Selang dua hari setelah hari itu, Mbak Retno pagi-pagi mampir ke rumah. "Na, ibu mana?" "Ada di dapur, Bi Retno." Retno masuk tanpa disuruh, menjumpai Bu Nur yang sedang duduk melamun di pintu dapur. "Nur, kamu gak berangkat lagi?" Tanya Retno. Bu nur menoleh, "Gak lah mbak. Aku sepertinya mau berhenti bekerja dulu." Retno tercengang. Tidak biasanya kawan satu kerjaannya ini seperti itu. Biasanya Bu Nur ini paling rajin bekerja. "Emang ada apa, Nur? Apa kamu ada masalah?" Tanya Retno. "Aku capek aja Mbak. Kerja tiap hari, uang juga gak pernah megang. Belanja masih pusing. Habis untuk utang saja. Kalau kerja gak kerja sama aja, mending gak usah kerja sekalian. Biar orang rumah yang mikirin semuanya. Aku capek." Keluh Bu Nur. Retno terdiam. Dia tidak bisa lagi memaksa. Tapi dia tidak percaya jika hanya itu masalahnya. "Ya sudah. Kalau kamu mau istirahat dulu. Aku mau kerja kalau begitu, ya?" Bu Nur mengangguk saja. Setelah suara motor Retno menjauh, bapak keluar dar
"Ibu juga sangat mencolok mata. Dia memperlakukan aku dan Lidya sangat berbeda. Lidya mau bantu aku nyapu aja gak boleh, mbak. Katanya semua pekerja rumah harus aku yang kerjakan. Katanya biar aku gak ada waktu untuk istirahat. Biar kalau malam kecapean dan tidur lelap. Jadi gak keluyuran atau nungguin orang yang mau datangi aku ke kamar." "Astaghfirullah.." Nita menebah dadanya. Kenapa malah jadi seperti ini? Bukannya masalah selesai, malah menjadi makin kacau. "Mbak, Nana tinggal sini saja ya? Nana bisa bantu-bantu mbak Nita. Jagain Gemilang, masak, nyuci atau lainnya. Nana akan kerjakan semua pekerja rumah, Nana gak minta upah. Asal bisa makan dan tinggal disini saja." Nita mendongak, dia menatap wajah polos Nana. Nita merasa kasihan. "Nanti mbak Nita bicara sama Mas Heru dulu ya? Biar bagaimanapun juga, perlu persetujuan mas kamu itu." Jawab Nita. Nita berpikir, ada baiknya juga jika Nana tinggal disini bersama mereka. Disamping Nana bisa membantunya, mungkin itu juga leb
Pada akhirnya, malam hari ini Heru mengantar Nana pulang sekaligus kembali mengajak kedua orang tuanya berbicara. Bapak tentu saja hanya diam tanpa berani memberi satu pun masukan. Ibu yang banyak bicara. Sesekali masih mengumpat Nana. Meskipun dalam hati dia sedih, bukan bermaksud untuk membenci anak kandungnya sendiri. Nana kembali ikut pulang ke rumah Heru setelah berpamitan dan membawa beberapa pakaiannya. Pagi harinya, Heru menyater satu mobil khusus untuk mengantar Nana ke pondok. Heru tidak ingin menunda banyak waktu, lebih cepat itu lebih baik. Pagi ini, Nana dilepas sendirian, tidak ada yang mengantar. Tapi karena sopir travel memang tetangga sendiri, jadi tidak perlu khawatir. Nana akan di antar langsung sampai depan Pondok pesantren. Nita bernafas lega. Menatap mobil travel yang sudah membawa Nana melesat itu. "Alhamdulillah.. semoga kedepannya, tidak ada lagi masalah." Ketika dia baru saja membalikkan badannya, dia melihat sebuah motor berhenti di depan rumah Ra
Laura cemberut. "Kok kamu gak pengertian sih, Calia. Kenapa Rehan harus jadi sopir pribadi kamu. Coba jadi sopir pribadi aku saja. Aku pasti akan membayar dua kali gaji yang kamu berikan.""Enak saja! Pamanku itu bukan sopir! Dia cuma ngantar aku dan ikut sibuk di butik. Cuma ingin tau bagaimana cara mengelola butik! Dia ingin membuka usaha butik juga di kampungnya. Begitu!""Hehe. Iya, aku paham.Aku tau, Rehan juga pernah bilang begitu. Aku hanya bercanda kok. Tapi aku juga sangat mau, kalau Rehan jadi sopir pribadi aku, kan?" Laura berkata sambil tersenyum-senyum sendiri."Dasar!" Calia menyentil kening Laura."Eh, tapi Lau. Kamu beneran suka ya sama paman aku?" Tanya Calia.Bukannya menjawab, wajah Laura malah bersemu merah. Kemudian dia mengangguk dengan malu-malu."Mau berapa kali aku bilang, kamu masih tidak percaya?""Aku kurang yakin sih. Secara kan, umur kita dengan pamanku itu jauh lho. Pamanku itu, 15 tahunan lebih tua dari aku. Masa iya kamu mau sama bujang tua?" Calia ber
Dua gadis itu terdiam, sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga Rehan datang menjemput Mereka. Wajah redup Laura tadi langsung berbinar."Kamu antar aku pulang dulu ya?"Calia langsung mendelik, "Eh, kok gitu. Terus aku gimana? Lagian kamu kenapa sih, sekarang nggak pernah bawa mobil sendiri lagi. Masa kemana-mana minta anter?" Ucap Calia.Sekarang Laura yang mendelik. "Gak tau orang lagi usaha juga. Sudah diam! Nurut! Sana ke butik lagi! Kan kamu tadi bilang mau ke butik lagi. Mau pulang agak maleman."Calia mencibir, "Baiklah. Aku mengalah demi pamanku." Lalu Calia pergi begitu saja. Tapi dia menoleh dulu, "Bayarin ya? Hehe.""Huh!" Laura mendengus tapi segera tersenyum, menggandeng tangan Rehan untuk menyuruhnya duduk dulu.Rehan hanya tersenyum, dua gadis ini memang selalu begitu, bertengkar tapi selalu romantis."Mau minum apa? Aku pesenin." Laura berkata.Rehan menahan tangan Laura. "Tidak usah, kita langsung pulang saja ya? Aku tadi sudah minum kok di bengkel.""
"Memangnya kenapa Mbak. Memang ada yang salah? Aku sadar kok kalau aku ini pria biasa, aku dari kampung. Tapi bagaimana dengan Mbak Fiah? Mbak Fiah juga orang kampung kan dulu? Mbak Fiah bisa mendapatkan suami dari kota, orang kaya juga. Mbak Dinda juga seperti itu, dulu dia juga pernah tinggal di kampung kita, dia malah dinikahi oleh mas Riko seorang sekretaris perusahaan ternama. Lalu apa bedanya aku dan kalian?" Rehan berprotes."Tentu saja berbeda Rehan! Kami ini kan perempuan, sedangkan kamu itu seorang laki-laki. Perempuan hanya perlu membawa diri sedangkan laki-laki harus membawa seorang istri. Harus bisa mencukupi kebutuhannya, harus bisa menjaga dan melindunginya. Sedangkan masalahnya, level keluarga kita dan Laura itu jauh berbeda. Laura itu anak orang kaya raya, bagaimana mungkin kamu bisa bersanding atau membawa diri dalam keluarganya?" Fiah berbicara dengan meninggikan suaranya."Aku tidak akan menyusahkan keluarganya. Jika kami direstui dan kami sudah menikah, maka aku
"Jadi begini, Pak Santoso yang terhormat." Ucapan Gara kali ini membuat semua orang tegang."Putri Pak Santoso, Laura,"Deg! Jantung pak Santoso dan Istri sudah berdebar saat Gara menyebut nama putri mereka. Mereka segera menduga jika ternyata Laura yang sudah berbuat masalah.Apa Laura bertengkar dengan Calia? Pak Santoso mulai curiga, Karena disini juga hadir Calia dan kedua orang tuanya. Selama ini pak Santoso juga tahu jika Calia adalah sahabat putrinya.Laura, apa mungkin dia sudah menyinggung Calia? Membuat keluarganya marah dan mendatangi rumah ini? Pak Santoso semakin terlihat khawatir dan penuh pertanyaan. Apalagi ketika Gara meminta nereka untuk memanggil Laura. Mereka semakin berdebar dan khawatir.Laura yang belum siap sama sekali juga nampak syok berat. Tidak menyangka jika Rehan datang malam ini membawa seluruh anggota keluarga Mahendra.Laura nampak pucat dan gemetaran, dengan hanya memakai gaun tidur dan tanpa make up dia duduk diantara kedua orang tuanya. Persis seper
Semua orang bisa bersamaan menarik nafas lega. Mereka juga serempak merasa senang dan bahagia.Keluarga Pak Santoso yang terkenal sombong, ternyata tidak seperti itu. Buktinya mereka telah menerima Rehan dengan apa adanya.Sesaat, cincin permata berwarna biru yang dikeluarkan oleh Rehan, kini telah pindah ke jari manis Laura. Kembali disambut dengan gemuruh doa-doa dari mereka.Laura terlihat menunduk, wajahnya yang cantik bersemu merah. Bibinya terlihat tersenyum tapi ujung matanya meneteskan air mata.Laura sangat bahagia, melirik Rehan yang juga sama seperti dirinya. Menunduk dengan menangkupkan kedua tangannya ke wajah diiringi ucap puji syukur.Waktu menunjukan pukul delapan malam, setelah mengucapkan rasa terima kasih yang sangat banyak, Gara melanjutkan obrolan hingga membahas hari dimana akan dilangsungkan pernikahan untuk mereka.Dan hari itupun telah dipilih serta ditentukan lalu disetujui bersama."Jika ingin berpesta, maka keluarga Mahendra tidak perlu repot-repot menyiap