Share

4. Misi Axel

Tak terasa, hari berlalu cepat.

Saat ini, Adeline bahkan sedang sibuk mencari baju yang pantas untuk dipakai kerja esok hari--sesuatu yang tak mungkin ia lakukan saat menjadi menantu Melanie.

"Baju ini saja," Adeline mengambil salah satu bajunya di lemari. "Ini cocok aku pakai ke kantor Axel. Terlihat sopan."

Drrrt!

Ponsel Adeline bergetar. Nama Axel tertera di layar ponsel.

Axel:  [Aku di depan rumahmu!'

Hah?

Bergegas Adeline melangkah untuk membuka pintu.

"Hai," Axel berdiri, tersenyum begitu pintu dibuka.

"Kamu ngapain ke sini?!" tanya Adeline kaget bercampur cemas. "Ini sudah malam!"

Axel memperlihatkan kantung plastik putih kecil yang ada di tangannya. "Apa kamu mau menemaniku makan malam?!"

"Apa itu?!"

"Nasi goreng!" jawab Axel melangkah masuk melewati Adeline. "Nasi goreng langganan kita waktu masih sekolah dulu."

"Masih jualan si abang itu?!"

"Sudah diganti dengan putranya. Semoga rasanya masih sama," jawab Axel memberikan satu kotak nasi goreng pada Adeline. "Makanlah!"

Wangi nasi goreng yang menggugah selera membungkam keduanya ingin cepat-cepat menikmati. Hingga tak membutuhkan waktu lama, semua nasi goreng dalam kotak telah berpindah ke dalam perut keduanya.

"Adeline," Axel membuka percakapan setelah sesaat hening menikmati sisa-sisa nasi goreng.

"Mmm," jawab Adeline dengan gumaman setelah meneguk habis air minumnya.

"Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," Axel mengingatkan.

"Aku ingat!" jawab Adeline. "Tapi....

Axel mengangkat kedua alisnya. "Tapi apa?!"

"Aku lupa tidak punya ijazah," jawab Adeline. "Bagaimana aku akan melamar kerja kalau aku tidak punya ijazah?"

"Ha-ha-ha." Axel malah tertawa terbahak.

Adeline mengeryitkan kening. "Kok malah ketawa? Aku serius!"

"Tenang saja. Kantorku tidak memerlukan ijasah!" jawab Axel bangun dari duduk. "Ini sudah larut malam. Aku mau pulang! Kunci pintu rumah rapat-rapat dan pastikan semua jendela sudah kamu tutup dan kunci!"

Setelah itu Axel keluar, pergi begitu saja meninggalkan Adeline yang tidak sempat berkata apa-apa.

Selama dalam perjalanan pulang, pikiran Axel tak hentinya berkecamuk.

Kliennya Tuan Adras memberinya ultimatum dalam satu bulan ini harus bisa menemukan putrinya!

Jika itu tidak terpenuhi, maka siap-siap saja Tuan Adras akan menggantinya dengan orang lain untuk mencari putrinya.

"Hanya satu langkah lagi, aku akan membawa putri Tuan Adras ke rumahnya. Saat ini, aku ingin lebih memastikan saja kalau Adeline Shabira adalah benar-benar putri mereka. Andai orangtua angkat Adeline tidak meninggal, mungkin pekerjaanku ini akan jauh lebih mudah," ucap Axel bicara sendiri dalam mobil yang sedang dilajukannya.

Sayangnya, Adeline tak tahu itu.

Ia kini telah bersiap dengan penampilan terbaiknya. "Sebaiknya aku berangkat sekarang. Takut terjebak macet, apalagi kantor Axel sangat jauh dari tempat ini."

Jalan raya tak pernah luput dari kemacetan, ditambah dengan hiruk pikuknya orang-orang yang mengais rejeki dijalanan demi menyambung hidup. Begitu juga dengan Adeline yang sekarang membaur bersama mereka dalam menghadapi kerasnya kehidupan.

TINNN!

Bunyi klakson panjang mengagetkan Adeline ketika sedang menyeberang. Sebuah mobil sport merah keluaran terbaru hampir saja menabraknya.

Tak lama, wajah imut pria muda memakai seragam sekolah keluar dari dalam mobil mendatangi Adeline.

"Kakak, apa terluka?!" tanyanya cemas melihat keadaan tubuh Adeline yang masih berdiri mematung depan mobil.

"A--aku....." Adeline tersadar dari kagetnya lalu melihat tubuhnya baik-baik saja. "Aku tidak apa-apa," jawabnya.

"Syukurlah!"

Adeline memandang wajah anak muda yang ada di depannya. Entah kenapa wajah itu nampak tak asing baginya. "Hati-hati kalau membawa mobil."

"Iya kak. Maaf, aku tadi terburu-buru!"

"Kamu juga masih sekolah. Anak dibawah umur tidak boleh membawa kendaraan sendiri!" jelas Adeline lalu tatapannya berhenti pada satu titik yang membuatnya tertegun. "Liontin, anak ini memakai liontin yang sama denganku," ucapnya dalam hati.

Karena banyaknya suara klakson dari kendaraan yang ingin lewat agar mereka berdua segera menepi, Adeline dan anak tersebut berpisah meninggalkan rasa penasaran yang cukup tinggi pada Adeline karena liontin. Menurut kedua orangtua angkatnya, liontin merah yang dipakainya adalah satu-satunya benda yang diberikan orangtuanya yang meninggalkannya di panti asuhan.

Adeline berdiri tepi jalan. Jari jemarinya memegang liontin yang selalu terpasang di lehernya. "Mungkin saja liontin seperti ini memang banyak dijual di pasaran jadi wajar saja kalau anak muda itu memakai liontin yang sama denganku?"

Tapi, apa mungkin ada liontin yang sama di dunia ini dengan ukiran inisial nama yang terukir indah di balik liontin?

















Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status