Bu Nur termasuk wanita yang lembut dan penyabar, dia satu-satunya wanita yang mampu bertahan dengan segala sikap buruk bapak. Seharusnya bapak patut bersyukur mendapatkan wanita yang bisa menerimanya dengan ikhlas.Dasarnya bapak yang tidak tahu diri!Tidak bisa! Bapak memang perlu diberi pelajaran. Penjara! Mungkin hanya kesana yang bisa mengubah bapak.Heru sudah membuat keputusan dalam pikiran. Dia akan tetap melaporkan bapak ke pihak yang berwajib agar bisa menjalani hukuman yang setimpal. Bukan mau tega sebagai anak, tapi Heru berharap bapak bisa benar-benar berubah!Hingga sore, tidak ada yang keluar dari rumah itu.Bapak hanya mondar mandir di dalam rumah. Tanpa berani keluar.Nana masuk ke kamar sejak tadi. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Nana. Apa ada perasaannya menyesal, takut atau apa.Nita tidak terlalu terpengaruh, dia menguatkan hati. Dia memasak, memberi makan suaminya, dan dua adik Heru yang sudah pulang dari sekolah.Bu Nur tidak bergeser dari tempat semula. Ti
"Sekarang lebih baik Paklek pilih, mau menyerahkan diri pada polisi, atau kami yang akan membuat laporan." Ucap Ranto.Mendengar semua orang telah menyudutkannya, Bapak tidak bisa lagi untuk membela diri. Dia mengangguk, bukan untuk patuh, melainkan ingin memberi kesan baik. Mungkin seperti itu maksudnya."Aku akan menyerahkan diri pada yang berwajib. Tidak perlu kalian melapor."Sungguh, jawaban bapak mengejutkan semua orang.Hingga di akhir sebuah keputusan, Pak Rahmat tetap bertekad untuk menyerahkan diri pada yang berwajib.Mereka sebenarnya merasa heran, tapi mereka menduga jika Pak Rahmat mungkin benar-benar telah menyesal dengan perbuatannya."Baiklah kalau begitu, Mat. Bagus. Artinya kamu tidak lari dari tanggung jawab. Mau kamu benar atau salah nantinya, polisi yang akan menentukan. Jadi kami tidak akan main hakim sendiri. Hanya pesanku, setelah ini apapun hukuman polisi, bertobatlah. Benahi diri, kita ini sudah tua, Mat. Perlu mendekatkan diri pada yang kuasa karena mungkin
"Iya Pakde, insyaallah dia akan segera berubah. Aku pun tidak akan tinggal diam jika dia sekali lagi berulah. Aku hanya memberi satu kali ini lagi kesempatan untuknya." Orang-orang tidak ada lagi yang mau bicara. Heru juga. Nita apalagi. Sungguh sangat kecewa sekaligus kesal dengan keputusan nyeleneh Bu Nur. Terserah! Sekarang Mereka tidak mau peduli lagi. Anggap saja tidak pernah mendengar dan tidak tau apa-apa. Tapi mana bisa seperti itu kan? Bapak ini salah! Salah kaprah! Meskipun Bu Nur yakin anak gadisnya masih perawan, oke! Tapi bagaimana percobaan bapak yang terus berusaha akan meniduri Nana selama ini? Itu kasus pelecehan namanya. Apalagi Nana masih dibawah umur hitungannya. Tapi ya sudahlah! Yang punya masalah juga sudah ikhlas. Meskipun mereka yang masih belum bisa ikhlas. "Kita tinggal lihat saja. Jika nanti ada masalah lagi kedepannya, jangan ngadu atau bawa-bawa kami lagi! Urus sendiri! Atau malah kami akan langsung melapor pada yang berwajib, tanpa perlu perse
Hari ini dia telah melupakan masalah Keluarganya. Biarlah, dari kecil dia juga sudah terbiasa sendiri. Jadi dia sedikit malas terlalu memikirkan Bapaknya. Hanya ingin melihat perkembangan mereka dari jauh saja. Heru menelpon Adi. Kebetulan hari ini mereka sedang libur. Jadi Adi langsung datang. Mereka kemudian ke toko, sambil Heru harus membuka toko juga hari ini setelah beberapa hari toko mereka ditutup. "Bantu aku hitung pengeluaran dan pendapatan kebun itu ya, Di." "Oke, siap Bos!" Jawab Adi dengan gaya penuh kelakarnya. Dia tidak pernah tau jika Heru baru saja menghadapi masalah memalukan tentang bapaknya. Dan untuk masalah ini, Heru juga enggan bercerita. Bukan dia ingin menjaga Privasi, tapi dia lebih kepada malu. Mereka mulai menghitung, berapa pengeluaran untuk segala modal. Seperti pupuk, Racun dan upah untuk yang kerja. Lalu menghitung keuangan yang masuk hasil dari jual buah sawit. "Mudah mudahan balik modal ya, Di?" Adi hanya mengangguk, sambil meneruskan hitungan den
Rani menunggu balasan. Tidak lama terlihat Ela mengetik balasan dan terkirim. (Oh, iya, iya. Mbak Rani. Salam kenal ya mbak? Aku tau suami embak. Pernah ke rumah pas waktu mau berangkat dulu.) (Hehe, iya. Oh ya mbak, mas Wahyu sudah ngirim ya mbak? Apa mereka udah Gajian?) (Udah kok mbak. Baru kemarin ngirim. Mas Wahyu gak pernah telat kalau ngirim. Soalnya anaknya ini kuat jajan sama susu formulanya. Malah slip gaji juga ikut dikirimnya. Mungkin takut aku gak percaya kali ya? Padahal mah, aku percaya an orangnya.) Rani tercengang. Apa, apa? Sudah gajian? Jadi mas Andi bohong dong sama aku. Sialan! Rani mengumpat. Dia semakin kesal saat si Ela mengirim bukti slip gaji suaminya di bulan ini. Dan itu sangat jauh dari pernyataan Andi yang selalu mengatakan gajinya hanya kisaran 10 juta. Jelas dari slip gaji milik Wahyu tertera, gaji pokok bulanan Mereka saja lebih dari 15 juta dan hampir 20 juta. Belum dihitung lemburan. Dengan tangan gemetaran, Rani mengetik pesan kembali. (Mbak,
Selang dua hari setelah hari itu, Mbak Retno pagi-pagi mampir ke rumah. "Na, ibu mana?" "Ada di dapur, Bi Retno." Retno masuk tanpa disuruh, menjumpai Bu Nur yang sedang duduk melamun di pintu dapur. "Nur, kamu gak berangkat lagi?" Tanya Retno. Bu nur menoleh, "Gak lah mbak. Aku sepertinya mau berhenti bekerja dulu." Retno tercengang. Tidak biasanya kawan satu kerjaannya ini seperti itu. Biasanya Bu Nur ini paling rajin bekerja. "Emang ada apa, Nur? Apa kamu ada masalah?" Tanya Retno. "Aku capek aja Mbak. Kerja tiap hari, uang juga gak pernah megang. Belanja masih pusing. Habis untuk utang saja. Kalau kerja gak kerja sama aja, mending gak usah kerja sekalian. Biar orang rumah yang mikirin semuanya. Aku capek." Keluh Bu Nur. Retno terdiam. Dia tidak bisa lagi memaksa. Tapi dia tidak percaya jika hanya itu masalahnya. "Ya sudah. Kalau kamu mau istirahat dulu. Aku mau kerja kalau begitu, ya?" Bu Nur mengangguk saja. Setelah suara motor Retno menjauh, bapak keluar dar
"Ibu juga sangat mencolok mata. Dia memperlakukan aku dan Lidya sangat berbeda. Lidya mau bantu aku nyapu aja gak boleh, mbak. Katanya semua pekerja rumah harus aku yang kerjakan. Katanya biar aku gak ada waktu untuk istirahat. Biar kalau malam kecapean dan tidur lelap. Jadi gak keluyuran atau nungguin orang yang mau datangi aku ke kamar." "Astaghfirullah.." Nita menebah dadanya. Kenapa malah jadi seperti ini? Bukannya masalah selesai, malah menjadi makin kacau. "Mbak, Nana tinggal sini saja ya? Nana bisa bantu-bantu mbak Nita. Jagain Gemilang, masak, nyuci atau lainnya. Nana akan kerjakan semua pekerja rumah, Nana gak minta upah. Asal bisa makan dan tinggal disini saja." Nita mendongak, dia menatap wajah polos Nana. Nita merasa kasihan. "Nanti mbak Nita bicara sama Mas Heru dulu ya? Biar bagaimanapun juga, perlu persetujuan mas kamu itu." Jawab Nita. Nita berpikir, ada baiknya juga jika Nana tinggal disini bersama mereka. Disamping Nana bisa membantunya, mungkin itu juga leb
Pada akhirnya, malam hari ini Heru mengantar Nana pulang sekaligus kembali mengajak kedua orang tuanya berbicara. Bapak tentu saja hanya diam tanpa berani memberi satu pun masukan. Ibu yang banyak bicara. Sesekali masih mengumpat Nana. Meskipun dalam hati dia sedih, bukan bermaksud untuk membenci anak kandungnya sendiri. Nana kembali ikut pulang ke rumah Heru setelah berpamitan dan membawa beberapa pakaiannya. Pagi harinya, Heru menyater satu mobil khusus untuk mengantar Nana ke pondok. Heru tidak ingin menunda banyak waktu, lebih cepat itu lebih baik. Pagi ini, Nana dilepas sendirian, tidak ada yang mengantar. Tapi karena sopir travel memang tetangga sendiri, jadi tidak perlu khawatir. Nana akan di antar langsung sampai depan Pondok pesantren. Nita bernafas lega. Menatap mobil travel yang sudah membawa Nana melesat itu. "Alhamdulillah.. semoga kedepannya, tidak ada lagi masalah." Ketika dia baru saja membalikkan badannya, dia melihat sebuah motor berhenti di depan rumah Ra