebar tersungging di bibir Bianca. "Rupanya, kamu masih mengingatku."Sarah masuk. "
Bianca dan Ronald telah selesai menghabiskan makan siangnya."Ternyata steak di sini sangat lezat," puji Bianca. "Piringku sampai kosong. Andai aku tak takut gemuk, sudah dipastikan, aku akan pesan lagi.""Pesanlah kalau kamu masih mau.""No! Cukup sudah makan siangku. Tak mau tubuhku jadi melar karena terlalu banyak makan," tolak Bianca.Tak lama datang hidangan penutup berupa puding mangga. "Kesukaanmu tidak pernah berubah, puding mangga."Bianca tersenyum senang. "Rupanya, kamu masih mengingatnya.""Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Setiap kali kita makan di luar, hidangan penutupnya pasti puding mangga dan itu seperti makanan wajib untukmu."Tak ada yang bicara lagi. Keduanya telah larut dalam kenikmatan puding mangga. Kenangan demi kenangan, satu per satu terbayang dalam ingatan Ronald dan Bianca. Biar bagaimanapun, pernah ada cinta di hati keduanya. Sesaat setelah menghabiskan puding mangga, Bianca membuka pembicaraan. "Ronald, sejujurnya aku datang menemui mu untuk minta maaf
"Lancang sekali mulutmu!" bentak Melani. Pamela tak gentar. Entah setan apa yang menguasai dirinya sampai berani melawan mamanya. "Aku begini karena mama juga!""Apa maksudmu, hah?!" tanya Melani geram."Bahkan, mama tidak mengenal aku sama sekali!" teriak Pamela kencang sampai otot lehernya timbul. "Irene tercengang melihat adiknya yang sangat emosi."Mama sibuk dengan dunia mama sendiri," sambung Pamela, matanya mulai berkaca-kaca. "Mama tidak peduli denganku! Dari kecil, aku tidak pernah diperhatikan. Saat aku sakit dan dirawat, di mana mama saat itu?!" tanya Pamela kecut. Kejadian dua tahun lalu saat Pamela terkena demam berdarah kembali diungkit. Disaat putri kecilnya butuh dukungan, saat itu Melani sibuk dengan dunia sosialitanya. "Jadi, sekarang kamu mulai menyalahkan mama?!""Apa itu ada gunanya?!" ledek Pamela. Bulir air mata mulai jatuh dari kelopak matanya. "Sejak papa meninggal, mama seakan hidup hanya untuk diri sendiri. Aku ,,," Pamela menunjuk dadanya sendiri. "Aku
Puas melumat bibir dan berhasil membuat Irene terdiam. Kevin dalam hati bersorak girang usahanya tidak sia-sia."Kamu tidak marah lagi?!" bisik Kevin setelah melepaskan ciumannya.Irene menunduk, menghapus sisa-sisa saliva yang menempel di bibir. Wajahnya merona merah. Kevin memang paling pandai kalau sudah urusan membujuk. Segala macam cara selalu dilakukan dan ujungnya Irene akan luluh. "Melihatmu diam, artinya kamu telah memaafkan aku. Iya, kan?!" "Tidak ada kesempatan lagi, jika kamu mengulang kesalahan yang sama," ucap Irene ketus. "Kamu harus tahu, aku benci dengan orang yang selingkuh.""He-he-he," Kevin terkekeh senang. Ditariknya tubuh Irene, dipeluk erat. "I love you," bisiknya lembut depan telinga.Wajah yang telah merah, bertambah merah. Irene membalas pelukan Kevin. Hatinya terasa tenang. "Aku juga mencintai mu."Pagutan bibir kembali terjadi, tapi kali ini tak ada paksaan. Kevin dan Irene sama-sama mau, saling melumat dan saling berbalas penuh cinta.Puas berbagi kasih
Kediaman Wijaya. Praaaang!Suara nyaring piring jatuh memecah kesunyian rumah. Sontak membuat semua orang yang berada dalam kamar masing-masing keluar, ingin mengetahui apa yang terjadi. "Suara apa itu?!" tanya Melani begitu keluar dari kamar pribadinya. Tak ada jawaban."Bibi!" panggilan nyaring Melani memecah kesunyian rumah.Di dapur. Bibi sedang ketakutan dan kebingungan melihat pecahan piring yang berserakan di lantai. "Bibiii!" panggilan menggema kembali terdengar dari Melani.Deg!Jantung bibi berdetak lebih cepat. Wajahnya pucat melihat ke arah pintu. Tak ,,, tuk ,,, tak ,,, tuk ,,,Langkah suara semakin datang mendekat."Bibiiii!" teriak Melani dengan kedua mata melotot, nyaris keluar, begitu melihat apa yang terjadi di dapur. Pecahan dari piring kesayangannya berserakan di lantai.Kedua kaki bibi gemetar, berdiri di samping wastafel."Kurang ajar kau!" bentak Melani tanpa bertanya dan kenapa piring itu bisa pecah. "Kau bosan hidup, hah?!""Nyo,, nyonya, itu ,, itu," b
"Tadi saya lihat, mama berdiri depan pintu kamar Pamela. Apa piring ini pecah karena ulah bocah itu?!" tebak Irene. Bibi diam, melihat suaminya minta bantu jawab. "Hanya kesalahpahaman saja, non. Tidak ada apa-apa," jelas Mang Ujang. "Eh, ngomong-ngomong apa non perlu sesuatu?!" "Saya mau juice jeruk.""Iya non, nanti bibi bawakan ke kamar," sahut bibi. Irene pergi, "jangan pake lama!"***Adeline tak bisa tidur. Bayang-bayang suaminya bersama Bianca menari-nari dalam pikirannya. "Kenapa mereka bisa bersama-sama? Apa mungkin, dibelakangku, Ronald sering bertemu dengan Bianca?" Berbagai macam pertanyaan dan prasangka, akhirnya bergelayut dalam benak Adeline. Menghela napas sejenak, Adeline kemudian bangun untuk mencari udara segar di luar. Adeline menutup pintu rumah. Berdiri sejenak diteras, melihat keadaan sekelilingnya yang nampak sepi. Tak berapa lama kemudian, lewat dua orang ibu-ibu menyapa Adeline. "Permisi bu.""Iya bu, silahkan," jawab Adeline ramah."Penghuni baru ya
Pelayan toko menyambut kedatangan Nyonya Melani ramah. Tak ada senyum, wajah Melani begitu dingin langsung melangkah menuju ke etalase yang memajang roti-roti terbaik toko. Nyonya Adras melihat sekilas ke arah Nyonya Melanie yang ada disampingnya."Apa roti ini semuanya masih fresh?" tanya Melanie."Tentu saja nyonya," jawab pelayan. "Setiap hari, toko kami menjual roti-roti baru.""Saya pesan roti best seller toko ini! Jangan lupa, roti yang masih baru!""Baik, nyonya," pelayan tersebut langsung pergi.Melani melihat Nyonya Adras yang ada di sampingnya, nampak sibuk dengan ponselnya. Merasa sedang diperhatikan, Nyonya Adras melihat Melani. "Sedang menunggu pesanan juga nyonya?" sapa Melanie ramah basa basi Nyonya Adras tersenyum. "Iya, nyonya.""Saya juga sedang menunggu pesanan," ujar Melanie.Nyonya Adras hanya menjawab dengan tersenyum."Saya sudah cukup lama berlangganan di toko roti ini," Melani membuka pembicaraan lagi. "Anak-anak sangat menyukai roti dari toko ini, kala
"Sabar pa. Tahan emosimu," bujuk Nyonya Adras mengelus lembut punggung tangan suaminya. "Kita harus tetap berkepala dingin tuan. Adeline akan ketakutan jika melihat tuan seperti ini. Adeline ini mempunyai hati yang lembut. Melihat kekacauan sedikit saja, dia akan ketakutan."Tuan Adras menghela napas. "Dengar apa yang dikatakan Pak Axel. Kita susah payah mencarinya selama bertahun-tahun, jangan sampai putri kita ketakutan. Aku juga marah pada keluarga suaminya, tapi kita harus tetap tenang."Tuan Adras perlahan mulai tenang. Wajah yang tadi terlihat tegang berangsur tenang. "Keluarga suami Adeline membuatku sangat marah. Aku akan membuat perhitungan dengan mereka.""Iya, untuk masalah itu biar nanti dipikirkan lagi. Sekarang, apa yang akan kita lakukan? Apa sudah saatnya kita bertemu dengan Adeline?" tanya Nyonya Adras pada suaminya."Aku ingin cepat membawanya pulang agar tidak ada yang menyakitinya lagi. Bagaimana menurut anda, Pak Axel?""Lebih cepat, lebih baik, tapi ,,,""Tapi
Adeline terdiam, pertanyaan Axel sebuah kemustahilan baginya. "Bertemu dengan kedua orang tuaku?" Adeline menghela napas. "Itu hanya sebuah mimpi disiang bolong," bisiknya dalam hati. "Hello ,,," Axel mengipaskan tangannya di depan Adeline. "Ditanya malah bengong!""Pertanyaanmu itu, bagiku sesuatu yang mustahil," ujar Adeline tersenyum kecut."Ayolah, jangan pesimis begitu.""Masalahnya ini berbeda, bagiku itu mustahil. Kamu bisa bicara seperti itu karena bukan kamu yang berada diposisiku. Seumur hidup aku tidak pernah mengetahui siapa kedua orang tuaku. Aku diadopsi dari bayi merah di panti asuhan lalu apa yang aku harapkan?"Axel terdiam menatap wajah Adeline yang tertunduk melihat gelas juicenya. Sorot mata yang begitu banyak menyimpan kesedihan. Ingin rasanya memberitahu Adeline kalau orangtuanya masih hidup dan sangat mencintainya, tapi itu bukan haknya. Biar Tuan Adras sendiri yang nanti memberitahu Adeline secara langsung.Waktu terus berjalan, sudah saatnya Axel harus kembal
Tak lama kemudian, ponsel Axel bergetar. Nama Tuan Adras tertera di layar ponsel. Hanya beberapa saat saja Axel bicara."Kelihatannya, kamu senang sekali," ujar Adeline setelah melihat Axel selesai bicara. Senyum Axel mengembang. "Apa terlihat jelas?" "Sepertinya telepon tersebut dari seseorang yang istimewa. Aku siap mendengarkan."Axel tertawa terbahak melihat Adeline sangat antusias. "Ha-ha-ha. Kau pasti sangat penasaran.""Iya, aku sangat penasaran! Siapa seseorang yang sangat istimewa itu?"Tawa Axel berhenti. Wajah tampannya berubah serius. "Nanti kamu juga akan tahu.""Aku ingin tahunya sekarang, bukan nanti. Ayolah Axel, ceritakan sekarang. Jangan membuatku jadi penasaran!"Axel meneguk juice jeruknya sebentar, kemudian lanjut bicara. "Belum waktunya kamu tahu."Adeline merengut. "Ok, baiklah. Aku tidak akan memaksamu. Tapi by the way, aku belum tahu pekerjaanmu.""Kenapa? Apa kamu takut jika bekerja di kantorku?""Kurang lebihnya seperti itu. He-he-he," jawab Adeline. "Tida
"Adeline, ini aku!" Seorang pria ke luar dari dalam mobilnya dan bergegas menghampiri Adeline."Axel?!""Iya, aku Axel. Masa sudah lupa sama aku," jawab Axel dengan wajah senang.Adeline tersenyum lebar. Menyelinap perasaan senang dalam hatinya saat melihat Axel. "He-he-he," Axel terkekeh. "Kamu sedang apa di sini?"Senyum di wajah Adeline langsung menghilang."Kenapa?" tanya Axel menautkan kedua alisnya.Adeline menggeleng, senyumnya kembali mengembang, "tidak ada apa-apa. Aku kebetulan baru pulang dari warung. Lalu kamu, darimana dan mau kemana?""Kebetulan, aku mau bertemu dengan temanku. Karena jalan raya macet, aku ambil jalan pintas lewat perkampungan ini. Ternyata ada hikmahnya, aku bisa bertemu denganmu. Bagaimana kabarmu?""Kabarku baik, Axel. Mengenai lamaran kerja itu ,,,""Santai saja," potong Axel. "Kalau kamu ada waktu, kamu bisa datang kapan saja.""Tidak bisa begitu, Axel," ucap Adeline. "Kalau ada yang membutuhkan pekerjaan, berikan saja pekerjaan itu padanya. Aku b
Melihat majikannya hanya terdiam saja membuat Mang Ujang bertanya. "Apa nyonya juga sakit?"Melani mendengus kesal. "Kenapa sih, si bibi pakai acara sakit segala," omelnya. Mang Ujang hanya diam. Melanie mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu dari saku. "Ini uang untuk ke dokter!" ucapnya ketus. "Iya, nyonya." Setelah itu, Melani berlalu pergi membawa hati yang kesal.Sementara itu, jauh dari kediaman Ronald Wijaya. Di dalam sebuah rumah sederhana, Adeline termenung sendiri depan jendela memandang bulan. Pikiran dan hatinya teringat dengan Ronald, suami yang telah ditinggalkannya."Kenapa hatiku gelisah dan selalu teringat dengan Ronald? Apa, dia baik-baik saja di sana?" gumam Adeline bertanya-tanya sendiri.Setelah cukup lama berdiri memandang bulan, Adeline menutup jendela rapat-rapat. Tubuh lelahnya naik ke atas tempat tidur sederhana. "Sedang apa Ronald saat ini? Apa dia mencariku atau Ronald malah bahagia, aku pergi dari rumahnya?" bisik Adeline memandang langit-langit
Bianca semakin gencar dalam merangsang Ronald. Jari jemarinya lincah bermain menyusuri tubuh Ronald, apalagi Bianca sudah sangat hapal titik kelemahan Ronald.Jantung Ronald semakin berdegup kencang, hasratnya sebagai laki-laki normal sudah tidak bisa dibendung. Tangan yang dari tadi hanya diam, sekarang mulai memeluk pinggang ramping yang berada di atas pangkuannya. Bianca ingin sekali berteriak kegirangan karena mendapat respon yang sangat menyenangkan dari Ronald. Usahanya tidak sia-sia sudah memakai baju yang begitu seksi dengan belahan dada yang terbuka.Mata sendu Ronald tidak lepas menatap belahan dada yang ada di depan mata. Dua bukit kembar yang sangat menantang begitu menarik perhatian.Bianca sengaja membusungkan dada lalu secara perlahan tangan Ronald yang berada dipinggangnya ditarik agar menyentuh dadanya.Satu tangan Ronald tepat berada disalah satu bukit kembar Bianca. "Kamu dulu begitu memuja punyaku ini. Tanganmu akan begitu lincah bermain dengan keduanya. Sekarang
Dalam hati, Bianca tersenyum senang ketika melihat Ronald tanpa berkedip melihat tubuhnya dari atas sampai bawah. "Laki-laki mana yang bisa melawan kemolekan tubuh seorang Bianca? Ronald sekalipun yang begitu sangat mencintai istrinya akan tunduk dan takluk ketika melihat tubuh molekku. Apalagi sekarang Ronald sedang kesepian, butuh belaian seorang wanita untuk menyalurkan hasratnya. Bodoh sekali istrinya, meninggalkan Ronald seperti ini."Ronald memalingkan wajah. Tiba-tiba wajah istrinya muncul dipelupuk mata, "Adeline," bisiknya dalam hati. Bianca mendekati Ronald. "Boleh, aku duduk di sini?" Ronald menggeser tubuh, memberi ruang Bianca duduk di sampingnya.Ronald mengambil ponsel, melihat setiap pesan yang masuk."Apa kamu sudah mencari istrimu?" tanya Bianca memulai percakapan."Dari pagi aku sudah mencarinya," jawab Ronald pelan. "Sejak Adeline pergi dari rumah ini, ponselnya tidak pernah aktif. Mungkin memang sengaja tidak diaktifkan, agar aku tidak bisa menemukannya.""Itu
Bianca tersenyum kecut, melihat perubahan wajah Ronald. Bianca tahu, Ronald tidak menyukai kehadirannya di rumah itu.Melanie kembali duduk di samping Bianca. Untuk mengalihkan perhatian Bianca dari sikap Ronald, Melani menawarkan kue yang ada di dalam toples. "Kamu sudah mencoba kue ini?""Belum," jawab Bianca datar. "Kue ini sangat enak. Tante sendiri yang membuatnya."Bianca mengambil kue. "Terima kasih, tante.""Mama, apa kak Adeline ada kabarnya?" tanya Pamela."Untuk apa kamu tanyakan wanita itu?" ujar Melani tak suka."Memangnya kenapa? Biar bagaimanapun, kak Adeline masih menantu mama," jelas Pamela. "Kak Adeline masih istrinya kak Ronald.""Yang dikatakan Pamela itu, benar tante," ucap Bianca. "Apa tante tidak berusaha mencarinya.""Untuk apa? Lebih bagus, di rumah ini tak ada wanita itu!" "Bagaimana kalau kak Adeline bertemu orang jahat di luar sana? Pasti yang nanti akan direpotkan tetap kak Ronald," tutur Pamela.Melanie terdiam, apa yang dikatakan putri bungsunya ada be
"Terima kasih kawan atas pujiannya," Ronald menepuk bahu Ivan. "Tapi ngomong-ngomong, apa loe sudah menikah?" "Nasib gue kurang beruntung dalam pernikahan," jawab Ivan."Kenapa?" "Gue tidak beruntung dalam mendapatkan seorang istri," jawab Ivan getir."Maksudnya?" tanya Ronald."Mantan istri gue lebih tertarik dengan uang daripada dengan janji suci pernikahan.""Kalian bercerai?" "Iya. Dia pergi dengan pria itu. Bahkan anaknya sendiripun dilupakan," jelas Ivan tersenyum kecut. "Berapa anak loe?""Baru satu. Laki-laki umur 2 tahun," jawab Ivan. "Ibu gue yang merawatnya.""Sabar ya," Ronald menepuk bahu Ivan sebagai rasa empati. "Semua orang sudah punya takdirnya masing-masing.""Awalnya, gue tidak bisa menerima kenyataan pernikahan gue gagal, tapi lambat laun gue bisa mengikhlaskannya. Mantan istri gue bukan yang terbaik. Ini memang sudah jalan hidup yang harus gue lalui. Pelajaran bagi gue agar nantinya lebih berhati-hati dalam mencari wanita yang benar-benar mencintai gue apa ada