Tak terasa, hari berlalu cepat.
Saat ini, Adeline bahkan sedang sibuk mencari baju yang pantas untuk dipakai kerja esok hari--sesuatu yang tak mungkin ia lakukan saat menjadi menantu Melanie.
"Baju ini saja," Adeline mengambil salah satu bajunya di lemari. "Ini cocok aku pakai ke kantor Axel. Terlihat sopan."
Drrrt!
Ponsel Adeline bergetar. Nama Axel tertera di layar ponsel.
Axel: [Aku di depan rumahmu!'
Hah?
Bergegas Adeline melangkah untuk membuka pintu.
"Hai," Axel berdiri, tersenyum begitu pintu dibuka.
"Kamu ngapain ke sini?!" tanya Adeline kaget bercampur cemas. "Ini sudah malam!"
Axel memperlihatkan kantung plastik putih kecil yang ada di tangannya. "Apa kamu mau menemaniku makan malam?!"
"Apa itu?!"
"Nasi goreng!" jawab Axel melangkah masuk melewati Adeline. "Nasi goreng langganan kita waktu masih sekolah dulu."
"Masih jualan si abang itu?!"
"Sudah diganti dengan putranya. Semoga rasanya masih sama," jawab Axel memberikan satu kotak nasi goreng pada Adeline. "Makanlah!"
Wangi nasi goreng yang menggugah selera membungkam keduanya ingin cepat-cepat menikmati. Hingga tak membutuhkan waktu lama, semua nasi goreng dalam kotak telah berpindah ke dalam perut keduanya.
"Adeline," Axel membuka percakapan setelah sesaat hening menikmati sisa-sisa nasi goreng.
"Mmm," jawab Adeline dengan gumaman setelah meneguk habis air minumnya.
"Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," Axel mengingatkan.
"Aku ingat!" jawab Adeline. "Tapi....
Axel mengangkat kedua alisnya. "Tapi apa?!"
"Aku lupa tidak punya ijazah," jawab Adeline. "Bagaimana aku akan melamar kerja kalau aku tidak punya ijazah?"
"Ha-ha-ha." Axel malah tertawa terbahak.
Adeline mengeryitkan kening. "Kok malah ketawa? Aku serius!"
"Tenang saja. Kantorku tidak memerlukan ijasah!" jawab Axel bangun dari duduk. "Ini sudah larut malam. Aku mau pulang! Kunci pintu rumah rapat-rapat dan pastikan semua jendela sudah kamu tutup dan kunci!"
Setelah itu Axel keluar, pergi begitu saja meninggalkan Adeline yang tidak sempat berkata apa-apa.
Selama dalam perjalanan pulang, pikiran Axel tak hentinya berkecamuk.
Kliennya Tuan Adras memberinya ultimatum dalam satu bulan ini harus bisa menemukan putrinya!
Jika itu tidak terpenuhi, maka siap-siap saja Tuan Adras akan menggantinya dengan orang lain untuk mencari putrinya.
"Hanya satu langkah lagi, aku akan membawa putri Tuan Adras ke rumahnya. Saat ini, aku ingin lebih memastikan saja kalau Adeline Shabira adalah benar-benar putri mereka. Andai orangtua angkat Adeline tidak meninggal, mungkin pekerjaanku ini akan jauh lebih mudah," ucap Axel bicara sendiri dalam mobil yang sedang dilajukannya.
Sayangnya, Adeline tak tahu itu.
Ia kini telah bersiap dengan penampilan terbaiknya. "Sebaiknya aku berangkat sekarang. Takut terjebak macet, apalagi kantor Axel sangat jauh dari tempat ini."
Jalan raya tak pernah luput dari kemacetan, ditambah dengan hiruk pikuknya orang-orang yang mengais rejeki dijalanan demi menyambung hidup. Begitu juga dengan Adeline yang sekarang membaur bersama mereka dalam menghadapi kerasnya kehidupan.
TINNN!
Bunyi klakson panjang mengagetkan Adeline ketika sedang menyeberang. Sebuah mobil sport merah keluaran terbaru hampir saja menabraknya.
Tak lama, wajah imut pria muda memakai seragam sekolah keluar dari dalam mobil mendatangi Adeline.
"Kakak, apa terluka?!" tanyanya cemas melihat keadaan tubuh Adeline yang masih berdiri mematung depan mobil.
"A--aku....." Adeline tersadar dari kagetnya lalu melihat tubuhnya baik-baik saja. "Aku tidak apa-apa," jawabnya.
"Syukurlah!"
Adeline memandang wajah anak muda yang ada di depannya. Entah kenapa wajah itu nampak tak asing baginya. "Hati-hati kalau membawa mobil."
"Iya kak. Maaf, aku tadi terburu-buru!"
"Kamu juga masih sekolah. Anak dibawah umur tidak boleh membawa kendaraan sendiri!" jelas Adeline lalu tatapannya berhenti pada satu titik yang membuatnya tertegun. "Liontin, anak ini memakai liontin yang sama denganku," ucapnya dalam hati.
Karena banyaknya suara klakson dari kendaraan yang ingin lewat agar mereka berdua segera menepi, Adeline dan anak tersebut berpisah meninggalkan rasa penasaran yang cukup tinggi pada Adeline karena liontin. Menurut kedua orangtua angkatnya, liontin merah yang dipakainya adalah satu-satunya benda yang diberikan orangtuanya yang meninggalkannya di panti asuhan.
Adeline berdiri tepi jalan. Jari jemarinya memegang liontin yang selalu terpasang di lehernya. "Mungkin saja liontin seperti ini memang banyak dijual di pasaran jadi wajar saja kalau anak muda itu memakai liontin yang sama denganku?"
Tapi, apa mungkin ada liontin yang sama di dunia ini dengan ukiran inisial nama yang terukir indah di balik liontin?
Sementara itu di Kediaman Ronald Wijaya..... "Baru tiga hari yang lalu kamu kakak transfer. Masa sudah habis lagi?" tanya Ronald heran. "Habis dong kak! Uang jajan yang kakak kasih, tidak ada artinya dibandingkan dengan uang jajan teman-temanku di kampus," protes Irene. "Mereka bahkan memakai mobil sendiri pergi ke kampus, sementara aku harus bergantian dengan Pamela." "Jadi maksudmu ingin pergi kuliah dengan mobil sendiri," tebak Pamela. "Iya dong!" Pamela mencibir. "Dasar otak sombong. Masih untung dikasih uang jajan sama kak Ronald, kuliah juga kamu tidak ada prestasinya. Datang ke kampus cuma buat ngecengin cowok-cowok." "Hati-hati kamu kalau bicara!" bentak Irene tersinggung. "Memang kenyataanya begitu! Lihat saja penampilanmu sekarang," tunjuk Pamela pada baju Irene. "Ke kampus seperti mau pergi ke klub malam. Seksi bener!" ledeknya. Wajah Irene memerah. Aliran darahnya terasa mendidih. "Kurang ajar kau!" "Apa?! Kenapa?! Marah?! Memang begitu kenyataannya! Kamu ini pali
Tok tok tok! Ruang kerja Axel diketuk dari luar. Fahira, sekretaris sekaligus tangan kanannya masuk. "Pak, sebentar lagi ada pertemuan dengan Tuan Ronald, pemilik dari Sky Gold Corp. "Jam berapa?!" tanya Axel tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop yang ada di depan. "Jam sepuluh pagi ini." "Ok! Sebentar lagi saya berangkat! Kamu siapkan saja semua berkas-berkas penting yang harus saya bawa!" "Baik, pak!" "Eh, tunggu!" cegah Axel ketika melihat Fahira akan melangkah pergi. "Iya, pak?" Axel melihat arloji yang melingkar di tangan. "Nanti jam sepuluh, ada temanku yang akan datang melamar kerja. Namanya Adeline Shabira." "Melamar pekerjaan? Bukankah, kantor kita saat ini tidak sedang menerima pegawai baru?!" "Memangnya kau tidak mau ada orang yang membantumu?!" "Tentu saja saya mau, pak!" jawab Fahira cepat, mengerti dengan maksud bosnya. "Sudah lama saya menantikan hal seperti ini." "Ok! Saya serahkan Adeline padamu dan ingat! Jangan bertanya apapun padanya
Senyum sinis terukir di bibir Irene. "Saya memang miskin, tapi saya punya hati!" ujar Adeline bicara penuh penekanan, tajam menatap iris mata Irene. "Ingat Irene! Roda kehidupan akan terus berputar. Saat ini kau boleh berbangga dengan apa yang kau punya, tapi kita lihat, apa kau masih bisa tertawa saat tamparan kehidupan menghampirimu!" Irene tak gentar sedikitpun. Jiwa keangkuhannya begitu terpampang nyata. Kakinya yang terbalut snakers putih maju satu langkah, berdiri menantang depan kakak iparnya. "Selama nyawaku masih di badan, kehidupan akan selalu berpihak padaku! Karena aku terlahir dari keluarga baik-baik, tidak seperti kau yang tidak tahu darimana berasal! Bisa saja, kau terlahir dari wanita murahan!" "Tutup mulutmu!" bentak Adeline kencang. Darahnya seakan mendidih. Walau tidak tahu dan tidak pernah melihat wajah wanita yang telah melahirkannya, tapi jika Irene menghina ibunya seperti itu, Adeline tidak terima. Melihat Adeline begitu emosi, Irene malah semakin gencar me
"Dia wanita tak tahu diri! Tukang selingkuh! Apa tak cukup, bukti yang telah adikmu berikan itu?!""Ma!" Ronald terlihat putus asa. "Tidak seperti itu. Aku....."Mendengar suaminya penuh kebimbangan, Adeline sontak merasakan amarah yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.Selama ini, dia tak pernah melakukan hal aneh.Adeline selalu berusaha jadi istri dan ipar yang baik. Bahkan terkadang nyaris jadi pembantu di rumah ini?Selama ini, dia diam karena Ronald menenangkannya di belakang.Tapi, bagaimana bisa Ronald bimbang seperti ini saat semua meragukan kesetiaanya?Namun belum sempat Adeline berbicara, mertuanya segera bertindak. "Ronald! Apa masih kurang bukti foto yang Irene berikan?!"Merasa namanya disebut, kakak dari Ronald itu segera memberikan ponsel miliknya pada Melanie."Lihat ini!" Melanie memutar video yang ada di dalam ponsel Irene. "Tidak ada fitnah! Semua bukti nyata, istrimu telah selingkuh!"Ronald tertegun. Kedua bola matanya tak berkedip melihat video yang sedang berp
"Perlu taksi bu?"Untungnya, sebuah mobil berhenti tak lama di depan Adeline.Ia sontak mengangguk. "Iya," jawab Adeline dengan cepat. "Apa ini kosong?" "Kosong bu!" jawab sopir dari dalam. Tanpa membuang waktu, Adeline segera menaruh kopernya dalam bagasi, setelah selesai Adeline segera masuk ke dalam mobil. Perasaan lega langsung menyelimuti hati Adeline begitu duduk di dalam mobil. "Ke mana bu?!" tanya sopir. Adeline terdiam. Wajahnya menyiratkan kebingungan. "Ke mana? Dirinya mau ke mana?" pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Adeline. "Bu," panggil sopir taksi melihat Adeline dari kaca spion dalam. "Ibu mau ke mana?" "Jalan saja pak. Nanti saya kasih tahu," jawab Adeline. Mobil melaju meninggalkan jalan yang telah memberi kenangan pahit dalam hidup Adeline. Meninggalkan luka di hati Adeline yang tak mungkin bisa sembuh dalam hitungan hari. Setelah beberapa menit melaju, sopir taksi kembali bertanya. "Maaf, ibu mau ke mana? Saya harus tahu alamat yang mau ibu t
Wajah sendu Adeline langsung berubah senang, "Mau, mau!"Axel mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini alamat kantorku. Datanglah besok jam sepuluh pagi.""Iya, baik!"Drrt!Ponsel Axel bergetar. Nama Tuan Adras tertera di layar ponsel."Siapa?!" tanya Adeline penasaran karena Axel terpaku melihat layar ponselnya."Klienku, Tuan Adras. Salah satu konglomerat dengan aset triliunan yang sedang mencari putrinya yang hilang dipanti asuhan beberapa tahun ke belakang." Adeline terkejut mendengarnya. Sebenarnya, sudah sejauh mana Axel berubah menjadi sukses?Hanya saja, Adeline tak enak bila bertanya.Sementara itu, di dalam rumah mewah bergaya Eropa modern, Nyonya Adras sedang duduk melamun di ruang keluarganya yang megah dengan segala macam pajangan rumah yang terbuat dari kristal."Adeline, di mana kamu sekarang nak? Mama sangat merindukanmu," gumamnya lirih, mata sendunya menyiratkan begitu banyak kerinduan dalam hati."Ma!" panggilan dari putra bungsunya membuyarkan lamunan Nyonya