Hari ini dia telah melupakan masalah Keluarganya. Biarlah, dari kecil dia juga sudah terbiasa sendiri. Jadi dia sedikit malas terlalu memikirkan Bapaknya. Hanya ingin melihat perkembangan mereka dari jauh saja. Heru menelpon Adi. Kebetulan hari ini mereka sedang libur. Jadi Adi langsung datang. Mereka kemudian ke toko, sambil Heru harus membuka toko juga hari ini setelah beberapa hari toko mereka ditutup. "Bantu aku hitung pengeluaran dan pendapatan kebun itu ya, Di." "Oke, siap Bos!" Jawab Adi dengan gaya penuh kelakarnya. Dia tidak pernah tau jika Heru baru saja menghadapi masalah memalukan tentang bapaknya. Dan untuk masalah ini, Heru juga enggan bercerita. Bukan dia ingin menjaga Privasi, tapi dia lebih kepada malu. Mereka mulai menghitung, berapa pengeluaran untuk segala modal. Seperti pupuk, Racun dan upah untuk yang kerja. Lalu menghitung keuangan yang masuk hasil dari jual buah sawit. "Mudah mudahan balik modal ya, Di?" Adi hanya mengangguk, sambil meneruskan hitungan den
Rani menunggu balasan. Tidak lama terlihat Ela mengetik balasan dan terkirim. (Oh, iya, iya. Mbak Rani. Salam kenal ya mbak? Aku tau suami embak. Pernah ke rumah pas waktu mau berangkat dulu.) (Hehe, iya. Oh ya mbak, mas Wahyu sudah ngirim ya mbak? Apa mereka udah Gajian?) (Udah kok mbak. Baru kemarin ngirim. Mas Wahyu gak pernah telat kalau ngirim. Soalnya anaknya ini kuat jajan sama susu formulanya. Malah slip gaji juga ikut dikirimnya. Mungkin takut aku gak percaya kali ya? Padahal mah, aku percaya an orangnya.) Rani tercengang. Apa, apa? Sudah gajian? Jadi mas Andi bohong dong sama aku. Sialan! Rani mengumpat. Dia semakin kesal saat si Ela mengirim bukti slip gaji suaminya di bulan ini. Dan itu sangat jauh dari pernyataan Andi yang selalu mengatakan gajinya hanya kisaran 10 juta. Jelas dari slip gaji milik Wahyu tertera, gaji pokok bulanan Mereka saja lebih dari 15 juta dan hampir 20 juta. Belum dihitung lemburan. Dengan tangan gemetaran, Rani mengetik pesan kembali. (Mbak,
Selang dua hari setelah hari itu, Mbak Retno pagi-pagi mampir ke rumah. "Na, ibu mana?" "Ada di dapur, Bi Retno." Retno masuk tanpa disuruh, menjumpai Bu Nur yang sedang duduk melamun di pintu dapur. "Nur, kamu gak berangkat lagi?" Tanya Retno. Bu nur menoleh, "Gak lah mbak. Aku sepertinya mau berhenti bekerja dulu." Retno tercengang. Tidak biasanya kawan satu kerjaannya ini seperti itu. Biasanya Bu Nur ini paling rajin bekerja. "Emang ada apa, Nur? Apa kamu ada masalah?" Tanya Retno. "Aku capek aja Mbak. Kerja tiap hari, uang juga gak pernah megang. Belanja masih pusing. Habis untuk utang saja. Kalau kerja gak kerja sama aja, mending gak usah kerja sekalian. Biar orang rumah yang mikirin semuanya. Aku capek." Keluh Bu Nur. Retno terdiam. Dia tidak bisa lagi memaksa. Tapi dia tidak percaya jika hanya itu masalahnya. "Ya sudah. Kalau kamu mau istirahat dulu. Aku mau kerja kalau begitu, ya?" Bu Nur mengangguk saja. Setelah suara motor Retno menjauh, bapak keluar dar
"Ibu juga sangat mencolok mata. Dia memperlakukan aku dan Lidya sangat berbeda. Lidya mau bantu aku nyapu aja gak boleh, mbak. Katanya semua pekerja rumah harus aku yang kerjakan. Katanya biar aku gak ada waktu untuk istirahat. Biar kalau malam kecapean dan tidur lelap. Jadi gak keluyuran atau nungguin orang yang mau datangi aku ke kamar." "Astaghfirullah.." Nita menebah dadanya. Kenapa malah jadi seperti ini? Bukannya masalah selesai, malah menjadi makin kacau. "Mbak, Nana tinggal sini saja ya? Nana bisa bantu-bantu mbak Nita. Jagain Gemilang, masak, nyuci atau lainnya. Nana akan kerjakan semua pekerja rumah, Nana gak minta upah. Asal bisa makan dan tinggal disini saja." Nita mendongak, dia menatap wajah polos Nana. Nita merasa kasihan. "Nanti mbak Nita bicara sama Mas Heru dulu ya? Biar bagaimanapun juga, perlu persetujuan mas kamu itu." Jawab Nita. Nita berpikir, ada baiknya juga jika Nana tinggal disini bersama mereka. Disamping Nana bisa membantunya, mungkin itu juga leb
Pada akhirnya, malam hari ini Heru mengantar Nana pulang sekaligus kembali mengajak kedua orang tuanya berbicara. Bapak tentu saja hanya diam tanpa berani memberi satu pun masukan. Ibu yang banyak bicara. Sesekali masih mengumpat Nana. Meskipun dalam hati dia sedih, bukan bermaksud untuk membenci anak kandungnya sendiri. Nana kembali ikut pulang ke rumah Heru setelah berpamitan dan membawa beberapa pakaiannya. Pagi harinya, Heru menyater satu mobil khusus untuk mengantar Nana ke pondok. Heru tidak ingin menunda banyak waktu, lebih cepat itu lebih baik. Pagi ini, Nana dilepas sendirian, tidak ada yang mengantar. Tapi karena sopir travel memang tetangga sendiri, jadi tidak perlu khawatir. Nana akan di antar langsung sampai depan Pondok pesantren. Nita bernafas lega. Menatap mobil travel yang sudah membawa Nana melesat itu. "Alhamdulillah.. semoga kedepannya, tidak ada lagi masalah." Ketika dia baru saja membalikkan badannya, dia melihat sebuah motor berhenti di depan rumah Ra
Laura cemberut. "Kok kamu gak pengertian sih, Calia. Kenapa Rehan harus jadi sopir pribadi kamu. Coba jadi sopir pribadi aku saja. Aku pasti akan membayar dua kali gaji yang kamu berikan.""Enak saja! Pamanku itu bukan sopir! Dia cuma ngantar aku dan ikut sibuk di butik. Cuma ingin tau bagaimana cara mengelola butik! Dia ingin membuka usaha butik juga di kampungnya. Begitu!""Hehe. Iya, aku paham.Aku tau, Rehan juga pernah bilang begitu. Aku hanya bercanda kok. Tapi aku juga sangat mau, kalau Rehan jadi sopir pribadi aku, kan?" Laura berkata sambil tersenyum-senyum sendiri."Dasar!" Calia menyentil kening Laura."Eh, tapi Lau. Kamu beneran suka ya sama paman aku?" Tanya Calia.Bukannya menjawab, wajah Laura malah bersemu merah. Kemudian dia mengangguk dengan malu-malu."Mau berapa kali aku bilang, kamu masih tidak percaya?""Aku kurang yakin sih. Secara kan, umur kita dengan pamanku itu jauh lho. Pamanku itu, 15 tahunan lebih tua dari aku. Masa iya kamu mau sama bujang tua?" Calia ber
Dua gadis itu terdiam, sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga Rehan datang menjemput Mereka. Wajah redup Laura tadi langsung berbinar."Kamu antar aku pulang dulu ya?"Calia langsung mendelik, "Eh, kok gitu. Terus aku gimana? Lagian kamu kenapa sih, sekarang nggak pernah bawa mobil sendiri lagi. Masa kemana-mana minta anter?" Ucap Calia.Sekarang Laura yang mendelik. "Gak tau orang lagi usaha juga. Sudah diam! Nurut! Sana ke butik lagi! Kan kamu tadi bilang mau ke butik lagi. Mau pulang agak maleman."Calia mencibir, "Baiklah. Aku mengalah demi pamanku." Lalu Calia pergi begitu saja. Tapi dia menoleh dulu, "Bayarin ya? Hehe.""Huh!" Laura mendengus tapi segera tersenyum, menggandeng tangan Rehan untuk menyuruhnya duduk dulu.Rehan hanya tersenyum, dua gadis ini memang selalu begitu, bertengkar tapi selalu romantis."Mau minum apa? Aku pesenin." Laura berkata.Rehan menahan tangan Laura. "Tidak usah, kita langsung pulang saja ya? Aku tadi sudah minum kok di bengkel.""
"Memangnya kenapa Mbak. Memang ada yang salah? Aku sadar kok kalau aku ini pria biasa, aku dari kampung. Tapi bagaimana dengan Mbak Fiah? Mbak Fiah juga orang kampung kan dulu? Mbak Fiah bisa mendapatkan suami dari kota, orang kaya juga. Mbak Dinda juga seperti itu, dulu dia juga pernah tinggal di kampung kita, dia malah dinikahi oleh mas Riko seorang sekretaris perusahaan ternama. Lalu apa bedanya aku dan kalian?" Rehan berprotes."Tentu saja berbeda Rehan! Kami ini kan perempuan, sedangkan kamu itu seorang laki-laki. Perempuan hanya perlu membawa diri sedangkan laki-laki harus membawa seorang istri. Harus bisa mencukupi kebutuhannya, harus bisa menjaga dan melindunginya. Sedangkan masalahnya, level keluarga kita dan Laura itu jauh berbeda. Laura itu anak orang kaya raya, bagaimana mungkin kamu bisa bersanding atau membawa diri dalam keluarganya?" Fiah berbicara dengan meninggikan suaranya."Aku tidak akan menyusahkan keluarganya. Jika kami direstui dan kami sudah menikah, maka aku