"Dia wanita tak tahu diri! Tukang selingkuh! Apa tak cukup, bukti yang telah adikmu berikan itu?!"
"Ma!" Ronald terlihat putus asa. "Tidak seperti itu. Aku....."
Mendengar suaminya penuh kebimbangan, Adeline sontak merasakan amarah yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Selama ini, dia tak pernah melakukan hal aneh.
Adeline selalu berusaha jadi istri dan ipar yang baik. Bahkan terkadang nyaris jadi pembantu di rumah ini?
Selama ini, dia diam karena Ronald menenangkannya di belakang.
Tapi, bagaimana bisa Ronald bimbang seperti ini saat semua meragukan kesetiaanya?
Namun belum sempat Adeline berbicara, mertuanya segera bertindak. "Ronald! Apa masih kurang bukti foto yang Irene berikan?!"
Merasa namanya disebut, kakak dari Ronald itu segera memberikan ponsel miliknya pada Melanie.
"Lihat ini!" Melanie memutar video yang ada di dalam ponsel Irene. "Tidak ada fitnah! Semua bukti nyata, istrimu telah selingkuh!"
Ronald tertegun. Kedua bola matanya tak berkedip melihat video yang sedang berputar sampai selesai. "Apa ini Adeline?! Siapa pria ini?! Kau---"
"Selingkuh!" tuduh Melani tegas menatap tajam wajah Adeline yang tak berdaya dipojokkan dan difitnah, "semua sudah jelas, kan?"
"Adeline! Jawab!" bentak Ronald marah. "Siapa pria ini?!"
Kedua tangan Adeline terkepal di antara sisi tubuhnya menahan marah. "Apa ada gunanya jika aku jelaskan siapa pria itu?!"
"Jelaskan padaku!" bentak Ronald.
Belum sempat Adeline menjawab, Melani telah mendahului. "Sudah jelas itu selingkuhannya. Untuk apa kau tanyakan lagi?! Apa harus mama carikan bukti lain istrimu tidur dengan pria itu?!"
Bagai tersambar petir di siang bolong, Adeline mendengar ibu mertuanya berkata seperti itu. "Apa?! Kenapa mama jahat sekali sampai memfitnah aku sejauh itu?!"
"Cuiiih! Jangan pernah kau memanggilku mama lagi! Tak sudi aku punya menantu seperti kau!"
Sakit, hati Adeline sakit luar biasa. Tanpa banyak bicara lagi, Adeline langsung melangkah pergi membawa hati yang telah hancur.
Segera ia mengambil barang-barangnya dan memasukkan ke koper.
Ia sudah muak.
Sedari tadi, Adeline sudah menjelaskan. Tapi, Ronald tak mau mendengar. Mertua dan kakak iparnya justru memanas-manasi.
"Kau mau apa?!"
Ronald, yang baru masuk, menyentaknya.
Bukannya menjawab, Adeline terus menaruh satu per satu baju ke dalam koper.
Bibirnya bergetar menahan tangis bahkan kedua tangannya yang sibuk
terlihat gemetar. Ronald semakin mendekat. "Adeline. Kamu mau apa dengan pakaian-pakaian ini?!" Sreet!Risleting koper, Adeline tutup. Air mata yang telah membanjiri pipi segera dihapusnya lalu dengan suara serak menahan isak tangis, Adeline menatap wajah suaminya. "Aku akan pergi dari sini!"
"Pergi?" "Iya!" jawab Adeline tegas. "Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan barusan?!" Adeline berdiri depan Ronald. Tanpa gentar menatap tajam iris mata suaminya. "Kenapa?! Kamu ingin, aku selamanya tidak sadar di rumah ini?! Apa itu yang kamu inginkan?!" bentaknya galak. Kening Ronald mengernyit. "Kau yakin bisa hidup di luar sana? Selama ini, kau bisa hidup karena aku dan keluargaku. Kamu--" "Aku sudah muak berada di rumah ini!" potong Adeline lalu segera mengambil koper dan tas tangannya. Ronald tersentak. Kemarahan istrinya tidak main-main. Segera, ia menghalangi langkah Adeline yang telah siap pergi. "Kau mau jadi gelandangan, hah?"Adeline tertawa sarkas. "Lebih baik begitu dibanding terus bertahan bersama suami dan keluarga yang tak menghargaiku."
"Aku?!" "Iya!" bentak Adeline semakin histeris. "Aku muak karena kamu lebih mempercayai ibu dan adikmu yang jelas-jelas telah memfitnahku!" Ronald terkesiap. Namun, egonya menolak membujuk Adeline. Dalam amarah dan rasa kecewa, tekad Adeline telah bulat.Langkah kakinya tak berhenti meskipun telah melihat ibu mertua bahkan kedua adik iparnya datang mendekat.
"Ada apa?!" tanya Pamela pada kakaknya, Irene. Irene mengangkat kedua bahu. "I don't know!" Nyonya Melani, sang ibu mertua juga terlihat bingung. Ekor matanya mengikuti kemana putra dan menantunya pergi yang melewatinya begitu saja. "Adeline, tunggu!" Ronald berhasil menghalangi langkah Adeline. "Kita bisa bicara baik-baik." Adeline menaruh kopernya. Terdengar dari arah belakang suara-suara langkah kaki datang mendekat. "Membuat ulah apalagi istri benalu kamu ini?! Kerjaannya selalu membuat masalah di rumah ini!" tuduh Melani sarkas pada menantunya. Adeline menelan saliva. Hatinya bagai teriris sembilu.Air mata yang telah kering sekarang menggenang lagi di kelopak matanya.
Kopernya kembali diangkat lalu tanpa bicara apa-apa langsung pergi melewati suaminya.
"Stop Adeline!" Ronald berteriak kencang, suara baritonnya menggema mengisi udara di sekitar. Langkah Adeline terhenti. Satu tangannya terkepal menahan marah, sementara tangan satunya lagi erat memegang koper. "Sekali kau langkahkan kakimu melewati pintu itu, selamanya kau tidak bisa kembali lagi ke rumah ini!" ancam Ronald tegas. Adeline membalikkan tubuh, menatap nyalang pada suaminya.Kilatan kemarahan dalam mata merahnya terlihat sangat nyata.
"Aku tidak pernah menyesal ke luar dari rumah yang tak pernah menghargai keberadaanku! Mulai detik ini, aku memutuskan semua hubungan apapun antara aku dan rumah ini!"
Setelah itu, Adeline melangkah pergi meninggalkan suami, ibu mertua, serta dua adik iparnya yang tak pernah menghargainya...."Adeline!"Deg!
Mereka berbicara begitu kencang, seolah Adeline tak bisa mendengarnya sama sekali.
Tangan Adeline mengepal kencang. Hari ini, ia berjanji akan membuat suami dan keluarganya itu menyesal.
"Perlu taksi bu?"Untungnya, sebuah mobil berhenti tak lama di depan Adeline.Ia sontak mengangguk. "Iya," jawab Adeline dengan cepat. "Apa ini kosong?" "Kosong bu!" jawab sopir dari dalam. Tanpa membuang waktu, Adeline segera menaruh kopernya dalam bagasi, setelah selesai Adeline segera masuk ke dalam mobil. Perasaan lega langsung menyelimuti hati Adeline begitu duduk di dalam mobil. "Ke mana bu?!" tanya sopir. Adeline terdiam. Wajahnya menyiratkan kebingungan. "Ke mana? Dirinya mau ke mana?" pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Adeline. "Bu," panggil sopir taksi melihat Adeline dari kaca spion dalam. "Ibu mau ke mana?" "Jalan saja pak. Nanti saya kasih tahu," jawab Adeline. Mobil melaju meninggalkan jalan yang telah memberi kenangan pahit dalam hidup Adeline. Meninggalkan luka di hati Adeline yang tak mungkin bisa sembuh dalam hitungan hari. Setelah beberapa menit melaju, sopir taksi kembali bertanya. "Maaf, ibu mau ke mana? Saya harus tahu alamat yang mau ibu t
Wajah sendu Adeline langsung berubah senang, "Mau, mau!"Axel mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini alamat kantorku. Datanglah besok jam sepuluh pagi.""Iya, baik!"Drrt!Ponsel Axel bergetar. Nama Tuan Adras tertera di layar ponsel."Siapa?!" tanya Adeline penasaran karena Axel terpaku melihat layar ponselnya."Klienku, Tuan Adras. Salah satu konglomerat dengan aset triliunan yang sedang mencari putrinya yang hilang dipanti asuhan beberapa tahun ke belakang." Adeline terkejut mendengarnya. Sebenarnya, sudah sejauh mana Axel berubah menjadi sukses?Hanya saja, Adeline tak enak bila bertanya.Sementara itu, di dalam rumah mewah bergaya Eropa modern, Nyonya Adras sedang duduk melamun di ruang keluarganya yang megah dengan segala macam pajangan rumah yang terbuat dari kristal."Adeline, di mana kamu sekarang nak? Mama sangat merindukanmu," gumamnya lirih, mata sendunya menyiratkan begitu banyak kerinduan dalam hati."Ma!" panggilan dari putra bungsunya membuyarkan lamunan Nyonya
Tak terasa, hari berlalu cepat.Saat ini, Adeline bahkan sedang sibuk mencari baju yang pantas untuk dipakai kerja esok hari--sesuatu yang tak mungkin ia lakukan saat menjadi menantu Melanie."Baju ini saja," Adeline mengambil salah satu bajunya di lemari. "Ini cocok aku pakai ke kantor Axel. Terlihat sopan."Drrrt!Ponsel Adeline bergetar. Nama Axel tertera di layar ponsel.Axel: [Aku di depan rumahmu!'Hah?Bergegas Adeline melangkah untuk membuka pintu."Hai," Axel berdiri, tersenyum begitu pintu dibuka."Kamu ngapain ke sini?!" tanya Adeline kaget bercampur cemas. "Ini sudah malam!"Axel memperlihatkan kantung plastik putih kecil yang ada di tangannya. "Apa kamu mau menemaniku makan malam?!""Apa itu?!""Nasi goreng!" jawab Axel melangkah masuk melewati Adeline. "Nasi goreng langganan kita waktu masih sekolah dulu.""Masih jualan si abang itu?!""Sudah diganti dengan putranya. Semoga rasanya masih sama," jawab Axel memberikan satu kotak nasi goreng pada Adeline. "Makanlah!"Wangi
Sementara itu di Kediaman Ronald Wijaya..... "Baru tiga hari yang lalu kamu kakak transfer. Masa sudah habis lagi?" tanya Ronald heran. "Habis dong kak! Uang jajan yang kakak kasih, tidak ada artinya dibandingkan dengan uang jajan teman-temanku di kampus," protes Irene. "Mereka bahkan memakai mobil sendiri pergi ke kampus, sementara aku harus bergantian dengan Pamela." "Jadi maksudmu ingin pergi kuliah dengan mobil sendiri," tebak Pamela. "Iya dong!" Pamela mencibir. "Dasar otak sombong. Masih untung dikasih uang jajan sama kak Ronald, kuliah juga kamu tidak ada prestasinya. Datang ke kampus cuma buat ngecengin cowok-cowok." "Hati-hati kamu kalau bicara!" bentak Irene tersinggung. "Memang kenyataanya begitu! Lihat saja penampilanmu sekarang," tunjuk Pamela pada baju Irene. "Ke kampus seperti mau pergi ke klub malam. Seksi bener!" ledeknya. Wajah Irene memerah. Aliran darahnya terasa mendidih. "Kurang ajar kau!" "Apa?! Kenapa?! Marah?! Memang begitu kenyataannya! Kamu ini pali
Tok tok tok! Ruang kerja Axel diketuk dari luar. Fahira, sekretaris sekaligus tangan kanannya masuk. "Pak, sebentar lagi ada pertemuan dengan Tuan Ronald, pemilik dari Sky Gold Corp. "Jam berapa?!" tanya Axel tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop yang ada di depan. "Jam sepuluh pagi ini." "Ok! Sebentar lagi saya berangkat! Kamu siapkan saja semua berkas-berkas penting yang harus saya bawa!" "Baik, pak!" "Eh, tunggu!" cegah Axel ketika melihat Fahira akan melangkah pergi. "Iya, pak?" Axel melihat arloji yang melingkar di tangan. "Nanti jam sepuluh, ada temanku yang akan datang melamar kerja. Namanya Adeline Shabira." "Melamar pekerjaan? Bukankah, kantor kita saat ini tidak sedang menerima pegawai baru?!" "Memangnya kau tidak mau ada orang yang membantumu?!" "Tentu saja saya mau, pak!" jawab Fahira cepat, mengerti dengan maksud bosnya. "Sudah lama saya menantikan hal seperti ini." "Ok! Saya serahkan Adeline padamu dan ingat! Jangan bertanya apapun padanya
Senyum sinis terukir di bibir Irene. "Saya memang miskin, tapi saya punya hati!" ujar Adeline bicara penuh penekanan, tajam menatap iris mata Irene. "Ingat Irene! Roda kehidupan akan terus berputar. Saat ini kau boleh berbangga dengan apa yang kau punya, tapi kita lihat, apa kau masih bisa tertawa saat tamparan kehidupan menghampirimu!" Irene tak gentar sedikitpun. Jiwa keangkuhannya begitu terpampang nyata. Kakinya yang terbalut snakers putih maju satu langkah, berdiri menantang depan kakak iparnya. "Selama nyawaku masih di badan, kehidupan akan selalu berpihak padaku! Karena aku terlahir dari keluarga baik-baik, tidak seperti kau yang tidak tahu darimana berasal! Bisa saja, kau terlahir dari wanita murahan!" "Tutup mulutmu!" bentak Adeline kencang. Darahnya seakan mendidih. Walau tidak tahu dan tidak pernah melihat wajah wanita yang telah melahirkannya, tapi jika Irene menghina ibunya seperti itu, Adeline tidak terima. Melihat Adeline begitu emosi, Irene malah semakin gencar me